• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecenderungan Pengembangan Teknologi Ekstraksi dan Standardisasi

BAB 5 TEKNOLOGI EKSTRAKSI DAN STANDARDISASI EKSTRAK

5.2. Kecenderungan Pengembangan Teknologi Ekstraksi dan Standardisasi

Perkembangan teknologi ekstraksi dan standardisasi ekstrak sejak tahun 1980 an hingga saat ini tidak mengalami perubahan yang berarti. Penerapan teknologi dengan metode terbaru relatif masih terkendala dengan biaya investasi dan perbedaan biaya operasional yang tidak terlalu signifikan dengan metode lama. Namun demikian, kecenderungan pengembangan metode teknologi ekstraksi di masa mendatang diperkirakan akan dipengaruhi oleh isu paradigma green extraction technology. Paradigma ini tidak hanya merefleksikan proses di tahapan ekstraksi namun juga pada seluruh aspek teknologi produksi yang digunakan, sehingga mampu memberikan perlindungan yang lebih baik pada kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.

Setidaknya terdapat beberapa prinsip paradigma green extraction technology

(Chemat, et al., 2015) antara lain (1) pemilihan jenis varietas dan penggunaan bahan baku yang dapat terbarukan, (2) penggunaan pelarut alternatif khususnya air dan pelarut yang ramah lingkungan, (3) pengurangan konsumsi energi melalui pemanfaatan kembali energi dan penggunaan teknologi yang inovatif, dan (4) penerapan konsep pemanfaatan keseluruhan senyawa bioaktif untuk kegiatan yang bernilai ekonomi

1) Prinsip 1: pemilihan jenis varietas tanaman dan penggunaan bahan baku yang dapat segera terbarukan

Kebutuhan bahan alam yang semakin meningkat bisa menyebabkan eksploatasi sumber bahan alam tersebut secara berlebihan. Akibat yang lebih serius adalah

punahnya beberapa tanaman (obat) jika tidak diimbangi dengan budidaya dan upaya lainnya untuk menjaga kelestarian tanaman tersebut. Yang sangat mengkhawatirkan adalah jika pemanfaatan tanaman harus dilakukan dengan pengambilan keseluruhan bagian atau bagian penting yang bisa mematikannya, sementara upaya penanaman kembali membutuhkan waktu berpuluh tahun. Oleh karena itu perlu dicari pengganti sumber tanaman yang setara namun dapat segera dibudidayakan. Strategi pemanfaatan tanaman semusim merupakan cara terbaik untuk mengatasi hal ini.

Di samping itu pemilihan varietas yang unggul merupakan srategi lain untuk mengatasi resiko langkanya suatu tanaman. Bibit yang unggul diharapkan akan menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih besar, sehingga kebutuhan akan jumlah bahan baku relatif dapat dikurangi.

Dalam konteks kemandirian bahan baku obat herbal, substitusi impor jenis tanaman tertentu dengan tanaman yang tumbuh di Indonesia merupakan salah satu kebijakan untuk mewujudkan kemandirian tersebut.

2) Prinsip 2: penggunaan pelarut alternatif khususnya air dan pelarut yang ramah lingkungan

Pada tahapan ekstraksi, pelarut merupakan salah satu parameter penting bagi efektivitas proses ekstraksi senyawa bioaktif. Perbedaan jenis pelarut jika diterapkan pada metode ekstraksi yang sama akan menghasilkan kualitas ekstrak yang berbeda. Hal ini dikarenakan sifat polaritas senyawa yang terkandung dalam bahan alam. Di samping sifat polaritas pelarut, aspek penting lainnya bagi pelarut adalah terkait isu lingkungan, kemananan dan kesehatan operator dan biaya operasional yang dibutuhkan. Pelarut ideal adalah pelarut yang memenuhi persyaratan efektivitas, keamanan dan aspek legal dan legal lingkungan. Secara teoritis, sifat pelarut ideal dapat digambarkan seperti pada Gambar 5.1.

Sumber: Chemat, et.al.,2015 Gambar 5.1 Sifat pelarut ideal yang digunakan pada proses ekstraksi

Terdapat berbagai kelompok jenis pelarut yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi senyawa bioaktif dari bahan alam, antara lain air, ionic liquid, karbon dioksida, pelarut berbasis bahan agro dan pelarut berbasis bahan petrokimia. Jika diperbandingan teknik ekstraksi dan kelompok jenis pelarut tersebut dalam sebuah grafik maka akan terlihat seperti Gambar 5.2.

