• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KERANGKA TEORI, KONSEP DASAR DAN KAJIAN

2.2 Konsep Dasar

2.2.2 Kata

morfem yang lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Bauer (1983:87) menjelaskan produktivitas melalui pola pembentukan kata yang secara sistematis dapat digunakan oleh pemakai bahasa untuk membentuk kata-kata baru yang jumlahnya tidak terbatas dan kata-kata baru tersebut diterima dan dipakai oleh para pemakai bahasa lainnya secara sepontan tanpa kesukaran. Sementara Subroto (1985:95) mengemukakan bahwa cara untuk menentukan prosedur produktif ialah jumlah. Selanjutnya Katamba (1993:65-72) memberikan gambaran tentang masalah produktivitas menyangkut perluasan leksikon yang tiada henti-hentinya.

2.2.2 Kata

Berbagai pendapat tentang kata dapat dilihat pada uraian di bawah ini. Lyons (1971:197) menyatakan bahwa kata mengacu ke unit-unit bahasa terkecil yang sifatnya fonologis atau ortografis. Lebih lanjut Halliday, sebagaimana dikutip Kridalaksana (1996:36) menyebutkan bahwa kata dipandang sebagai satuaan yang lebih konkrit.

Crystal (1980:383-385) mengemukakan bahwa kata adalah satuan ujaran yang mempunyai pengenalan intuitif universal oleh penutur asli, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ada beberapa kesulitan untuk sampai kepada pemakaian yang konsisten dari istilah itu dalam kaitannnya dengan kategori-kategori lain dari pemerian linguistik, dan dalam perbandingan, bahasa-bahasa yang mempunyai tipe struktural yang berbeda. Masalah ini terutama yang berhubungan dengan identifikasi dan definisi kata, ketentuan-ketentuan batas kata maupun status. Definisi kata yang umum sebagai satuan makna adalah gagasan yang tidak membantu karena kesamaran konsep. Selanjutnya ia membuat perbedaan teoretis tentang makna utama kata sebagai berikut.

Kata adalah satuan yang dapat didefinisikan secara fisik yang dijumpai dalam suatu rentang tulisan (yang dibatasi oleh spasi) atau bicara (dimana identifikasi lebih sulit lagi, tetapi mungkin ada petunjuk-petunjuk fonologis untuk

mengidentifikasi batas-batas, seperti kesenyapan atau ciri-ciri jeda). Kata dalam makna ini dirujuk sebagai kata ortografis (untuk tulisan) atau kata fonologis (untuk bicara). Istilah netral yang sering digunakan bagi keduanya adalah bentuk kata (word form).

Ada suatu makna yang lebih abstrak, yang merujuk kepada faktor umum yang mendasari himpunan bentuk yang sama, seperti walk, walks, walking dan walked. Satuan kata mendasar itu sering dirujuk sebagai suatu leksem. Leksem adalah satuan kosakata yang didaftarkan dalam kamus. Hal ini mengharuskan penetapan bagi suatu satuan yang abstrak untuk memperhatikan bagaimana kata-kata beroperasi dalam tatabahasa suatu bahasa, dan kata-kata, tanda modifikasi, biasanya disiapkan untuk peran ini. Kata adalah satuan gramatikal dari jenis teoretis yang sama seperti morfem dan kalimat. Menurut model analisis hierarkis kalimat (klausa) terdiri atas kata dan kata terdiri atas morfem.

