• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN BLORA

Dalam dokumen EFISIENSI PENGGUNAAN PUPUK NITROGEN POSF (Halaman 127-135)

(Technology innovation of upland rice cultivation in supporting farmer income improvement in Blora District)

Budi Hartoyo, Subiharta dan Sarjana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

ABSTRAK

Dari luasan lahan pertanian yang ada di Kabupaten Blora, 57,0% (26.308,4 ha) merupakan lahan tegalan (lahan kering), yang dimanfaatkan petani untuk mengusahakan padi gogo, juga tanaman pangan yang lain. Kinerja usahatani lahan kering di Kabupaten Blora secara umum belum optimal, selain dihadapkan pada berbagai kendala biofisik lahan, tipologi iklim yang relatif kering serta penerapan inovasi teknologi yang belum intensif menyebabkan produktivitas lahan dan usahatani relatif rendah. Petani dalam usahataninya masih menggunakan varietas padi gogo yang sudah cukup lama di lepas (Way Rarem) dan pemupukan belum mengacu pada pemupukan yang berimbang. Apabila kondisi tersebut tidak segera diperbaiki dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas pangan. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan kajian introduksi budidaya padi gogo dengan mengintroduksi varietas padi gogo unggul baru dan inovasi teknologi budidaya. Hasil kajian menunjukan produksi gabah kering giling (GKG) varietas Situ Bagendit dan varietas Towuti masing-masing 3,58 ton/ha dan 3,05 ton/ha jauh lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) atau meningkat 52,5% - 79,0% dibanding varietas Way Rarem yang produksinya hanya mencapai 2,00 ton/ha. Dampak dari hasil kajian, selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi gogo, komponen teknologi yang diintroduksikan akan direplikasi oleh PEMDA melalui Dinas Pertanian Kabupaten Blora melalui program pengembangan padi gogo seluas kurang lebih 500 ha pada tahun 2006.

Kata kunci : Lahan kering, padi gogo, penyediaan pangan

ABSTRACT

Majority of Blora agriculture land is dominated by dry land which represent 57 % (26,308.4 ha). Farmer exploited the land not only for growing the upland rice, but also for other crops cultivation. Yet, production of dry land in Blora is not optimum. Besides facing to several biophysical obstacles in land, dry climate, and low technology application caused land productivity and farming system little bit descend. The Farmers still grow the upland rice (Way Rarem) which was released long time ago, however, they apply unbalanced fertilizer to their land. If such condition is not changed, it will afect food stability. A study of was performed to introduce the new superior upland rice varieties and technology dealing with cultivation in Blora District. Results showed that production of dry paddy grain of the Situ Bagendit (3.58 ton/ha) and the Towuti (3.05 ton/ha) were higher (P<0.05) than the production of the Way Rarem (2.0 ton/ha) variety. Impact of this study, was not only increased upland rice productivity but also encouraged the local government to adopt this inovation. It was recognised that the local government of Blora District established a program to grow the present new rice varieties on 500 ha to improve upland rice production in the year 2006.

Key words: Dry land, upland rice, food supply

PENDAHULUAN

Kabupaten Blora dengan luas wilayah

1.820.59 km2, dan 49,66% merupakan areal

kawasan hutan, terletak pada ketinggian 25- 500 m dpl (Renstra Blora, 2003). Dari luas tersebut 25,35% merupakan lahan pertanian dan menjadi tumpuan dari 424.096 orang untuk bekerja di sektor pertanian. Lahan pertanian 26.308,4 ha merupakan tegalan (lahan kering), yang dimanfaatkan petani

untuk mengusahakan padi gogo, juga tanaman pangan yang lain. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Blora mencapai 50,86%, tanaman pangan memberikan sumbangan tertinggi, yaitu 31,01% (BPS Kabupaten Blora, 2003).

Upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan, khususnya beras, mengalami tantangan antara lain, makin sempitnya lahan sawah sebagai akibat alih

fungsi lahan menjadi non pertanian atau peruntukan lain yang sulit dihindari dan terus berjalan. Tantangan lain pada padi sawah adalah efisiensi penggunaan pupuk semakin menurun. Kondisi ini ditandai dengan produksi padi sawah yang mengalami pelandaian bahkan di Jawa Tengah telah terjadi penurunan produksi 0,18 ton/ha pada tahun 1999 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2000).

Mengingat hal tersebut, maka posisi padi gogo akan semakin penting untuk masa yang akan datang. Selama 10 tahun terakhir perkembangan padi gogo sangat lamban atau meningkat 45% jauh di bawah laju peningkatan padi sawah yang mencapai 140% (Basyir et al., 1995). Akibat lambannya perkembangan padi gogo menyebabkan sumbangan padi gogo hanya 11% (BPS, 1989). Pada hal tanaman padi gogo di Indonesia luas tanamnya paling besar di Asia Tenggara (Basyir et al., 1995).

Mengingat hal tersebut perbaikan budidaya terus dilakukan yang diikuti dengan pelepasan beberapa varietas unggul padi gogo. Hal ini dilakukan mengingat permasalahan padi gogo lebih kompleks dibanding padi sawah. Padi gogo diusahakan oleh petani di daerah lahan kering dengan faktor pembatas antara lain lahan kurang subur, curah hujan terbatas dan gulma tumbuh dengan cepat. Introduksi teknologi budidaya padi gogo dengan pendekatan model PTT antara lain dengan pemberian pupuk organik, penanaman jajar legowo. Selain itu telah dilepas beberapa varietas padi gogo yang umurnya pendek dan produksinya tinggi. Seperti dilaporkan oleh Ooy Lesmana et al. (2002) varietas Situ Patenggang, Situ Bagendit dan Towuti berumur genjah, produksi tinggi, rasa nasi pulen, tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3, hasil mencapai 3-5 ton/ha pada lahan kering dan 5-7 ton pada lahan sawah dan umur panen antara 115 – 125 hari. Para petani umumnya menanam varietas lokal yang umurnya panjang (+ 145 hari), kurang tanggap terhadap pemberian pupuk dan penyakit blast. Bahkan beberapa petani di kabupaten Blora menanami lahan kering dengan padi sawah, sehingga sering mengalami kegagalan pada saat curah hujan terbatas atau terlambat tanam.

Hasil karakterisasi usahatani eksisting menunjukkan, petani hanya memupuk

tanaman padi gogo dengan pupuk urea dan TSP tanpa KCl, jarak tanam tidak teratur, kualitas benih dari varietas padi gogo yang relatif lama (Way Rarem) dan sebagian petani menggunakan varietas padi sawah (IR 64 atau Ciherang). Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab produksi padi gogo di Kabupaten Blora rata-rata turun 37,95% (BPS Kabupaten Blora, 2003). Apabila hal tersebut tidak segera dilakukan perbaikan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas dan ketersediaan pangan.

Kinerja usahatani lahan kering di kabupten Blora secara umum kurang optimal, dan dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan biofisik yang menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas, tidak tercapainya efisiensi input serta terjadinya kemunduran kesuburan lahan yang akan berdampak pada rendahnya pendapatan usahatani. Berdasarkan kondisi tersebut, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja usahatani di lahan kering dapat dilakukan penerapan inovasi teknologi budidaya intensif spesifik lokasi. Seperti dikemukakan oleh Las (2004) bahwa adanya inovasi teknologi hasil penelitian/kajian mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi input dan kelestarian sumberdaya pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa untuk mencapai sasaran tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan inovasi komponen teknologi budidaya.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, telah dilakukan pengkajian inovasi teknologi budidaya padi gogo di lahan kering Kabupaten Blora dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mendukung penyediaan pangan petani.

BAHAN DAN METODE

Pengujian dilakukan pada lahan milik petani, melibatkan 11 (sebelas) petani sebagai kooperator sekaligus sebagai ulangan pengkajian dengan luasan 3,5 ha. Lokasi kajian berada di desa Tlogowungu, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora. Waktu pelaksanaan kegiatan pada Musim Hujan 2005/2006 (periode Nopember 2005 s/d Pebruari 2006).

