• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Manakah Kota Pakuan Pajajaran? Avid Rollick Septiana menjelaskan :

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 106-114)

―Sebagaipusat kerajaan, kota Pakuan didesain untuk tidak mudah diserang musuh. Dan ini terbukti bahwa balatentara Banten dengan kekuatan besar pun harus berkali-kali melakukan serangan sebelum akhirnya dapat menjebol benteng Pakuan. Padahal saat itu kekuatan milter Pakuan sudah sangat lemah karena kepemimpinan yang bobrok. Ini bisa tergambar dari cerita yang diurai di Naskah Parahyangan. Bahkan ada versi yang mengatakan bahwa jebolnya benteng bukan disebabkan oleh hebatnya

militer lawan, tetapi karena pengkhianatan.40Taufik Hassunna menuliskan dengan

lebih detail mengenai lokasi Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan bantuan Google Earth/Google Map berikut:

Peta Satelit Lokasi eks Pakuan Pajajaran (Bogor)

Tangguhnya Pakuan dikarenakan kota ini dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh". Jadi untuk menaklukkan kota, selain harus menghadapi para prajurit Pajajaran yang gagah perkasa, juga harus menghadapi benteng alam yang sulit untuk dilalui pada saat itu.

Penelitian Saleh Danasasmita menemukan bahwa benteng Kota Pakuan berawal dari Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Lawang Saketeng, menurut Coolsma, dapat diartikan sebagai pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan

108

luarnya. Kampung Lawangsaketeng sendiri tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan yang kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas pondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan benteng alam yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Cipakancilan memisakan ujung benteng dengan benteng pada tebing Kampung Cincaw.

Tentu sudah banyak perubahan yang terjadi. Jadi gambaran yang disampaikan Saleh di atas bisa saja sudah berubah jauh. Saya sendiri mencoba menerjemahkan sketsa batas-batas kota pakuan yang disampaikan oleh beliau melalui Google Earth. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Dari hasil ketekunan Saleh Danasasmita dalam mengulik hal ihwal Pakuan seperti yang dijelaskan sebelumnya, kita mendapatkan gambaran mengenai letak dan batas-batas kota Pakuan.

Ini penting karena banyak persepsi salah yang berkembang di masyarakat. Misalnya tentang mitos bahwa Prabu Siliwangi tilem (menghilang) bersama seluruh kerajaannya. Mungkin ini disebabkan karena tidak seperti kerajaan-kerajaan di Jawa, reruntuhan Pakuan hampir tidak tersisa. Juga tentang mitos yang mengatakan bahwa balatentara kerajaan Pajajaran yang berubah menjadi harimau, terjawab.

Kembali ke batas-batas kota Pakuan, dari paparan Saleh diketahui bahwa: 1. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang

terjal di ketiga sisinya. Selain itu untuk melindungi kota juga dibangun benteng-benteng buatan.

2. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar.

3. Benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawang Saketeng. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw.

109

4. Benteng kemudian menurun terjal ke ujung lembah Cipakancilan selanjutnya bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop "Rangga Gading". 5. Kemudian menyilang Jl. Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan

jalan tersebut.

6. Deretan pertokoan antara Jl. Suryakencana dengan Jl. Roda di bagian in sampai ke Gardu Tinggi, sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng. 7. Selanjutnya benteng mengikuti puncak lembah Ciliwung. Deretan kios dekat

simpangan Jl. Siliwangi - Jl. Batutulis juga didirikan pada bekas pondasi benteng.

8. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded.

9. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ciliwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyiang Jl. Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, 10.Selanjutnya embelok lurus ke barat daya menembus Jl. Siliwangi (di sini

dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

11. Di Kampung Lawang Gintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Cipaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis.

12.Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Cipakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. 13.Tebing Cipakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada

tebing Kampung Cincaw.

Berikut gambar-gambar yang oleh Avik Rolick Setiyana olah dari program Google Earth:

Dilihat dari gerbang Lawang Saketeng di utara/barat laut. Kota Pakuan dilindungi oleh bukit-bukit terjal.

110

Dari arah gerbang Lawang Gintung di selatan/tenggara yang relatif datar. Di sini ditemukan benteng yang paling besar.

Tebing Cipaku yang terjal. Melindungi kota Pakuan dari serangan musuh dari selatan/barat daya.

111

Dari arah Empang, seperti jalur kedatangan van Riebeck, terlihat Pakuan berada di datarang tinggi.

Berita Dari Naskah Tua

Dalam kropak (Tulisan pada rontal atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama "Carita Parahiyangan".

Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. "Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Cipakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai (dibangun) lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Cipakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Cipakancilan". Hulu Cipakancilan terletak dekat lokasi kampung Lawang Gintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernam Cipakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menterjemahkannya menjadi Cipeucang. Dalam bahasa Sunda kuno dan Jawa kuno kata "kancil" memang berarti "peucang". (Cuplikan dari: himabojakarta)

Hasil Penelitian Prasasti Batutulis

Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

112

Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,

"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".

(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih terpercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati

dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.

Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff

(istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan

tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang

dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

113

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci-Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci-Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing CiPaku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci-Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci-Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincau.

Pada umumnya warga Bogor sendiri tidak ada yang tahu pasti di mana letak persis Istana Kerajaan Pajajaran. Bahkan sejumlah arkeolog dari mancanegara sekalipun kehilangan jejak, ketika mengumpulkan bukti-bukti sejarah guna mencari tahu keberadaan satu-satunya kerajaan di pulau Jawa yang kabarnya tidak takluk kepada Majapahit itu.

