• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 8 PENUTUP

8.2 Rekomendasi

Dalam tataran konsep, pengembangan obat herbal perlu diarahkan pada 3 tujuan utama, yaitu :

1. Peningkatan daya saing industri obat herbal nasional di pasar lokal, regional dan global.

2. Pemanfaatan produk obat herbal dalam pelayanan kesehatan formal, dengan terbangunnya sistem dan infrastruktur pelayanan kesehatan menggunakan sediaan obat herbal.

3. Pengembangan agroindustri tanaman obat dan pengolahannya sebagai upaya untuk menjamin kecukupan dan kontinuitas pasokan bahan baku yang bermutu dan terstandar.

8.2.1. Teknologi Budidaya dan Pascapanen Tanaman Obat

Pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional untuk digunakan sebagai obat tradisional dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan perlu dikelola secara berkelanjutan. Diperlukan adanya suatu manajemen konservasi, domestikasi, dan budidaya sehingga ketersediaan tanaman obat dapat berkelanjutan dan dimanfaatkan secara optimal. Konservasi melalui domestikasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar tanaman obat tersebut dapat dibudidayakan untuk mendukung agroindustri tanaman obat. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta

keseimbangan ekosistem sehingga mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan budidaya tanaman obat di Indonesia memerlukan penanganan yang menyeluruh, mulai dari kondisi lingkungan, teknologi yang diterapkan, hingga kebijakan. Perbaikan sistem budidaya tanaman obat yang berpijak pada prinsip kemandirian dan berkelanjutan harus memenuhi tiga paradigma kualitas obat yang bermutu (seragam, kandungan zat aktif tinggi), aman dan berkhasiat. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan inovasi teknologi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas hasil panen dan pascapanen.

Berikut ini beberapa rekomendasi berkaitan dengan teknologi budidaya tanaman obat dan pascapanen:

• Pengembangan teknologi pembibitan untuk mendapatkan kualitas tanaman obat yang unggul dan tersertifikasi melalui pemuliaan tanaman baik secara konvensional maupun aplikasi teknologi modern (molecular breeding).

• Sistem budidaya diarahkan pada penggunaan sistem pertanian organik dan upaya peningkatan kadar senyawa aktif tanaman obat melalui manipulasi lingkungan tumbuh.

• Pengembangan kawasan agroindustri tanaman obat melalui intensifikasi dan ekstensifikasi kawasan budidaya tanaman obat unggulan, penyediaan sarana prasarana budidaya dan pascapanen, serta promosi produk.

• Peningkatan difusi teknologi dan diseminasi Standard Operating Procedure (SOP) budidaya tanaman obat yang mengacu padaGood Agriculture Practice (GAP). • Pengembangan teknologi mesin pertanian yang efektif untuk mekanisasi budidaya

dan pascapanen. Penggunaan peralatan yang lebih modern seperti alat pengering simplisia hemat energi menjadi fasilitas standar yang diaplikasikan pada sentra produksi tanaman obat.

• Penerapan teknologi informasi dalam sistem manajemen informasi pertanian, seperti teknik identifikasi tanaman induk, perkembangan cuaca, ketersediaan pasokan, dinamika harga pasar dan lain sebagainya.

8.2.2. Teknologi Ekstraksi dan Standardisasi Ekstrak

Arah pengembangan industri ekstrak nasional ke depan direkomendasikan lebih menitikberatkan upaya pembuatan produk ekstrak dengan bahan baku tanaman yang sudah dikenal secara turun temurun (bahan baku jamu) dan didukung dengan teknik standarisasi yang memadai. Penggunaan pelarut berbasis air merupakan salah satu upaya penerapan konsep green extraction technology, disamping mengantisipasi isu kehalalan suatu produk ekstrak.

