• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jejak Pakuan Pajajaran di Situs Bukit Bagidul Rancamaya

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 123-128)

Badigul, Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang Perusaknya

Punden Berundak/Piramida Bukit Badigul, foto tahun 1973, yang juga pernah penulis saksikan sendiri ketika camping di lapangan di dekatnya, masih kanak-kanak kelas 5 SD

(tahun 1975).

Situs Mediametafisika.com melaporkan tentang keberadaan Bukit Keramat yang Memakan Korban 114 Orang – Badigul, begitu orang menyebut bukit kecil di kota Bogor bagian Selatan ini. Selintas tak ada yang nampak istimewa pada segundukan tanah di atas lahan seluas 5000 meter persegi itu. Hanya ruput halus lapangan golf yang mengelilinginya. Di sisi b\]Barat berdiri sebuah bangunan sport center milik perumahan elite Rancamaya.

33Di sisi lain nampak sebuah gedung megah pusat penelitian dan pengembangan agama Budha. Bukit itu sendiri kini telah menjadi miliki perumahan Rancamaya. Namun 20 tahun lalu, sebelum Badigul digusur perusahaan pengembang Rancamaya, bukit ini adalah sebuah tempat yang amat dikeramatkan masyarakat Sunda. Betapa tidak, Badigul diyakini sebagai tempat mandapa (moksa-nya/Tilem) Prabu

Siliwangi. Di bukit ini sang Prabu sering semedi hingga kemudian ngahiyang

menghadap Tuhan Sang Pencipta. Dulu orang berbondong-bondong berziarah pada leluhur mereka di bukit Badigul yang luasnya masih 5 hektar.

Saat itu masih terdapat beberapa alat gamelan Sunda yang memiliki kekuatan magis, namun kini menghilang entah ke mana. Buldoser dan 2 becko tak sanggup menggeser batu menhir di bukit Badigul. Malah tiga sopir alat-alat berat itu sekarat dan mati tanpa sebab. Korban-korban lain pun berjatuhan….

125

―Dulu bukit itu masih tinggi. Badigul dikelilingi sebuah telaga yang bernama Renawijaya. Jika orang ingin ke puncak bukit, mereka harus menyeberangi telaga dan mengambil air wudlu di sana,‖ tutur Ki Cheppy Rancamaya, 53 tahun, saat Kami ditemui di rumahnya. Berkisah tentang Badigul, Ki Cheppy, spiritualis dan budayawan ini, merasa miris mengingat masa lalunya. Ia adalah orang yang mati- matian mempertahankan tempat keramat itu. Namun kekuatan rezim Orde Baru dan pengaruh uang dari pengusaha membuatnya harus mengakui kekalahan. Badigul digusur, ia diculik Kopassus dan dipenjarakan tanpa pengadilan.

Setahun lebih Ki Cheppy harus meringkuk di penjara Paledang, Januari 1992- 1993. Tak cukup sampai di situ, setelah keluar Ki Cheppy kembali melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tapi akhirnya ia pun harus kembali meringkuk di tahanan untuk ke dua kalinya. Sebuah pengalaman mistik pun dialami Cheppy saat ia menghuni Blok B 8 Rutan Paledang, Bogor. Saat itu ia dipanggil sipir, katanya ada keluarganya yang hendak menjenguknya. Cheppy pun keluar dari ruang tahanannya. Namun belum genap 10 langkah ia meninggalkan ruang tahanan itu, tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari ruang sel tahanannya. Sebuah petir yang menghebohkan napi seisi Penjara Paledang menjebolkan tembok kamar tahanan Cheppy yang tebalnya 75 cm. ―Saat itu memang hujan rintik-rintik. Petir itu membuat lubang berdiameter 50 cm pada dinding penjara. Jika saya ada di dalam tentu saya sudah mati. Belakangan saya baru tahu kalau petir itu adalah santet kiriman anak buah Cecep Adireja, (makelar yang menjual tanahnya)‖ tutur Cheppy.

