• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kopi membuka Cakrawala Baru

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 132-137)

Sejarah Bogor Paska Runtuhnya Pajajaran

4. Kopi membuka Cakrawala Baru

Usaha Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon (1718 - 1725) membiakkan tanaman kopi di sekitar benteng Batavia berhasil baik. Tahun 1721 hasil kopi sudah bisa dihasilkan di beberapa daerah, di antaranya:

DAERAH PRODUKSI (dalam pikul):

Kampung Baru 61. 000

Kedung Badak 1. 596

Cipamingkis 43. 825 Cianjur & Jampang 59. 900 Cibalagung 5. 750 Cikalong 4. 350 Bekasi 482 Jati Nagara 8. 450 Cibadak 250 Pager Wesi 800 Tangerang 1. 800

Melihat hasil yang baik ini, sejak 15 April 1723, tanaman kopi juga wajib ditanamkan di tanah-tanah swasta sekitar Jakarta. Sejak saat itu, mulailah apa yang disebut Sistem Priangan, Preanger Stelsel, yang berlangsung selama dua abad lamanya. Tahun 1724, Wiranata III (Bupati Cianjur) telah dapat memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul, yang nilainya kala itu 202. 271,25 ringgit.

Selain kopi, tanaman yang diwajibkan dalam "stelsel" itu adalah kapas, lada dan tarum (indigo). Toh, kopilah yang jadi primadona. Maklum, tanaman itu menjadi komoditi utama Hindia Belanda di pasar dunia. Produk kopi dari Jawa Barat ini laku keras di Meksiko dan telah berjasa menolong Kas Keuangan Pemerintah Hindia Belanda zaman Daendels. Saat itu, hubungan ke negeri Belanda terputus akibat peperangan antara Prancis dan Inggris. Atas dasar ini Jawa Barat mendapat julukan gabus pelampung Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.

Politik dan sistem pemerintahan Belanda di Jawa Barat selalu disesuaikan dengan kepentingan kopi ini. Meskipun, untuk itu mereka menerapkan sistem tersendiri untuk setiap wilayah. Sistem tanam paksa yang hanya berlaku di Cirebon disebut culturstelsel.

134

Tanggal 1 Juni 1482 yang menjadi Acuan Hari Jadi Bogor

Hari jadi, dalam kaitan apapun juga, menyangkut identitas. Salah satu identitas Bogor yang cukup terkenal di Jawa Barat adalah latar belakang sejarahnya karena di Bogor inilah terletak Ibukota Pakuan Pajajaran dan di sini pula Prabu Siliwangi pernah hidup dan memerintah. Dua serangkai ini, Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, merupakan salah satu kebanggan masyarakat Jawa Barat. Wajar sekali bila Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor sepakat mengambil titik awal identitasnya dari dua serangkai ini.

Telah diungkapkan bahwa Jaman Pajajaran dimulai dengan pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi. Sri Baduga mulai memerintah tahun 1482 dan berlangsung selama 39 tahun. Sejak dia memerintah Pakuan dijadikan ibukota kerajaan menggantikan Kawali.

Peristiwa kepindahan itulah yang dijadikan titik tolak perhitungan hari jadi Bogor.

Hubungan antara Bogor dengan peristiwa masa lalu sebenarnya tak sulit dicari karena sejak lama disadari oleh orang-orang tua. Entje Madjid salah satunya (tokoh seni awal abad ke-20) sudah lama mencetuskan lirik "Pajajaran tilas Siliwangi, wawangina kasilih jenengan, kiwari dayeuhnya Bogor" (Pajajaran peninggalan Siliwangi, namanya semerbak mewangi, kini kotanya Bogor).

Jadi beliau telah mengambil kesimpulan bahwa Dayeuh Bogor adalah pengganti Dayeuh (ibukota) Pajajaran.

