• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum

sehingga memanfaatkan sungai sebagai fasilitas MCK.

3.2.1. Sumber Tekanan

3.2.1.2. Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum

Sumber Air minum yang dimanfaatkan oleh rumah tangga di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 adalah ledeng, sumur, sungai, hujan, kemasan dan lainnya. Penduduk kota lebih banyak memanfaatkan air minum dari sumber ledeng yaitu

203.471 orang sedangkan penduduk di Kabupaten lebih banyak memanfaatkan sumur sebagai sumber air minumnya dengan jumlah 256.704 orang. Secara keseluruhan ledeng lebih banyak sebagai air minum, baik penduduk kota maupun kabupaten dengan jumlah 375.051 orang sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.15.

Gambar 3.15 Jumlah Penduduk dengan Sumber Air Minum di Kabupaten/Kota Tahun 2014

Sumber : OlahanTabel SE–2 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Dilihat dari persentasenya pemakaian air sumur di kota maupun di kabupaten lebih banyak dimanfaatkan sebagai sumber air minum yaitu 41 %,

ledeng 40 %, kemasan 7 % dan air hujan 3 % serta sungai 2 %. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.16.

Gambar 3.16 Persentase Sumber Air Minum di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2014

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-11

Gambar 3.17 Jumlah Penduduk dan Persentase Yang Memiliki Akses Air Minum

Sumber : Olahan Tabel SE–2A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Jumlah penduduk yang memiliki akses air minum yang memenuhi syarat pada tahun 2014 terbanyak di Kota Padang yaitu 748.312 orang, Kabupaten Pesisir Selatan 333.550 orang, Kabupaten Agam 353.424 orang dan Kabupaten Padang Pariaman sebanyak 283.587 orang. Total penduduk yang memiliki akses air minum yang memenuhi syarat

meningkat di tahun 2014 menjadi 3.962.034 orang dari 3.915.422 orang di tahun 2013 atau meningkat 1,2 %. Peningkatan di kota adalah 9.243 orang atau 0,1 % sedangkan peningkatan di kabupaten adalah 37.369 orang atau 0.01 % sebagaimana terlihat pada Gambar 3.18.

Gambar 3.18 Jumlah Penduduk Yang Memiliki Akses Air Minum Memenuhi Syarat

Sumber : OlahanTabel SE–2C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Pemanfaatan sumur sebagai sumber air minum meningkat dari tahun 2013 ke tahun 2014 sebanyak 47.792 orang atau meningkat 16,58 %, sedangkan ledeng, sungai, hujan dan sumber lainnya semakin berkurang dimanfaatkan oleh masyrakat kota. Hal ini diakibatkan karena semakin tingginya tingkat pencemaran sungai serta kuantitas air sungai yang mulai berkurang sehingga PDAM Kota mulai

kewalahan dalam pelayanan air dan air sering tidak mengalir ke rumah penduduk, dan akibatnya masyarakat lebih memilih sumur karena ketersediannya setiap hari sebagaimana Gambar 3.19.

Gambar 3.19 Perbandingan Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum di Kota Tahun 2013-2014

Sumber : OlahanTabel SE–2C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

3.2.1.3. Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas

Tempat Buang Air Besar

Fasilitas tempat buang air besar yang dimanfaatkan rumah tangga di Kabupaten/Kota di Sumatera Barat adalah fasilitas sendiri, bersama, umum dan bahkan ada yang tidak mempunyai tempat buang air besar di rumah tangganya. Dari Tabel SP-8,

rumah tangga yang mempunyai fasilitas tempat buang air besar sendiri adalah 1.793.898 rumah tangga diikuti oleh fasilitas bersama sebanyak 301.886 rumah tangga dan umum sebanyak 183.321, sedangkan 407.411 rumah tangga tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar sebagaimana pada Gambar 3.20.

Gambar 3.20 Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat Buang Air Besar

Sumber : OlahanTabel SP–8 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Dari Tabel SP-8B, pada tahun 2014 Kota Padang merupakan kota yang memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri yang paling banyak yaitu 660.516 orang dan terendah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sedangkan fasilitas tempat buang air besar bersama paling banyak di Kabupaten Lima Puluh Kota dan paling sedikit di Kota Padang Panjang. Jumlah penduduk yang mempunyai fasilitas tempat buang air

bersih sendiri di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013 adalah 2.756.321 jiwa dan tahun 2014 adalah 2.791.070. Terjadi peningkatan sebesar 83.780 jiwa atau (3.09%), sedangkan fasilitas tempat buang air besar bersama meningkat sebesar 41.922 orang (8.55 %) dari tahun 2013 sebagaimana terlihat pada Gambar 3.21.

