• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Preklinik

BAB 5 TEKNOLOGI EKSTRAKSI DAN STANDARDISASI EKSTRAK

6.2. Pengujian Preklinik

Pengujian preklinik dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan aktivitas/khasiat dan keamanan suatu sampel bahan alam baik berupa ekstrak maupun sediaan menggunakan subjek hewan coba dengan mengikuti kaidah-kaidah peraturan yang berlaku di negara tertentu. Beberapa panduan yang biasa digunakan dalam pengujian preklinik diantaranya yaitu:

1) General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of Traditional Medicine, WHO, Geneva, 2000.

2) Peraturan Kepala Badan POM No. 7 tahun 2014 tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik secarain vivo.

3) OECDGuideline for testing of chemicals, 2001.

4) The Guide for the Care and Use of Laboratory Animals, 2002

5) The European Agency for the Evaluation of Medicinal Products, Human Medicines Evaluation Unit.

Uji preklinik terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik/khasiat. Uji toksisitas ditujukan untuk menilai keamanan obat herbal yang diuji dan menetapkan spektrum efek toksik, sementara itu uji farmakodinamik untuk memberikan informasi tentang khasiat suatu bahan. Uji toksisitas dan farmakodinamik dilakukan dengan menggunakan metoda dan rute yang sesuai dengan tujuan pemberian sediaan. Berdasarkan waktu pelaksanaannya, uji toksisitas dibedakan menjadi tiga jenis yaitu toksisitas akut, sub kronik dan kronik (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2000).

Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan nilai LD50 (Lethal Dose 50%) dari bahan uji. LD50 merupakan nilai dosis yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dari jumlah hewan coba. Nilai LD50dapat dijadikan acuan penentukan dosis uji untuk pelaksanaan uji khasiat. Berdasarkan PerKa Badan POM No.7 tahun 2014, dinyatakan bahwa untuk obat, obat hebal dan bahan lainnya (Generally Recognized As Safe/GRAS) seperti bahan pangan, penentuan kategori toksisitas akut digunakan penggolongan klasifikasi tingkat efek toksik suatu bahan seperti pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6 Kategori efek toksik suatu bahan yang berasal dari herbal

Tingkat Toksisitas LD50Oral (pada tikus) Klasifikasi

1 < 1 mg/kg Sangat toksik

2 1-50 mg Toksik

3 50-500 mg Toksik sedang

4 0,5-5 g Toksik ringan

5 5-15 g Praktis tidak toksik

6 > 15 g Relatif tidak membahayakan

Sumber: Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2014

Suatu sediaan dikatakan aman atau relatif tidak membahayakan, apabila nilai LD50 lebih besar dari 15 g/kgBB (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2014). Uji toksisitas akut dilakukan selama 14 hari atau dikenal dengan uji toksisitas jangka pendek. Bahan uji diberikan pada beberapa tingkatan dosis dan disertakan kelompok kontrol normal yang hanya mendapat bahan pembawa. Bahan uji diberikan sekali dan pengamatan efek toksik dilakukan sampai hari ke-14 (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2014; Lu, 1995). Kebanyakan ekstrak/sediaan herbal memiliki LD50 yang melebihi 15g/kg BB, yang dikenal dengan LD50 semu. Sesuai dengan ketentuan dari Badan POM, jika hingga dosis 5 g/kgBB tidak ditemukan kematian hewan, maka pengujian tidak perlu dilanjutkan dengan menggunakan dosis bahan uji yang lebih tinggi dan termasuk dalam kategori praktis tidak toksik (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2014).

Pengujian toksisitas subkronik dan toksisitas kronik adalah mengetahui keamanan pada penggunaan jangka panjang. Merujuk pada Guidelineyang disebutkan diatas, beberapa ketentuan dari pengujian toksisitas subkronik adalah sebagai berikut: Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus

dipertimbangkan berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara

penanganan sewaktu dilakukan percobaan. Jenis hewan coba sesuai dengan kriteria tersebut adalah jenis hewan pengerat atau rodensia.

Jenis kelamin hewan coba yang digunakan sebaiknya jantan dan betina dalam jumlah yang cukup besar (biasanya dalam setiap kelompok terdiri dari 10 ekor jantan dan 10 ekor betina)

Hewan yang digunakan harus sehat, dimana asal, jenis/galur, usia, jenis kelamin dan berat badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%.