Pengambilan angka tahun 1482 berpijak pada telaah sejarah karena sumber yang ada akan menampilkan angka tahun itu sebagai awal masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi I). Untuk bulan dan tanggal rupanya harus ditelusuri dari sumber sejarah dengan berpijak pada upacara tradisional dengan nama Gurubumi dan Kuwerabakti karena sumber-sumber sejarah itu tidak menuliskan secara eksplisit mengenai bulan dan tanggalnya.

Berikut adalah penjelasan mengenai upacara Gurubumi dan Kuwerabakti: Dalam Lakon Ngahiyangnya Pajajaran dikisahkan, bahwa di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti setiap tahun. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan raja-raja daerah. Upacara itu dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama sembilan hari dan kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama.

Kisah dari Pantun ini didukung oleh sumber lainnya. Misalnya, Kropak 406 yang memberitakan bahwa raja-raja daerah harus datang menghadap ke Pakuan setiap tahun. Di antara barang antaran yang dibawa raja-raja daerah, ikut serta juga "Anjing Panggerek" (Anjing Pemburu). Jadi dalam waktu perayaan yang sembilan hari itu, kegiatan berburu juga dilakukan. Tome Pires menyebutkan, bahwa "the king is great sportman and hunter" (Raja adalah olahragawan dan pemburu yang ulung).

Fakta lain yang mendukung adalah upacara Gurubumi ini masih biasa dilakukan di daerah Pakidulan (bagian selatan Banten dan Sukabumi). Mengenai Kuwerabakti, para sesepuh di Sirnaresmi mengemukakan bahwa upacara itu hanya dilakukan di Dayeuh. Meskipun Sirnaresmi ini terletak di Kecamatan Cisolok - Sukabumi, yang dimaksud Dayeuh di sini adalah Bogor karena upacara Kuwerabakti ini dulu hanya dilakukan di Ibukota Pajajaran. Kaum adat Sirnaresmi adalah keturunan para pengungsi dari Pakuan waktu kota ini diserang Banten.

Dari cerita terdahulu digambarkan bahwa latar belakang kebudayaan masyarakat Pajajaran adalah pertanian ladang. Di Jawa Barat, masyarakat ladang

135

murni hanya tinggal Masyarakat Baduy di Kanekes (Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Dalam hal ini, yang berkaitan dengan Upacara Gurubumi dan Kuwerabakti adalah siklus pertaniannya, terutama menyangkut musim panennya. Kalender Pertanian Masyarakat Baduy sejalan dengan pranatamangsa yang pada masa lalu juga digunakan oleh masyarakat tani di seluruh Pulau Jawa dan Bali.

Perbedaan usia bulan memang ada, tetapi jumlah hari dalam setahun tetap sama, yaitu 365 hari. Kedua kalender itu pun berpedoman kepada bentang waluku (bentang=bintang), yang di Kanekes dan Kiarapandak (Cigudeg), juga disebut bentang kidang (Sunda). Gugus bintang ini terletak pada rasi Orion. Kadang-kadang juga digunakan gugus bintang tetangganya, yaitu Kereti (Kartika atau Pleyades) yang terdapat pada rasi Taurus. Pengamatan astronomi traditional ini bertujuan untuk mengamati musim, sebab baik di ladang maupun di sawah, musim tanam padi harus pada musim labuh (Sunda: dangdangrat), yaitu musim hujan awal yang jatuh pada minggu ketiga bulan September. Musim panen jatuh pada bulan Maret karena usia padi rata-rata 5 bulan 10 hari, kecuali padi jenis Hawara yang usianya lebih pendek.

Untuk lebih jelas, mungkin patut diketahui: Kalender Baduy Kanekes diawali dengan Kapat atau Sapar. Upacara musim panen di Kanekes hanya diadakan di Kajeroan yaitu upacara Kawalu. Upacara pergantian tahun (Ngalaksa) diadakan tiga hari sebelum tahun berganti. Upacara Kawalu jatuh pada bulan Maret, sedangkan upacara Ngalaksa di adakan Bulan Katiga (pranatamangsa: Sada) yang jatuh pada bulan Juni.