Inovasi teknologi budidaya yang diintroduksikan pada kegiatan kajian ini meliputi : Introduksi varietas padi gogo (Situ

Bagendit dan Towuti), seed treatment, jumlah benih per lubang, pemupukan organik dan anorganik berimbang tepat waktu, sistem tanam legowo, penggunaan heribisida pra tumbuh.

Variabel yang diamati pada kajian ini meliputi keragaan pertumbuhan dan hasil tanaman padi gogo. Metode analisis yang digunakan adalah analisis sidik ragam dan uji beda rerata suatu peubah antara teknologi introduksi dengan teknologi petani (indigenous technology) yang dihitung berdasarkan hitungan statistik :

y1 – y2

t Hitung :

d y1-y2

Keterangan :

y1 : rata-rata statistik sampel ke 1 (teknologi introduksi)

y2 : rata-rata statistik sampel ke 2 (teknologi petani)

Sd y1-y2 : Standar deviasi selisih rata-rata sampel ke1 dan ke2

Tabel 1. Komponen Inovasi Teknologi Budidaya Padi Gogo

No Inovasi Keterangan

1. Varietas : Situ Bagendit, Towuti 2. Perlakuan benih : Regent : 20 ml/1kg benih 3. Jumlah benih : 2 – 3 butir /lubang

4. Jarak tanam : Legowo, 2 baris 20 x 10 x 30 cm 5. Cara tanam : Tugal

6. Pupuk organik : 2 ton/ha

7. Pupuk an organik (kg/ha) : Urea :100 kg/ha; ZA : 50 kg/ha; SP-36 :60 kg/ha, KCl : 50 kg/ha Pupuk dasar (1 mst) Pupuk susulan I (4 mst) Pupuk susulan II (7 mst) 50 kg ZA + 60 kg SP-36 + 30 kg KCl 50 kg Urea 50 kg Urea + 30 kg KCl

8. Cara pemupukan Digarit 5 cm dari barisan tanaman 9. Herbisida pra tumbuh 1 liter /ha

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerangka pemikiran, bahwa suatu inovasi dapat direspon positip dan diadopsi apabila apa yang dikenalkan tidak merubah pola kebiasaan yang sudah ada, sehingga pada dasarnya inovasi teknologi yang diimplementasikan pada kajian ini tidak merubah pola budidaya padi gogo yang sudah umum dilakukan oleh petani sebelumnya, perbedaannya hanya ada pengkayaan muatan teknologi terutama penggunaan varietas, inovasi teknologi budidaya dengan komponen meliputi seed treatment, penggunaan bahan organik, penggunaan herbisida, pemupukan berimbang, tanam jajar legowo, dan pengendalian hama dan penyakit.

Keragaan Budidaya Padi Gogo di Tingkat Petani yang Sedang Berjalan

Usahatani padi gogo di lahan kering yang dilakukan petani secara umum belum dilakukan secara intensif sesuai kaidah budidaya yang benar, terlepas dari pengaruh faktor iklim. Kondisi tersebut menyebabkan

capaian produtivitas relatif rendah (1,5 – 2 ton/ha GKG). Pemilihan varietas umumnya masih menggunakan varietas lama, (Way Rarem) dan varietas padi sawah (IR 64 dan Ciherang). Untuk Varietas padi sawah memang benar mempunyai potensi produksi yang cukup tinggi, namun demikian lebih rentan terhadap cekaman kekeringan sehingga hasilnya tidak stabil dan kadang mengalami kegagalan panen karena faktor air.

