• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KERANGKA TEORI, KONSEP DASAR DAN KAJIAN

2.2 Konsep Dasar

2.2.1 Morfem

Berbagai pendapat tentang morfem telah diberikan oleh pakar bahasa. Morfem adalah bentuk terkecil yang bermakna yang tidak dapat dibagi atas bagian yang lebih kecil lagi (Keraf:1984:70, Kridalaksana:1985:110, Alwasilah:1994:150-162 dan Kusno:1985:20). Kelihatannya beberapa pendapat pakar ini tentang morfem berbeda dengan pandangan Ramlan (1990: 10) yang

Fonologi Leksikal Semantik

/mensirkan/ ‘merahasiakan, menyembunyikan’ /meraswah/ ‘memberi uang suap (menyogok)’

/sekaten/ (berasal dari bahasa Arab syahadatain) ‘upacara yang dilakukan pada bulan maulid dalam rangka memperingati maulid nabi dan bentuk acaranya mengeluarkan serta memainkan gamelan peninggalan kraton Jogjakarta di halaman Mesjid Raya Jogjakarta disertai acara pasar malam’

mengatakan bahwa morfem adalah bentuk tunggal baik bebas maupun terikat. Perbedaan ini tampak pada adanya kekhususan bagi morfem itu sendiri yaitu bentuk bebas dan bentuk terikat. Sementara Samsuri (1981:170) mengatakan morfem sebagai komposit bentuk pengertian terkecil yang sama atau mirip yang berulang. Pendapat ini juga berbeda dengan pendapat tentang morfem yang ada di atas karena morfem ini dikaitkan dengan adanya aspek mirip dan berulang.

Pernyataan yang hampir sama dinyatakan oleh Katamba (1993:24-44) bahwa morfem adalah perbedaan terkecil mengenai bentuk kata yang berhubungan dengan perbedaan terkecil mengenai makna kata atau makna kalimat atau dalam struktur gramatikal. Ia menambahkan suatu morf merupakan bentuk fisik yang mewakili beberapa morfem dalam suatu bahasa. Adapun O’ Grady dan Dobrovolsky (1989:91) mengatakan bahwa morfem adalah satuan-satuan bahasa terkecil yang bermakna yang bersifat arbitrer dan berarti hubungan antara bunyi dari suatu morfem dengan maknanya sama sekali bersifat konvensional, bukan pada obyek yang diwakilinya.

Definisi morfem yang lain juga dikemukakan oleh Nida (1962:6) yang mengatakan ” morphemes are the minimal meaningful units which may constitute word or part of word” dan Hocket (1970:123) memberi batasan morfem dengan “ morphemes are the smallest individually meaningful elements in the utterances of a language”. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sbb:”morfem adalah unsure atau satuan terkecil yang memiliki arti yang dapat berwujud kata atau bagian kata”. Masih mengenai definisi morfem, Verhaar (2000: 97-98) membagi morfem ke dalam dua jenis yakni morfem bebas dan morfem terikat. Lebih jauh Verhaar membagi morfem menurut bentuknya secara linear ke dalam dua macam, yakni morfem segmental dan morfem suprasegmental. Morfem segmental seperti pengafiksasian, pengklitikan, pemajemukan, dan pengulangan. Morfem segmental hanya dicontohkan dengan kata bahasa Inggris tak teratur untuk jamak foot adalah feet. Data ini dikatakan sebagai morfem ganda atau polimorfemis, akan tetapi, morfem jamak tidak tampak secara segmental, yang ada hanyalah morfem segmental foot dan perubahan fonem /u – i/. Adapun Bauer (1988: 13-17) memberi batasan morfem sebagai satuan-satuan dasar analisis dalam morfologi.

Jadi, inti pernyataan Bauer adalah bentuk itu dapat dipilah-pilah (take a part) untuk memperlihatkan unsur-unsur konstituennya. Beberapa pendapat pakar tentang definisi morfem di atas menunjukkan prinsip yang sama, hanya cara penyampaian dan sudut pandang yang digunakan berbeda. Jadi batasan-batasan tersebut dapat saling melengkapi antara satu dengan yang lain.