Dari uraian Pantun di atas diperkirakan bahwa untuk tahun 1482, upacara Kuwerabakti dilangsungkan pada tanggal 2 Juni, malam 3 Juni. Pada tanggal 3 Juni 1482 inilah secara resmi kegiatan upacara selama sembilan hari di Ibukota itu berakhir.

Upacara Gurubumi yang diadakan 49 hari setelah panen tentunya bukan tiada maksud. Lamanya penyelanggaraan upacara itu dimaksudkan agar raja-raja daerah berkesempatan mengadakan upacara penutupan panen di daerahnya masing-masing sebelum berangkat ke ibukota. Seperti yang masih terjadi di Kanekes. Upacara di daerah itu jatuh pada sekitar bulan Maret.

Dan yang menjadi titik perhatian dalam masalah ini adalah mulai berfungsinya kembali Pakuan sebagai pusat pemerintahan. Wajar sekali bila peristiwa itu dirayakan dan disyukuri yang bersamaan dengan memberikan pengumuman kepada raja-raja daerah bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan ada di Pakuan.

Dalam naskah Wangsakerta yang mengandung nilai sejarah lebih tinggi dibanding naskah-naskah tradisional diberitakan, bahwa waktu itu Sri Baduga baru dinobatkan dan beberapa hari menempati Kedatuan Sri Bima. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa penobatan Sri Baduga Maharaja menjadi Susuhunan Pajajaran terjadi pada bulan Maret/April tahun 1482.

Maka, perayaan besar dan peresmian Pakuan menjadi pusat pemerintahan tentu dilangsungkan dalam peristiwa upacara Gurubumi dan Kuwerabakti terdekat. Untuk 1482, upacara dimulai tanggal 25 Mei dan ditutup 9 hari kemudian.

Namun ada catatan tambahan yang perlu diperhatikan. Menurut Karyawan Faturahman yang diceritakan kepada penulis, karena maksud sebenarnya dari upcara Kuwerabakti ini adalah sarana Sang Prabu Siliwangi untuk melakukan kontrol dan evaluasi keadaan kondisi hasil panen pertanian-perkebunan rakyatnya, apakah rakyatnya sejahtera atau tidak? yang dapatdilihat dari bagusnya hasil panen kebun/pertaniannnya, dan bukan untuk sekedar persembahan upeti raja mandala (kerajaan kecil di daerah kepada Maharaja Prabu Siliwangi, maka ketika kemudian

136

ada beberapa raja kecil bawahan Pajajaran yang melakukan manipulasi hasil pertanian yang dilaporkan dan dibawa dalam Dongdang (Peti-nya yang bertangkai 4), dan akhirnya Sang Prabu Siliwangi (?) mengetahuinya kebohongan ini beberapa raja kecil secara rahasia dalam blusukan rahasianya ke daerah dalam penyamarannya, maka kemudian Upacara Kuwera Bakti ini sempat dilarangnya dan ditiadakan, karena khawatir hal ini malah akan memberatkan rakyatnya di daerah. Inilah bukti nkebijaksanaan dan kearifa Sang Prabu Siliwangi yang dikenang baik dengan manis dan wangi oleh para rakyat dan keturunannya yang mencintainya. 2. Bogor Sebagai Alur Kehidupan

Topografi Pakuan Pajajaran dibentuk oleh dua sungai, yaitu Cisadane dan Cihaliwung sehingga tak heran kalau kedua sungai itu selalu disebut dalam rajah pantun. Sisipan ha pada Cihaliwung hanyalah melengkapi suku kata menjadi delapan buah untuk kepentingan matra. Oleh karena itu tak perlu disalah tafsirkan dengan selokan kecil Cihaliwung pada alur Cikahuripan di belakang Pajaratan Embah Dalem di Batutulis.