Keragaan Budidaya Padi Gogo dengan Teknologi Introduksi

Keragaan komponen pertumbuhan padi gogo Dari hasil kajian di lapang terbukti bahwa penggunaan varietas unggul baru yang diikuti dengan perbaikan komponen teknologi budidaya padi gogo memberikan hasil yang lebih baik dibanding eksisting teknologi, baik penampilan pertumbuhan vegetatif (Tabel 3) maupun keragaan komponen produksi (Tabel 4)

Penggunaan varietas padi gogo unggul baru (Situ Bagendit dan Towuti), yang disertai

dengan inovasi teknologi budidaya hasilnya secara nyata (P<0,05) lebih baik dibanding pola petani pada hampir semua parameter pertumbuhan yang diamati, kecuali pada

parameter tinggi tanaman di mana varietas Way Rarem (kontrol) memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi (P<0,05; Tabel 3).

Tabel 2. Komponen teknologi eksisting dalam budidaya padi gogo di lahan kering

No Uraian Keterangan

1. Varietas : Way Rarem; IR.64 ; Ciherang 2. Perlakuan benih : -

3. Jumlah benih : Tidak tentu, minimal 5 butir/lbg 4. Jarak tanam : Tidak beraturan 10-15 x 10 x 15 cm 5. Cara tanam : Tugal

6. Pupuk kandang : 1 - 3 ton/ha

7. Pupuk an organik (kg/ha) : Urea :300-400 kg/ha ;

SP-36 : 100-225 kg/ha, KCl : 0 kg/ha - Pupuk dasar (1 mst)

- Pupuk susulan I (2-4 mst)

Pukan (semua dosis); Urea + SP.36 (semua dosis) 8. Cara pemupukan Disebar

9. Penyiangan Melihat kondisi gulma 10. Pengendalian ham Jarang dilakukan 9. Herbisida pra tumbuh -

10 Produksi 1,5-2 ton GKG / ha

Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan jumlah malai per m2 padi gogo

Perlakuan Rata-rata tinggi

tanaman (cm) Rata-rata jumlah anakan produktif Rata-rata jumlah malai per m2 Situ Bagendit 89,67a 12,02a 418,25a Towuti 97,78a 14,70a 431,00a

Way Rarem (kontrol) 103,20b 7,10b 248,00b

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).

Argumentasi bahwa hasil yang baik dimulai dengan penggunaan benih unggul adalah benar (Lakitan, 2004). Sedangkan Darajat dan Toha (2004), mengemukakan bahwa pada kondisi faktor-faktor lingkungan tumbuh optimal, tinggi rendahnya produktivitas usahatani sangat ditentukan oleh bahan (benih) tanaman yang diusahakan.

Pada variabel jumlah anakan produktif, varietas Towuti menghasilkan jumlah anakan produktif tertinggi (14,70) tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Situ Bagendit (12,02) sedangkan untuk varietas Way Rarem hanya menghasilkan 7,10 anakan. Jumlah anakan merupakan salah satu tolok ukur penentu produktivitas tanaman, tinggi atau rendahnya produksi akan sangat ditentukan oleh variabel

tersebut, semakin banyak jumlah anakan produktif maka peluang mendapatkan produksi yang tinggi cukup terbuka. Jumlah anakan merupakan parameter yang diturunkan oleh tetuanya secara genetis. Dari keragaan diatas, maka sudah saatnya varietas Way Rarem untuk diganti dan tidak dipergunakan lagi, karena potensi genetisnya rendah.

Demikian pula pada pengamatan jumlah malai, varietas Towuti menunjukan penampilan terbaiknya dibanding varietas lain yang diuji dan berbeda nyata dengan varietas Way Rarem. Jumlah malai merupakan parameter yang dapat dijadikan indikator potensi sebenarnya produksi dari suatu varietas, semakin tinggi jumlah malai maka diharapkan produksi yang dicapai akan tinggi.

