• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Beberapa Ahli tentang Intuisi

Dalam dokumen Karakteristik Berpikir Intuitif Siswa Be (Halaman 48-61)

KAJIAN PUSTAKA

B. Pandangan Beberapa Ahli tentang Intuisi

Dalam tataran filsafat, intuisi terbilang sesuatu yang baru dalam sejarah

filsafat, yang biasa dikenal dengan sebutan intuitionisme. Filsafat ini merupakan

aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi sebagai sumber pengetahuan dan

kebenaran. Menurut pandangan tersebut intuisi termasuk salah satu kegiatan

berfikir yang aktif namun sedikit mengabaikan penalaran, tidak peduli dari mana

datangnya pengetahuan tersebut. Kondisi semacam ini sesuai dengan salah satu ciri

kerja intuisi yang muncul secara tiba-tiba dan bersifat segera dan global didasarkan

pada feeling. Dengan demikian berarti proses intuisi bersifat non-analitik dan tidak

berdasar pada pola berfikir tertentu atau bahkan kejadiannya muncul begitu saja

tanpa tahu dari mana asal usulnya.

Beberapa pandangan mengenai intuisi menurut ahli-ahli filsafat (filosof) dan

ahli-ahli psikologi (psikolog) seperti filosof Plato & Aristoteles (dalam Henden,

2004: 14) membedakan antara jenis berpikir inferensial yang prosesnya berlangsung

tahap demi tahap (discursive thought) dan jenis berpikir yang prosesnya tidak

ini Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai berpikir intuitif. Keduanya

merumuskan perbedaan proses berpikir tersebut menganggap bahwa intuisi

merupakan proses berpikir serupa dengan proses berpikir Tuhan (God‟s thought). Intuisi merupakan sebagai hasil berpikir yang bercirikan: (1) tidak temporal (

a-temporal), yaitu keputusan yang diambil sulit berubah, (2) memandang keseluruhan

objek (globaly) daripada bagian-bagian objek (grasps all at once), (3) tidak bersifat

proposisional (non-propositional), (4) tidak bersifat representasional (

non-representational), dan (5) dianggap tidak pernah salah (infallible), karena ia

dipandang serupa dengan proses berpikir yang datang langsung dari Tuhan (God‟s thought). Sedangakan berpikir discursive dicirikan sebagai hasil berpikir yang (1)

bersifat temporal, (2) memandang bagian-bagian objek daripada keseluruhan objek,

(3) bersifat proposisional, (4) bersifat representasional, dan (5) dapat menghasilkan

kesimpulan salah (fallible).

Filosof Immanuel Kant (dalam Henden, 2004: 22) mencoba membangun

pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan

pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta

a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa

sesuatu dikatakan benar. Pertimbangan analitik ini relevan dengan discursive

thinking yang dikarakterisasikan oleh Plato & Aristotels, yaitu inferential, temporal,

grasps object piecemeal, propositional, representational, dan fallible. Kant juga

menyatakan bahwa pertimbangan sintetik relevan dengan intuisi yang tidak

sintetik ini terkadang terjadi karena tidak adanya kontradiksi dalam diri orang yang

menyatakannya.

Lebih lanjut Kant (dalam Gouldeli: 44) menjelaskan bahwa dengan intuisi

seseorang dapat memahami objek secara langsung dan bersifat global tanpa banyak

usaha, tetapi dengan berpikir (analitis) seseorang dapat memahami objek secara

tidak langsung, yakni melalui karakteristik atau sifat-sifat objek tersebut. Oleh

karenanya menurut Kant, sesungguhnya kemampuan seseorang dalam menangkap

realitas atau memahami suatu objek merupakan keberhasilan mengaitkan

pemahaman intuisi dengan pemahaman analitis.

