• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model-model Intuitif

Dalam dokumen Karakteristik Berpikir Intuitif Siswa Be (Halaman 67-80)

KAJIAN PUSTAKA

D. Model-model Intuitif

Apabila seseorang dihadapkan pada suatu masalah atau konsep matematika

yang secara formal sulit dipahami, maka orang tersebut cenderung mencoba

menyajikannya melalui media atau perantara yang secara intuitif lebih mudah

diterima dan dipahami. Media atau alat perantara yang dijadikan alat bantu untuk

berpikir mengeluarkan ide atau gagasan tersebut selanjutnya disebut model berpikir.

Kajian tentang model ini secara tegas diungkapkan Gentner (dalam Fischbein &

Barash, 1993: 165 ) bahwa model intuitif diartikan sebagai sesuatu atau sarana yang

esensial untuk membantu seseorang memahami konsep tertentu secara langsung

(direct), segera (immediate) atau tiba-tiba (suddent). Misalnya jika sistem B

merepresentasikan sebuah model untuk sistem A apabila keduanya berbasis

isomorfis tertentu, maka deskripsi atau penyelesaian yang dihasilkan dalam sistem

A dapat direfleksikan secara konsisten ke dalam sistem B atau sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, berarti model intuitif merupakan ciri khas

berpikir yang melibatkan intuisi dan berfungsi sebagai sarana penghubung atau

jembatan berpikir untuk memudahkan memahami konsep yang sulit diterima atau

dibayangkan. Untuk memudahkan memahami penggunaan model intuitif tersebut

Fischbein (1987: 121) memberikan ilustrasi model intuitif seperti halnya rumus dan

fungsi yang direpresentasikan dalam relasi matematika, umumnya merupakan

model abstrak dari realitas tertentu. Misalnya rumus fungsi kuadrat s = ½.a.t2

adalah model abstrak dari jarak yang diperoleh dari gerak yang dipercepat. Dengan

benda tersebut dalam t unit waktu. Hasil yang diperoleh dalam sistem abstrak ini

adalah valid untuk fenomena yang sesuai sistem nyata (konkret) dan

merepresentasikan suatu alat untuk memprediksi kejadian terkait dengan fenomena

tertentu. Model berpikir intuitif seringkali digunakan sebagai alat sensor yang bisa

diperoleh melalui representasi, manipulasi relalitas yang konkret. Seperti halnya

seseorang bermaksud merepresentasikan bilangan-bilangan bulat, 6, 5, 4, 3, 2, 1, 0,

-1, -2, dan sebagainya, orang tersebut dapat menggunakan garis bilangan dengan

bilangan 0 diletakkan pada titik tertentu pada garis. Contoh lainnya, pada saat

seorang guru menjelaskan tentang konsep faktor persekutuan terbesar (FPB) atau

kelipatan persekutuan terkecil (KPK), dengan menggunakan diagram pohon.

Pada sisi lain, model intuitif tidak harus berupa refleksi langsung dari

realitas konkret, namun juga berdasarkan interpretasi abstrak dari suatu realitas.

Sebagai contoh, grafik yang merepresentasikan sebuah fungsi merupakan model

intuitif untuk fungsi, dan fungsi tersebut merupakan model abstrak dari sebuah

fenomena tertentu. Seperti halnya fenomena jatuhnya benda yang direpresentasikan

sebagai fungsi kuadrat adalah bentuk model abstrak, kemudian dibuat grafik fungsi

merupakan representasi dari hubungan variabel yang terkandung di dalamnya

adalah bentuk model intuitif. Begitu juga halnya konsep-konsep geometri, seperti

gambar-gambar garis, sudut, segitiga, segiempat, kubus, kerucut dan sebagainya,

adalah merupakan representasi benda-benda konkret atau fenomena lainnya dapat

Adapun karakteristik berpikir intuitif di antaranya dinyatakan dalam bentuk

model-model intuitif sebagaimana diungkapkan Fischbein, (1987: 123), yaitu

pertama model implisit (tacit model), kedua model analogi (analogycal model),

ketiga model paradigmatik (paradigmatics model), dan keempat model

diagramatik (diagrammatic model).