Senada dengan hal di atas Lyons (1971:182) menjelaskan bahwa morfem akar merupakan hal yang menjadi dasar bagi pembentukan kata dengan kategori lain sementara Nida (1962:99-100) mengatakan akar merupakan inti sebuah kata. Adapun Elson dan Pickett (1983:69) mengatakan “ in general, roots are single morphemes which carry the ‘basic meaning’ of the words; a root the core of a word’. Keduanya menambahkan, “ Another trem for the core part of the word is stem. At this stage we use the term root and stem interchangeably when they refer to single morphemes. The difference is that a root always refers to a single morpheme while a stem may be either a root (single morpheme) or consist of several morphemes. “Lain halnya dengan Palmer (1996:55) dalam membahas akar kata, ia membedakan morfem dasar, bentuk dasar dan pangkal. Morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi, bentuk seperti {juang}, {meja} dan {kaki} adalah morfem dasar. Morfem dasar pun ada yang berupa morfem terikat seperti {henti} dan {abai}dan ada pula yang termasuk morfem bebas seperti {datang} dan {pulang}. Adapun morfem afiks semuanya termasuk morfem terikat.

Katamba (1993:45) menjelaskan bahwa stem adalah bagian dari kata yang kemunculannya sebelum adanya tambahan afiks infleksi. Misalnya kata cats memiliki sufiks {-s} penanda jamak sebagai sufiks yang bersifat inflektif. Sufiks {-s} ini dilekatkan pada stem cat yang merupakan bare root (inti kata yang tidak bisa diurai lagi), sedangkan kata yang lain seperti worker terdiri dari work sebagai root dan worker sebagai stem, dengan kata lain semua root adalah base. Uraian Katamba ini menunjukkan bahwa stem dapat muncul dengan satu kondisi bahwa kata yang akan dilekati oleh stem tersebut belum mendapat afiks infleksi apabila kata yang dimaksud sudah mendapat tambahan afiks infleksi maka kehadiran ataupun kelakatan stem tidak diizinkan. Senada dengan hal ini Sibarani (2002:7-8)

menjelaskan bahwa root, stem, dan base adalah istilah-istilah yang digunakan di dalam literatur untuk menunjukkan bagian kata yang tetap tinggal pada saat semua afiks dibuang.

Afiksasi atau pengimbuhan merupakan pembentukan kata dengan membubuhkan afiks atau imbuhan pada morfem dasar, baik morfem dasar bebas maupun morfem dasar terikat. Samsuri (1981:188) menyebut morfem dasar bebas dengan istilah akar dan pangkal atau pokok.

Dilihat dari distribusinya, afiks dapat dibagi menjadi prefiks, infiks, sufiks dan berdasarkan cara melekatnya afiks tersebut, apakah afiks itu dilekatkan secara bersama-sama atau tidak bersama-sama disebut dengan konfiks dan kombinasi afiks (Pateda: 2002:54); prefiks, infiks , sufiks, konfiks (ambifiks-simulfiks) (Verhaar:2000:61), prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan transfiks (Matthews:1978:77). Berikutnya ada juga istilah ambifiks, sirkumfiks, simulfiks, superfiks atau suprafiks, dan kombinasi afiks (Kridalaksana:1996:28-31).

Selain membagi afiks dari distribusinya, pembagian afiks dalam penelitian ini juga dilakukan dengan cara melihat bagaimana unit-unit lain dapat berfungsi untuk mengubah bentuk katanya. Pembagian afiks juga dikaitkan dengan proses infleksi dan derivasinya. Afiks infleksi adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk-bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang menghasilkan leksem baru dari leksem dasar. Misalnya kata recreates dapat dianalisis terdiri atas sebuah prefiks re-, sebuah akar create, dan sebuah sufiks –s. Prefiks re- membentuk leksem baru recreate dari bentuk dasar create, sedangkan sufiks -s membentuk kata yang lain dari leksem recreate. Jadi prefiks re-bersifat derivasional, sedangkan sufiks –s bersifat infleksional.