Gambar 1. Keragaan pertumbuhan beberapa varietas padi gogo Banyak varietas unggul tanaman padi

gogo yang telah di release untuk digunakan dan dikembangkan petani, tetapi pada kenyataannya inovasi tersebut secara meluas diadopsi petani. Beberapa dugaan dan alasan petani tidak memanfaatkan hasil inovasi varietas unggul baru, seperti dikemukakan oleh Lakitan (2004) antara lain : (1) petani enggan mencoba sesuatu yang baru; (2) untuk menampilkan keunggulan varietas tersebut butuh kondisi lingkungan yang optimal atau dioptimalkan melalui aplikasi teknologi, berarti tambahan ongkos produksi; (3) sifat unggul yang dimiliki varietas tersebut tidak padu dengan realitas kebutuhan petani atau (4) varietas tersebut unggul dalam potensi hasil, tetapi peka terhadap cekaman biotik atau abiotik tertentu.

Keragaan Komponen Produksi Padi Gogo Pada Inovasi Teknologi Budidaya

Pada pengamatan komponen produksi (Tabel 4.) terbukti bahwa varietas unggul baru yang diikuti penerapan inovasi teknologi budidaya, hasil produksi GKG per hektar secara nyata lebih baik dibanding varietas Way Rarem, sedangkan jumlah gabah isi per malai meskipun varietas Situ Bagendit dan Towuti lebih tinggi dibanding varietas Way Rarem tetapi tidak berbeda nyata. Untuk jumlah butir hampa ternyata varietas Way Rarem lebih sedikit dan berbeda nyata dibanding dengan kedua varietas baru tersebut.

Tabel 4. Rata-rata jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan produksi padi gogo

Perlakuan Rata-rata jumlah

gabah isi per malai

Rata-rata jumlah gabah hampa per

malai

Produksi GKG (ton/ha)

Situ Bagendit 97,24a 9,94a 3,58a

Towuti 75,82b 22,16b 3,05a

Way Rarem (kontrol) 63,12c 4,03c 2,00b

Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).

Komponen teknologi budidaya padi gogo yang diterapkan dan penggunaan varietas unggul baru berpengaruh secara nyata terhadap hasil tanaman dibanding teknologi eksisting. Produksi GKG padi gogo varietas Situ Bagendit mencapai 3,58 ton/ha disusul varietas Towuti 3,05 ton/ha sedang varietas Way Rarem hanya mencapai 2,0 ton/ha, artinya dengan penggunaan varietas unggul baru yang diikuti inovasi teknologi budidaya produksi padi meningkat 52,5 % hingga 79,0 % dibanding teknologi eksisting.

Hasil produksi padi gogo yang diperoleh sebenarnya belum mencapai potensi genetik maksimal, yaitu sebesar 5 – 6 ton/ha baik untuk varietas Towuti maupun varietas Situ Bagendit (Ooy Lesmana et al., 2002). Tidak tercapainya produktivitas maksimal disebabkan adanya serangan penyakit busuk leher malai (neck blast), yang menginfeksi tanaman mulai umur 61 - 70 hst (Tabel 5).

Upaya untuk meningkatkan produktivitas padi gogo pada daerah-daerah lahan kering

Varietas Situ Bagendit Varietas Way Rarem

sebenarnya masih cukup terbuka, sesuai pendapat Hasanudin (2004), antara lain adalah melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), suatu pendekatan yang mempertimbangkan keserasian dan sinergisme antara komponen teknologi produksi (budidaya) dengan sumberdaya lingkungan setempat, dengan demikian paket teknologi yang diterapkan bersifat spesifik lokasi. Lebih lanjut Lakitan (2004) mengemukakan bahwa masih terbuka celah untuk meningkatkan hasil tanaman karena ada yield gap antara rata-rata hasil yang dicapai petani dengan potensi hasil tanaman yang bersangkutan, jika semua kebutuhan hara, air, cahaya, suhu dan unsur iklim lainnya dipenuhi dan organisme pengganggu dikendalikan.

Secara makro Las (2004) menyebutkan bahwa inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi input dan kelestarian sumberdaya lahan antara lain adalah (1) perbaikan komponen teknologi budidaya; (2) model/pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan (3) model pendekatan integrasi tanaman-ternak. Dalam implementasinya, pendekatan model PTT dan komponen teknologi padi gogo antara lain bahwa komponen teknologi lahan, air, tanaman, organisme (LATO) terintegrasi dalam aspek konservasi lahan, teknologi pola

tanam serta pemanfaatan varietas unggul baru.