Model implicit (tacit); terkadang suatu model dipilih dan dibuat secara

sengaja dan diarahkan secara tegas untuk membantu menemukan solusi. Sebagai

contoh, seseorang membuat maket atau alat peraga atau bentuk simulasi untuk

keperluan penelitian seperti gambar grafik, diagram, dan histogram. Namun

demikian juga tidak jarang dijumpai suatu model diciptakan secara otomatis dan

secara implisit (tacit) dikaitkan atau dihubungkan dengan realitas tertentu.

Suatu model dapat dipandang dari kaitannya dengan sistem yang

dimodelkan. Model analogy, yaitu model yang digunakan untuk dua konsep yang

berbeda, namun sistem konsep yang satu juga dimiliki sistem yang lain. Sebagai

contoh, secara intuitif dapat dipahami konsep penjumlahan memiliki sistem yang

relatif sama dengan konsep gabungan (union) beberapa himpunan yang saling

disjoint. Ini berarti apabila siswa belajar memamahi atau melakukan penjumlahan,

maka ia akan melakukan penggabungan dari objek-objek tersebut untuk

memudahkan proses penghitungannya. Begitu juga untuk konsep perkalian, yang

dipandang sebagai penjumlahan berulang dapat dimodelkan serupa dengan

penjumlahan, misalnya dengan menggabung beberapa himpunan yang memiliki

mencari luas Jajar Genjang, ia menggunakan rumus bahwa luas Jajar Genjang sama

dengan alas kali tinggi (ditulis L = a.t), ia menganalogikan bahwa Jajar Genjang

sebagai bentuk dari dua Segitiga, sehingga diperoleh rumusnya adalah dua kali luas

segitiga atau L = 2.½.a.t = a.t. Bentuk lain dari model intuisi yang bersifat analogi

ini juga digunakan untuk menentukan volume Tabung, dengan menggunakan

analogi terhadap volume Prisma.

Pada sisi lain, manakala suatu model termuat sebagai subkelas dari sistem

yang dimodelkan, yang disebut model paradigmatic. Sebagai contoh, seorang

siswa mempelajari sifat komutatif bilangan bulat, lalu menyimpulkan secara umum

bahwa sifat komutatif tersebut juga berlaku untuk sembarang himpunan. Contoh

lain ketika ditanyakan pada seorang anak menganggap zat cair adalah air. Jadi air

adalah model paradigmatik untuk zat cair. Sama halnya “lelehan lilin” merupakan

model paradikmatik untuk zat cair, disebabkan karena ia mengalir dan tidak

terbakar sebagai halnya sifat air.

Model intuitif yang terakhir adalah model diagrammatik. Model ini

menganggap bahwa diagram atau grafik merupakan representasi suatu fenomena

dan keterkaitannya. Sebagai contoh yang memenuhi kategori ini seperti halnya

diagram Venn, diagram pohon, dan histogram yang digunakan untuk representasi

statistik. Dalam hal ini diagram dipandang memiliki peran penting bagi munculnya

intuisi seseorang, hal tersebut disebabkan karena, pertama intuisi mengarahkan

synoptic, representasi global suatu struktur atau proses dan berkonstribusi terhadap

merupakan alat yang ideal (sangat baik) untuk menjembatani antara interpretasi

konsep dan ekspresi praktis dalam realita tertentu. Sebagai contoh, untuk

menunjukkan bahwa himpunan A merupakan himpunan bagian B ditulis dengan A

 B, artinya bahwa setiap elemen A merupakan elemen B. Untuk memudahkan memahami konsep ini, dapat merepresentasikannya dengan diagram Venn

sebagaimana Gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2 Diagram Venn dari A  B

Berdasarkan diagram di atas, seseorang lebih mudah memahami posisi A.

Apabila dikembangkan ke konsep pada level berikutnya, misalnya jika A  B maka A  B = B atau A  B = A, untuk memahami masalah tersebut secara intuitif dapat dengan mengamati daerah arsiran pada diagram Venn tersebut. Model-model

intuitif di atas, memainkan peranan fundamental dalam memproduksi/menghasilkan

ide yang berkualitas. Sebuah model intuitif biasanya memberikan peluang lebih

besar bagi seseorang mempelajari sistem yang dimodelkan daripada

mempelajarinya langsung dari sistemnya. Di samping itu, beberapa masalah

biasanya lebih mudah diselesaikan di dalam model intuitif, daripada menyelesaikan

di dalam sistemnya sendiri.