Pembagian kelompok terdiri dari kelompok kontrol normal, kelompok dosis dan kelompok pemulihan/satelit. Kelompok pemulihan digunakan untuk menyelidiki masa pemulihan dari perubahan toksik dimana hewan dibiarkan hidup dan tidak diberi perlakuan selama beberapa waktu setelah kelompok normal dan kelompok dosis dibedah.

Cara pemberian sampel adalah peroral sesuai dengan penggunaan klinik. Sampel yang digunakan terbagi dalam beberapa tingkatan dosis.

Waktu pemberian sampel untuk hewan coba menentukan waktu penggunaan klinik dari obat herbal dimaksud (Tabel 6.7).

Tabel 6.7 Kisaran lama pengujian toksisitas kronik

Lama pengujian toksisitas kronik Perkiraan lama penggunaan klinik

2 minggu – 1 bulan Pemberian tunggal atau berulang kurang dari 1 minggu 4 minggu – 3 bulan Pemberian berulang, 1 – 4 minggu

3 – 6 bulan Pemberian berulang, 1 – 6 bulan

9 – 12 bulan Pemberian berulang jangka panjang, lebih dari 6 bulan Sumber : World Health Organization, 2000a

Analisis kimia darah dilakukan tiga kali yaitu sebelum pengujian, satu kali saat pengujian dan sebelum pembedahan. Pemeriksaan biokimia klinis menurut OECD

(2001) meliputi: natrium, kalium, glukosa, total-kolesterol, trigliserida, nitrogen urea, kreatinin, total-protein, albumin, GOT (glutamate oksaloasetat transaminase), GPT (glutamat piruvat transaminase), totalbilirubin, alkaline fosfatase, gamma glutamil trans-peptidase, LDH (laktat dehidrogenase), asam empedu (bile acids). Sedangkan menurut WHO (2000) pemeriksaan biokimia klinis meliputi: fungsi hati (GOT, GPT, Gamma GT) dan fungsi ginjal (nitrogen urea, kreatinin, total-bilirubin). Parameter utama minimal yang harus diperiksa adalah nitrogen urea, kreatinin, GOT dan GPT.

Pemeriksaan histopatologi dilakukan minimal pada lima organ utama, yaitu hati, limpa, jantung, ginjal, paru dan ditambah organ sasaran yang diketahui secara spesifik, misalnya pada pengujian toksisitas obat diabetes, organ sasarannya adalah pankreas.

Apabila terjadi kematian hewan atau hewan yang hampir mati selama masa perlakuan, hewan coba langsung dibedah dan diambil organnya untuk pengamatan secara histopatologi.

Evaluasi hasil dilakukan dengan menganalisa hubungan dosis dan efek yang terjadi untuk semua kelompok yaitu terjadinya efek toksik dan derajat toksisitas, yang meliputi perubahan berat badan, gejala klinik, parameter hematologi, biokimia klinik, makropatologi dan histopatologi, organ sasaran, kematian dan efek umum lain atau efek spesifik.

Waktu pelaksanaan uji toksisitas jangka panjang ini ditentukan oleh lama penggunaan klinik bahan uji pada manusia seperti disajikan Tabel 6.7. Uji toksisitas jangka panjang lebih ditujukan untuk mengetahui sifat dan tempat organ sasaran efek toksik selain menentukan kadar tanpa efek (no effect level) sampel uji. Sehingga pada uji jangka panjang dilakukan minimal dengan 3 kelompok dosis yaitu dosis yang cukup tinggi yang mampu memberikan efek toksik secara pasti tetapi tidak membunuh sebagian besar hewan coba, dosis rendah yang diharapkan tidak memberikan efek toksik sama sekali dan dosis antara kedua dosis tersebut (Lu, 1995).

Pengujian keamanan lainnya yang tercantum dalam Perka Badan POM No.7 tahun 2014 tentang pedoman uji toksisitas nonklinik secara in vivo, adalah uji teratogenisitas, uji sensitisasi kulit, uji iritasi mata, uji iritasi akut dermal, uji iritasi mukosa vagina, uji toksisitas akut dermal dan uji toksisitas subkronik dermal. Jenis pengujian keamanan ini bisa dilakukan untuk menambah data keamanan bahan atau obat herbal. Misalnya saja pada herbal yang mempengaruhi kesuburan dan aktivitas reproduksi wanita, sebaiknya juga dilakukan uji teratogenisitas. Uji teratogenisitas bertujuan untuk memperoleh informasi ada/tidak adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu bahan selama masa perkembangan embrio/kehamilan; meliputi abnormalitas bagian tubuh luar, jaringan lunak serta kerangka fetus.