Banyak versi ihwal raibnya istana yang diperintah oleh Prabu Siliwangi. Ada yang mengatakan istana Pajajaran dibumihanguskan oleh bala tentara dari Banten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Yusuf ketika menyerang Pajajaran pada tahun

1579 masehi.

Alasannya politis. Yakni mengakhiri masa Pajajaran dan menumpas agama Sunda Wiwitan, mengingat Syekh Maulana Yusuf menyerang Pajajaran dengan misi meluaskan pengaruh Islam.

Pembuktian cerita versi ini dikuatkan dengan ditemukannya Batu Palangka Sriman Sriwacana yang tak lain adalah singgasana (Atau Batu Pelantikan) raja Pajajaran, yang kini berada di depan bekas keraton Surasowan Banten.

Sejarah merisalahkan, ―bala tentara Islam‖ Banten yang memenangkan peperangan, memboyong Batu Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan, Ibu Kota Pajajaran (sekarang Bogor) ke Surasowan di Banten.

Jika ingin melihatnya, batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu letaknya tidak jauh dari Masjid Agung Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti batu mengkilat atau batu berseri. Secara harafiah gigilang sama artinya dengan kata Sriman.

Figure 1: Batu Palangka Sriman Sri Wacana tempat pelatikan Para Raja Pakuan Pajajaran, asalnya di Bogor lalu Diboyong ke Serang Banten

114

Mungkin banyak orang Sunda yang tidak mengetahui bahwa masih ada peninggalan dari Kerajaan Pakuan Pajajaran yang hampir tidak akan lagi ditemukan sisanya meski kemungkinan itu ada. Salah satu peninggalan itu adalah Palangka Batu Sriman Sriwacana atau sering disebut Watu Gilang yang dalam bahasa Sunda berarti Batu yang berkilau.

Batu ini merupakan pangcalikan atau tempat duduk sewaktu Raja-Raja Sunda dilantik menjadi Penguasa. Batu ini sudah dikisahkan di dalam Carita Parahiyangan yaitu:

Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji d i Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata.

Yang berarti:

―Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja, Ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata‖ Batu ini setidaknya masih berada di dekat lokasi Batu Tulis, di Kedaton Pakuan Pajajaran, sampai tahun 1579 sampai Pasukan Panembahan Yusuf atau Maulana Yusuf membawa batu ini dari Pakuan ke Surosowan di Banten. Tradisi politik ini yang mengharuskan demikian. Karena dengan dirampasnya batu ini maka Pakuan Pajajaran tidak akan mungkin lagi menobatkan raja baru, selain itu dengan memiliki Watu Palangka ini, Maulana Yusuf dianggap sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri dari Sri Baduga Maharaja

Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat, yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka yang berada di Kabuyutan itulah seorang calon raja diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat

dari batu dan digosok sehingga halus dan mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang, bila dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa.

Palangka Sriman Sriwacana

sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten. Karena bentuknya yang mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gilang, yang berarti

Batu yang mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Itulah setidaknya sedikit deskripsi dari Watu ini karena Masyarakat Banten hususnya tidak tahu apa sebenarnya Watu Gilang sampai ada yang menyebutkan bahwa Watu Gilang itu adalah kuburan tua.

Batu palangka Sriman Sriwacana, kini ada di Halaman Mesjid Agung Banten lama, Kota Serang Banten

115

Haji Karyawan Faturahman, SH, MH, ketika masih menjabat wakil Bupati Bogor pada tahun 2010 dan para sesepuh Sunda Pakuan Pajajaran pernah berusaha untuk meminta dikembalikan Batu Palangka Sriman Sriwacana ke Pakuan Bogor, namun keluarga besar keturunan kesultanan Banten memberi persyaratan yang tak bisa dibayarkan kepada mereka. Sehingga setelah bermusyawarah dengan para ‗Leluhur Pakuan Pajajaran‖, akhirnya dibuatkanlah tiruan/duplikat Batu Palangka Sriman Sriwacana tersebut. Untuk kemudian spiritnya (ruhnya) dipindahkan ke batu duplikat tersebut. Kini Duplikat Batu Sriman Sriwacana tersebut ada di Desa Karadenan Cibinong Bogor.

Gambar Kiri: Replika Watu Gilang Sriman Sriwacana di Bale Pakuan, Kediaman Haji

Karyawan Faturahman SH, MH, di Karadenan, Kab. Bogor.

Gambar Kanan: Gerbang Pintu Bale Pakuan Bogor yang dihiasi Baju Kujang setinggi 4

meter yang diketemukan di Gunung Sodong – Leuwi Liang – Bogor, bersama Batu Perahu, Batu Kuya dan Batu Dolmen. Sekarang semua diamankan di Bale Pakuan Karadenan Kab.

Bogor

Sumber lain menyebutkan, Istana Kerajaan Pajajaran meng-irab,

(Tileum/Moksa) menghilang atau dihilangkan dari pandangan mata manusia biasa ketika perang dengan Banten tersebut. Cerita versi ini berkembang dari mulut ke mulut di tataran rakyat Sunda.

Dalam dokumen Revisi 3 Buku Pakuan Pajajaran Dalam Pus (Halaman 106-114)