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-13

Gambar 3.21 Perbandingan Penduduk Mempunyai Fasilitas Tempat Buang Air Besar Tahun 2013 - 2014

Sumber : OlahanTabel SP–8 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

3.2.1.4. Penduduk Yang Memiliki Akses ke

Pembuangan Tinja

Jumlah penduduk yang memiliki akses ke pembuangan fasilitas IPAL meningkat di tahun 2014 menjadi 532.101 orang dari 8.034 orang di tahun 2013 atau meningkat 65,32 % dan ini berbanding terbalik dengan kurangnya akses penduduk untuk memiliki tangki septik di tahun 2014 karena menurun dari 3.273.763 orang pada tahun 2013 menjadi 2.130.092 orang atau turun sebanyak 1.143.671 orang atau 34,93 %. Hal ini terjadi karena beberapa

Kabupaten/Kota mulai menerapkan dan mewajibkan kompleks pemukiman baru untuk melengkapi dengan IPAL untuk pengelolaan limbah cairnya. Dari tabel SP- 8A terlihat hanya 3 Kota dan 2 Kabupaten yang telah memiliki IPAL di tahun 2013, yaitu Kota Padang, Kota Payakumbuh, Kota Pariaman dan Kabupaten Dharmasraya serta Kabupaten Solok. Namun di tahun 2014, 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat penduduknya telah mulai dilayani oleh IPAL sebagaimana terlihat pada Gambar 3.22.

Gambar 3.22 Perbandingan Penduduk Yang Memiliki Akses Pembuangan Akhir Tinja Tahun 2013 - 2014

Sumber : OlahanTabel SP–8A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

3.2.1.5. Penduduk Yang Mempunyai Akses

Jamban

Total jumlah penduduk yang mempunyai akses jamban di 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat adalah 3.593.546 orang dengan persentase rata-rata per kabupaten/kota adalah 73 %. Persentase terbanyak penduduk yang punya akses

jamban adalah Kota Solok yaitu 89 % dari jumlah penduduk, diikuti Kota Sawahlunto dan Kota Pariaman dengan 85 % serta Kota Payakumbuh dengan 80 % dari total jumlah penduduk. Berikut dapat dilihat 5 kabupaten/kota yang persentase penduduknya mempunyai akses jamban, sebagaimana terlihat pada Gambar 3.23.

Gambar 3.23 Jumlah dan Persentase Penduduk Yang Memliki Akses Jamban Tertinggi di 5 Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (orang) Penduduk yang memiliki akses jamban % Solok 59.396 52.863 89 Sawahlunto 58.826 50.003 85 Pariaman 80.711 68.605 85 Payakumbuh 122.134 97.708 80 Padang 860.128 679.502 79

Sumber : OlahanTabel SP–8C Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Total jumlah penduduk yang memliki akses jamban menurun pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2013. Kota yang memiliki akses jamban terbanyak adalah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman,

Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Solok. Perbandingan jumlah penduduk yang memiliki akes jamban tahun 2013 -2014 pada ke 5 Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Gambar 3.24

Gambar 3.24 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Akses Jamban di 5 Kabupaten /Kota Tahun 2013-2014

Sumber : OlahanTabel SP–8D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

3.2.2. Bentuk Tekanan dan Dampak Terhadap

Lingkungan Hidup

3.2.2.1. Perkiraan Jumlah Timbulan Sampah per

Hari

Menurut Undang-Undang No.18 Tahun 2008 sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan manusia sehari-hari dan/atau dari proses alam yang berbentuk

padat sedangkan menurut SNI 19-2454-2002 tentang Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, sampah didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan untuk melindungi investasi pembangunan. Sedangkan timbulan sampah

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-15

adalah banyaknya sampah yang timbul dari sumber yang dinyatakan dalam satuan volume (l/orang/hari) maupun berat perkapita perhari (kg/orang/hari). Jumlah timbulan ini akan bervariasi nilainya pada satu waktu dan waktu lainnya, satu daerah dan daerah lainnya. Hal ini dikarenakan jumlah timbulan sampah dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ada atau tidaknya proses reduksi di sumber, faktor recycle, faktor geografi dan faktor fisik (lokasi, frekuensi pengumpulan sampah dan musim), jumlah penduduk dan tingkat hidup, pola hidup, mobilitas masyarakat, pola penyediaan kebutuhan, serta cara penanganan

makanan. Klasifikasi timbulan sampah berdasarkan klasifikasi kota yaitu bervariasi dari 2 – 3,5 l/orang/hari.