Perbedaan antara pembentukan secara derivasional dan infleksional diuraikan oleh Nida dalam Subroto (1985:269) yang mengatakan bahwa pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata yang tunggal (yang termasuk sistem jenis kata tertentu) seperti singer ‘penyanyi’ (nomina) yang berasal dari verba to sing ‘menyanyi’; sedangkan pembentukan infleksional tidak, misalnya verba polimorfemis walked tidak termasuk beridentitas sama dengan verba monomorfemis yang manapun juga dalam sistem

morfologi bahasa Inggris. Secara statistik afiks derivasional lebih beragam misalnya dalam bahasa Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation, -ness, sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam {-s} dengan segala variasinya, {-ed1}, {-ed2}, dan {-ing}. Afiks derivasional dapat mengubah kelas kata sedangkan afiks infleksional tidak. Samsuri (1981:199) mengungkapkan bahwa di dalam bahasa Eropa utamanya Inggris pengertian derivasi dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. Berbeda halnya di dalam bahasa Indonesia, kata menggunting termasuk derivasi, sedangkan membaca dan mendengar adalah infleksi, oleh sebab itu pengertian derivasi dan infleksi tidak dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Subroto (1985:268) yang mengatakan pembedaan afiks derivasi dan infleksi tersebut tampaknya masih meragukan untuk diterapkan pada bahasa Indonesia yang tergolong bahasa aglutinasi. Selanjutnya Sibarani (2002:38-39) mengatakan bahwa morfem derivasional dapat menciptakan kata-kata baru dari kata-kata yang ada dengan dua cara. Pertama, morfem derivasional tersebut dapat mengubah kelas kata seperti kata ripe (adj) yang berubah menjadi ripen (verb) dan kedua morfem derivasional tersebut dapat mengubah makna kata seperti happy menjadi unhappy (bandingkan dengan Chaer, 1994:194 dan Walley 1997:96). Morfem infleksional adalah morfem terikat yang menciptakan bentuk lain dari kata yang sama dengan cara tidak mengubah kelas kata dan maknanya tetapi hanya memberikan informasi gramatikal tambahan tentang makna kata yang sudah ada, seperti cat dan cats. Morfem plural S berisi informasi tambahan bahwa ada lebih dari satu kucing. Ia juga mengatakan dalam bentuk nominal morfem infleksional berfungsi menandakan fungsi gramatikal seperti jumlah dan milik sedangkan dalam bentuk verba menandakan kala sementara pada bentuk adjektiva menunjukkan kepada tingkatan.

Selanjutnya pengkajian afiks juga digolongkan ke dalam morfem produktif dan yang tidak produktif. Menurut Pateda (2002:54) afiks produktif adalah afiks yang memiliki kesanggupan besar untuk dilekatkan pada morfem yang lain yang menghasilkan kata yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan afiks

inproduktif adalah afiks yang tidak memiliki kesanggupan untuk dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Bauer (1983:87) menjelaskan produktivitas melalui pola pembentukan kata yang secara sistematis dapat digunakan oleh pemakai bahasa untuk membentuk kata-kata baru yang jumlahnya tidak terbatas dan kata-kata baru tersebut diterima dan dipakai oleh para pemakai bahasa lainnya secara sepontan tanpa kesukaran. Sementara Subroto (1985:95) mengemukakan bahwa cara untuk menentukan prosedur produktif ialah jumlah. Selanjutnya Katamba (1993:65-72) memberikan gambaran tentang masalah produktivitas menyangkut perluasan leksikon yang tiada henti-hentinya.

2.2.2 Kata

Berbagai pendapat tentang kata dapat dilihat pada uraian di bawah ini. Lyons (1971:197) menyatakan bahwa kata mengacu ke unit-unit bahasa terkecil yang sifatnya fonologis atau ortografis. Lebih lanjut Halliday, sebagaimana dikutip Kridalaksana (1996:36) menyebutkan bahwa kata dipandang sebagai satuaan yang lebih konkrit.

Crystal (1980:383-385) mengemukakan bahwa kata adalah satuan ujaran yang mempunyai pengenalan intuitif universal oleh penutur asli, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ada beberapa kesulitan untuk sampai kepada pemakaian yang konsisten dari istilah itu dalam kaitannnya dengan kategori-kategori lain dari pemerian linguistik, dan dalam perbandingan, bahasa-bahasa yang mempunyai tipe struktural yang berbeda. Masalah ini terutama yang berhubungan dengan identifikasi dan definisi kata, ketentuan-ketentuan batas kata maupun status. Definisi kata yang umum sebagai satuan makna adalah gagasan yang tidak membantu karena kesamaran konsep. Selanjutnya ia membuat perbedaan teoretis tentang makna utama kata sebagai berikut.

Kata adalah satuan yang dapat didefinisikan secara fisik yang dijumpai dalam suatu rentang tulisan (yang dibatasi oleh spasi) atau bicara (dimana identifikasi lebih sulit lagi, tetapi mungkin ada petunjuk-petunjuk fonologis untuk