Seorang filosof Bergson (dalam Henden, 2004: 25), mengatakan bahwa

intelek dan intuisi merupakan dua jenis pengetahuan berbeda yang saling

melengkapi. Prinsip-prinsip sains dimasukkan dalam kategori intelek dan

prinsip-prinsip metafisika dimasukkan dalam kategori intuisi. Akan tetapi ketika

mengaitkan antara kaidah sains dan filsafat yang memproduksi pengetahuan baru

merupakan rangkaian proses intelek (analitis) dan intuisi (sintetis) yang terjadi

secara bersamaan. Pengetahuan semacam ini dapat menyatukan dua persepsi

terhadap realitas yang berbeda. Lebih lanjut Bergson mengatakan bahwa intuisi

secara harfiah tidak bisa disamakan dengan feeling dan emosi. Menurut Bergson

intuisi dilihat sebagai sesuatu bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan

dari ilmu non-alam atau dengan kata lain intuisi merupakan tindakan atau

itu intuisi juga bisa digunakan untuk memperoleh pengetahuan atau keputusan yang

kadangkala pemerolehannya dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan suatu

aksi, yaitu dengan melakukan perenungan mendalam (diam sejenak) dan mungkin

muncul ide secara tiba-tiba. Dengan demikian melalui intuisi, seseorang akan

mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas yang kontinu (muncul

begitu saja tanpa diketahui asal usulnya) dan bersifat utuh (global).

Menurut Audi (2004: 34), intuisi adalah pengetahuan tak-inferensial (non

inferential knowledge) yang diperoleh tanpa melakukan inferensi terlebih dahulu

terhadap fakta, premis atau aksioma lain. Pengetahuan tersebut bersifat self

evidence, artinya pengetahuan yang dapat dipahami atau diterima secara langsung

oleh seseorang tanpa memerlukan proses pembuktian.

Pandangan-pandangan sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya ingin

mengkritik pandangan para filosof terdahulu yang menganggap bahwa segala

sesuatu yang terkait dengan pengetahuan selalu direfleksikan secara rasional,

formal, bersifat analitis. Dengan melihat kondisi tersebut, Bergson berusaha

melengkapinya dengan metafisika yang selalu menghadirkan fakta konkret dalam

aktivitas berpikirnya. Sedangkan kaum intelek (aliran rasionalis) berfokus pada

realitas yang benar-benar ada dan tampak di depan mata dan memungkinkan

konsep intelek atau berpikir analitis juga tidaklah selalu dapat menjawab realitas

Intuisi dalam matematika

Untuk memahami intuisi matematika diberikan dua pandangan penganut

intuitionisme atau intuisionisme, yakni intuisionisme klasik dan intuisionisme

inferensial. Munculnya dua kelompok ini memandang intuisi menurut perspektif

masing-masing. Pentanyaan yang mendasari munculnya pandangan ini adalah

apakah intuisi matematika merupakan hasil berpikir atau bukan? Bagaimana dan

kapan intuisi matematika bisa terjadi?

Menurut pandangan intuisionisme klasik yang dikemukakan filosof seperti

Spinoza & Bergson (dalam Zeev & Star, 2002: 5) menyatakan bahwa sesungguhnya

penalaran tidak memainkan peranan dalam intuisi tetapi intuisi dapat membantu

penalaran seseorang. Selanjutnya intuitionis klasik memandang intuisi sebagai “a special contact with prime reality, producing a sense of ultimate unity, true beauty, perfect certainty, and blessedness.” Artinya intuisi memiliki keterkaitan terbaik dengan kenyataan (realitas), menghasilkan satu kesatuan terbaik melalui berpikir

sehat, keindahan, kepastian sesungguhnya, dan keterberkatan.

Menurut penganut intuisionisme klasik, intuisi matematika merupakan hal

berbeda dengan berpikir formal (seperti halnya konsep implikasi dalam logika),

artinya dalam mempresentasikan masalah matematika seringkali didasarkan pada

keyakinan, feeling yang berakibat bahwa suatu konsep menjadi jelas dengan

sendirinya dan munculnya tiba-tiba, tanpa jastifikasi atau mengabaikan analisis

formal. Dengan kata lain berarti intuisi bersifat apathetically to reason, artinya

cenderung a priori dan tidak perlu diverifikasi kebenarannya, atau benar-benar

dipahami secara intelektual dan bahkan tidak selalu bergantung kepada pengetahuan

sebelumnya.