Berdasarkan jumlah penduduk total dapat ditentukan total timbulan sampah yang dihasilkan dengan jumlah penduduk 4.349.979 jiwa maka didapat timbulan sampah di Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 adalah 680.598,64 (m³/hari). Dari Tabel SP-9 terlihat bahwa Kota Padang dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu 923.076 orang menghasilkan sampah sebesar 472.097,60 m3 /hari sebagaimana yang dilihat

pada Gambar 3.25

Gambar 3.25 Jumlah Penduduk dan Perkiraan Timbulan Sampah Tahun 2014

Sumber : OlahanTabel SP–9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Timbulan sampah terbesar terdapat di Kota Padang, yaitu 472.097,60 m³/hari atau 69,36% dari total timbulan sampah dan disusul oleh Kota Solok dengan

timbulan sampah 186.105 m³/hari atau 27.344% dan Kabupaten Pasaman Barat dengan persentase 2 % sebagaima terlihat pada Gambar 3.26.

Gambar 3.26 Kabupaten/Kota dengan Volume Sampah Terbesar Tahun 2014

Total timbulan sampah per kabupaten/kota pada tahun 2014 menurun dibandingkan tahun 2013 yaitu 692.280 m3/hari, sedangkan timbulan sampah tahun 2013 adalah 809.409 m3/hari. Penurunan ini diperkirakan karena beberapa kabupaten/kota sudah

mulai aktif mengkampanyekan gerakan sumber bersih termasuk pelaksanaan 3 R sehingga volume sampah yang dihasilkanpun berkurang. Perbandingan total timbulan sampah tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat padaGambar 3.27.

Gambar 3.27 Perbandingan Timbulan Sampah Tahun 2012-2014

Sumber : OlahanTabel SP–9A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

TPA Regional Payakumbuh dibangun karena adanya komitmen 6 kabupaten/kota untuk bekerjasama dalam pengelolaan sampah yaitu Kota Payakumbuh, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Agam. Dengan dasar kesepakatan tersebut Kementerian Pekerjaan Umum melalui Satker PLP Sumatera Barat membangun Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Regional

Payakumbuh di Kelurahan Kapalo Koto Kecamatan Payakumbuh Selatan Kota Payakumbuh diatas lahan seluas 17 Ha. Dari Tabel SP-9C besarnya sampah yang diterima TPA Regional Payakumbuh dari 5 kabupaten/kota tersebut pada tahun Tahun 2013 adalah 13.154 ton/hari dan tahun 2014 adalah 54.411,15 ton/hari, meningkat sebanyak 75.82 % dari tahun 2013 sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.28.

Gambar 3.28 Volume Sampah TPA Regional Payakumbuh Tahun 2013-2014 Berdasarkan Sumbernya

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-17

Berdasarkan Tabel SP-9D total jumlah volume sampah yang masuk selama 3 hari ke TPA Regional Payakumbuh adalah 460.890 kg dan yang telah dilakukan pemilahan adalah 47.825,60 kg atau 9,38 % dari total sampah yang ada. Tergambar bahwa

kegiatan pemilahan sampah yang merupakan program 3R pada sumber belum terlaksana dengan baik, karena masih rendahnya sampah terpilah dan tingginya volume sampah yang masuk ke TPA setiap harinya sebagaimana Gambar 3.29.

Gambar 3. 29 Jumlah Sampah Yang Masuk dan Dipilah di TPA Regional

Sumber : OlahanTabel SP–9D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Gambar 3.30 Persentase Sampah Total dan Terpilah di TPA Regional

Sumber : OlahanTabel SP–9D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Dari Tabel SP-9E terdapat 2 TPA Regional dan 3 TPA Kabupaten/Kota untuk melayani sampah dari 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat sebagaimana Tabel 3.2. Teknologi pengelolaan sampah di TPA pun berbeda tergantung dengan yang diterapkan oleh masing-masing kabupaten/kota, yaitu 1). Sanitary Landfiil di Kota Bukittinggi, Kota

Payakumbuh, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2). Open Dumping di Kota Padang, Kabupaten Agam dan Kabupaten Padang Pariaman, serta 3). Control Landfill di Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kota Solok, Kabupaten Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan sebagaimana terlihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 TPA dengan Daerah Pelayanan dan Sistem TPA di Provinsi Sumatera Barat

No. Nama TPA Daerah Pelayanan Sistem TPA 1 TPA Air Dingin Kota Padang Open Dumping 2 TPA Sungai Andok Kota Padang Panjang Control Landfill 3 TPA Manggis Kabupaten Agam Open Dumping 4 TPA Ladang Laweh Kab.Padang Pariaman Open Dumping