Pengujian farmakodinamika/efikasi herbal di Indonesia saat ini masih diperuntukkan untuk indikasi berbagai penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah penyakit yang disebabkan oleh penurunan fungsi metabolisme tubuh karena faktor usia maupun gaya hidup seperti diabetes mellitus, hipertensi, hiperurisemia, hiperkolesterolemia, dan sebagainya. Tantangan teknologi dalam pengujian non klinik adalah pada pembuatan hewan model dan analisa yang harus dilakukan untuk mengambil kesimpulan mengenai aktivitas biologi dan fisiologi hewan terhadap sampel yang diberikan. Pembuatan hewan model diusahakan sedemikian rupa sehingga kondisi patologis hewan dapat mendekati kondisi penyakit yang dimaksud. Induksi penyakit bisa dilakukan dengan perlakuan kimiawi (pemberian senyawa kimia tertentu) maupun fisik (melalui pembedahan minor). Hewan coba yang digunakan kebanyakan golongan rodensia seperti tikus putih dan mencit. Beberapa contoh induksi hewan model dapat dilihat pada Table 6.8.

Tabel 6.8 Beberapa model hewan untuk indikasi penyakit degeneratif

Jenis hewan Model hewan Indikasi

Rodensia:

Tikus putih galurWistar atauSpraque Dawley

Induksi dengan pakan tinggi lemak dan glukosa

Diabetes type 2

Induksi dengan Streptozocin Diabetes type 1 Induksi dengan Alloksan

Induksi pakan tinggi lemak Hiperkolesterolemia Induksi pakan tinggi purin Hiperurisemia

Ovariektomi Osteoporosis,

Menopause, Estrogenik Induksi Karbon Tetra klorida (CCl4) Hepatoprotektor Induksi NH4Cl dan etilen glikol Batu empedu Induksi 7,12-dimetilbenz(α)antrasena

(DMBA), atau, Metil Nitrosourea (NMU)

Kanker Payudara, kanker Prostat, Kanker Ovarium Induksi Metil Nitrosoamino Kanker Paru-paru Induksi Azoksimetan (AOM) Kanker Kolon

Induksi asap rokok Inflamasi

Paru-paru/COPD

Induksi tinggi NaCl Hipertensi

Sumber: Steele,et.al., 2005; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2010

Penegakkan diagnosa terhadap kondisi hewan model pada indikasi penyakit tertentu pertama kali dilakukan dengan analisa darah. Reagen yang tersedia untuk analisa biokimia darah maupun urin untuk saat ini lebih banyak menggunakan metode spektrofotometri. Sementara itu analisa gambaran histologi maupun histopatologi organ dilakukan dengan teknik paraffin dan pewarnaan/staining secara haematoksilin-eosin.

Teknik imunohistologi juga sudah mulai dilakukan sebagai pemeriksaan lebih lanjut pada penelitian obat herbal untuk penyakit kanker.

Penggunaan hewan coba haruslah dilakukan dengan memperhatikan kaidah kaidah etik penelitian menggunakan hewan. Prinsip etik penggunaan hewan yang hingga kini masih diterapkan adalah prinsip etik dari Russel dan Burch (1959) dikenal dengan Prinsip 3R (Reduction, Refinement, Replacement). Prinsip reduction berarti sebaiknya penelitian dengan hewan menggunakan jumlah hewan yang sesedikit mungkin.

Refinement berarti sebaiknya menggunakan hewan dengan kualitas yang lebih baik, peralatan yang digunakan juga lebih baik dan protocol yang lebih baik sehingga tidak menyakiti hewan tersebut. SedangkanReplacementberarti sebaiknya digunakan hewan dengan tingkat yang paling rendah (mulai dari Rodent). Berdasarkan prinsip animal welfare dan animal rights tersebut maka setiap topik penelitian haruslah mendapatkan ijin etik (ethical clearance) dari komite etik. Selain Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), beberapa universitas besar dan institut penelitian di Indonesia yang memiliki fasilitas hewan juga telah memiliki Komite Etik. Tabel 6.9. menyajikan daftar Komite etik yang ada Indonesia yang telah diakui legalitasnya oleh Kemenkes. Tabel 6.9 Daftar Komite Etik di Indonesia

Wilayah Nama Universitas/Institusi

Sumatera Utara Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Sumatera Barat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Sumatera Selatan 1. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2. RSUP Dr. M.Hoesin, Palembang

Jawa Barat 1. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran 2. RSUP Hasan Sadikin

3. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha 4. Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB.