Sejalan dengan hal di atas Subroto (dalam Dardjowidjojo, 1981:268) mengemukakan bahwa ada kekaburan mengenai istilah kata, akibatnya dibuat beberapa perbedaan teoretis yang pada akhirnya kata mempunyai tiga pengertian makna seperti yang dikemukakan oleh Mathews (1978:22-30) seperti di bawah ini: (a) kata adalah apa yang disebut kata fonologis atau ortografis, maksudnya adalah bahwa kata semata-mata didasarkan atas wujud fonologis atau wujud ortografisnya. Ia memberi contoh dengan kalimat pembuka syair Yeats : That is no country for old men. Kalimat dalam syair ini terdiri dari tujuh kata, yakni that, is, no, country, for, old, dan men. Setiap kata dibangun dari sejumlah variasi huruf atau fonem. Misalnya, kata that terdiri atas huruf t, h, a, t, dst. Kata country secara fonetik dapat dibagi menjadi [k^N] dan [tri] dengan penekanan pada silabe pertama. Pembagian-pembagian seperti inilah yang disebut kata dalam istilah unit fonologis (word in terms of phonological units), (b) kata adalah apa yang disebut leksem dan (c) kata adalah apa yang disebut dengan kata gramatikal dan Subroto menjelaskan kata menurut pengertian (b) dan (c) ini berhubungan dengan konsep derivasi dan infleksi, sehingga apabila kita berbicara mengenai konsep leksem tidak dapat dipisahkan dari konsep derivasi dan infleksi.

Kata dalam pengertian (b) juga bermakna unit abstrak, maksudnya kata bukan dalam bentuk realisasinya atau bentuk nyatanya. Misalnya, kata “try”, dalam realisasinya kata ini dapat berbentuk “ try” dalam kalimat I try to do it, tries, dalam kalimat he tries to do it dan tried dalam kalimat He tried to do it yesterday. Dalam bahasa Latin, kata amo ‘love’ dapat direalisasikan sebagai amo ‘I love’, omas ‘you love’, amot ‘he loves’, dan amawi ‘I have loved’. Kata try dan amo serta realisasinya disebut dengan leksem. Salah satu di antara definisi tentang leksem adalah sebagai berikut :

“leksem adalah unit abstrak. Leksem dapat muncul dalam banyak bentuk yang berbeda di dalam tuturan atau bahasa tulisan, dan dianggap sebagai leksem yang sama meskipun dalam infleksif. Misalnya dalam bahasa Inggris, semua bentuk-bentuk infleksif seperti give, gives, given, giving, gave, termasuk ke dalam satu leksem give. Demikian pula halnya dengan ungkapan-ungkapan burry the hatchet, hammer and tongs, give up, and white paper dianggap sebgai leksem tunggal. Dalam kamus, setiap leksem hendaknya merupakan entri tersendiri”. (Richards dalam Parera, 1988 : 117).

Berkaitan dengan hal di atas, sebuah morfem dapat menjadi sebuah leksem, sebuah kata dapat menjadi sebuah leksem, dan sebuah frasa yang telah menjadi ungkapan yang idiomatispun dapat menjadi sebuah leksem. Leksem dapat dikatakan sebagai bentuk bahasa terkecil pendukung makna yang erat kaitannya dengan ide dan rujukan yang ada dalam alam pikir manusia pemakainya.

Leksem dapat memiliki bentuk yang sama, seperti pada pengertian (a) misalnya kata trying (adjektif) dan kata trying (verb) dalam frasa kalimat berikut ini “a trying day” dan “they are trying hard”. Kedua kata trying menurut pengertian (a) adalah sama, baik secara fonetik maupun secara fonemik. Apabila ditinjau dari pengertian (b) kedua kata itu berbeda. Kata trying (adjektiva) berasal dari leksem trying, sedangkan kata trying (verba) berasal dari leksem try. Kedua kata yang dalam pengertian (a) sama, tetapi dalam pengertian (b) berbeda disebut dengan homonimi. Selain itu ada pula kata-kata yang berasal dari leksem yang sama dan bentuknya sama, tetapi penggunaannya berbeda. Misalnya kata tried (bentuk lampau) dan kata tried (bentuk partisip) dalam kalimat : I tried hard dan I have tried hard. Kata tried dalam kalimat pertama mengandung makna past,

sedangkan tried dalam kalimat kedua mengandung makna participle. Hal yang seperti ini disebut dengan sinkretisme. Uraian ini menunjukkan adanya perbedaan di antara homonimi dan sinkretisme. Homonimi memiliki bentuk fonetik dan fonemik yang sama, tetapi bukan berasal dari leksem yang sama, dan kategorinya berbeda sedangkan sinkrotisme adalah kata yang memiliki bentuk fonetik dan fonemiknya sama dan berasal dari leksem yang sama dan kategori katanya masih sama.