TPA Regional Payakumbuh 1. Kota Payakumbuh 2. Kota Bukittinggi 3. Kabupaten Agam

4. Kabupaten Lima Puluh Kota 5. Kabupaten Tanah Datar

Sanitary Landfill

5 TPA Regional Solok 1. Kota Solok 2. Kabupaten Solok

Control Landfill 6 TPA Tungkul Selatan Kota Pariaman Control Landfill 7 TPA Gunung Bungkuk Kabupaten Pesisir Selatan Control Landfill

Sumber : OlahanTabel SP–9F Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Gambar 3.31 Persentasi Sistem Pengelolaan Sampah di TPA di 13 Kabupaten/Kota

Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Total timbulan sampah dari 6 TPA di Provinsi Sumatera Barat tahun 2014 adalah 419.069,78 m3/hari

dengan jumlah timbulan sampah terbesar adalah di TPA Regional Payakumbuh (226.702,8 m3/hari), TPA

Aie Dingin Kota Padang (181.818,18 m3/hari), dan

TPA Padang Laweh Kabupaten Padang Pariaman 9.949,30 m3/hari. Volume sampah yang diterima di

masing-masing TPA setiap harinya dapat dilihat pada Gambar 3.32.

.

Gambar 3.32 Volume Sampah di Masing-masing TPA Tahun 2014

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-19

Cairan pekat dari TPA yang berbahaya terhadap lingkungan dikenal dengan istilah leacheat atau air lindi. Cairan ini berasal dari proses perkolasi/percampuran (umumnya dari air hujan yang masuk kedalam tumpukan sampah), sehingga bahan- bahan terlarut dari sampah akan terekstraksi atau berbaur. Cairan ini harus diolah dari suatu unit pengolahan aerobik atau anaerobik sebelum dibuang ke lingkungan. Dari pengukuran kualitas lindi di TPA Regional Payakumbuh yang dilakukan selama 4 kali, terhadap 5 parameter penentu limbah cair , yaitu temperatur, pH, TSS, BOD5, COD menunjukkan bahwa parameter COD dan BOD5 berada di atas baku

mutu, sedangkan pH, temperatur dan TSS berada pada baku mutu yang diizinkan. Tingginya kualitas BOD5 dan CO akan memberikan dampak terhadap pencemaran tanah dan air di sekitar TPA Regional Payakumbuh, bahkan dapat mencemari sumber air tanah penduduk. Kualitas TSS, BOD,dan COD dari lindi di TPA Regional Payakumbuh dapat dilihat pada Gambar 3.33 s/d Gambar 3.36.

Nilai pH air lindi pada tempat pembuangan sampah perkotaan berkisar antara 1,5 – 9,5 dan dari Gambar 3.33 pH Lindi TPA Regional berada pada nilai 7,50 sampai 8,1.

Gambar 3.33 Nilai pH Lindi pada TPA Regional Payakumbuh

Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Baku mutu TSS dalam lindi adalah 400 mg/l dan pengukuran selama 4 kali di TPA Regional Payakumbuh melihatkan bahwa kandungan TSS lindi TPA Regional berada pada nilai 214 sampai 345 mg/l dan masih berada di bawah baku mutu sebagaima

terlihat pada Gambar 3.34. Lindi TPA Regional Payakumbuh mengandung COD 680-960 mg/l, yaitu 200-300 % di atas baku mutu yang ditetapkan sebagaimana Gambar 3.35.Kandungan BOD5 pada lindi TPA Regional Payakumbuh berada 324-554 mg/l dan jauh berada di atas baku mutu sekitar 100% sebagaimana Gambar 3.36

Gambar 3.34 Pengukuran TSS Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh

Gambar 3.35 Pengukuran COD Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh

Sumber : OlahanTabel SP–9E Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Gambar 3.36 Pengukuran COD Dalam Lindi Pada TPA Regional Payakumbuh

Sumber : OlahanTabel SP–9F Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Dampak negatif dari sampah antara lain adalah : 1. Dampak Sampah Bagi Kesehatan

Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai dan tidak terkontrol merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan sampah adalah sebagai berikut:

 Penyakit diare, kolera, tifus dan demam berdarah.

 Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).

 Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan, seperti cacing.

 Sampah beracun, telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa (Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang memproduksi baterai dan akumulator.