Serangan hama dan penyakit padi gogo Gejala serangan hama dan penyakit, khususnya penyakit busuk leher malai (neck blast) teridentifikasi mulai pada umur tanaman 61 – 70 hr dengan tingkat serangan relatif kecil, namun memasuki umur 80 hst intensitas serangan makin meningkat hingga menjelang panen. Akibat serangan penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil mencapai kurang lebih 20%. Gejala infeksi hama dan penyakit selama periode umur tanaman padi gogo disajikan pada Tabel 5.

Upaya pengendalian sudah dilakukan dengan pemberian fungisida, namun demikian usaha tersebut hanya dapat menekan kerugian yang lebih besar. Cuaca lembab dan hujan yang turun terus menerus pada saat itu diduga menjadi penyebab tanaman terinfeksi penyakit busuk leher malai. Cuaca lembab dan hujan yang turun terus menerus pada periode stadia masak susu hingga menjelang panen diduga sebagai faktor penyebab terjadinya penyakit neck blas. Seperti dikemukakan oleh Syam dan Wurjandari (2003), bahwa cuaca lembab terutama pada musim hujan dan pemupukan nitrogen dalam takaran tinggi merangsang infeksi penyakit neck blast.

Tabel 5. Pengamatan hama dan penyakit pada tanaman padi gogo di Desa Tlogowungu, Kabupaten Blora

Jenis dan intensitas serangan hama dan penyakit (%) Umur tanaman (hst) Neck Blast Hawar daun bakteri Bakteri daun bergaris Hawar daun jingga Wereng coklat Penggerek batang Wala ng sangit 0 – 10 0 0 0 0 0 0 0 11 – 20 0 0 0 0 0 0 0 21 – 30 0 0 0 0 0 0 0 31 – 40 0 0 0 0 0 2,0 0 41 – 50 0 0 0 0 0 2,5 0 51 – 60 0 0 0 0 0 1,25 0 61 – 70 2,30 0 0 0 0 0 0 71 – 80 3,75 0 0 0 0 0 0 81 – 90 4,50 0 0 0 0 0 0 91 – 100 11,25 0 0 0 0 0 0 101 – 110 20,50 0 0 0 0 0 0

Disamping faktor cuaca, diduga faktor kesuburan lahan dapat memacu serangan penyakit busuk leher malai. Hasil analisis tanah contoh sampel tanah lokasi pengkajian yang diambil sebelum kegiatan dilakukan menunjukkan bahwa pH tanah tergolong agak masam (5.6), kandungan bahan C organik dan N sangat rendah dengan C/N tinggi. Status

hara Phospor tergolong rendah dan Kalium sedang. Kapasitas tukar kation (KTK) sangat rendah dan kejenuhan basa sangat rendah, demikian pula dengan kandungan unsur mikro (Ca, Mg) tergolong rendah. Dari hasil analisis tanah tersebut menunjukkan bahwa lahan usahatani di lokasi pengkajian tergolong tanah miskin/sub optimal (Subiharta et al., 2005).

Tanaman sehat infeksi penyakit (90 hst) infeksi penyakit (102 hst) Gambar 2. Infeksi serangan penyakit busuk leher malai padi gogo

Respon pengguna

Pada akhir kegiatan fisik di lapang (menjelang panen), dilakukan temu lapang sebagai salah satu langkah proses alih teknologi bagi pengguna. Temu lapang sebagai salah satu kegiatan dalam rangka menginformasikan, mendiskusikan dan mengkomunikasikan hasil-hasil kegiatan pengkajian kepada pengguna.

