KAJIAN PUSTAKA
D. Model-model Intuitif
Apabila seseorang dihadapkan pada suatu masalah atau konsep matematika
yang secara formal sulit dipahami, maka orang tersebut cenderung mencoba
menyajikannya melalui media atau perantara yang secara intuitif lebih mudah
diterima dan dipahami. Media atau alat perantara yang dijadikan alat bantu untuk
berpikir mengeluarkan ide atau gagasan tersebut selanjutnya disebut model berpikir.
Kajian tentang model ini secara tegas diungkapkan Gentner (dalam Fischbein &
Barash, 1993: 165 ) bahwa model intuitif diartikan sebagai sesuatu atau sarana yang
esensial untuk membantu seseorang memahami konsep tertentu secara langsung
(direct), segera (immediate) atau tiba-tiba (suddent). Misalnya jika sistem B
merepresentasikan sebuah model untuk sistem A apabila keduanya berbasis
isomorfis tertentu, maka deskripsi atau penyelesaian yang dihasilkan dalam sistem
A dapat direfleksikan secara konsisten ke dalam sistem B atau sebaliknya.
Berdasarkan uraian di atas, berarti model intuitif merupakan ciri khas
berpikir yang melibatkan intuisi dan berfungsi sebagai sarana penghubung atau
jembatan berpikir untuk memudahkan memahami konsep yang sulit diterima atau
dibayangkan. Untuk memudahkan memahami penggunaan model intuitif tersebut
Fischbein (1987: 121) memberikan ilustrasi model intuitif seperti halnya rumus dan
fungsi yang direpresentasikan dalam relasi matematika, umumnya merupakan
model abstrak dari realitas tertentu. Misalnya rumus fungsi kuadrat s = ½.a.t2
adalah model abstrak dari jarak yang diperoleh dari gerak yang dipercepat. Dengan
benda tersebut dalam t unit waktu. Hasil yang diperoleh dalam sistem abstrak ini
adalah valid untuk fenomena yang sesuai sistem nyata (konkret) dan
merepresentasikan suatu alat untuk memprediksi kejadian terkait dengan fenomena
tertentu. Model berpikir intuitif seringkali digunakan sebagai alat sensor yang bisa
diperoleh melalui representasi, manipulasi relalitas yang konkret. Seperti halnya
seseorang bermaksud merepresentasikan bilangan-bilangan bulat, 6, 5, 4, 3, 2, 1, 0,
-1, -2, dan sebagainya, orang tersebut dapat menggunakan garis bilangan dengan
bilangan 0 diletakkan pada titik tertentu pada garis. Contoh lainnya, pada saat
seorang guru menjelaskan tentang konsep faktor persekutuan terbesar (FPB) atau
kelipatan persekutuan terkecil (KPK), dengan menggunakan diagram pohon.
Pada sisi lain, model intuitif tidak harus berupa refleksi langsung dari
realitas konkret, namun juga berdasarkan interpretasi abstrak dari suatu realitas.
Sebagai contoh, grafik yang merepresentasikan sebuah fungsi merupakan model
intuitif untuk fungsi, dan fungsi tersebut merupakan model abstrak dari sebuah
fenomena tertentu. Seperti halnya fenomena jatuhnya benda yang direpresentasikan
sebagai fungsi kuadrat adalah bentuk model abstrak, kemudian dibuat grafik fungsi
merupakan representasi dari hubungan variabel yang terkandung di dalamnya
adalah bentuk model intuitif. Begitu juga halnya konsep-konsep geometri, seperti
gambar-gambar garis, sudut, segitiga, segiempat, kubus, kerucut dan sebagainya,
adalah merupakan representasi benda-benda konkret atau fenomena lainnya dapat
Adapun karakteristik berpikir intuitif di antaranya dinyatakan dalam bentuk
model-model intuitif sebagaimana diungkapkan Fischbein, (1987: 123), yaitu
pertama model implisit (tacit model), kedua model analogi (analogycal model),
ketiga model paradigmatik (paradigmatics model), dan keempat model
diagramatik (diagrammatic model).
