• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konservasi dan Domestikasi

BAB 4 TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PASCAPANEN TANAMAN OBAT

4.1. Konservasi dan Domestikasi

Tumbuhan obat berperan penting dalam mencegah dan mengobati penyakit manusia dan telah dikaitkan dengan perkembangan peradaban manusia di seluruh dunia. Tumbuhan obat merupakan sumber bahan fitokimia yang memungkinkan memiliki nilai obat dan mempunyai potensi untuk mengembangkan obat baru (Shakya, 2016). Permintaan tumbuhan obat terus meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan bahan alam yang diiringi dengan peningkatan perdagangan dan

industri tanaman obat. Sementara itu, sekitar 118 dari 150 resep obat didasarkan pada sumber-sumber alami. Ketergantungan kepada obat herbal untuk melindungi kesehatan di negara berkembang mencapai 80% dan lebih dari 25% obat herbal telah diresepkan.

Peningkatan permintaan obat herbal, produk kesehatan alami, dan metabolit sekunder tanaman obat, penggunaan tanaman obat berkembang pesat di seluruh dunia. Menurut Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati penggunaan tanaman obat di Eropa mencapai lebih dari 1.300 jenis, dimana 50% diambil dari tumbuhan liar (World Health Organization, 2003). Kebutuhan simplisia di Indonesia juga meningkat seiring dengan perkembangan konsumsi tanaman obat dunia, dimana Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tanaman obat. Hal tersebut akan meningkatkan eksploitasi tanaman obat yang umumnya masih tumbuh sebagai tumbuhan liar. Eksploitasi besar-besaran tumbuhan obat dari habitatnya langsung yang tidak terkendali akan menyebabkan kepunahan tumbuhan tersebut. Penyebab lain kepunahan sumberdaya tumbuhan obat disebabkan oleh degradasi dan kerusakan habitat oleh bencana alam dan alih fungsi hutan.

Berdasarkan perkiraan bahwa hilangnya spesies tumbuhan 100 hingga 1.000 kali lebih cepat daripada laju dasar atau laju alami dari kepunahan alami sebelum manusia menjadi penyebab utama dari kepunahan. Menurut International Union for Conservation of Nature and the World Wildada sekitar 50.000-80.000 spesies tumbuhan berbunga yang digunakan untuk tujuan pengobatan di seluruh dunia. Di antaranya sekitar 15.000 spesies terancam punah karena pemanenan (eksplorasi) yang berlebihan dan kerusakan habitat. Dua puluh persen (20%) sumber daya alam sudah hampir habis dengan peningkatan populasi manusia dan konsumsi tumbuhan. Meskipun ancaman ini telah diketahui selama beberapa dekade, namun kehilangan spesies dan perusakan habitat di seluruh dunia semakin cepat dan telah meningkatkan resiko kepunahan tanaman obat. Resiko ini terutama terjadi di Negara Cina, India, Kenya, Nepal, Tanzania, dan Uganda.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas diperlukan adanya suatu manajemen konservasi, domestikasi, dan budidaya sehingga ketersediaan tumbuhan obat dapat berkelanjutan dan dimanfaatkan secara optimal. Konservasi melalui domestikasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar tumbuhan obat tersebut dapat dibudidayakan untuk mendukung industrialisasi tanaman obat.

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem pada Pasal 3 menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mendukung hal tersebut dikeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) merupakan bagian dari institusi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki tugas penting dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Beberapa permasalahan yang teridentifikasi dalam pelaksanaan konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya antara lain (1) kurangnya SDM (ahli biologi/etnobotani, geospasial dan taksonomi) dalam kegiatan identifikasi jenis tanaman obat, (2) kerusakan habitat akibat adanya alih fungsi hutan baik pembukaan areal untuk tujuan pengembangan perkebunan, pertanian dan pemukiman maupun fenomena alam berupa kebakaran hutan secara langsung mengancam keberadaan habitat alami dari plasma nutfah tumbuhan obat endemik, (3) kurangnya perhatian dan pengetahuan terhadap upaya pelestarian tumbuhan obat terutama untuk jenis-jenis yang tergolong langka, (4) keterbatasan pendanaan dan waktu pelaksanaan kegiatan identifikasi potensi obat pada 6 lokasi yang meliputi 3 UPT terpilih yaitu BKSDA Sulawesi Utara, BTN Bogani Nani Wartabone dan BTN Bantimurung Bulusaraung.

Beberapa solusi dan alternatif penyelesaian permasalahan yang telah dilaksanakan oleh Ditjen KSDAE antara lain (1) melakukan sosialisasi, workshop, dan pertemuan teknis secara intensif dengan mengundang para pemangku kepentingan terkait (pemerintah daerah, UPT Ditjen KSDAE, kalangan akademisi/pakar, LSM, dan Swasta) untuk mensosialisasikan dan mengkaji penetapan prioritas tanaman obat dan penyusunan peta data dan informasi pendukung terhadap tanaman obat yang dipetakan, (2) melakukan upaya konservasi/pelestarian sumberdaya genetik khususnya tumbuhan yang memiliki potensi sebagai bahan baku obat, (3) pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, serta melestarikan pengetahuan tradisional untuk mengolah tumbuhan obat. Hasil identifikasi tumbuhan obat di wilayah Sulawesi masuk ke dalam sistem basis data sumber daya genetik pada portal balai kliring akses dan pembagian keuntungan. Portal balai kliring akses dan pembagian keuntungan yang merupakan mandat dari Protokol Nagoya. Basis data tumbuhan obat sebagai salah satu basis data sumberdaya genetik memiliki informasi penting bagi pengguna (user) dalam melakukan pemanfaatan tumbuhan obat, misalnya seperti kandungan dan potensi obat yang akan dikembangkan dalam usaha farmasi. Dikembangkannya sistem basis data dan informasi keanekaragaman hayati, khususnya spesies dan genetik yang valid, dapat menjadi bahan masukan penyusunan kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati serta menyusun program yang tepat sasaran.

Domestikasi merupakan suatu proses adaptasi tumbuhan liar menjadi tanaman yang dapat dibudidayakan di suatu daerah dengan adanya perbaikan karakter. Domestikasi tumbuhan obat diharapkan akan menekan lajunya kepunahan sumberdaya genetika yang belum dimanfaatkan. Gambar 4.2. menunjukkan jumlah spesies tanaman obat yang digunakan di dunia.

Sumber: Schippmann, et al., 2002 Gambar 4.2 Jumlah tanaman obat yang digunakan pengobatan di dunia

Teknologi alternatif yang layak digunakan dalam menentukan spesies tanaman obat yang benar dan aman yaitu dengan menggunakan DNA barcoding dan dilengkapi dengan analisis kimia untuk menentukan dan mengukur senyawa kimia yang diperlukan (Palhares, et al., 2015). Sedangkan untuk mengidentifikasi komponen bioaktif dari ekstrak tanaman secara cepat dan efisien diperlukan teknologi metabolomik.