Teknologi konvensional seperti teknik sokletasi, maserasi, perkolasi, dan destilasi kukus diperkirakan masih digunakan di masa depan. Sedangkan metode ektraksi yang potensial untuk dikembangkan ini antara lain Turbo-extraction (ekstraksi pada kecepatan pengadukan tinggi), Ultrasound Assisted Extraction (UAE), Microwave Assisted Extraction (MAE), Pressured Solvent Extraction (PSE), Supercritical Fluid Extraction (SFE), Enzyme- Assisted Extraction (EAE) dan Subcritical Water Extraction

(SWE).

Standarisasi sangat diperlukan oleh karena khasiat dan keamanan produk sediaan farmasi ditentukan oleh kandungan fitokimia dan aktivitas hayati. Standardisasi produk herbal yang perlu dikembangkan di masa depan adalah standarisasi hayati baik secara in vitro maupun in vivo dengan analisis senyawa penandanya. Metode ini memerlukan penggunaan peralatan analisa berkinerja tinggi untuk menjamin hasil analisa yang akurat untuk dapat melacak metabolit sekunder dalam ekstrak maupun fraksi dan korelasi aktivitas hayati. Untuk industri obat herbal kecil dan menengah pendekatan standarisasi -baik secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap senyawa penanda aktif- cukup dengan peralatan spektrofotometri UV atau kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Penguasaan standarisasi senyawa penanda yang bertanggungjawab

terhadap aktivitas tertentu, akan membantu pemilihan teknik proses ekstraksi untuk mendapatkan aktifitas ekstrak yang diinginkan.

8.2.3. Teknologi Pengujian Obat Herbal

Pengujian preklinik perlu terus ditingkatkan terutama untuk meningkatkan daya saing mutu obat herbal Indonesia. Pengembangan terkait jenis hewan yang digunakan untuk pengujian, mencakup pembuatan model hewan yang lebih mewakili kondisi patologis penyakit, metode analisa fisiologis yang lebih valid, serta fasilitas hewan yang tersertifikasi.

Penelitian menggunakan Genetically Engineered Mice Models (GEMs) perlu untuk dirintis di Indonesia, yang merupakan model hewan dengan penyakit yang secara genetis diturunkan, misalnya diabetes mellitus. Model hewan secara genetik ini diharapkan dapat lebih valid mewakili kondisi patologis yang sesungguhnya bila dibandingkan model hewan yang diinduksi secara kimiawi maupun pakan/diet khusus.

Merujuk pada tujuan untuk meningkatkan mutu dan eviden farmakologi obat herbal melalui pengujian preklinik, maka diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

• Perlu disusun protokol untuk pengujian farmakodinamika obat herbal, termasuk standarisasi pembuatan model hewan coba untuk indikasi penyakit degeneratif. Sebagai tahap pertama bisa disusun untuk beberapa penyakit degeneratif yang memiliki prevalensi tinggi.

• Setiap instansi maupun universitas yang memiliki fasilitas hewan sebaiknya memiliki Komite Etik. Pengaturan standarisasi Komite Etik diatur oleh Badan POM dengan menunjuk instansi yang kompeten.

• Standarisasi/sertifikasi fasilitas hewan untuk pengujian obat herbal perlu dilakukan oleh Badan POM.

• Perlu ditunjuk satu instansi untuk mengadakan fasilitas hewan dengan kualifikasi khusus, misalnya untuk memelihara hewan coba transgenik, fasilitas untuk penyakit

infeksi, BSL/biosafety level 3, dan sebagainya, dengan konsekuensi biaya perawatan fasilitas di subsidi oleh pemerintah.

• Perlu dilakukan pelatihan berkala oleh instansi penilai uji preklinik obat herbal (Badan POM) mengenai protokol dan peraturan-peraturan untuk pengujian

biosafety level, khususnya untuk peningkatan Jamu menjadi Obat Herbal Terstandar.

• Arah pengembangan pengujian klinik ke arah pathway molekular kerja senyawa kimia yang ada dalam obat herbal. Penelitian untuk membuktikan filosofi pengobatan multitarget dalam penggunaan herbal. Pengembangan pengujian in vitro untuk mempelajari farmakokinetik.