Konsep lain tentang intuisi juga diungkapkan psikolog seperti Resnick

(1986: 169) yang memandang intuisi matematika sebagai “cognitive primitives that can function without formal mathematical analysis” yang artinya intuisi matematika berfungsi sebagai kognisi primitif atau proses pikiran alami tanpa

proses berpikir formal. Dreyfus & Eisenberg (1982: 21) mengatakan bahwa intuisi

matematika dipandang sebagai “mental representations of fact that appear to be self evident” yang berarti intuisi matematika merupakan representasi mental dari fakta atau konsep yang kebenarannya diterima begitu saja atau benar dengan sendirinya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diartikan bahwa intuisi matematika

merupakan proses berpikir yang berfungsi membantu seseorang memahami dan

dapat menggerakkan kemampuan (ability) dalam menyelesaikan masalah meskipun

tidak dilakukan melalui pengajaran matematika dan diyakini benar tanpa

pembuktian formal (mengabaikan kerangka logika) walaupun ekspresinya

berbentuk analitis dan tergolong berpikir formal.

Timbullah pertanyaan tentang bagaimana dan kapan intuisi matematika

muncul di benak individu? Sesungguhnya bisa diduga bahwa intuisi matematika

dapat terjadi tidak selalu melalui sekolah formal atau tutorial, akan tetapi bisa

terjadi melalui faktor pembawaan. Gelman et.al (dalam Zeev & Star, 2002: 6)

merupakan faktor bawaan sejak lahir, seperti halnya konsep dan prinsip berhitung.

Pendapat Gelman ini juga didukung temuan hasil research yang dilakukan Wynn

(1995: 175) bahwa anak kecil (usia prasekolah) dapat melakukan perhitungan

sederhana pada bilangan bulat positif dan merupakan fondasi komputasi numerik

yang dimiliki. Artinya bahwa setiap orang telah memiliki kemampuan

merepresentasikan bilangan secara mental.

Pandangan lain yang berkomplementer dengan intuisionisme klasikal di

atas, yaitu pandangan intuisionisme inferensial yang memandang bahwa intuisi

bukan mekanisme khusus, tetapi merupakan bentuk berpikir yang berfungsi

membantu munculnya inspirasi seseorang karena adanya interaksi dengan

lingkungan dan pengalamannya. Pandangan tersebut juga sepaham dengan

pernyataan Ewing & Bunge (dalam Zeev & Star, 2002: 7) bahwa intuisi merupakan

produk berpikir dari pengalaman belajar sebelumnya. Lebih lanjut Bunge (2010:

110) menyatakan bahwa intuisi merupakan kemampuan memahami secara

mendalam (insight) dan melibatkan perasaan (feel emotions) terjadi secara spontan

(spontaneity).

Pada dasarnya pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan yang

diterima secara langsung tanpa melalui serangkaian bukti (Fischbein, 1994: 134).

Beradasarkan pendapat tersebut berarti pemahaman intuitif dimaknai sebagai

pemahaman secara spontan atau muncul secara tiba-tiba terhadap konsep yang

terjadi dalam pikiran bercampur perasaan tanpa harus melalui proses bukti terlebih

dan seterusnya, siswa tersebut langsung menangkap dan memahami bahwa

kumpulan bilangan tersebut merupakan bilangan genap, dan siswa dapat menerima

dan meyakini tanpa harus ditunjukkan dengan bukti formal. Kemudian apabila

siswa diminta untuk melanjutkan bilangan tersebut, hampir bisa dipastikan siswa

akan menjawab 8, 10, 12 dan seterusnya walaupun aturan umum dari kumpulan

bilangan tersebut belum ditentukan.

Lebih lanjut Fischbein (1983: 68) menyatakan bahwa intuisi sama halnya

feeling yang datangnya tiba-tiba, keterpaduan, dan kepercayaan tentang

penyelesaian matematika mungkin saja sebagai hasil dari mini-theory atau model

yang mendukung inferensi berbasis pengetahuan yang terjadi secara implisit, akan

tetapi dimungkinkan secara eksplisit dapat terjadi bersamaan dengan proses berpikir

analitis dalam matematika. Artinya ketika siswa dihadapkan pada permasalahan

atau sedang berusaha untuk menyelesaikan masalah matematika, terkadang jawaban

atau solusi masalah tersebut telah ada dan ditemukan walaupun belum dituliskan.

Hal ini berarti bahwa siswa tersebut telah memiliki jawaban secara implisit

beroperasi di bawah sadar.