B

A

A

Adapun beberapa indikator tentang model-model intuitif tersebut disajikan

pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Indikator Model-model Intuitif

Model Intuitif Indikator

Tacit

Subjek memaknai masalah bersifat implisit dan global, memahami masalah secara langsung, segera, ada lompatan langkah penyelesaian dan beranggapan orang lain memahami.

Analogy

Subjek menggunakan langkah penyelesaian mengacu langkah konsep lain yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan konsep tersebut. Kemunculan ide bersifat segera dan tidak banyak mengeluarkan usaha.

Diagrammatic

Subjek menggunakan ilustrasi gambar atau diagram dalam menyelesaikan soal, gambar atau grafik bersifat segera atau tiba-tiba (muncul saat membaca atau menyelesaikan soal).

Paradigmatic

Subjek menggunakan langkah-langkah penyelesaian soal didasarkan pada konsep lain yang dianggap sama dengan masalah yang dihadapi

E. Pemecahan Masalah Matematika

Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah untuk membantu siswa

dalam penyelesaian masalah, baik masalah yang berkenaan dengan pemahaman

konsep matematika itu sendiri maupun masalah yang berkaitan dengan realitas

kehidupan. Begle (dalam Krulik & Reys. 1980) mengatakan bahwa “the real justification for teaching mathematics is that it is a useful subject and in particular, tha it helps in solving many kinds of problems.

Secara umum permasalahan dalam matematika dinyatakan dalam bentuk

soal matematika. Namun tidak semua soal matematika merupakan suatu masalah.

Sesungguhnya hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian masalah

adalah mengenai pengertian masalah dan langkah-langkah yang digunakan dalam

memecahkan masalah. Lalu apa sesungguhnya yang disebut masalah? Beberapa

beberapa pendapat ahli seperti Krulik et al. (2003), Shumway (1980), dan Polya

(1973) berikut ini:

Krulik et al. (2003: 91) menjelaskan tentang makna dari suatu masalah

bahwa “A problem is a situation, quantitative or otherwise, that confronts an individual or group of individuals, that requires resolution, and for which the individual sees no apparent path to obtaining the solution.” Sedangkan Shumway (1980: 287) menyatakan bahwa “A problem is a situation in which an individual or group is called upon to perform a task for which there is no readily accessible algorithm which determines completely the method of solution.

Berdasarkan dua pendapat di atas, setidaknya ada dua kata kunci mengenai

definisi masalah, yaitu (1) situasi yang menantang artinya keadaan di mana

seseorang memiliki keinginan untuk menyelesaikan, (2) tidak memiliki jalan/cara

yang tepat untuk menyelesaikannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutawidjaja

(1998) bahwa suatu soal merupakan masalah bagi seseorang jika soal tersebut dapat

dipahami dan berkeinginan untuk menyelesaikannya tetapi tidak mempunyai

gambaran atau langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikannya. Sebagai

memahami dan berupaya untuk menyelesaikan, namun belum ditemukan

langkah-langkah atau prosedur yang tepat dan akurat untuk mennyelesaikannya. Oleh

karenanya apakah suatu soal tergolong suatu masalah atau tidak adalah bersifat

relatif, artinya bergantung pada individu-individunya. Boleh jadi suatu soal

merupakan masalah bagi siswa A akan tetapi belum tentu merupakan masalah bagi

siswa B atau sebaliknya.

Lebih lanjut Polya (1973: 154) mengklasifikasi masalah menjadi dua

macam, yaitu (1) masalah menemukan (problem to find), dan (2) masalah

membuktikan (problem to prove). Masalah menemukan biasanya berupa hal-hal

yang bersifat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki yang

menuntut seseorang untuk mencari variabel-variabel masalah tersebut. Masalah

menemukan ini sangat cocok bagi siswa yang sedang mempelajari matematika

elementer. Tujuan dari masalah menemukan adalah untuk menghasilkan,

mendapatkan, mengkonstruksi, mengidentifikasi suatu objek yang diketahui

maupun yang tidak diketahui. Dalam masalah menemukan siswa diminta untuk

menggunakan aturan-aturan yang telah dipelajari sebelumnya untuk membuat

formulasi penyelesaian masalah. Menurut Polya, bagian utama yang merupakan

landasan dalam penyelesaian masalah menemukan adalah (1) bagaimana data yang

diketahui? (2) apa yang ingin dicari? dan (3) bagaimana persyaratannya?