Model implicit (tacit); terkadang suatu model dipilih dan dibuat secara
sengaja dan diarahkan secara tegas untuk membantu menemukan solusi. Sebagai
contoh, seseorang membuat maket atau alat peraga atau bentuk simulasi untuk
keperluan penelitian seperti gambar grafik, diagram, dan histogram. Namun
demikian juga tidak jarang dijumpai suatu model diciptakan secara otomatis dan
secara implisit (tacit) dikaitkan atau dihubungkan dengan realitas tertentu.
Suatu model dapat dipandang dari kaitannya dengan sistem yang
dimodelkan. Model analogy, yaitu model yang digunakan untuk dua konsep yang
berbeda, namun sistem konsep yang satu juga dimiliki sistem yang lain. Sebagai
contoh, secara intuitif dapat dipahami konsep penjumlahan memiliki sistem yang
relatif sama dengan konsep gabungan (union) beberapa himpunan yang saling
disjoint. Ini berarti apabila siswa belajar memamahi atau melakukan penjumlahan,
maka ia akan melakukan penggabungan dari objek-objek tersebut untuk
memudahkan proses penghitungannya. Begitu juga untuk konsep perkalian, yang
dipandang sebagai penjumlahan berulang dapat dimodelkan serupa dengan
penjumlahan, misalnya dengan menggabung beberapa himpunan yang memiliki
mencari luas Jajar Genjang, ia menggunakan rumus bahwa luas Jajar Genjang sama
dengan alas kali tinggi (ditulis L = a.t), ia menganalogikan bahwa Jajar Genjang
sebagai bentuk dari dua Segitiga, sehingga diperoleh rumusnya adalah dua kali luas
segitiga atau L = 2.½.a.t = a.t. Bentuk lain dari model intuisi yang bersifat analogi
ini juga digunakan untuk menentukan volume Tabung, dengan menggunakan
analogi terhadap volume Prisma.
Pada sisi lain, manakala suatu model termuat sebagai subkelas dari sistem
yang dimodelkan, yang disebut model paradigmatic. Sebagai contoh, seorang
siswa mempelajari sifat komutatif bilangan bulat, lalu menyimpulkan secara umum
bahwa sifat komutatif tersebut juga berlaku untuk sembarang himpunan. Contoh
lain ketika ditanyakan pada seorang anak menganggap zat cair adalah air. Jadi air
adalah model paradigmatik untuk zat cair. Sama halnya “lelehan lilin” merupakan
model paradikmatik untuk zat cair, disebabkan karena ia mengalir dan tidak
terbakar sebagai halnya sifat air.
Model intuitif yang terakhir adalah model diagrammatik. Model ini
menganggap bahwa diagram atau grafik merupakan representasi suatu fenomena
dan keterkaitannya. Sebagai contoh yang memenuhi kategori ini seperti halnya
diagram Venn, diagram pohon, dan histogram yang digunakan untuk representasi
statistik. Dalam hal ini diagram dipandang memiliki peran penting bagi munculnya
intuisi seseorang, hal tersebut disebabkan karena, pertama intuisi mengarahkan
synoptic, representasi global suatu struktur atau proses dan berkonstribusi terhadap
merupakan alat yang ideal (sangat baik) untuk menjembatani antara interpretasi
konsep dan ekspresi praktis dalam realita tertentu. Sebagai contoh, untuk
menunjukkan bahwa himpunan A merupakan himpunan bagian B ditulis dengan A
B, artinya bahwa setiap elemen A merupakan elemen B. Untuk memudahkan memahami konsep ini, dapat merepresentasikannya dengan diagram Venn
sebagaimana Gambar 2.2 berikut:
Gambar 2.2 Diagram Venn dari A B
Berdasarkan diagram di atas, seseorang lebih mudah memahami posisi A.
Apabila dikembangkan ke konsep pada level berikutnya, misalnya jika A B maka A B = B atau A B = A, untuk memahami masalah tersebut secara intuitif dapat dengan mengamati daerah arsiran pada diagram Venn tersebut. Model-model
intuitif di atas, memainkan peranan fundamental dalam memproduksi/menghasilkan
ide yang berkualitas. Sebuah model intuitif biasanya memberikan peluang lebih
besar bagi seseorang mempelajari sistem yang dimodelkan daripada
mempelajarinya langsung dari sistemnya. Di samping itu, beberapa masalah
biasanya lebih mudah diselesaikan di dalam model intuitif, daripada menyelesaikan
di dalam sistemnya sendiri.