Keberanian Cheppy untuk mempertahankan Badigul memang bukan tanpa alasan. Ia yakin seyakin-yakinnya, Badigul adalah tempat keramat peninggalan leluhur Kerajaan Pakuan Pajajaran. Keyakinan Cheppy itu juga diperkuat oleh keyakinan banyak masyarakat di sana. Budayawan-budayawan Sunda pun telah menetapkan situs Badigul sebagai Cagar Budaya yang patut dilestarikan. Bahkan Solihin GP, tokoh masyarakat Sunda yang kala itu menjabat Sesdalopbang Pemerintah RI pun melarang penggusuran keramat Badigul dengan mengeluarkan nota pribadinya kepada Walikota Bogor. ―Siapapun yang merusak tempat keramat akan kena supata (karma-Red.),‖ tutur Cheppy.

Cerita-cerita mistik dan supata (kutukan) yang dilontarkan Cheppy memang terbukti. Seratus orang buruh bangunan telah mati menjadi tumbal saat bukit Badigul dibuldoser. Namun ambisi pengusaha real estate untuk meratakan bukit Badigul tidak pernah luntur. Bukit itu tetap diratakan untuk perumahan dan lapangan golf hingga ketinggiannya berkurang 6 meteran. Saat puncak badigul telah tercukur 6 meter itu muncul sebuah batu menhir sebesar mobil sedan. Anehnya batu sebesar itu sama sekali tak goyang saat dibuldoser. Penasaran dengan itu, pihak perumahan mendatangkan dua becko untuk menarik batu keramat itu. Tapi dua becko itu pun tak sanggup menggoyangkan batu itu. Bahkan satu becko malah patah saat menariknya. Secara logika batu itu seharusnya dapat digusur oleh buldoser. Saat itulah kesadaran para buruh tentang kekuatan mistik bukit Badigul mulai terbuka. ―Tapi mereka terlambat, 3 orang supir alat berat itu pun mati,‖ tutur Cheppy. Mengingat keanehan-keanehan yang terjadi, akhirnya pihak perumahan sepakat untuk tidak memindahkan batu itu. Batu itu tetap di tempatnya kemudian dibenamkan dan kembali timbun dengan tanah.

Jadilah bukit Badigul kini sebagai lapangan golf dengan sport center dan pusat penelitian agama Budha di sebelahnya. Memang ironis, hanya untuk membuat sebuah lapangan golf dan pusat kebugaran, pihak pengembang harus menghancurkan cagar budaya. Mereka juga harus bertentangan dengan kepercayaan masyarakat sekitar yang meyakini kekeramatkan Badigul.

126

Alhasil mereka harus menumbalkan 114 orang buruh untuk mencukur 6 meter bukit Badigul. ―Kita berurusan dengan makhluk di dunia lain. Tapi mereka juga punya tempat dan habitat di bumi ini. Jika mereka diganggu, mereka pun bisa mengganggu kita,‖ jelas Cheppy.

Tentang kekeramatan bukit Badigul, mungkin hanya Cheppy yang pernah menyibak tabir mistiknya. Ia adalah penduduk asli Rancamaya, Bogor Selatan. Ia adalah orang yang paling rajin bermunajat di sana. Ia sering melakukan kontak batin dengan penguasa gaib bukit Badigul. Bahkan ia juga pernah melakukan meditasi dan puasa selama 100 hari di bukit itu. Dikisahkan Cheppy, suatu malam ia tengah melakukan meditasi di puncak Badigul. Menjelang tengah malam, ia melihat seekor anjing hitam yang diapit dua ekor anjing kecil berbulu putih di kiri kanannya. Dalam hati, Cheppy yakin itu bukan binatang sungguhan. Sebab tak mungkin binatang- binatang itu tiba-tiba muncul di hadapannya tanpa diketahui dari mana datangnya. Tidak mungkin pula anjing itu bisa ke puncak Badigul, sebab harus menyeberangi telaga Renawijaya. Binatang-binatang yang tampak gagah itu memandang heran ke arah Cheppy. Tapi sedikit pun Cheppy tak bergeming dari tempatnya duduk. Cheppy tetap konsentrasi dengan meditasinya.