Sumber : BPPT, 2017 Gambar 5.2 Perbandingan teknik dan pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi

Gambar 5.2. menunjukkan bahwa belum ada satupun pelarut yang ideal untuk bermacam tujuan ekstraksi. Namun demikian diperkirakan pada masa yang akan datang penggunaan pelarut berbasis air atau campuran dengan pelarut etanol akan menjadi prioritas mengingat biaya yang relatif rendah, aman dan ramah terhadap lingkungan. Pengembangan teknik ekstraksi menggunakan prinsip air bertekanan

Senyawa Polar Senyawa semi polar Senyawa non polar Kesehatan dan keamanan Biaya operasional Kelestarian lingkungan Bebas pelarut Air CO2 Ionic liquids Pelarut dari Agro Pelarut dari petrokimia

atau pengubahan sifat air akan mendukung penggunaan air secara massal sebagai pelarut pada proses ekstraksi senyawa bioaktif dari bahan alam.

3) Prinsip 3 : pengurangan konsumsi energi melalui pemanfaatan kembali energi dan penggunaan teknologi inovatif

Secara umum perbedaan metode ekstraksi akan menghasilkan rendemen dan kualitas ekstrak yang berbeda. Semakin langka sumber energi berbasis fosil di masa depan menuntut adanya ketersediaan sumber bahan energi lain yang lebih murah dan berkelanjutan serta penggunaan teknologi ekstraksi yang lebih efisien. Penggunaan teknologi dengan memanfaatkan kembali energi yang saat ini masih terbuang merupakan salah upaya untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri ekstrak di Indonesia.

4) Prinsip 4 : penerapan konsep pemanfaatan keseluruhan senyawa bioaktif untuk kegiatan yang bernilai ekonomi

Beberapa industri ekstrak bahan alam (IEBA) hanya mengekstrak senyawa sesuai dengan satu efikasi penyakit dan berdasarkan pelarut air atau dan etanol atau campuran keduanya. Padahal ada beberapa tanaman yang diketahui mempunyai senyawa yang berbeda polaritas dan efikasinya serta bernilai ekonomi yang tinggi. Adanya perbedaan polaritas dan efikasi senyawa yang terkandung dalam tanaman sangat menarik untuk dilakukan pengembangan teknik proses ekstraksinya.

Salah satu contoh tanaman adalah temulawak (Curcuma xanthorrhiza) yang mengandung senyawa aktif xanthorizol yang bersifat non polar, senyawa aktif kelompok senyawa kurkumin (curcumin, demetoxycurcumin, bis-demetoxycurcumin) yang bersifat semi polar dan senyawa aktif polar berupa pati temulawak. Berbagai kajian telah dilakukan menunjukkan berbagai aktivitas senyawa yang dikandung oleh temulawak. Senyawa xanthorizol berkhasiat sebagai anti kanker, anti mikroba (Choi, et al., 2005; Devaraj, et al., 2010; Kang, et al., 2009). Senyawa kelompok kurkumin sangat dikenal sebagai anti kanker, anti inflamasi dan hepatoprotektor (Anto, et al., 1996; Duvoix, et al, 2005; Palipoch, 2014). Pati

temulawak berkhasiat sebagai imunostimulan (Kim, et al., 2007). Teknik ekstraksi yang dilakukan secara bertahap dengan destilasi uap memperoleh minyak atsiri, dengan pelarut etanol akan mendapatkan senyawa kurkumin dan ekstraksi dengan air akan mendapatkan pati temulawak.

Perkembangan terbaru saat ini adalah pembuatan ekstrak yang melibatkan penggunaan marker DNA dan ekspresi gen. Teknik standardisasi berbasis metabolomik dan molekular ini memerlukan divisi R&D yang kuat dan kelengkapan peralatan analisis yang lengkap. Pengembangan obat herbal ke depan diprediksikan tidak menitikberatkan pada upaya menghasilkan single compound senyawa alami tetapi mengarah pada pembuatan ekstrak herbal dengan komposisi tertentu. Pengembangan ekstrak seperti ini harus diperkuat dengan pengetahuan baru seperti metabolomik yang menghasilkan analisis lebih teliti sehingga akan menghasilkan suatu ekstrak dengan kontrol kualitas produk di pasar yang lebih terjamin.

