KAJIAN PUSTAKA
C. Karakteristik Berpikir intuitif
Fischbein merupakan seorang yang tergolong sebagai pelopor kajian intuisi
dalam pembelajaran, terutama pembelajaran matematika dan sains. Menurut
Fischbein (1987: 14) intuisi merupakan proses mental (kognisi) yang memiliki
ciri-ciri tertentu. Menurutnya bahwa intuisi dipandang sebagai suatu tipe kognisi.
Pengetahuan dibangun melalui proses mental ini disebut pengetahuan intuitif. Pada
sisi lain, intuisi didefinisikan sebagai kognisi segera (immediate cognition) dan
memiliki sifat-sifat di antaranya; (1) self-evident, (2) intrinsic certainty, (3)
perseverance, (4) coerciveness, (5) extrapolativaness, (6) teori status, dan (7)
globaly, dan (8) implicitness. Adapun makna karakteristik tersebut diuraikan
sebagai berikut:
Sifat intuisi pertama adalah self–evidence yang berarti konklusi yang diambil secara intuitif dianggap benar dengan sendirinya. Ini berarti kebenaran
suatu konklusi secara intuitif diterima berdasarkan feeling dan cenderung tidak
memerlukan jastifikasi atau verifikasi lebih lanjut. Sebagai contoh, apabila
seseorang menyimpulkan secara intuitif bahwa dua titik selalu dapat menentukan
sebuah garis atau jika titik-titik A, B, dan C titik-titik segaris maka pasti ada tepat
satu titik di antara dua titik lainnya.
Sifat intuisi kedua adalah intrinsic certainty yang berarti kepastian dari
dalam yang bersifat sudah mutlak. Seperti halnya seseorang merasa bahwa
untuk memastikan kebenarannya tidak perlu ada dukungan eksternal (baik secara
formal atau empiris).
Sifat intuisi ketiga adalah perseverable yang berarti intuisi yang dibangun
memiliki kekokohan atau stabil. Dengan demikian intuisi merupakan strategi
berpikir individual yang bersifat kokoh, tidak mudah berubah.
Sifat intuisi keempat adalah coerciveness yang berarti bersifat memaksa.
Hal ini berarti seseorang cenderung menolak representasi atau interpretasi alternatif yang berbeda dengan keyakinannya. Sebagai contoh, seorang mengatakan bahwa persegi panjang bukanlah jajar genjang adalah sesuatu yang muncul berdasarkan
keyakinannya. Kondisi semacam ini sulit dilakukan perubahan untuk menjadikan mereka menerima bahwa persegi panjang adalah jajaran genjang.
Sifat intuisi kelima adalah extrapolativeness yang berarti sifat meramal,
menduga, memperkirakan. Berarti melalui intuisi seseorang mampu menangkap
secara universal suatu prinsip, relasi, aturan melalui realitas khusus. Dengan kata
lain bahwa intuisi bersifat extrapolativeness juga dapat dipahami bahwa kognisi
intuitif mempunyai kemampuan untuk meramalkan, menerka, menebak makna di
balik fakta pendukung empiris. Sebagai contoh jika seseorang menyebut angka 2
kemudian angka 4 maka ia dapat menebak secara cepat dan spontan bahwa angka
berikutnya adalah 6, meskipun aturan tersebut tidak diberikan. Padahal boleh jadi
angka berikutnya adalah angka 8 jika aturan yang diberikan adalah dengan
Sifat intuisi keenam adalah theory status, yang berarti seseorang merasa
bahwa representasi atau interpretasinya diyakini sebagai sebuah teori, bukan berupa
persepsi, artinya seseorang tidak merepresentasikan atau menginterpretasikan
sesuatu berdasarkan hasil pengamatan semata.
Sifat intuisi ketujuh adalah globaly artinya bahwa kognisi intuisi bersifat
global, utuh, bersifat holistik yang terkadang berlawanan dengan kognisi yang
diperoleh secara logika, tidak selalu berurutan dan berpikir analitis. Sifat globaly
ini dapat diartikan bahwa orang yang berpikir intuitif lebih memandang keseluruhan
objek daripada bagian-bagian dan terkesan kurang detailnya.
Sifat intuisi kedelapan adalah implicitness artinya tersembunyi, tidak
tampak, berada di balik fakta. Berarti dalam membuat interpretasi, keputusan atau
konklusi tertentu atau dalam menyelesaikan masalah tidak dinyatakan dalam alasan
atau langkah-langkah yang jelas (explicit) adakalanya kemampuan kognisi
seseorang dalam menyelesaikan masalah bersifat implisit dan tidak dinyatakan
melalui langkah demi langkah (stepbystep) seperti aturan inferensi dalam logika.
Fischbein (1987: 17) juga mengelompokkan intuisi berdasarkan proses
terbentuknya ke dalam dua kelompok, yaitu intuisi primer dan intuisi sekunder.