Sesaat ia melihat ajing berbulu hitam itu menengadahkan kepalanya pada Cheppy. Tapi ia tak mengerti apa maksudnya. Dan dalam ketidak mengertian itu, sekedipan mata saja anjing-anjing aneh itu hilang dari pandangan Cheppy. Malam yang lainnya, Cheppy juga pernah menemukan fenomena mistik yang sulit diterima akal sehatnya. Malam itu, Cheppy sengaja datang ke Badigul untuk melanjutkan meditasinya. Dari rumah, ia membawa segala perlengkapan sesajen yang diperlukan di keramat Badigul. Cheppy berharap malam itu ia akan mendapatkan sesuatu yang selama ini ia cita-citakan. Lepas Maghrib Cheppy duduk tepekur menghadap Kiblat. Tepat tengah malam, ketika Cheppy tengah khusuk meditasi sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia melihat sepertinya matahari terbit dari balik gunung Salak. Sinarnya terlihat benderang menerangi seantero alam. Gunung Salak terlihat jelas, pohon besar hingga rumput kecil dan perumahan penduduk di kaki gunung itu terlihat jelas. Sesaat Cheppy tak yakin, ia sadar bahwa gunung salak itu berada di sebelah barat. Mana mungkin matahari terbit dari arah barat. Ia lalu mengusap-usap matanya. Dan seketika itu pula bumi kembali gelap gulita. Tak nampak lagi matahari yang benderang di balik gunung salak itu. Yang tertinggal hanya kedipan-kedipan kecil dari lampu yang terpasang di rumah-rumah penduduk. ―Itu benar-benar aneh dan saya mengalaminya sendiri. Kekuatan mistik Badigul memang nyata,‖ jelas Cheppy.

Kisah lain yang lebih unik juga diceritakan Cheppy. Malam itu ia tengah wirid di Badigul. Karena penat, ia celentang merebahkan dirinya di tengah padang rumput puncak Badigul. Tapi sesaat kemudian ia tersentak kaget. Dari atas langit ia melihat seperti seberkas sinar keperakan jatuh menimpa dadanya. Seketika ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Dan mendadak, tangannya menyentuh benda pipih yang dingin. Ia pun langsung menggenggamnya. Kini di tangannya tergenggam sebilah kujang sebuah pusaka Pajajaran yang keampuhannya tak perlu diragukan lagi. Dan tatkala Kami mencoba, ternyata, kujang itu memiliki daya kekebalan bagi siapa pun yang memegangnya. Masih seputar fenomena mistik Badigul, Cheppy menceritakan suatu hari di tahun 1994 warga Bogor dihebohkan oleh penemuan telapak kaki raksasa di Batutulis dan Rancamaya.

Berita yang menghebohkan itu pun diliput oleh media-media cetak dan elektronik di Jabotabek. Di Jalan Batutulis terdapat sebuah telapak kaki kiri sepanjang 1 meter. Jelas sekali telapak kaki itu bukan rekayasa manusia. Sementara di Rancamaya juga terdapat sebuah telapak kaki kanan yang panjangnya sama

127

dengan yang ditemukan di Batutulis. Lalu orang berimajinasi, kalau kaki itu adalah milik gaib Prabu Siliwangi. Sang Prabu sengaja mendatangi Batutulis kemudian loncat ke Rancamaya hanya dengan sekali langkah saja. Tak cuma itu, ternyata di sekitar puncak Badigul terdapat empat telapak kaki yang panjang dan besarnya sama. ―Sang Prabu ke Batutulis lalu ke Rancamaya dan mengelilingi puncak Badigul,‖ begitu jelas Ki Cheppy ketika ditanyai wartawan saat itu.

