• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanuwijaya Peletak Dasar "Negeri Bogor"

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 129-132)

Sejarah Bogor Paska Runtuhnya Pajajaran

2. Tanuwijaya Peletak Dasar "Negeri Bogor"

Riesz dalam bukunya De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs (pimpinan perkampungan) untuk membuka hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian.

Adapun Tanuwijaya, dalam catatan VOC disebut Luitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa) dan merupakan Letnan Senior di antara teman-

131

temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama Tanah Baru.

Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung- kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan Tanuwijawa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya.

Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas.Sementara, daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan Sunan Amangkurat I tahun 1661 ke Muara Beres, bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia.

Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).

Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa yang dimaksud Menak ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung ya Tanuwijaya ini. Benar tidaknya, wallaohu‘alam. Tapi, hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci rekan-rekannya. Ia ditunjuk Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali. Atau Makassar?) untuk membuka daerah selatan.

Di luar itu, rupa-rupanya, kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan bagaimana tidak masuk akalnya seorang letnan seperti dirinya harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Meskipun, ia ditakdirkan jadi pihak yang kalah. Sebagaimana Haji Perwatasari, Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (mengejar harapan kosong, bermesraan dengan orang tak bergigi). Yang dimaksudkan dengan "orang tak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan.

Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan Mentengkara atau Mertakara, kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718), yang menurut De Haan, adalah putera Tanuwijaya. Sebaliknya, para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.

132

Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapati. Akan tetapi, jika benar lirik Ayang-ayang Gung diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali.

Tahun 1745, sembilan distrik -- yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru -- digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan sembilan distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung Baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan sembilan baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.

3. Sejarah Letusan Gunung Salak Bogor 1699

Taufik Hassunna, seorang Pengamat dan peneliti sejarah Bogor, bercerita tentang Letusan Gunug Salak Bogor, yang mungkin juga menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Pakuan Pajajaran dan hilangnya Istana Pakuan Pajajaran.

Pada 4 Januari, 314 tahun yang lalu, pada malam hari tanggal 4/5 januari 1699, Gunung Salak meletus dengan iringan gempa bumi yang sangat kuat. Sebuah catatan dari tahun 1702 dari Ekspedisi Belanda Raam & Coops, menceritakan keadaan yang

diakibatkannya: "Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta (maksudnya Pajajaran) yang disebut Pakuan (Kota Bogor sekarang) yang asalnya berupa hutan besar, setelah terjadi gempa bumi berubah menjadi lapangan luas dan terbuka, tanpa pohon-pohonan sama sekali. Permukaan tanah tertutup dengan tanah liat merah yang halus seperti biasa digunakan tukang tembok. Di beberapa tempat telah mengeras sehingga dapat menahan beban langkah yang berjalan di atasnya, tetapi pada tempat tempat lain orang dapat terbenam sedalam satu kaki. Di tempat bekas keraton yang disebut Pakuan yang terletak di antara Batavia dengan Cisadane belum pernah terjadi bencana lain yang menyebabkan tanah tersobek dan pecah terbelah-belah menjadi retakan-retakan besar yang lebih dari satu kaki lebarnya ".

Gunung Salak tercatat sudah beberapa kali erupsi, yang terbesar tercatat adalah erupsi tahun 1699.

Berita lain mencatat bahwa aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat lumpur yang dibawanya. Van Riebeeck yang membersihkan sumbatan itu mengajukan tuntutan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diberikan kepadanya sebagai upah.

Untuk meneliti akibat gempa ini, Kumpeni mengirimkan ekspedisi Ramp & Coops dalam tahun 1701 ke kaki Gunung Pangrango. Dari survei ini diberitakan bahwa aliran Cikeumeuh masuk terbenam ke dalam tanah dan sobekan puncak Gunung Salak menghadap ke arah barat laut. Diperkirakan, tanah yang terbelah

133

hebat itu terjadi antara Ciliwung dan Cisadane. Dan panen batu dan pasir di daerah Ciapus saat ini, bisa disebut, merupakan hadiah yang ditinggalkan letusan Gunung Salak di akhir abad 17 itu.

Tak ada berita mengenai nasib penduduk sepanjang aliran Ciliwung waktu itu. Hanya saja pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih dapat mengantar rombongan Ram & Coops tadi. Selain itu Abraham van Riebeeck tidak mencatat apa- apa mengenai sisa-sisa akibat letusan itu. Ini menunjukkan bahwa kehidupan penduduk yang masih jarang itu tidak terganggu. Bahkan, tahun 1704, Van Riebeeck mendirikan pondok peristirahatan di Batutulis karena ia menganggap Gunung Salak sudah tidak menakutkan lagi.

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 129-132)