Kelengkapan alami di Pakuan ini disempurnakan oleh Dalem Aria Natanagara dengan pembuatan saluran yang menghubungkan Cisadane dan Ciliwung. Karya besar ini sebenarnya tidak kalah nilainya dengan Parit Pakuan Karya Prabu Siliwangi yang membentang sepanjang jalur rel kereta api dari Jembatan Bondongan sampai Station Batutulis.

Pembangunan saluran buatan itu sebenarnya dimaksudkan untuk mengairi pesawahan yang waktu itu masih dibangun. Akan tetapi oleh orang-orang tua peristiwa itu ditanggapi dari sisi lainnya. Pak Cilong menganggap pembuatan saluran itu sebagai suatu "perkawinan alur hidup". Ia mengartikan kejadian itu dengan "Ngadanikeun nu laliwung" (menyadarkan yang pada bingung).

Menurut Pak Cilong, dane atau dani artinya sadar atu eling, arti kiasannya jernih, benih yang sewarna dengan putih. Sedangkan liwung diartikan bingung atau kusut pikiran, arti kiasannya keruh, kusam yang sewarna dengan hitam.

Pandangan orang tua ini sejalan dengan pandangan umum yang menilai kehidupan dari sudut serba-dua. Misalnya jasad yang fana (terdiri atas materi dan menjadi sarang nafsu) dan jiwa yang abadi (yang lembut supra-materi dan menjadi sumber budi). Demikianlah putih dan hitam yang dijadikan perlambang kehidupan dan itu pulalah makna Cisadane dan Ciliwung yang, menurut Pak Cilong, airnya dipadukan melalui alur Cipakancilan.

Sejalan dengan hal di atas, ada kenyataan ganjil pada cara berpakaian orang Baduy di Kanekes. Tumbuhan tarum untuk bahan mencelup pakaian terdapat di seluruh daerah ini. Akan tetapi tradisi mereka tetap mengharuskan orang Kajeroan tetap berikat kepala putih, sedangkan orang Panamping berikat kepala biru kehitaman (karena dicelup dengan tarum atau nila?).

Tentu saja kenyataan seperti ini bukan hanya masalah teknis. Lihat saja pada Sundapura (Kota Sunda), ibukota kerajaan Taruma yang dibangun Purnawarman. Kata Sunda (menurut Macdonell) mengandung arti putih atau bersih, ini sejalan dengan arti dani atau dane. Sedangkan Tarum mengandung arti nila yaitu warna antara biru dengan hitam, dan ini sejalan dengan arti liwung.

Brigjen Polisi Purnawarman R. Gojali Suriamijaya dan Alm. Dadang Ibnu, salah satu pembantu pahlawan nasional Oto Iskandardinata, dari Sukaraja mengajukan kisah yang sama, bahwa lambang Galuh adalah harimau kumbang, sedangkan lambang Pajajaran adalah harimau putih. Di sini yang ditonjolkan bukan

137

harimaunya, melainkan warnanya, yaitu warnah putih dan kumbang (warna antara biru dengan hitam). Jadi pola ini menunjukkan hal sama dengan pola sebelumnya.

Orang Pulau Jawa sendiri menyadap kata wyaghra dari bahasa Sangsakerta yang mengandung arti harimau atau pahlawan. Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, dikisahkan bahwa Purnawarman yang selalu unggul dalam peperangan itu dijuluki Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Jadi, ada tradisi yang mengasosiasikan harimau dengan perbuatan kepahlawanan.

Ki Buyut Rambeng dalam lakon Dadap Malang menggunakan sebutan maung selang untuk para senapati Pajajaran. Konon, harimau ini kecil tetapi terkenal garang (menurut Coolsma, "tijger met zwarte grondkleur roode strepen" = harimau dengan bulu dasar hitam bergaris merah)].