Kekeramatan bukit Badigul memang meyakinkan. Tak seorang warga Rancamaya pun yang dihubungi Kami meragukan keangkerannya. Sejak batu keramat itu tak sanggup dibuldoser, tak seorang buruh pun yang mau melanjutkan pekerjaan di sana. Mereka takut terkena kutuk atau supata Eyang Prabu Siliwangi. ―Kami tidak mau mati jadi tumbal,‖ tutur Ujang warga Rancamaya yang waktu itu ikut melakukan pembabatan lahan di Badigul. Ketakutan Ujang memang beralasan. Ia menceritakn beberapa orang rekannya yang mati akibat ikut meratakan tanah di bukit Badigul. Waktu itu, Herman dan beberapa teman Ujang diperintahkan untuk mengeruk tanah di puncak Badigul. Lewat tengah hari setelah mereka istirahat pekerjaan itu dilanjutkan. Namun alangkah terkejutnya Herman dan kawan- kawannya. Mereka melihat seekor ular hitam di atas tanah merah bukit Badigul. Tanpa pikir panjang ular itu mereka pukul ramai-ramai dengan batang kayu dan batu. ―Esok harinya, Herman dan dua orang temannya itu dikabarkan sakit meriang lalu sore harinya mati semua,‖ kisah Ujang pada Misteri.

Tentang Supata (kutukan) yang didawuhkan Prabu Siliwangi itu ternyata tidak

hanya menimpa kuli bangunan atau buruh pekerja perumahan Rancamaya. Tapi juga menimpa seluruh penggede-penggede Perumahan elit itu. Cecep Adireja misalnya, tuan tanah yang menguasai pembebasan lahan untuk perumahan itu akhirnya mati mengenaskan. Tuan tanah yang disebut-sebut pemilik Hotel Salak, Bogor, ini meninggal setelah mengalami sakit berkepanjangan yang tak jelas sebab musababnya. Begitu pun dengan kakak dan adik Cecep, mereka mati setelah mengalami sakit yang tak sanggup diobati dokter.

―Tidak hanya keluarga Cecep, supata itu juga diterima Kapolsek Ciawi dan

lurah Rancamaya waktu itu. Mereka juga mati setelah mengalami sakit parah yang tak jelas penyakitnya,‖ jelas Cheppy.44 Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan [carita parahiyangan].

Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar ―the kingdom of sunda is justly governed; they are true men‖ [Kerajaan sunda diperintah

dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur ]. Juga diberitakan kegiatan perdagangan sunda dengan malaka sampai ke kepulauan maladewa [ maladiven ]. jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar [ 1 bahar = 3 pikul ] setahun, bahkan hasil tammarin [asem] dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki masalah karuhun kabeh dari Camis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa jawa dan huruf Arab- pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan [kemakmuran pakuan], sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Kerajaan Pajajaran. Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam prasasti tembaga kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Kerajaan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun [ 1482 1521 ].

44Source: http://www.mediametafisika.com/2013/11/badigul-bukit-keramat-yang-memakan.html

128

Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing [Sang Mokteng] Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya. Melihat itu, jelas, bagaimana Rancamaya, terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara kota Bogor, memiliki nilai khusus bagi orang Sunda.

Rancamaya memiliki mata air yang sangat jernih. Tahun 1960-an di hulu Cirancamaya ini ada sebuah situs makam kuno dengan pelataran berjari-jari 7,5 m tertutup hamparan rumput halus dan dikelilingi rumpun bambu setengah lingkaran. Dekat makam itu terdapat pohon hampelas, patung badak setinggi kira-kira 25 m dan sebuah pohon beringin.

Dewasa ini seluruh situs sudah ―dihancurkan‖ orang. Pelatarannya ditanami ubi kayu, pohon-pohonannya ditebang dan makam kuno itu diberi saung. Di dalamnya sudah bertambah sebuah kuburan baru, lalu makam kunonya diganti dengan bata pelesteran, ditambah bak kecil untuk peziarah dengan dinding yang dihiasi huruf arab. Makam yang dikenal sebagai makam embah punjung ini mungkin sudah dipopulerkan orang sebagai makam wali. Kejadian ini sama seperti kuburan Embah Jepra pendiri Kampung Paledang yang terdapat di Kebun Raya yang ―dijual‖ orang sebagai ―makam Raja Galuh‖.