Keterangan: - warna dasar kuning menunjukkan metode standardisasi yang umum dilakukan di Indonesia saat ini

- warna dasar hijau metode standardisasi yang perlu dikembangkan di masa mendatang Sumber : BPPT, 2017 Gambar 5.3 Skema ideal standardisasi produk herbal

Skema tersebut mengacu pada standardisasi yang saat ini berkembang di Eropa dan Amerika yakni Standardisasi yang tidak hanya berdasarkan senyawa bioaktif yang bertanggung jawab pada aktivitas pengobatan, tetapi standardisasi secara menyeluruh yang meliputi kimia, fisika, biologi, botani, dan metabolomik. Standardisasi berdasarkan metabolomik tersebut bertujuan untuk mencari hubungan antara kuantitas senyawa bioaktif yang digunakan sebagai senyawa penanda dengan aktivitas biologi, sehingga dapat digunakan untuk menentukan metode ekstraksi yang tepat dalam mendapatkan metabolit sekunder dari tanaman dengan bioaktivitas tertentu. Selain itu untuk menjamin kualitas bahan baku simplisia, maka diperlukan standardisasi molekuler dengan menganalisa ekspresi gen dan penanda DNA agar pola metabolomik yang telah diperoleh dapat terjamin keterulangannya. Tujuan dari standardisasi ini untuk memastikan keaslian dan kepastian dari tanaman sebagai sumber bahan baku produk herbal. Dengan terjaminnya keaslian sumber bahan baku, beberapa tahapan untuk standardisasi bahan baku dengan metode makroskopik dan mikroskopik tidak perlu dilakukan. Demikian juga dengan penggunaan profil sidik jari dan profil golongan fitokimia yang kurang tepat dijadikan acuan standardisasi dapat dihilangkan. Namun untuk menjamin kualitas yang terkait dengan aktivitas biologi, masih diperlukan analisis kuantitatif senyawa penanda aktif yang terkandung dalam produk herbal. Sedangkan jaminan kualitas yang terkait keamanan produk masih memerlukan analisis cemaran mikroba, cemaran logam berat, residu pelarut, residu pestisida dan cemaran mikotoksin.

BAB 6

PENGUJIAN OBAT HERBAL

Peraturan Kepala Badan POM No. HK 00.05.4.2411 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia mengatur klasifikasi obat herbal berdasarkan kelengkapan data pengujian yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka (Tabel 6.1).

Tabel 6.1 Klasifikasi Obat Herbal

Jamu Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka

Data Empiris Uji Preklinik Uji Klinik dan Preklinik

Lambang

Jumlah 7.710 64 18

Sediaan jamu umumnya hanya dilengkapi dengan data-data empiris yang didasarkan penggunaan secara turun temurun. Kategori obat herbal terstandar (OHT) membutuhkan dukungan data ilmiah berupa khasiat dan kemanan pada hewan coba. Guna memperkuat informasi ilmiah dapat dilakukan pengujian secara in vitrobaik primer dan sekunder. Selanjutnya sediaan fitofarmaka mengharuskan adanya bukti klinik pada manusia dan dilakukan standardisasi terhadap sediaan akhir. Pengembangan sediaan fitofarmaka dari jamu tercantum pada Gambar 6.1.

Gambar 6.1 Alur pengujian Obat Herbal

Menurut Food and Drug Administration (FDA), evaluasi farmakologi terbagi dalam tiga kategori yaitu (1) Biological Assay, (2) Non Biological Analytical Assay, dan

(3) Multiple Assay. Biological Assay atau Bioassay merupakan pengujian atau pengukuran potensi suatu produk/senyawa aktif dalam sistem biologi tubuh. Metode ini terdiri dari pengujian in vivo, organ in vitro (ex vivo), kultur sel atau kombinasi dari ketiganya. Pengujian secarain vivodanin vitromerupakan metode yang sering dilakukan dalam pengujian preklinik untuk mengukur potensi aktivitas dan keamanan dalam pengembangan obat herbal. Dalam beberapa hal, FDA merekomendasikan bioassay

secarain vitrountuk menghindari pemakaian binatang sebagai objek percobaan.

Non biological Analytical Assay merupakan teknik pengujian untuk mengetahui potensi dan karakteristik sampel, yang dilakukan apabila pengujian Bioassay tidak mungkin dilaksanakan karena keterbatasan teknologi dan kompleksitas sampel. Metode ini digunakan untuk mengukur sifat immunokimia, biokimia dan molekuler suatu sampel, misalnya pengujian berbasis enzimatis, analisa kuantitatif flowsitometer, analisa gen atau

Secondary Bioassay (molekuler) Primary Bioassay/High Throughput Screening (enzimatis, seluler) Uji Preklinik (khasiat & toksisitas) Uji Klinik Tanaman Obat

Pengembangan &

standardisasi sediaan

protein dengan RT-PCR. Sedangkan Multiple Assay perlu dilakukan apabila terdapat kondisi sebagai berikut: (a) produk mempunyai kompleksitas dan atau tidak dapat diketahui mekanisme aksinya secara lengkap, (b) produk mempunyai senyawa aktif yang lebih dari satu dan atau mempunyai potensi aktivitas biologi lebih dari satu, (c) adanya keterbatasan dalam hal stabilitas produk, dan (d) pengujian biologi (bioassay) yang dilakukan menyajikan data yang tidak kuantitatif dan kurang presisi.