• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Lahan dan Hutan

Maninjau, Meningkatnya jumlah timbulan sampah serta belum terkelolanya limbah B3 dan limbah cair sebagian rumah sakit

2.1.1. Kondisi Lahan dan Hutan

2.1.1.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama

Setelah terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut- II/2013 Tanggal 15 Januari 2013, topografi daerah Sumatera Barat yang didominasi oleh perbukitan mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan di Sumatera Barat berstatus kawasan lindung, baik berupa hutan lindung maupun hutan konservasi. Luas lahan hutan terluas berada di Kabupaten Pesisir Selatan seluas 429.765 Ha, sedangkan kota yang memiliki hutan terkecil luasnya adalah Kota Payakumbuh seluas 1,58 Ha sebagai hutan kota.

Kabupaten Agam merupakan kabupaten yang pemanfaatan lahan sebagai lahan sawah yang sangat luas yaitu 35.521 Ha sedangan lahan sawah terkecil di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 1,42 Ha (sumber: Tabel SD-1 Buku Data SLHD

Provinsi Sumatera Barat, 2014). Untuk kawasan perkebunan terluas berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 188.955 Ha dan lahan perkebunan terkecil berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 20,57 Ha. Sedangkan daerah yang tidak memiliki lahan perkebunan adalah Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang dan Kota Payakumbuh.

Penggunaan lahan terluas di Sumatera Barat adalah hutan yang berjumlah ± 59,49 %, sedangkan sisanya adalah penggunaan untuk non pertanian ± 2,17 %, sawah 8,51 %, lahan kering 13,86 %, perkebunan ± 15,28 %, dan badan air 0,68 %. Distribusi penggunaan lahan di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Persentase Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Sumatera Barat Tahun 2014

Sumber : Olahan Tabel SD-1 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.2. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status

Luas kawasan hutan di Sumatera Barat berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut–II/2013 Tanggal 15 Januari 2013 seluas +2.380.057,32 Ha yang meliputi Kawasan Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam/ Suaka Margasatwa/Taman Wisata/Kawasan

Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) seluas 806.938,74Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 791.671 Ha, Hutan Produksi (HP) seluas 360.608 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 233.210 Ha, dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas 187.629 Ha. Luas kawasan hutan menurut fungsi/status dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-3

Pada tahun 2011 terjadi perubahan luas kawasan hutan lindung yang berkurang sebesar 200.000 Ha. Sedangkan pada tahun 2012 tidak ada perubahan luas kawasan lindung. Perubahan terjadi lagi pada tahun 2013, dimana berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35/Menhut- II/2013 Tanggal 15 Januari 2013 mengalami

perubahan hutan lindung seluas 443 ha. Untuk lebih jelasnya perbandingan perubahan luas kawasan hutan menurut fungsinya dari tahun 2012–2014 dapat dilihat pada Gambar 2.3. Perubahan fungsi hutan yang paling besar adalah Kabupaten Solok Selatan yaitu 198.001 Ha

Gambar 2.3 Perubahan Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status

Sumber : OlahanTabel SD-2D Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.3. Luas Kawasan Lindung

Berdasarkan RTRW dan Tutupan Lahannya

Luas kawasan lindung berdasarkan RTRW seluas 3.162.299,98 Ha dan kawasan budidaya seluas 74.365,68. (sumber: Tabel SD-3A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014). Dari total kawasan lindung terdapat hutan lindung dengan luasan 23,68%, hutan suaka alam dan pelestarian alam 57,56 %, dan 16,39% kawasan lindung berada di hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan konversi serta 0,52% kawasan lindung berada di luar hutan. (Sumber: RTRW Sumatera Barat 2012- 2032).

Kawasan lindung terluas berada di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 290.392,9

Ha, diikuti Kabupaten Pesisir Selatan seluas 271.523,4 Ha berupa Taman Nasional (Taman Nasional Kerinci Seblat) dan Suaka Alam. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan taman nasional lintas provinsi yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan. Untuk segmen Sumatera Barat meliputi Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung.

Berdasarkan RTRW Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012–2032 didapat gambaran bahwa pemanfaatan lahan kedua paling luas adalah untuk pertanian. Areal pertanian terbesar berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 164.373 Ha dan terkecil di Kota Bukittinggi 598 Ha. Badan

Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa penggunaan lahan sawah ke depannya akan dikonversi secara terencana melalui RTRW kabupaten/kota untuk kebutuhan pemukiman, pusat usaha/perdagangan, perkantoran, infrastruktur jalan dan keperluan lainnya.