Dalam temu lapang hadir penentu kebijakan (Kepala dinas pertanian Kabupaten Blora), yang pada kesempatan itu diwakili oleh Kepala Tata Usaha, Kasubdin Tanaman Pagan (Ir. Reni Muharni, M.Agr., M.Sc.), Kasubdin Peternakan (Ir. Taufik), Kasi Produksi (Ir. Ngaliman), beberapa staf dinas yang lain, dan Humas Pemerintah Kabupaten Blora. Selain itu hadir beberapa Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) di kecamatan Japah dan beberapa PPL dari kecamatan lain yang potensial untuk pengembangan padi gogo, Kepala Dinas Cabang (KCD) Kecamatan Japah, petani kooperator dan non kooperator desa Tlogowungu sebagai lokasi pengkajian serta beberapa petani dari desa lain yang mempunyai potensi pengembangan padi gogo.

Dampak dari kegiatan pengkajian inovasi teknologi budidaya padi gogo, Dinas Pertanian Kabupaten Blora merespon positip hasil kegiatan tersebut dengan akan

mengembangkan padi gogo pada luasan 500 ha pada tahun 2006, dengan mengharapkan kerjasama dengan BPTP Jawa Tengah untuk pengawalan teknologi.

KESIMPULAN

Potensi lahan kering di Kabupaten Blora sangat prospektif untuk pengembangan budidaya padi gogo dalam rangka mendukung penyediaan pangan petani

Produktivitas padi gogo di lahan kering Kabupaten Blora relatif rendah sebagai akibat penggunaan varietas padi gogo lama serta penerapan teknologi budidaya yang belum intensif

Introduksi varietas padi gogo unggul baru (Situ Bagendit dan Towuti) yang disertai dengan penerapan inovasi teknologi budidaya dapat meningkatkan produktivitas padi gogo 52,5% - 79,0% lebih tinggi dibanding teknologi petani

Potensi genetik maksimal padi gogo yang diintroduksikan belum mencapai hasil maksimal sebagai akibat adanya serangan penyakit busuk leher malai (neck blast) pada saat tanaman memasuki fase masak susu, sehingga menyebabkan kehilangan hasil kurang lebih 20%.

Secara teknis inovasi budidaya padi gogo yang diintroduksikan layak untuk dikembangkan. Respon pengguna baik petani maupun Pemerintah Daerah terhadap kajian ini cukup positip, terbukti dengan akan digunakannya inovasi teknologi dalam program pengembangan padi gogo seluas 500 ha di Kabupaten Blora dan mengharapkan BPTP Jawa Tengah untuk berperan serta dalam pengawalan teknologi.

PUSTAKA

Basyir, A., Punarto, Suyanto dan Supriyatni. 1995. Padi gogo. Monograf Balittan Malang No. 14. Balittan Malang.

BPS Kabupaten Blora, 2003. Profil Pertanian Kabupaten Blora. BPS Kabupaten Blora. Darajat, A dan Husin M. Toha. 2004.

Pedoman Perancangan Pertanaman Demonstrasi/Visitor plot tanaman Padi. Pedoman Pelatihan Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul tipe Baru. Sukamandi, 31 Maret – 3 April 2004.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Tengah. 2000. Kebijakan/Program Dinas Pertanian Tanaman Pangan tahun 2000. Makalah disampaikan dalam Temu Informasi Teknologi Pertanian BPTP Jawa Tengah.

Hasanudin, A. 2004. Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu Suatu Strategi Pendekatan Teknologi Spesifik Lokasi. Pedoman Pelatihan Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul tipe Baru. Sukamandi, 31 Maret – 3 April 2004.

Lakitan, B. 2004. Solusi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Makalah pada Seminar Nasional ”Memacu Pembangunan Pertanian di Era Global”. Magelang 12 Juli 2005.

Las, I. 2004. Program Penelitian Pengembangan dan Inovasi Teknologi Padi untuk Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Petani. Pedoman Pelatihan Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul tipe Baru. Sukamandi, 31 Maret – 3 April 2004.

Ooy Lesmana, Husin M. Toha, dan Irsal Las.

Dalam dokumen EFISIENSI PENGGUNAAN PUPUK NITROGEN POSF (Halaman 127-135)