• Perlu dikembangkan suatu teknik pengujian khasiat secara in vitro guna menggantikan pengujian khasiat in vivo yang membutuhkan banyak hewan coba namun tanpa mengurangi tingkat akurasi hasil uji.

8.2.4. Teknologi Formulasi Sediaan Obat Herbal

Seiring meningkatnya perkembangan obat herbal diharapkan semakin banyak inovasi dengan memanfaatkan teknologi formulasi untuk menghasilkan sediaan obat herbal yang aman, berkhasiat, bermutu, serta mampu bersaing di era globalisasi. Mutu sediaan obat herbal tergantung pada mutu bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya. Pemerintah mendorong industri obat herbal untuk menggunakan ekstrak sebagai bahan baku seraya mengikuti proses produksi dengan mengacu pada Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Pengembangan teknologi formulasi obat herbal yang tepat dengan mengikuti kaidah farmasetik yang baik dan benar akan meningkatkan kualitas dan penerimaan kosumen produk herbal. Sebagian besar produk herbal yang beredar di pasar dalam bentuk sediaan padat seperti kapsul dan serbuk. Permasalahan terkait penerimaan pasien dan menyesuaikan dengan gaya hidup masyarakat saat ini perlu dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut seperti pengembangan sediaan oral dalam bentuk padat dan cair.

Permasalahan utama pada formulasi sediaan obat herbal adalah kecilnya kandungan bahan aktif di dalam ekstrak tanaman yang menjadi bahan baku obat, sehingga kebutuhan dosis pemberian relatif banyak. Selain itu sifat fisiko kimia ekstrak yang kurang menguntungkan misalnya stabilitas fisik (warna, bau, kekentalan, dan sebagainya) yang tidak seragam pada setiap batch produk. Sehingga diperlukan teknologi formulasi untuk menghasilkan sediaan dengan dosis pemakaian yang nyaman. Beberapa contoh teknologi formulasi tersebut adalah dispersi padat, komplek inklusi, mikroenkapsulasi, nanoteknologi, dan teknik masking. Teknologi enkapsulasi dan sistem penghantaran baru diperlukan untuk mengatasi permasalahan kelarutan, stabilitas dan rasa bahan aktif yang seringkali menjadi kendala pada pengembangan sediaan obat herbal.

Pemanfaatan teknologi simulasi komputer sebagai metoda pendekatan untuk memperbaiki atau mendapatkan formula sediaan terbaik diperkirakan akan semakin dibutuhkan pada beberapa tahun ke depan, karena dapat mengurangi waktu dan biaya pengembangan secara signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. (2009) Teknologi Bahan Alam (Serial Farmasi Industri-2) Edisi Revisi, Penerbit Institut Teknologi Bandung, 139-161

Agoes, G. (2013) Pengembangan Sediaan Farmasi Edisi Revisi dan Perluasan, Penerbit Institut Teknologi Bandung, 171-191

Amirkia, V. & Heinrich, M. (2015) Natural Products and Drug Discovery: A Survey of Stakeholders in Industry and Academia. Frontiers in Pharmacology, October, Volume 6, Article 237 Amujoygbe, J.M., Agbgdahunsi, O.O. (2012) Cultivation of Medicinal Plant in Developing Nation:

Means of Concervation and Poverty Alleviation. Int. J. Med. Arom. Plants.

Anonim (1990) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem

Anonim (2000) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2000tentangPerlindungan Varietas Tanaman

Anonim (2005a) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional,Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Jakarta.

Anonim (2005b)Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor : HK.00.05.4.1380 Tgl 2 Maret 2005 Tentang Pedoman CPOTB.

Anonim (2007) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional

Anonim (2009) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Anonim (2012) Peraturan Menteri Pertanian nomor 57/Permentan/Ot.140/9/2012 tentang Pedoman Budidaya Tumbuhan Obat yang Baik (PBTOB)

Anonim (2013a) Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 73/Permentan/OT.140/7/2013 tentang Pedoman Panen, Pascapanen, dan Pengelolaan Bangsal Pascapanen Hortikultura yang Baik.

Anonim (2013b) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 88 Tahun 2013 tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.