Patung Harimau peninggalan masa silam belum ditemukan, tetapi agama Budha memperkenalkan patung singa pengawal seperti tampak di pelataran Candi Borobudur. Singa adalah lambang Sidharta Gautama yang sebelum menjalani kehidupan sebagai Budha menjadi pahlawan bangsanya dengan gelar Ksatria Sakyasimha (singa bangsa Sakya).

Ikonografi di Borobudur menampilkan patung singa-pengawal dengan sikap duduk seragam seperti Spinx dekat Piramida Gizeh di Mesir. Duduk pada kaki belakang dan bertopang pada kedua kaki depan yang dilipat menjulur ke depan sambil menegakkan dada. Itulah sikap santai, tenang dan anggun tetapi penuh kewaspadaan tanpa menampilkan sikap mengancam. Dengan sikap duduk seperti itu, hewan jenis harimau dan singa dapat langsung berdiri dengan sekali gerakan lompat.

Masyarakat traditional di Jawa Barat pada tahun 1930-an selalu membuat tabungan (cengcelengan) berbentuk harimau dengan sikap duduk seperti singa- pengawal di Borobudur itu. Hal ini tentu saja diwarisinya turun-temurun.

Itulah kajian yang melatar-belakangi sikap duduk patung harimau di depan Balai Kota Bogor.

Pertanyaannya sekarang adalah, adakah sebenarnya harimau yang berwarna putih? Pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk patung badak putih atau sosok wayang Anoman. Pernahkan pula ada burung rajawali yang berbulu ekor 8 helai, bersayap 17 helai dan berbulu leher 45? Mungkin ada, entah di mana. Yang jelas ada dalam mitos dan legenda atau kisah orang-orang tua.

Tapi bila kita saksikan bagaimana kisah kepergian Surawisesa atas perintah ayahnya (Siliwangi) ke Malaka dalam lakon pantun digubah menjadi kepergian Mundinglaya Dikusuma ke Kahiyangan mencari Lalayang Salakadomas, dan tokoh Alfonso d'Albuquerque digantikan posisinya oleh tokoh Sunan Ambu, dapatlah disimpulkan bahwa kisah-kisah ajaib seperti itu bernilai simbolik/perlambang (siloka) dan menyembunyikan sesuatu kenyataan. Tidak mungkinkah kisah gaib harimau kumbang dan harimau putih itu juga melambangkan kaitan historis antara Tarumanagara (tarum=nila=hitam) dengan Sunda (putih)?.

Terlepas dari itu semua, orang sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau putih hanyalah hiasan simbolik yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moral sebagai bagian warga negara Republik Indonesia. "The Kingdom of Sunda is justly governed" (=Kerajaan Sunda diperintah dengan penuh Keradilan, kata Tome Pires)

138

patut kita buktikan, minimal di sebagian kecil bekas ibukotanya. Taruma-Sunda adalah identitas sejarah Bogor.

Ciliwung-Cisadane menjadi identitas topografinya (waruga). Sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya, Kotamadya Bogor memiliki bendera pengenal yang berwarna tarum dan putih dengan lambang daerah di tengahnya. Silahkan baca saja bendera itu dengan Kotamadya Bogor di atas lahan Ciliwung dan Cisadane.

Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berarti memusnahkan diri sendiri karena lingkungan hidup itu bukan untuk para penghuninya, melainkan terdiri atas para penghuninya.

―Hana nguni, hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggul nya aya tu catangnya. Pajajaran (1482 - 1579). Artinya: ―Adanya masa kini akan menyebabkan adanya masa datang, tak adanya masa kini maka tak ada juga masa mendatang, karena adanya masa lalu maka ada masa sekarang, Bila tak ada masa lalu, maka tak ada juga masa sekarang. Ada akar pohon menyebabkan adanya Batang Pohon, Bila tidak ada akar pohon maka tak aka nada batang pohon. Adanya Tunggul Pohon

karena ada batang pohonnya…‖

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 132-137)