Di samping perbedaan pandangan tentang karakteristik intuisi, secara umum

para ahli psikologi sepakat bahwa pernyataan, interpretasi atau konklusi yang

berbasis intuisi merupakan kognisi segera (immediate cognition) terhadap masalah,

atau kognisi muncul tiba-tiba tanpa disadari dalam pikiran. Akan tetapi tidak semua

kognisi segera merupakan intuisi, seperti halnya “persepsi” merupakan aktivitas

berpotongan, seseorang dengan segera menyimpulkan bahwa sudut-sudut bertolak

belakang pada garis yang berpotongan tersebut sama besar. Keadaan seperti ini

merupakan persepsi yang menghasilkan representasi atau interpretasi objek atau

konsep yang didasarkan pada penggunaan indera (baca: penglihatan, pendengaran,

dan perasaan.

Mujamil (2005: 298) memberikan komentar bahwa intuisi bukan sekedar

fakta psikologis, namun telah menjadi salah satu metode epistemologi, dengan

demikian berarti intuisi menjadi bersifat aktif dan produktif dalam memroses dan

memperoleh pengetahuan. Oleh karenanya intuisi dapat diberdayakan untuk

mengolah, memroses, menemukan ide untuk memperoleh solusi/pengetahuan.

Lebih lanjut Mujamil mengungkapkan tentang proses kerja intuisi dalam

memperoleh pengetahuan seperti proses kerja firasat atau feeling dengan kilatan,

cepat, segera, tiba-tiba, tidak sistematis, acak dan kebanyakan orang sering

menyebutnya dengan istilah berpikir tanpa melalui proses berpikir. Pada saat

melakukan perenungan atau menghadapi “jalan buntu” (tidak menemukan jalan

keluar dari permasalahan) adakalanya pada saat seperti ini intuisi hadir untuk

menunjukkan jalan keluar, sehingga dengan mudah menemukan jawaban tanpa

diketahui asal mula kehadirannya. Serupa dengan pendapat di atas, Simmons &

Nelson (dalam Nicholas, 2010: 3) menyatakan “intuition as the first answer that springs to mind when one is required to make a decision” artinya intuisi berperan sebagai jawaban pertama yang muncul untuk membuka pikiran/ide pada saat

Pada sisi lain, beberapa psikolog memberi pengertian intuisi, seperti halnya

Fujita & Yamamoto (dalam Jones, 1998: 162) yang memfokuskan penelitiannya

pada peranan intuisi dalam pendidikan geometri. Beliau mendefinisikan intuisi

secara khusus sesuai dengan konsteks penelitiannya, yaitu “It might be difficult to define „intuition‟ precisely, but for the purposes of this paper we regard it as a skill to „see‟ geometrical figures and solids, creating and manipulating them in the mind to solve problems in geometry.” Dalam hal ini beliau kesulitan mendefinisikan intuisi secara tepat, namun untuk tujuan penelitiannya intuisi dimasudkan sebagai

kemampuan membuat dan memanipulasi gambar geometri untuk menyatakan sudut

siku-siku dalam bangun ruang, untuk menemukan kemudahan dalam memecahkan

masalah geometri. Terkadang untuk melukiskan sudut yang sehurusnya siku-siku,

namun tampaknya pada gambar sebagai sudut lancip atau sudut tumpul. Oleh

karenanya aktivitas siswa seperti membuat coretan, menggambar, membuat sketsa,

memanipulasi simbol-simbol dan lain-lain yang kesemuanya dimaksudkan sebagai

”jembatan” berpikir untuk memandu dan memberikan kemudahan dalam rangkaian kerja penyelesaian masalah tersebut merupakan salah satu rangkaian aktivitas

berpikir intuitif.

Klein (2002: 91) menyatakan bahwa sintesis yang tampaknya paling efektif

antara intuisi dan analisis adalah ketika menempatkan intuisi di posisi depan

sebagai pemandu aktivitas analisis tentang berbagai situasi yang sedang dihadapi.