DKI Jakarta 1. Balitbangkes, Kemenkes RI

Wilayah Nama Universitas/Institusi

3. RSUP Cipto Mangunkusumo

4. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia 5. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 6. Pusat Penelitian Kesehatan, Lembaga Penelitian UI 7. Pusat Penelitian KB dan Kesehatan Reproduksi, BKKBN 8. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

9. Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya 10. Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

11. Program for Apporiate Technology Health (PATH) 12. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Jawa Tengah 1. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUD Dr. Kariadi. 2. Fakultas Kedokteran UNS Surakarta

D.I. Yogyakarta 1. Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito

2. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 3. Pusat Studi Kebijakan Kesehatan dan Sosial (Center for Health

Policy and Social Studies).

Jawa Timur 1. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 2. RSUD Dr. Saiful Anwar

3. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 4. RSUD Dr. Soetomo

5. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga 6. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

7. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) Universitas Airlangga.

Bali 1. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RS Sanglah 2. Yayasan Kertipraja

Nusa Tenggara Barat Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Sulawesi Selatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Sulawesi Utara Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Jenis hewan yang digunakan di Indonesia untuk pengujian preklinik terutama untuk pengujian bahan herbal/alam, saat ini masih menggunakan hewan golongan Rodent, yaitu Tikus (Rattus novergicus) dan Mencit (Mus musculus). Galur yang banyak tersedia adalah Tikus galur Wistar dan Spraque Dawley, serta Mencit ddY dan Balb/C. Galur tersebut yang paling banyak digunakan untuk pengujian penyakit penyakit degeneratif sesuai dengan indikasi yang biasa digunakan untuk obat herbal. Selain itu, galur tersebut masih bisa ditolerir untuk dipelihara pada fasilitas hewan dengan iklim tropis seperti Indonesia.

Tikus galur Wistar Tikus galur Spraque Dawley

Mencit ddY Mencit Balb/c

Sumber: Diperoleh dari beberapa sumber Gambar 6.5 Hewan coba untuk pengujian preklinik di Indonesia

Kualifikasi fasilitas/laboratorium hewan juga berperan penting dalam pengujian preklinik. Fasilitas/laboratorium hewan untuk pengujian obat herbal sebaiknya dapat menjamin pemeliharaan rodensia yang baik, dengan memperhatikan karakteristik kondisi hidupnya. Berdasarkan kunjungan survey, beberapa fasilitas hewan di universitas maupun instansi penelitian di Indonesia baru memenuhi pengaturan lingkungan pemeliharaan hewan rodensia seperti suhu, kelembaban, cahaya dan kebisingan yang

sesuai dengan kebutuhan hidup hewan uji. Persyaratan tersebut adalah pengaturan suhu 220 + 30C, penerangan 12 jam terang dan 12 jam gelap, kelembaban relatif 30-70%, kebersihan yang dijaga dan pencegahan dari paparan bahan kimia. Sertifikasi fasilitas hewan yang ada saat ini adalah AAALAC, akan tetapi baru 2 laboratorium hewan yang telah mendapat sertifikasi tersebut yaitu DLBS (Dexa Medica) dan Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Perwakilan AAALAC di Indonesia adalah PSSP IPB.

Selain itu juga telah diterapkan standardisasi seperti pakan dan minum standar, penanganan hewan saat perlakuan sampel (dengan cara sonde maupun parenteral), prosedur pengambilan sampel darah dan urin, pembedahan, isolasi dan pengawetan organ. Penerapan cara pengorbanan/terminasi hewan uji pada akhir pengujian disesuaikan dengan kaidah-kaidah cara dan teknik pengorbanan hewan menurut ethical clearance deklarasi Helsinki. Cara terminasi ini diharuskan tidak mempengaruhi hasil pengujian. Beberapa cara terminasi pada hewan rodensia yaitu euthanasia dengan penggunaan reagen anestesi dan dislokasi leher.

Kebutuhan Teknologi Pengujian Preklinik Hingga 2035

Pengembangan teknologi pengujian di bidang preklinik perlu terus ditingkatkan terutama untuk meningkatkan daya saing mutu obat herbal Indonesia. Pengembangan terkait jenis hewan yang digunakan untuk pengujian, pembuatan model hewan yang lebih mewakili kondisi patologis penyakit, metode analisa yang lebih valid, serta fasilitas hewan yang tersertifikasi.