Sedangkan tujuan mempelajari masalah membuktikan adalah untuk

menunjukkan nilai kebenaran dari suatu pernyataan. Apakah pernyataan tersebut

memverifikasi apakah pernyataan itu benar atau salah. Pada umumnya masalah

membuktikan lebih cocok untuk matematika lanjut. Bagian utama yang merupakan

landasan untuk menyelesaikan masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi suatu

teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.

Matlin (1994: 342) secara spesifik menyatakan ciri-ciri setiap masalah ke

dalam tiga bagian, yaitu (1) pernyataan awal, (2) pernyataan tujuan, dan (3)

kendala-kendala. Secara lebih detail dapat diperhatikan pada contoh berikut.

Ada berapa cara berbeda yang dapat kamu lakukan untuk membagi segitiga sebarang ke dalam 3 bagian yang memiliki luas sama? Berilah penjelasan terhadap setiap metode atau cara yang digunakan tersebut?

Ilustrasi contoh masalah di atas, berarti Pernyataan awalnya adalah sebuah

segitiga sebarang, dan Pernyataan tujuannya adalah ada berapa cara berbeda yang

dapat digunakan untuk membagi segitiga tersebut ke dalam 3 bagian yang sama

luasnya? Berilah alasan dari setiap penggunaan metode tersebut? Sedangkan

Kendalanya adalah tidak ada rumus/algoritma yang dapat digunakan untuk

membagi segitiga ke dalam 3 bagian yang luasnya sama.

Berdasarkan dua pendapat di atas, ada kesamaan dalam pengklasifikasian

masalah. Pengklasifikasian masalah tersebut dimaksudkan untuk membantu

seseorang dalam memahami dan memudahkan memecahkan masalah, yaitu (1)

bagaimana data yang diketahui sama halnya dengan pernyataanawal, (2) apayang

dicari sama dengan pernyataan tujuan, dan (3) bagaimana persyaratannya

Pemecahan masalah merupakan sekumpulan tindakan yang dilakukan untuk

mencari jalan keluar dari masalah. Hal tersebut diungkapkan Shumway (1980: 287)

yang mendefinisikan pemecahan masalah sebagai “the set of actions taken to perform the task (i.e., solve the problem).” Ahli psikologi kognitif seperti Solso

(1995:442) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai berpikir yang diarahkan

pada menyelesaikan suatu masalah tertentu yang melibatkan pembentukan

repson-respon maupun pemilihan di antara repson-respon-repson-respon yang mungkin.

Pengertian sederhana tentang penyelesaian masalah adalah proses

penerimaan informasi dari luar diri seseorang sebagai tantangan dan berusaha untuk

menyelesaikannya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan yang

ada serta pengalaman yang dimiliki. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Cooney et

al. (1975) bahwa pemecahan masalah adalah proses menerima masalah dan

berusaha untuk menyelsaikannya. Polya (1973:7) mendefiniskan pemecahan

masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari kesulitan. Artinya bahwa

pemecahan masalah dalam matematika adalah suatu aktivitas mencari solusi dari

masalah matematika yang dihadapi dengan menggunakan semua bekal pengetahuan

dan pengalaman matematika yang sudah dimiliki.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, berarti pemecahan masalah dalam

matematika adalah suatu aktivitas mencari solusi dari soal matematika yang

dihadapi dengan melibatkan semua bekal pengetahuan (telah mempelajari

konsep-konsep) dan bekal pengalaman (telah terlatih dan terbiasa menghadapi atau

menghadapi masalah/soal matematika dan merasa terpanggil untuk

menyelesaikannya, tentu akan berusaha mengumpulkan pengetahuan tentang

konsep matematika yang dimiliki dan pengalaman-pengalaman dalam

menyelesaikan soal matematika masa lalunya. Pengalaman yang dimiliki seseorang

dalam menghadapi persoalan tentu akan muncul secara sadar atau mungkin muncul

secara tiba-tiba dan bersifat spontan (tanpa pertimbangan) pada saat mereka

mengahadapi masalah serupa. Kemunculan yang sifatnya tiba-tiba atau bersifat

spontan ini merupakan ciri khas dari berpikir intuitif.

Mayer (dalam Solso 1995: 95) mengungkapkan terdapat tiga ide dasar

mengenai berpikir sebagai berikut.