2.1.1.4. Luas Penutupan Lahan Dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan

Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan dinyatakan dengan luas kawasan Hutan Tetap (HT) dan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) serta Areal Penggunaan Lain (APL). Hutan Tetap merupakan jumlah

luasan dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi. Gambar 2.5 menggambarkan dari 12 kabupaten/kota yang memiliki luas penutupan lahan berupa Hutan Tetap terluas adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu 420.834Ha. Hutan Produksi Konservasi terluas di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu 374.449,69 Ha, dan Areal Penggunaan Lain terluas juga berada di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu seluas 17.919,31 Ha.

Perbandingan luas penutupan lahan pada tahun 2012 dan 2013 menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah penutupan lahan baik dalam dan luar kawasan hutan.

Gambar 2.4 Perbandingan Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Hutan Tahun 2012 dan Tahun 2013

Sumber : Olahan Tabel SD-4A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.5. Luas Lahan Kritis

Luas lahan kritis pada tahun 2014 adalah 339.173,31 Ha. Lahan kritis terluas terdapat di Kabupaten Dharmasraya yaitu sebesar 584.139,72 Ha, diikuti Kabupaten Pesisir Selatan seluas 319.437 Ha dan

Kabupaten Pasaman seluas 154.512,21 Ha. Kabupaten Padang Pariaman merupakan kabupaten yang memiliki lahan kritis terkecil seluas 10.231 Ha. Sedangkan untuk tingkat kota, lahan kritis terluas adalah Kota Padang yaitu 6.670 Ha dan Kota Payakumbuh

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-5

memiliki luas lahan kritis terkecil yaitu seluas 2.197,26 Ha.

Total luas lahan kritis Provinsi Sumatera Barat mengalami peningkatan pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2013 Bila dilihat dari kategori lahan kritis yang dibagi

berdasarkan potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis, maka pada tahun 2014 di 7 ( tujuh ) kabupaten/kota menunjukan bahwa lahan berpotensial kritis seluas 1.425.157 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6.

Gambar 2.5 Lahan Kritis di Sumatera Barat Tahun 2014

Sumber : Olahan Tabel SD-5 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Gambar 2.6 Luas Lahan Kritis, Potensial Kritis dan Agak Kritis di 7 (tujuh) Kabupaten Kota Sumatera Barat

Sumber : Olahan Tabel SD-5A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air

Kerusakan tanah di lahan kering akibat erosi air tahun 2014 dapat digambarkan di 4 (empat) kabupaten/kota yaitu Kota Padang dengan besaran erosi 33,52 mm/10 tahun (melebihi ambang batas

kritis erosi) untuk tebal tanah 100 s/d 150 cm, Kabupaten Agam dengan besar erosi 1,6 mm/10 tahun (melebihi ambang batas kritis erosi) untuk tebal tanah kurang dari 20 cm, 4,22 mm/10 tahun (melebihi ambang batas kritis erosi) untuk tebal tanah 20 s/d < 50 cm. Sedangkan besaran erosi yang

mengakibatkan kerusakan tanah di lahan kering di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Dharmasraya pada semua ketebalan tanah tidak melebihi ambang batas kritis erosi.

Secara umum kerusakan tanah akibat erosi terjadi pada ketebalan tanah kurang dari 20 cm, tebal tanah antara 20 s/d <50 cm dan 50 s/d < 100 cm. Kerusakan tanah di

lahan kering akibat erosi air mengalami kecenderungan tetap di tahun 2013 ini. Di Kabupaten Pesisir Selatan, erosi yang mengakibatkan kerusakan tanah di lahan kering masih memenuhi ambang kritis erosi (PP 150 Tahun 2000). Gambar 2.7 memperlihatkan perbandingan kerusakan tanah dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun di Kabupaten Pesisir Selatan.

Gambar 2.7 Perbandingan Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air di Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012 – 2014

Sumber : Olahan Tabel SD-6A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.7. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering

Hasil evaluasi kerusakan tanah pada lahan kering di 8 (delapan) kabupaten/kota yaitu Kota Padang, Kota Payakumbuh, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Dhamasraya. Secara umum menunjukkan bahwa pengujian tanah bukan dilakukan pada lahan kering melainkan di lahan pertanian/ perkebunan dengan kualitas tanah yang cukup baik. Hasil pemantauan dapat

disampaikan bahwa solum tanah di Sumatera Barat umumnya memiliki solum tanah lebih besar dari 20 cm dan derajat kelolosan air antara 0,7 s/d 8 cm/jam serta kebatuan permukaan lebih kecil dari 40%.

Untuk perbandingan antara tahun 2011–2013, evaluasi tanah pada lahan kering dapat dilihat di Kabupaten Pesisir Selatan. Selama 3 (tiga) tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan dimana hasil pemantauan secara umum masih memenuhi Ambang Kritis sebagaimana PP 150 Tahun 2000.