Penelitian mengenaiGenetically Engineered Mouse Models(GEMs) perlu untuk dirintis di Indonesia, terutama untuk membuat model hewan dengan penyakit yang secara genetis diturunkan, misalnya diabetes mellitus. Contoh dari pengembangan model hewan GEMs ini adalah hewan transgenik dan knock out. Model hewan secara genetik ini diharapkan dapat lebih valid mewakili kondisi patologis yang sesungguhnya bila dibandingkan model hewan yang diinduksi secara kimiawi maupun pakan/diet khusus. Selain itu pengembangan model hewan imunodefisiensi (Imunodeficient Mouse)

seperti Nude mice, Severe combined immune deficiency/SCID Mice (mencit dengan kadar Limfosit T dan B rendah) juga perlu dilakukan mengingat banyak sekali obat herbal yang diduga memiliki aktifitas farmakologi sebagai imunomodulator. Akan tetapi konsekuensi dari pengembangan model hewan ini juga harus disertai dengan dukungan kualitas fasilitas/laboratorium hewan yang modern, steril dan tersertifikasi, serta teknisi laboran yang terlatih/tersertifikasi dengan baik. Beberapa advanced animal model disajikan pada Gambar 6.6.

Zucker Rat Mencit C57BL/6

Mencit SCID Mencit DBA/2J

Sumber: Diperoleh dari beberapa sumber Gambar 6.6 Beberapa model hewan transgenik,knockoutdan imunodefisiensi

Tabel 6.10 menyajikan beberapa hewan model dan penggunaannya dalam skrining aktivitas farmakologi suatu bahan.

Tabel 6.10 Hewan model transgenik untuk pengujian farmakologi

Nama Rodensia

Transgenik Model Hewan untuk Penelitian Keterangan

Zucker Rat obesitas dan hipertensi Lois M. Zucker dan Theodore F. Zucker

C57BL/6 Inflamasi, penyakit infeksi (malaria,

TBC), onkologi JacksonLaboratory

CD-1 mice toksikologi, onkologi, estrogenik JacksonLaboratory CB17 SCID mice onkologi dan imunologi Takeda et.al.

A/J mice onkologi dan imunologi JacksonLaboratory

ICR mice toksikologi, neurobiologi, onkologi,

infeksi. Dr. Hauschka, Swiss

Lepr(db-3J) Obesitas, diabetes mellitus, fertilitas JacksonLaboratory

Nude mice Imunologi

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Penggunaan dan pemeliharaan hewan coba transgenik tersebut memerlukan persyaratan standar fasilitas hewan yang berkualitas. Karakteristik dan standardisasi fasilitas laboratorium hewan tersebut mencakup:

Pemeriksaaan berkala kualitas kesehatan hewan, terutama untuk SPF animal, conventional animal, Germ free animals, Genobiotics animal.

Pemeriksaan genetika rutin terutama untuk hewan isogenic strains, isogenic f1 hybrids, outbreak stocks, GM Animal.

Pemeriksaan kestabilan kondisi lingkungan seperti suhu, penerangan, kelembaban, suara, paparan bahan kimia dan kualitas udara.

Pemeriksaan/control husbandry seperti pakan hewan, higienitas, lingkungan sosial dan kontrol kontak dengan manusia.

Pengawasan prosedur pengujian seperti minimalisasi rasa takut dan stress hewan, kebiasaan hewan, penggunaan sedasi dan anestesi, standar sampling darah,good scientific practice.

Standardisasi kondisianimal welfaresepertihigh quality laboratory animal science, optimal welfare of the animal.

Quality Insurance (health monitoring, genetic monitoring, welfare monitoring)

Pengamatan aktivitas farmakologi tidak lagi dilakukan dengan pembedahan dan isolasi organ target, akan tetapi dapat dilakukan dengan menggunakan alatbioimaging

(Gambar 6.11). Prinsip dari peralatan ini adalah bioflouresensi yang dimasukkan ke dalam tubuh hewan coba, pengamatan dilakukan dengan menggunakan alatBioimaging. Penelitian onkologi diharapkan akan lebih mudah dilakukan, dikarenakan perkembangan tumor ataupun senyawa induksi pada tubuh hewan dapat diamati secara berkala tanpa mengorbankan hewan coba maupun melakukan biopsy ataupun pembedahan. Metode ini diharapkan dapat meminimalisir jumlah hewan yang digunakan dan sekaligus meminimalisir variasi individu hewan coba.

Sumber: Bruker Tabel 6.11 AlatBioimaging