1. Berpikir adalah kognitif – yaitu terjadi “secara internal” dalam pikiran – tapi disimpulkan dari perilaku yang muncul.

2. Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi

pengetahuan dalam sistem kognitif.

3. Berpikir adalah diarahkan dan menghasilkan perilaku “menyelesaikan” suatu

masalah atau diarahkan menuju suatu penyelesaian.

Para ahli psikologi kognitif, seperti Matlin (1994: 387) menyatakan bahwa

ada dua pendekatan dalam menyelesaikan masalah, yaitu (1) heuristik means-ends

(metode-tujuan akhir), dan (2) pendekatan analogi. Pendekatan heuristik

means-ends mempunyai dua komponen penting, yaitu (a) pertama membagi masalah ke

dalam sejumlah submasalah-submasalah atau masalah-masalah yang lebih kecil dan

tujuan untuk setiap sub-masalah. Dalam pendekatan pertama, yaitu heuristik,

pendekatan ini memusatkan perhatian pada perbedaan antara kondisi masalah awal

dan kondisi tujuan. Ketika menggunakan heuristik ini untuk menyelesaikan

masalah, dapat bergerak dengan arah maju, yaitu dari kondisi awal ke kondisi

tujuan, atau dengan arah mundur, yaitu dari kondisi tujuan ke kondisi awal. Ilustrasi

mengenai heursitik ini dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.

Berdasarkan pendekatan heuristik di atas, pengetahuan atau pemahaman

secara intuitif sangat diperlukan sebagai “jembatan berpikir” manakala seseorang berupaya untuk menyelesaikan masalah dan tentunya akan menyelaraskan kondisi

awal dan kondisi tujuan. Dengan kata lain, untuk beberapa siswa pada saat

menyelesaikan masalah geometri telah mengetahui atau menemukan solusi/jawaban

dari masalah tersebut sebelum siswa menuliskan langkah penyelesaiannya. Kendati

demikian pada saat mereka menemukan ide awal yang muncul secara tiba-tiba

dalam penyelesaian masalah atau seperti langkah yang paling cocok dalam

menyelesaikan masalah tersebut. Munculnya ide yang demikian tentunya hadir Kondisi Awal Kondisi Tujuan Mengurangi gap/kesenjangan Kondisi Awal Kondisi Tujuan Mengurangi gap/kesenjangan

(a) Bergerak maju (forward) (b) Bergerak mundur (backward)

secara segera, bersifat otomatis atau muncul tiba-tiba yang merupakan karakter

berpikir yang melibatkan intuisi.

Pendekatan kedua dalam pemecahan masalah, yaitu pendekatan analogi.

Dalam pendekatan ini, pengetahuan terhadap langkah-langkah penyelesaian suatu

masalah sebelumnya dapat membantu dalam menyelesaikan suatu masalah yang

baru. Makna dari masalah yang baru, yaitu masalah yang sedang dihadapi saat ini

yang disebut masalah target. Sedangkan masalah sebelumnya, yaitu masalah yang

pernah diselesaikan sebelumnya disebut dengan masalah sumber. Dengan kata lain,

jika seseorang berusaha untuk menyelesaikan masalah yang merujuk pada

pengalamannya dalam menyelesaikan masalah, maka orang tersebut dikatakan

menggunakan pendekatan analogi. Misalnya jika siswa telah memiliki pengetahuan

yang banyak tentang jenis-jenis segitiga, maka apabila menghadapi masalah/soal

untuk menyebutkan dua jenis dari segitiga tersebut tentu akan dengan mudah dapat

menyebutkannya tanpa melalui tahap berpikir yang terlalu rumit. Atau apabila

seseorang menggambarkan segitiga siku-siku dan segitiga sama sisi, kemudian

diberikan kepada siswa/seseorang yang telah memiliki pengetahuan lengkap tentang

hal tersebut, maka siswa tersebut dapat menerima dan meyakini bahwa gambar

tersebut benar dengan sendirinya, walaupun apabila gambar dilakukan pengukuran

akan diperoleh data bahwa gambar tersebut tidak memenuhi sifat dari segitiga

siku-siku ataupun sama sisi. Penerimaan terhadap objek yang demikian inilah merupakan

Dalam dokumen Karakteristik Berpikir Intuitif Siswa Be (Halaman 67-80)