B
A
A
Adapun beberapa indikator tentang model-model intuitif tersebut disajikan
pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Indikator Model-model Intuitif
Model Intuitif Indikator
Tacit
Subjek memaknai masalah bersifat implisit dan global, memahami masalah secara langsung, segera, ada lompatan langkah penyelesaian dan beranggapan orang lain memahami.
Analogy
Subjek menggunakan langkah penyelesaian mengacu langkah konsep lain yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan konsep tersebut. Kemunculan ide bersifat segera dan tidak banyak mengeluarkan usaha.
Diagrammatic
Subjek menggunakan ilustrasi gambar atau diagram dalam menyelesaikan soal, gambar atau grafik bersifat segera atau tiba-tiba (muncul saat membaca atau menyelesaikan soal).
Paradigmatic
Subjek menggunakan langkah-langkah penyelesaian soal didasarkan pada konsep lain yang dianggap sama dengan masalah yang dihadapi
E. Pemecahan Masalah Matematika
Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah untuk membantu siswa
dalam penyelesaian masalah, baik masalah yang berkenaan dengan pemahaman
konsep matematika itu sendiri maupun masalah yang berkaitan dengan realitas
kehidupan. Begle (dalam Krulik & Reys. 1980) mengatakan bahwa “the real justification for teaching mathematics is that it is a useful subject and in particular, tha it helps in solving many kinds of problems.”
Secara umum permasalahan dalam matematika dinyatakan dalam bentuk
soal matematika. Namun tidak semua soal matematika merupakan suatu masalah.
Sesungguhnya hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian masalah
adalah mengenai pengertian masalah dan langkah-langkah yang digunakan dalam
memecahkan masalah. Lalu apa sesungguhnya yang disebut masalah? Beberapa
beberapa pendapat ahli seperti Krulik et al. (2003), Shumway (1980), dan Polya
(1973) berikut ini:
Krulik et al. (2003: 91) menjelaskan tentang makna dari suatu masalah
bahwa “A problem is a situation, quantitative or otherwise, that confronts an individual or group of individuals, that requires resolution, and for which the individual sees no apparent path to obtaining the solution.” Sedangkan Shumway (1980: 287) menyatakan bahwa “A problem is a situation in which an individual or group is called upon to perform a task for which there is no readily accessible algorithm which determines completely the method of solution.”
Berdasarkan dua pendapat di atas, setidaknya ada dua kata kunci mengenai
definisi masalah, yaitu (1) situasi yang menantang artinya keadaan di mana
seseorang memiliki keinginan untuk menyelesaikan, (2) tidak memiliki jalan/cara
yang tepat untuk menyelesaikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutawidjaja
(1998) bahwa suatu soal merupakan masalah bagi seseorang jika soal tersebut dapat
dipahami dan berkeinginan untuk menyelesaikannya tetapi tidak mempunyai
gambaran atau langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikannya. Sebagai
memahami dan berupaya untuk menyelesaikan, namun belum ditemukan
langkah-langkah atau prosedur yang tepat dan akurat untuk mennyelesaikannya. Oleh
karenanya apakah suatu soal tergolong suatu masalah atau tidak adalah bersifat
relatif, artinya bergantung pada individu-individunya. Boleh jadi suatu soal
merupakan masalah bagi siswa A akan tetapi belum tentu merupakan masalah bagi
siswa B atau sebaliknya.
Lebih lanjut Polya (1973: 154) mengklasifikasi masalah menjadi dua
macam, yaitu (1) masalah menemukan (problem to find), dan (2) masalah
membuktikan (problem to prove). Masalah menemukan biasanya berupa hal-hal
yang bersifat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki yang
menuntut seseorang untuk mencari variabel-variabel masalah tersebut. Masalah
menemukan ini sangat cocok bagi siswa yang sedang mempelajari matematika
elementer. Tujuan dari masalah menemukan adalah untuk menghasilkan,
mendapatkan, mengkonstruksi, mengidentifikasi suatu objek yang diketahui
maupun yang tidak diketahui. Dalam masalah menemukan siswa diminta untuk
menggunakan aturan-aturan yang telah dipelajari sebelumnya untuk membuat
formulasi penyelesaian masalah. Menurut Polya, bagian utama yang merupakan
landasan dalam penyelesaian masalah menemukan adalah (1) bagaimana data yang
diketahui? (2) apa yang ingin dicari? dan (3) bagaimana persyaratannya?