Keberadaan intuisi primer merupakan anugrah Tuhan yang bersifat istimewa yang
juga disebut talenta. Keberadaan intuisi sekunder yang dapat ditata-ulang atau
direkonstruksi melalui pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari proses
Selain penjelasan di atas, Bunge (2001: 39) memandang bahwa proses dan
hasil berpikir yang melibatkan intuisi merupakan hal yang memiliki alasan tertentu
atau elaborates on intuition as reason. Intuisi lebih diorientasikan pada suatu
strategi penetapan langkah dalam menyelesaikan masalah. Beliau membagi
karakteristik berpikir intuitif terdiri atas tiga kategori, yaitu (1) inférence
catalytique, (2) pouvoir de synthèse, dan (3) sens commun. Adapun penjabaran
mengenai karakteristik berpikir intuitif tersebut dinyatakan oleh Henden (2004: 64)
bahwa (1) catalytic inference is a quick passage from some propositions to other
propositions perhaps by skipping stages so rapidly that the premises and the intermediary processes are not noticed. But the premises and the intermediary steps, that have been skipped or forgotten, are so many that only a trained mind can arrive in this way at likely conclusions. Dengan kata lain catalytic inference
merupakan strategi pengambilan kesimpulan yang sifatnya sangat cepat, atau proses
menggunakan jalan pintas dari suatu proposisi ke proposisi lainnya, yaitu dengan
meloncati beberapa langkah ke suatu konklusi/kesimpulan dengan sangat cepat
sehingga premis dan perantaranya menjadi tidak kelihatan, (2) power of synthesis is defined as “the ability to combine heterogeneous, or scattered elements into a unified or harmonious whole.” However, only a highly logical mentality is capable of achieving the synthetic apperception of a logical relation or set of relations. Such a skill is defined as intellectual intuition. Dengan kata lain power of synthesis
yang heterogen dan berserakan menjadi kesatuan yang harmonis. Makanya, hanya
dengan mental logika yang bagus yang mampu melakukan apersepsi sintetis dari
relasi logika atau kumpulan relasi-relasi tersebut. Kemampuan ini didefinisikan
sebagai intuisi intelektual, dan (3) common sense is judgment founded upon
ordinary knowledge. In this account, we start to see an emphasis on rapid, automatic, effortless inference. Dengan kata lain common sense merupakan
kemampuan mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan berlangsung
cepat, otomatis, dan tanpa mengeluarkan banyak usaha.
Westcott (dalam Henden, 2004) menyatakan bahwa simpulan yang
didasarkan pada intuisi, secara khas dikarakterisasikan informasi eksplisit yang
sedikit/kurang dibanding informasi yang umumnya dibutuhkan untuk memperoleh
simpulan (A conclusion based on intuition typically is characterized by less
explicit information than is ordinarily required to reach that conclusion). Sebagai
contoh jika seseorang mengatakan “satu dan dua,” selanjutnya mengatakan “tiga
dan berapa?” Orang lain yang mendengarkan mungkin mengatakan “empat” atau mungkin yang lainnya mengatakan “enam.” Akan tetapi berbeda dengan ketika seorang diminta untuk melanjutkan urutan bilangan 1, 3, 5, …, …. hampir bisa dipastikan bahwa mereka akan menjawab angka berikutnya adalah 7 dan 9.
Lebih lanjut Westcott menyatakan bahwa subjek sebenarnya menggunakan
masalah, dan kemungkinan mereka dapat meraih penyelesaian yang akurat.
Menurutnya, para pemikir intuitif yang sukses cenderung memiliki kecerdasan yang
lebih tinggi dibandingkan pemikir lainnya (pemikir analitis), hal ini terjadi karena
intuisi berfungsi dapat dijadikan sebagai jembatan berpikir berdasarkan fakta,
pengalaman sehingga mampu memunculkan ide atau gagasan untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
Adapun indikator dari karakter berpikir intuitif yang dapat diamati dari aktivitas subjek mengacu pada pendapat Bunge yang disajikan pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel2.1 Indikator karakteristik berpikir intuitif
Karakteristik
berpikir intuitif Indikator
Catalytic Inference
Berpikir cepat dalam memahami masalah, langkah-langkahnya singkat, menggunakan jalan pintas, terlihat kurang runtut (implicitly), ada lompatan langkah
penyelesaian karena sifat global, dan mengabaikan kelogisan.
Power of synthesis
Berpikir heterogen berdasarkan kemampuan yang dimiliki, melakukan apersepsi sintetis, menggunakan kombinasi prinsip, rumus dan algoritme beravariatif dalam menentukan jawaban yang muncul tiba-tiba, jawaban terlihat kurang teratur.
Common Sense
Berpikir menggunakan akal sehat, berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan sebelumnya, kemunculan ide bersifat segera, spontan dan otomatis, langkah-langkahnya terlihat rapi, teratur dengan sendirinya tanpa mengeluarkan banyak usaha.