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-7

Tabel 2.1 Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2014

No. Parameter Ambang Kritis Hasil Pengamatan

2012 2013 2014

1 Ketebalan Solum < 20 cm 39 cm 39 cm 19 cm

2 Kebatuan Permukaan > 40 % 25% 25% 35%

3 Komposisi Fraksi < 18 % koloid; 20% 23% 12% > 80 % pasir kuarsitik 68% 58% 66% 4 Berat Isi > 1,4 g/cm3 1,1 g/cm3 2,1 g/cm3 3,1 g/cm3 5 Porositas Total < 30 % ; > 70 % 60% 23,19% 27,19% 6 Derajat Pelulusan Air < 0,7 cm/jam ; > 8,0

cm/jam 5 cm/jam 5 cm/jam 3 cm/jam 7 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 4.63 4,77 6,33

8 Daya Hantar Listrik /DHL > 4,0 mS/cm 6 mS/cm 105 mS/cm 565 mS/cm

9 Redoks < 200 mV 321 mV 321 mV 131 mV

10 Jumlah Mikroba < 102

cfu/g tanah 15 cfu/ g tanah

27,8 cfu/ g tanah

17,8 cfu/ g tanah Sumber : Olahan Tabel SD-7A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.8. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah

Hasil pemantauan kualitas tanah di lahan basah di Sumatera Barat secara umum belum terjadi kerusakan tanah di lahan basah (masih memenuhi baku mutu

PP 150 Tahun 2000). Kerusakan tanah di lahan basah dapat digambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan antara tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2012, Tahun 2013 dan Tahun 2014

No Parameter Ambang Kritis Hasil Pengamatan

(PP 150/2000) 2012 2013 2014

1 pH (H2O) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 4,63 4,77 12,44

2 Daya Hantar Listrik /DHL > 4,0 mS/cm 6,00 105,00 98,00

3 Redoks < 200 mV 321,00 321,00 159,00

4 Jumlah Mikroba < 102cfu/g tanah 15,00 27,8 34,00

Sumber : Olahan Tabel SD-8A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.1.9. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya

Pada tahun 2013 kerusakan hutan di Sumatera Barat seluas 62.535,12 Ha. Penyebab kerusakan hutan terbesar adalah perambahan hutan seluas 39.393,31 Ha

(63,99 %), ladang berpindah seluas 16.653 ha (26,63 %), penebangan liar seluas 4.882,31 ha (7,18 %), dan terakhir akibat kebakaran hutan seluas 1.606,50 Ha (2,57 %). Berdasarkan luas kerusakan hutan antar daerah, maka kerusakan hutan

terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman Barat 66.700 Ha dan Kabupaten Dharmasraya 5.551,55 Ha yang disebabkan oleh perambahan hutan, termasuk

dimanfaatkannya kawasan hutan untuk perkampungan dan pertanian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana Gambar 2.8 berikut.

Gambar 2.8 Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya

Sumber : Olahan Tabel SD-9 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Pada tahun 2014 dapat digambarkan bahwa terjadi penurunan kerusakan hutan secara total dibandingkan tahun 2013 karena kerusakan hutan di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Dharmasraya mengalami penurunan yang signifikan dari 1.994,00 Ha tahun 2013 menjadi 10,30 Ha pada tahun 2014 untuk Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Dharmasraya dari 5.551,55 Ha menjadi 567 Ha.

2.1.1.10. Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi Menurut Peruntukan

Permasalahan mendasar pada hutan dan lahan salah satunya adalah konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain. Konversi hutan yang paling banyak pada tahun 2014 adalah kegiatan pertanian sebesar 82,60 % dan perkebunan

sebesar 12,33 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.9 konversi hutan terbesar pada tahun 2014 terjadi di Kabupaten Dharmasraya seluas 24.365 Ha yang dikonversi untuk perkebunan, selanjutnya Kabupaten Pasaman seluas 22.267 Ha yang dikonversi untuk areal perkebunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Kecenderungan konversi hutan pada tahun 2012 - 2014 dapat digambarkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan yang dikonservasi dari 543.382,98 Ha menjadi 158.436,43 Ha pada tahun 2013 dan terus mengalami penurun pada tahun 2014 menjadi 182.411,65 Ha. Bila dilihat secara parsial dari masing-masing kabupaten/kota yang mengalami peningkatan yaitu Kabupaten Pasaman, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota.

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-9

Gambar 2.9 Konversi Hutan Tahun 2014

Sumber : Olahan Tabel SD-10 Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Gambar 2.10 Konversi Hutan di 7 (Tujuh) Kabupaten/Kota Tahun 2014

Sumber : Olahan Tabel SD-10A Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

Gambar 2.11 Tujuh Kabupaten/Kota yang Melakukan Konversi Hutan Terluas Tahun 2012 - Tahun 2014

Sumber: Olahan Tabel SD-10B Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2014

2.1.2 Indeks Kualitas Lingkungan