Telaga yang ada di Rancamaya, menurut Pantun Bogor, asalnya bernama Rena Wijaya dan kemudian berubah menjadi Rancamaya. Akan tetapi, menurut naskah kuno, penamaannya malah dibalik, setelah menjadi telaga kemudian dinamai Rena Maha Wijaya [terungkap pada prasasti]. ―talaga‖ [sangsakerta ―tadaga‖]

mengandung arti kolam atau danau/situ. Orang sunda biasanya menyebut telaga untuk kolam bening di pegunungan atau tempat yang sunyi. Kata lain yang sepadan adalah situ [Sangsakerta, setu] yang berarti bendungan.

Bila diteliti keadaan sawah di Rancamaya, dapat diperkirakan bahwa dulu telaga itu membentang dari hulu Cirancamaya sampai ke kaki bukit Badigul di sebelah utara jalan lama yang mengitarinya dan berseberangan dengan kampung Bojong. Pada sisi utara lapang bola rancamaya yang sekarang, tepi telaga itu bersambung dengan kaki bukit. Bukit badigul memperoleh namanya dari penduduk karena penampakannya yang unik. Bukit itu hampir ―gersang‖ dengan bentuk parabola sempurna dan tampak seperti ―katel‖ [wajan] terbalik. Bukit-bukit di sekitarnya tampak subur. Badigul hanya ditumbuhi jenis rumput tertentu. Mudah diduga bukit ini dulu ―dikerok‖ sampai mencapai bentuk parabola. Akibat pengerokan itu tanah suburnya habis. Badigul kemungkinan waktu itu dijadikan ―bukit pupunden‖ [bukit pemujaan] yaitu bukit tempat berziarah [bahasa Sunda,

nyekar atau ngembang = tabur bunga]. Kemungkinan yang dimaksud dalam ―Rajah

(Do‘a) Waruga Pakuan‖ dengan Sanghiyang Padungkulan itu adalah bukit Badigul

ini.

Kedekatan telaga dengan bukit punden bukanlah tradisi baru. Pada masa Purnawarman, raja beserta para pembesar Tarumanagara selalu melakukan upacara mandi suci di Gangganadi [setu Gangga] yang terletak dalam istana kerajaan Indraprahasta [di Cire irang]. Setelah bermandi-mandi suci, raja melakukan ziarah ke punden-punden yang terletak dekat sungai. Spekulasi lain mengenai pengertian adanya kombinasi Badigul-Rancamaya adalah perpaduan gunung-air yang berarti pula ―Sunda-Galuh.‖

Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi II, adalah Surawisesa [puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal ]. Ia dipuji oleh carita Parahiyangan dengan sebutan ―Kasuran‖ [perwira], ―Kadiran‖ [perkasa ] dan ―Kuwanen‖ [pemberani]. Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

129

Nagara Kretabhumi i/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d‘albuquerque [laksamana bungker] di Malaka (sekarang Singapura). Ia pergi ke Malaka dua kali [1512 dan 1521].

Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme [ ipar Alfonso ] ke ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Kerajaan Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.

Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu. Menurut Soekanto [1956] perjanjian itu ditandatangai 21 Agustus 1522. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan ―van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield‖. Dalam

perjanjian itu disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua ―costumodos

[ kurang lebih 351 kuintal ].

Perjanjian Kerajaan Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, sultan Demak III. Selat malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak.

Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan ratu ayu, janda Sabrang Lor [ Sultan Demak II ]. Dengan demikian, Fadillah menjadi menantu Raden Patah sekaligus menantu Susuhunan Jati Cirebon. Dari segi kekerabatan, Fadillah masih terhitung keponakan Susuhunan Jati karena buyutnya Barakat Zainal Abidin adalah adik Nurul Amin, kakek Susuhunan Jati dari pihak ayah. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu sunan ampel [Ali Rakhmatullah] sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar, ayah Sunan ampel. Sunan ampel sendiri adalah mertua Raden Patah [ Sultan Demak I ].

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 123-128)