Sedangkan tujuan mempelajari masalah membuktikan adalah untuk
menunjukkan nilai kebenaran dari suatu pernyataan. Apakah pernyataan tersebut
memverifikasi apakah pernyataan itu benar atau salah. Pada umumnya masalah
membuktikan lebih cocok untuk matematika lanjut. Bagian utama yang merupakan
landasan untuk menyelesaikan masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi suatu
teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Matlin (1994: 342) secara spesifik menyatakan ciri-ciri setiap masalah ke
dalam tiga bagian, yaitu (1) pernyataan awal, (2) pernyataan tujuan, dan (3)
kendala-kendala. Secara lebih detail dapat diperhatikan pada contoh berikut.
Ada berapa cara berbeda yang dapat kamu lakukan untuk membagi segitiga sebarang ke dalam 3 bagian yang memiliki luas sama? Berilah penjelasan terhadap setiap metode atau cara yang digunakan tersebut?
Ilustrasi contoh masalah di atas, berarti Pernyataan awalnya adalah sebuah
segitiga sebarang, dan Pernyataan tujuannya adalah ada berapa cara berbeda yang
dapat digunakan untuk membagi segitiga tersebut ke dalam 3 bagian yang sama
luasnya? Berilah alasan dari setiap penggunaan metode tersebut? Sedangkan
Kendalanya adalah tidak ada rumus/algoritma yang dapat digunakan untuk
membagi segitiga ke dalam 3 bagian yang luasnya sama.
Berdasarkan dua pendapat di atas, ada kesamaan dalam pengklasifikasian
masalah. Pengklasifikasian masalah tersebut dimaksudkan untuk membantu
seseorang dalam memahami dan memudahkan memecahkan masalah, yaitu (1)
bagaimana data yang diketahui sama halnya dengan pernyataanawal, (2) apayang
dicari sama dengan pernyataan tujuan, dan (3) bagaimana persyaratannya
Pemecahan masalah merupakan sekumpulan tindakan yang dilakukan untuk
mencari jalan keluar dari masalah. Hal tersebut diungkapkan Shumway (1980: 287)
yang mendefinisikan pemecahan masalah sebagai “the set of actions taken to perform the task (i.e., solve the problem).” Ahli psikologi kognitif seperti Solso
(1995:442) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai berpikir yang diarahkan
pada menyelesaikan suatu masalah tertentu yang melibatkan pembentukan
repson-respon maupun pemilihan di antara repson-respon-repson-respon yang mungkin.
Pengertian sederhana tentang penyelesaian masalah adalah proses
penerimaan informasi dari luar diri seseorang sebagai tantangan dan berusaha untuk
menyelesaikannya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan yang
ada serta pengalaman yang dimiliki. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Cooney et
al. (1975) bahwa pemecahan masalah adalah proses menerima masalah dan
berusaha untuk menyelsaikannya. Polya (1973:7) mendefiniskan pemecahan
masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari kesulitan. Artinya bahwa
pemecahan masalah dalam matematika adalah suatu aktivitas mencari solusi dari
masalah matematika yang dihadapi dengan menggunakan semua bekal pengetahuan
dan pengalaman matematika yang sudah dimiliki.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, berarti pemecahan masalah dalam
matematika adalah suatu aktivitas mencari solusi dari soal matematika yang
dihadapi dengan melibatkan semua bekal pengetahuan (telah mempelajari
konsep-konsep) dan bekal pengalaman (telah terlatih dan terbiasa menghadapi atau
menghadapi masalah/soal matematika dan merasa terpanggil untuk
menyelesaikannya, tentu akan berusaha mengumpulkan pengetahuan tentang
konsep matematika yang dimiliki dan pengalaman-pengalaman dalam
menyelesaikan soal matematika masa lalunya. Pengalaman yang dimiliki seseorang
dalam menghadapi persoalan tentu akan muncul secara sadar atau mungkin muncul
secara tiba-tiba dan bersifat spontan (tanpa pertimbangan) pada saat mereka
mengahadapi masalah serupa. Kemunculan yang sifatnya tiba-tiba atau bersifat
spontan ini merupakan ciri khas dari berpikir intuitif.