Dengan demikian intuisi dapat membantu dalam menetapkan strategi memulai

bahwa langkah yang digunakan tidak menyesatkan. Misalnya apabila seseorang

sedang dihadapkan pada permasalahan yang menuntut segera diselesaikan

terkadang ditemukan cara atau strategi penyelesaian yang tepat dan strategi tersebut

muncul secara tiba-tiba (mungkin kemunculannya karena adanya pengalaman masa

lalu atau karena didasarkan feeling untuk mencoba-coba) yang kemudian diikuti

aktivitas berpikir analitis untuk memverifikasi apakah langah atau strategi yang

digunakan dapat menentukan hasil yang diinginkan atau tidak. Dengan kata lain

berati berpikir intuitif memiliki peran penting dan bahkan tidak bisa dipisahkan

dalam aktivitas penyelesaian masalah geometri yang secara umum diyakini banyak

kalangan tergolong aktivitas berpikir analitis. Perumpamaan berpikir intuitif dalam

penyelesaian masalah geometri dimisalkan sebagai motor penggerak suatu benda,

sedangkan berpikir analitis merupakan wujud gerakan atau perubahan demi

perubahan posisi benda tersebut.

Beberapa matematikawan banyak yang mengandalkan intuisi dalam proses

penemuan teori yang mereka jalani. Ternyata keterlibatan intuisi dalam kegiatan

menyelesaikan masalah matematika juga diakui banyak matematikawan lain.

Burton (1999: 7) melakukan penelitian mengenai bagaimana keterlibatan intuisi

dalam kegiatan “bermatematika” para matematikawan dengan meminta pendapat 70

orang subyek penelitian. Seperti telah diduga sebelumnya terjadi pro dan kontra

mengenai hal ini karena intuisi masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Hasil

penelitian Burton, ternyata cukup banyak subyek (yaitu 83%) yang mengakui

mereka meskipun dengan kadar beragam. Dua contoh pernyataan berikut mewakili

pendapat mereka yang mengakui adanya keterlibatan intuisi dalam kegiatan

bermatematika:“ ...the ability to pick up that kind of connection in mathematics is mathematical intuition and is a central feature”, dan “I don‟t think you would ever start anything without intuition”. Sedangkan mereka yang menyatakan tidak ada

keterlibatan intuisi, contohnya adalah: “there is no such thing as intuition in mathematics”. Burton berhasil menggali pemahaman matematikawan mengenai intuisi matematis sebagai upaya mereka untuk menghubungkan atau membuat

“lompatan” ketika mereka tidak/belum menemukan adanya “jalur logis” yang

menghubungkan beberapa fakta/gagasan teoritis.

Hogarth (2001: 14) mendefinisikan intuisi sebagai pemikiran yang diperoleh

dengan sedikit usaha, dan pada umumnya hasilnya diperoleh dibawah sadar. Dalam

hal ini terkadang melibatkan pertimbangan sadar atau bahkan tidak sama sekali

sehingga intuisi dihasilkan tanpa mencurahkan banyak pikiran karena kejadiannya

dibawah sadar. Kahneman (2002: 449) dalam laporan penelitiannya menyimpulkan

bahwa intuisi dipandang sebagai pikiran atau preferensi yang datang dengan sangat

cepat tanpa banyak melakukan refleksi. Menurutnya intuisi merupakan suatu jenis

penalaran tak formal dan tak terstruktur. Kedua pendapat tersebut didukung Baylor

(1997: 68) bahwa intuisi merupakan perpaduan tiga komponen, yaitu kesegeraan

(immediacy), penalaran (reasoning), dan the sensing of relationship yang

Reasoning Relationship Immediacy

Insight Intuition

Gambar 2.1 Model Intuisi Menurut Baylor (1997)

Gambar model intuisi Baylor di atas, memberikan penjelasan perbedaan

antara intuisi dan insight, yaitu pada insight tidak terjadi proses penalaran,

sedangkan pada intuisi adalah insight yang dilengkapi proses penalaran. Dengan

demikian berarti seseorang dikatakan berpikir yang melibatkan intuisi dalam

menyelesaikan masalah apabila (1) dia merepresentasi atau interpretasi ide atau

gagasan bersifat holistik (global), langsung (direct), bersifat segera (immediate),

tiba-tiba (suddent), cepat (quick), spontan (spontaniously), (2) representasi dan

interpretasi bersifat menduga-duga (ekstrapolative), berdasarkan feeling (dibawah

sadar) dan membuat lompatan dalam menemukan hubungan atau pola, (3)

representasi dan interpretasi yang kurang memperhatikan kelogisan, terjadi secara

otomatis, tanpa usaha keras, tanpa banyak melakukan refleksi, berdasar

Dalam dokumen Karakteristik Berpikir Intuitif Siswa Be (Halaman 48-61)