• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Bojong Gede

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 155-158)

Sejarah Bojonggede tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kota Depok yang terbagi dalam beberapa fase :

I. Depok pada Zaman Prasejarah

Bahwa penemuan penemuan benda bersejarah di wilayah Kota Depok menunjukkan bahwa Depok telah berpenghuni sejak zaman prasejarah hal ini terlihat dengan adanya penemuan ahli sejarah, peninggalan – peninggalan benda bersejarah di Depok dan sekitarnya antara lain batu Menhir ―Gagang Golok―, Punden berundak ―Sumur Bandung―, Kapak Persegi dan Pahat Batu yang merupakan peninggalan zaman megalit serta Paji Batu dan sejenis Beliung Batu yang merupakn

zaman peninggalan Neolit.

II. Depok pada Zaman Padjajaran

Pada akhir abad ke-15 Kerajaan Padjajaran diperintah oleh seorang raja yang diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi.( Kerajaan Pajajaran, berkuasa sejak tahun 1482 hingga tahun 1579). Pelantikan raja yang terkenal sebagai Sri Baduga Maharaja, menjadi satu perhatian khusus. Pada waktu itu terkenal dengan upacara Kuwerabhakti, dilangsungkan tanggal 3 Juni 1482. Tanggal itulah kiranya yang kemudian ditetapkan sebagai hari Jadi Bogor yang secara resmi dikukuhkan melalui sidang pleno DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor pada tanggal 26 Mei 1972).

Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan

45

157

sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani).

Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari

Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang ke semuanya penguasa di Tanjung Barat.

Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara dua kerajaan ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran diantarnya adalah Kerajaan Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Ini sangat penting artinya pada zaman Padjajaran karena sampai Karadenan terbentang benteng yang sangat kuat sehingga mampu bertahan terhadap serangan pasukan Jayakarta yang di bantu oleh Demak, Cirebon dan Banten.

Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].

Depok berjarak ± 13 kilometer sebelah utara Muaraberes jadi wajar apabila Depok dijadikan front terdepan buat tentara Jayakarta pada waktu berperang dengan Padjajaran.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan :

1. Masih terdapatnya nama nama Kampung/Desa yang menggunakan bahasa Sunda antara lain Parung Serang, Parung Belimbing, Parung Malela, Parung Bingung, Cisalak, Karang Anyar dan lainlainnya.

2. Di desa Nangerang dan Kawung Pundak sampai sekarang masyarakatnya masih mengunakan bahasa sunda dalam pergaulan seharihari

3. Dr. NJ Krom pernah menemukan cincin emas kuno peninggalan zaman Padjajaran di Nangela, cincin emas tersebut sekarang tersimpan di museum Jakarta.

4. Pada tahun 1709 Abraham Van Riebeeck telah menemukan sebuah benteng kuno peninggalan kerajaan Padjajaran di Karadenan.

5. Di rumah penduduk Kawung Pundak (Karadenan) sampai sekarang masih ditemukan senjata - senjata kuno peninggalan zaman Padjajaran. Senjata senjata ini mereka terima secara turun - temurun. Banyak di antarnya yang kemudian dititipkan kepada Karyawan Faturahman, hampir 900 pucuk Kujang, Keris, Golok, dan Tombak pernah tersimpan di Rumah kediaman Karfat (bale Pakuan) di Karadenan. Sekarang sebagiannya ditipkan kepada Mama Mukawqa Ali di Ciawi Gadog. Di anatarnya menurut pengakuan Karyawan Faturahman di rumahnya masih tersimpan Golok yang pernah digunakan ole Prabu Lingga Buana, ketika berperang membela diri dan belapati rombongan Sunda dalam peristiwa Perang Bubat yang tak terduga itu. Dan Golok bersama kesaktian Prabu Lingga Buana tersebut sudah dapat menghabisi nyawa ratusan tentara Majapahit yang mengeroyoknya. Penulis sempat melihat dan memegang sendiri Golok tersebut, pada akhir bulan September 2016 lalu. Benar tidaknya cerita beliau, wallahu alam bi shawab.

158 III. Depok Pada Zaman Islam

Pengaruh Islam di Depok diperkirakan ada sekitar tahun 1527 dan masuknya agama islam di Depok bersamaan dengan perlawanan Banten terhadap VOC yang pada waktu itu berkedudukan di Batavia. Hubungan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta direbut VOC harus melalui jalan darat, sebagai jalan pintas yang terdekat yaitu melalui Depok . Karena itu tidaklah mengherankan kalau di Depok dan Sawangan banyak peninggalan-peninggalan tentara Banten. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan berupa :

1. Antara lokasi Perumnas Depok I dan Depok Utara terdapat tempat yang

disebut Kramat Beji, disekitar tempat tersebut terdapat 7 buah sumur yang berdimeter ± 1 meter dan di bawah pohon beringin terdapat sebuah bangunan kecil yang selalu terkunci, di dalam bangunan terdapat banyak sekali senjata kuno yaitu keris, tombak dan golok. Dari peninggalan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa orang orang yang tinggal di daerah tersebut bukanlah petani tetapi tentara pada jamannya. Menurut keterangan Kuncen Kramat Beji yang disampaikan secara turun-temurun bahwa di tempat ini sering diadakan pertemuan antara Banten dan Cirebon, jadi senjata tersebut merupakan peninggalan tentara Banten waktu melawan VOC dan di tempat semacam ini biasanya diadakan latihan bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut padepokan, jadi nama Depok kemungkinan besar dari Padepokan Beji.

2. Di Kawung Pandak (Karadenan) terdapat masjid kuno, Masjid ini merupakan

Masjid pertama di Bogor. Bentuk Masjid ini masih sesuai dengan bentuk aslinya walaupun telah beberapa kali direnovasi. Menurut keterangan

pengurus masjid ini dibangun oleh Raden Safe‘i cucu Pangeran Sangiang,

Pangeran Sangiang ini dalam sejarah bergelar Prabu Surawisesa. Ia pernah menjadi Raja Mandala di Muararebes. Di rumah-rumah penduduk di sekitar Masjid ini masih terdapat senjata- senjata peninggalan zaman Padjajaran, juga terdapat beberapa buah kujang. Jadi Masjid dibangun oleh tentara Padjajaran yang masuk Islam kurang lebih sekitar tahun 1550. Lokasi Masjid ini dengan Bojonggede hanya terhalang oleh sungai Ciliwung. Penulis sendiri pernah menyaksikan keberadaan koleksi sekitar 900 pakarang Kujang, Keris dan senjata lainnya di Bale Pakuan, Ruman Kediaman Karyawan Faturahman, manatn wakil Bupati Bogor, pada tahun 2011-2014. Menutnya semua datang begitu saja dengan berbagai cara, dititipkan orang kepadanya, jadi bukan hasil berburu dan membelinya. Jadi pengaruh Islam masuk di Bojonggede sudah cukup lama. Menurut Krayawan Faturahman, kini di mesjidtesbut ada museum pakarang/senjata kujang, keris dan golok kuno, peninggalan zaman dahulu.

3. Di Bojonggede terdapat makan Ratu Anti, nama sebenarnya Ratu Maemunah

seorang prajurit Banten yang berjuang melawan tentara Padjajaran di Kedungjiwa. Setelah perang selesai suaminya (Raden Pakpak) menyebarakan agama Islam di Priangan sedangkan Ratu Anti sendiri menetap di Bojonggede sampai meninggal. Ratu Anti salah seorang yang menyebarkan agama Islam di

Bojonggede.46

159

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 155-158)