Mayer (dalam Solso 1995: 95) mengungkapkan terdapat tiga ide dasar
mengenai berpikir sebagai berikut.
1. Berpikir adalah kognitif – yaitu terjadi “secara internal” dalam pikiran – tapi disimpulkan dari perilaku yang muncul.
2. Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi
pengetahuan dalam sistem kognitif.
3. Berpikir adalah diarahkan dan menghasilkan perilaku “menyelesaikan” suatu
masalah atau diarahkan menuju suatu penyelesaian.
Para ahli psikologi kognitif, seperti Matlin (1994: 387) menyatakan bahwa
ada dua pendekatan dalam menyelesaikan masalah, yaitu (1) heuristik means-ends
(metode-tujuan akhir), dan (2) pendekatan analogi. Pendekatan heuristik
means-ends mempunyai dua komponen penting, yaitu (a) pertama membagi masalah ke
dalam sejumlah submasalah-submasalah atau masalah-masalah yang lebih kecil dan
tujuan untuk setiap sub-masalah. Dalam pendekatan pertama, yaitu heuristik,
pendekatan ini memusatkan perhatian pada perbedaan antara kondisi masalah awal
dan kondisi tujuan. Ketika menggunakan heuristik ini untuk menyelesaikan
masalah, dapat bergerak dengan arah maju, yaitu dari kondisi awal ke kondisi
tujuan, atau dengan arah mundur, yaitu dari kondisi tujuan ke kondisi awal. Ilustrasi
mengenai heursitik ini dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.
Berdasarkan pendekatan heuristik di atas, pengetahuan atau pemahaman
secara intuitif sangat diperlukan sebagai “jembatan berpikir” manakala seseorang berupaya untuk menyelesaikan masalah dan tentunya akan menyelaraskan kondisi
awal dan kondisi tujuan. Dengan kata lain, untuk beberapa siswa pada saat
menyelesaikan masalah geometri telah mengetahui atau menemukan solusi/jawaban
dari masalah tersebut sebelum siswa menuliskan langkah penyelesaiannya. Kendati
demikian pada saat mereka menemukan ide awal yang muncul secara tiba-tiba
dalam penyelesaian masalah atau seperti langkah yang paling cocok dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Munculnya ide yang demikian tentunya hadir Kondisi Awal Kondisi Tujuan Mengurangi gap/kesenjangan Kondisi Awal Kondisi Tujuan Mengurangi gap/kesenjangan
(a) Bergerak maju (forward) (b) Bergerak mundur (backward)
secara segera, bersifat otomatis atau muncul tiba-tiba yang merupakan karakter
berpikir yang melibatkan intuisi.
Pendekatan kedua dalam pemecahan masalah, yaitu pendekatan analogi.
Dalam pendekatan ini, pengetahuan terhadap langkah-langkah penyelesaian suatu
masalah sebelumnya dapat membantu dalam menyelesaikan suatu masalah yang
baru. Makna dari masalah yang baru, yaitu masalah yang sedang dihadapi saat ini
yang disebut masalah target. Sedangkan masalah sebelumnya, yaitu masalah yang
pernah diselesaikan sebelumnya disebut dengan masalah sumber. Dengan kata lain,
jika seseorang berusaha untuk menyelesaikan masalah yang merujuk pada
pengalamannya dalam menyelesaikan masalah, maka orang tersebut dikatakan
menggunakan pendekatan analogi. Misalnya jika siswa telah memiliki pengetahuan
yang banyak tentang jenis-jenis segitiga, maka apabila menghadapi masalah/soal
untuk menyebutkan dua jenis dari segitiga tersebut tentu akan dengan mudah dapat
menyebutkannya tanpa melalui tahap berpikir yang terlalu rumit. Atau apabila
seseorang menggambarkan segitiga siku-siku dan segitiga sama sisi, kemudian
diberikan kepada siswa/seseorang yang telah memiliki pengetahuan lengkap tentang
hal tersebut, maka siswa tersebut dapat menerima dan meyakini bahwa gambar
tersebut benar dengan sendirinya, walaupun apabila gambar dilakukan pengukuran
akan diperoleh data bahwa gambar tersebut tidak memenuhi sifat dari segitiga
siku-siku ataupun sama sisi. Penerimaan terhadap objek yang demikian inilah merupakan