2. Dampak Sampah Terhadap Lingkungan

Secara umum rembesan lindi yang sudah mencapai lebih dari 400 mg/l dari pusat timbunan sampah menunjukkan betapa cepatnya lindi tersebut mencemari lingkungan TPA. Bisa dibayangkan kalau Pemerintah dan Instansi terkait tidak tanggap atas dampak yang telah ditimbulkan oleh adanya TPA yang masih menerapkan sistem open dumping, maka sudah barang tentu akan

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat III-21

berdampak negatif terhadap lingkungan baik terhadap sifat fisik-kimia-biologis maupun berdampak pada kesehatan masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar TPA. Pengaruh pencemaran lindi terhadap lingkungan disekitar TPA antara lain dapat berpengaruh pada perubahan sifat fisik air, suhu air, rasa, bau dan kekeruhan. Suhu limbah yang berasal dari lindi umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan air yang tidak tercemar lindi. Hal ini dapat mempercepat reaksi kimia dalam air, mengurangi kelarutan oksigen dalam air, mempercepat pengaruh rasa dan bau.

Terkontaminasinya sumber air tanah dangkal oleh zat-zat kimia yang terkandung dalam lindi seperti misalnya nitrit, nitrat, ammonia, kalsium, kalium, magnesium, kesadahan, klorida, sulfat, BOD, COD, pH yang konsentrasinya sangat tinggi akan menyebabkan terganggunya kehidupan makhluk hidup disekitar TPA. Disamping itu pula tercemarnya air bawah permukaan yang diakibatkan oleh lindi berpengaruh terhadap kesehatan penduduk terutama bagi penduduk yang bermukim di sekitar TPA. Lindi yang semakin lama semakin banyak volumenya akan merembes masuk ke dalam tanah yang nantinya akan menyebabkan terkontaminasinya air bawah permukaan yang pada akhirnya akan menyebabkan tercemarnya sumur-sumur dangkal yang dimaanfaatkan oleh penduduk sebagai sumber air minum.

Adanya TPA yang tidak jauh dari kali/sungai, harus diwaspadai adanya pencemaran oleh lindi. Sungai tersebut mengalir dan masih dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci. Jika sungai ini tercemar oleh adanya rembesan lindi maka akan

berdampak negatif bagi penduduk yang yang masih memanfaatkan air sungai tersebut, baik penduduk yang berada di sekitar TPA maupun penduduk yang berada di hilir disepanjang sungai. Adanya rembesan lindi yang telah mencemari lingkungan disekitar TPA berarti melanggar pasal 29 ayat 1 point f Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pelarangan Pembuangan Sampah Dengan Sistem Open Dumping. Disamping Itu Juga Telah Melanggar Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase atau sungai yang dikenal sebagai lindi (leachate) akan mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap, hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas-cair organik, seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.

3. Dampak Sampah terhadap keadaan sosial dan ekonomi

 Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat: bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah bertebaran dimana-mana.

 Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.

 Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan

secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas).

 Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase, dan lain-lain.

 Infrastruktur lain dapat juga dipengaruhi oleh pengelolaan sampah yang tidak memadai, seperti tingginya biaya yang diperlukan untuk pengolahan air. Jika sarana penampungan sampah kurang atau tidak efisien, orang akan cenderung membuang sampahnya di jalan. Hal ini mengakibatkan jalan perlu lebih sering dibersihkan dan diperbaiki.

4. Bahaya Sampah Plastik bagi Kesehatan dan Lingkungan

NETIZEN Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang sampai saat ini

masih tetap menjadi “PR” besar bagi bangsa

Indonesia adalah faktor pembuangan limbah sampah plastik. Kantong plastik telah menjadi sampah yang berbahaya dan sulit dikelola. Diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk membuat sampah bekas kantong plastik itu benar-benar terurai. Namun yang menjadi persoalan adalah dampak negatif sampah plastik ternyata sebesar fungsinya juga. Dibutuhkan waktu 1.000 tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah secara terdekomposisi atau terurai dengan sempurna. Ini adalah sebuah waktu yang sangat lama. Diperlukan 10-15 generasi agar sampah plastik terurai dengan asumsi usia harapan hidup 70 tahun. Saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air tanah.

Jika dibakar, sampah plastik akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan yaitu jika proses pembakaranya tidak

sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf dan memicu depresi. Kantong plastik juga penyebab banjir, karena menyumbat saluran-saluran air, tanggul sehingga mengakibatkan banjir bahkan yang terparah merusak turbin waduk.

Sejak proses produksi hingga tahap pembuangan, sampah plastik mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer. Kegiatan produksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel minyak dan 14 juta pohon setiap tahunnya. Proses produksinya sangat tidak hemat energi. Pada tahap pembuangan di lahan penimbunan sampah (TPA), sampah plastik mengeluarkan gas rumah kaca.

3.3.

KESEHATAN

Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan, gaya hidup/perilaku, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, mencukupi dan mudah diakses, serta faktor genetik/keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku masyarakat memiliki hubungan timbal balik terhadap kesehatan.