Berbicara masalah kata Katamba (1993: 17-19) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

“kita dapat menggunakan istilah kata untuk menunjuk pada bentuk fisik sebuah leksem dalam suatu tuturan atau tulisan. Jadi, kata dapat menunjuk bahwa to see, sees, seing, saw dan seen sebagai lima kata yang berbeda. Dalam pengertian ini munculnya tiga bentuk yang berbeda dari leksem tersebut akan dianggap sebagai tiga kata. Kita seharusnya setuju bahwa bentuk fisik suatu kata seperti see, sees, seing, saw, dan seen adalah realisasi dari leksem see”.

Uraian di atas ini senada dengan apa yang dikatakan Kridalaksana (1996) bahwa kata harus dilihat sebagai satuan sintaksis. Jadi kata berbeda dengan leksem. Pembahasan tentang kelas kata tidak dapat mengabaikan wujud gramatika, dan yang berperan sebagai substansi gramatika adalah leksem. Leksem yang mengandung makna leksikal ini muncul dalam pelbagai wujud sesuai dengan tatarannya dalam sistem gramatika. Salah satu wujud gramatikal itu ialah kata. Kata sebagai satuan yang benar-benar bebas, karena kebebasannya itulah ia dapat langsung berperan sebagai unsur utama dalam satuan yang lebih besar. Selanjutnya ia membagi kelas kata menjadi (1) verba (2) adjektiva (3) nomina (4) pronominal (5) numeralia (6) adverbia (7) interogativa (8) demonstrativa (9) preposisi dan (10) konjungsi).

Pendapat lain seperti O’Grady dan Dobrofolsky (1989) mengatakan bahwa kata merupakan suatu bentuk bebas yang terkecil, yaitu suatu unsur yang dapat muncul tersendiri dalam berbagai posisi kalimat. Lebih lanjut O’Grady menjelaskan bahwa semua kata dalam suatu bahasa dibagi dalam dua kategori utama yaitu (1) kata tertutup yang mencakup kata dan fungsi dan (2) kategori kata terbuka yang meliputi kategori leksikal mayor seperti nomina, verba, adjektiva

dan adverbia. Setiap kata-kata baru dapat ditambahkan kepada kategori leksikal mayor tersebut karena masalah utama morfologi ialah bagaimana orang membentuk dan memakai kata yang belum pernah ditemukan sebelumnya, maka morfologi hanya berurusan dengan kategori-kategori leksikal mayor. Ia menambahkan setiap kata yang menjadi anggota suatu kategori leksikal mayor disebut butir leksikal yang merupakan entri dalam leksikon. Entri untuk setiap butir leksikal akan mencakup pengucapannya (fonologi), informasi tentang maknanya (semantik), termasuk kategori leksikal apa dan dalam lingkungan sintaksis mana kata itu dapat muncul (sub kategorisasi). Ditinjau dari segi bentuknya, kata dalam bahasa manusia dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) kata sederhana dan (2) kata kompleks. Kata sederhana adalah kata yang tidak dapat diuraikan menjadi satuan-satuan bermakna yang lebih kecil sedangkan kata kompleks adalah kata yang dapat diuraikan menjadi bagian-bagian konstituen yang menyatakan suatu makna yang dapat dikenal.

Untuk menganalisis morfem dan kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab digunakan konsep Katamba (1993), Sibarani (2002) dan Kridalaksana (1996). Selain itu pengelompokan kata disesuaikan dengan ancangan O’Grady (1989) yang membagi kata menjadi kata tunggal, dan kata kompleks. Beberapa pendapat yang dikemukakan di atas pada prinsipnya sama yaitu menganggap kata sebagai satuan bebas terkecil atau unsur bahasa yang dapat berdiri sendiri.