• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: METODE PENELITIAN

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Kegiatan yang dilakukan setelah pengumpulan data selesai adalah menganalisisnya. Sewaktu menganalisis data kegiatan yang pertama dilakukan adalah mentranskripsi data berdasarkan pada kebutuhan kajian kemudian dicatat pada kartu data. Data yang telah ditranskripsi kemudian diseleksi untuk menghindari data yang bertumpuk (data dumb). Langkah ini ditempuh dengan maksud untuk mempermudah peneliti dalam mengklasifikasi data dan data yang diseleksi benar-benar yang representatif. Selanjutnya data diklasifikasi berdasarkan tingkat kebutuhan masing-masing masalah kajian. Klasifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Klasifikasi pertama berisi tentang fungsi dan makna kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dalam konstruksi morfologis derivasi dan infleksi.

2. Klasifikasi kedua berisi tentang morfofonemis yang terdapat di dalam pembentukan kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab.

3. Klasifikasi ketiga berisi tentang tipologi morfologis kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab.

4. Klasifikasi keempat berisi tentang proses pembentukan kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab berdasarkan kajian morfologi generatif.

5. Klasifikasi kelima berisi tentang bentuk-bentuk potensial kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab.

Masalah pertama dan kedua dapat dijawab dengan melihat klasifikasi data yang terdapat di dalam kartu data. Deskripsi tentang afiks derivasional dan infleksional BI dari BA dilakukan dengan menggunakan metode distribusional, yaitu metode pengkajian bahasa yang ditentukan oleh faktor di dalam bahasa itu sendiri. Teknik yang digunakan adalah teknik urai unsur langsung, teknik ganti dan teknik sisip. Teknik urai unsur langsung dilakukan dengan menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam suatu kata bentukan sesuai dengan hierarki pembentukannya untuk menentukan morfem yang derivasional dan infleksional.

Teknik ganti dilakukan untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur pengganti, khususnya bila tataran pengganti sama dengan tataran terganti. Misalnya, di dalam data ditemukan afiks {me-} dan {ber-}yang dapat dianggap sebagai afiks yang berjenis prefiks karena dalam kata tertentu kedua afiks ini dapat saling menggantikan, seperti:

{meN-} + rawi = merawi {ber-} + rawi = berawi

Adapun teknik sisip digunakan untuk mengetes apakah suatu afiks berkedudukan sebagai afiks atau bukan, mekanisme pengetesan bentuk dilakukan dengan jalan menyisipkan bentuk lain di antara afiks dan morfem dasar yang dilekatinya.

Masalah kedua dapat dilihat pada kata menakhsiskan ‘membatasi’. Morfem{meN-} yang melekat pada contoh ini memiliki morfem dasar yang diawali konsonan obstruen /t/. Data ini mengalami dua proses fonologis yakni (1) prefiks {meN-} mengasimilasi bunyi obstruen yang mengikutinya dan (2) bunyi obstruen akan dilesapkan setelah asimilasi terjadi.

Masalah ketiga dapat dianalisis dengan menggunakan metode padan dengan teknik hubung banding menyamakan dan membedakan. Metode padan adalah metode yang dipakai untuk menentukan identitas satuan lingual tertentu dan alat penentunya di luar bahasa itu. (Sudaryanto dalam Subroto, 1992: 55-56). Metode ini dibagi ke dalam lima sub jenis, namun dalam penelitian ini akan digunakan dua sub jenis saja, yaitu alat penentu referens dan alat penentu bahasa lain. Misalnya pada level afiksasi dengan membanding-bandingkan morfem-morfem yang ada seperti {meN-}+ {raib}adj Æ {meraib}v, {meN-}+ {hisab}n {menghisab}v, diketahui bahwa pembentukan kata di atas ini berasal dari satu tipe yaitu morfem afiks {me-N}+ morfem dasar dan batas antara kedua morfem tersebut jelas.

Masalah keempat dapat dianalisis dengan teknik urai unsur langsung. Teknik urai unsur langsung digunakan untuk menguraikan satuan-satuan lingual sesuai dengan tingkatan hierarkinya. Sejalan dengan ini Subroto (1992:65) mengemukakan bahwa teknik urai unsur langsung digunakan untuk menguraikan satuan-satuan lingual atas unsur-unsur terkecil. Selain itu untuk menyelesaikan masalah ini juga digunakan metode padan dengan teknik referensial. Teknik referensial ini merupakan teknik sampingan untuk membantu peneliti mengklasifikasikan data-data yang sesuai dengan referennya dan selanjutnya dicari seperangkat tanda morfologisnya, misalnya:

hijab + {meN-} = menghijab Hijab + {peN-} = penghijab

Masalah kelima dalam kajian ini dapat dijawab dengan menggunakan metode padan. Metode padan (identitas) ialah metode yang digunakan untuk menentukan identitas suatu satuan lingual tertentu dengan alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto:1988). Metode ini dibagi ke dalam lima sub jenis, tetapi dari

kelima sub jenis tersebut hanya akan digunakan dua sub jenis yakni alat penentu referen, misalnya untuk menentukan kata benda merujuk pada sesuatu yang menyatakan benda dan alat penentu bahasa lain, misalnya untuk menentukan kata kerja dalam BI ialah kata yang di dalam bahasa Inggeris, Prancis atau Indo Eropa hanya dapat dikonjugasikan. Mahsun (2005:22) menjelaskan bahwa teknik referensial digunakan untuk tujuan menjelaskan makna afiks dengan melihat watak semantik morfem akar. Senada dengan itu Subroto (1992:56) menjelaskan bahwa dengan teknik tersebut peneliti merenung, memikirkan, mencocokkan satuan lingual tertentu dengan referennya. Lebih jauh dijelaskan bahwa identitas satuan lingual tertentu ditentukan berdasarkan derajat kesepadanan, kesesuaian atau kesamaan arti konsep yang terkandung dalam kata itu dengan referennya. Misalnya kata taarufan ‘acara perkenalan’, rajaban ‘acara peringatan Israk Mikraj’, walimahan ‘acara perjamuan pada pernikahan’, kelajnahan ‘kepanitiaan’, ‘bertausiyah ‘memberi pesan’ dan berjaulah ‘berpindah tempat mendengarkan pengajian’ serta bermuhasabah ‘berintrospeksi diri’. Kata-kata ini juga merupakan bentuk potensial yang suatu saat akan digunakan oleh penutur bahasa Indonesia karena berdasarkan pada KPK kata tersebut memenuhi syarat yang dikeriteriakan oleh kaedah pembentukan. Kata-kata ini mungkin saja belum banyak dipakai dikalangan penutur bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Katamba bahwa salah satu tujuan morfologi tidak hanya memahami dan membentuk kata-kata yang ada (real) dalam bahasa mereka, tetapi bagaimana juga mereka membentuk kata-kata potensial yang belum mereka gunakan pada saat mereka berujar.