• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Ekonomi

Dalam dokumen ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN (Halaman 125-130)

BAB VI BENTUK-BENTUK ASSET SOSIAL YANG DAPAT

6.2 Kelembagaan dalam Komunitas Nelayan

6.2.3 Kelembagaan Ekonomi

Dalam pemenuhan kebutuhan hidup nelayan membutuhkan sejumlah uang yang tidak setiap hari di dapat dengan mudah. Adanya musim paceklik yang dihadapi oleh kebanyakan nelayan menyebabkan sistem nafkah dalam rumahtangga nelayan mengalami jatuh bangun. Biasanya rumahtangga nelayan nelayan tidak memiliki pekerjaan sampingan sehingga hanya bertumpu pada mata pencahariannya sebagai nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangga nelayan memerlukan pinjaman dari berbagai pihak yang memungkinkan memberi pinjaman. Namun keberadaan KUD di Kelurahan Cilacap tidak banyak membantu terutama bagi nelayan buruh atau pandega. Hal itu disebabkan seorang buruh nelayan tidak diperkenankan meminjam uang di koperasi nelayan tersebut. Kalaupun diperbolehkan harus dengan menggunakan nama juragannya. Sehingga akses nelayan pandega terhadap keberadaa n koperasi sebagai lembaga ekonomi yang membantu para nelayan tidak banyak berpengaruh pada perbaikan sistem nafkah nelayan buruh. Oleh karena itu, banyak rumahtangga nelayan yang menggunakan jasa bank keliling, sebuah kelembagaan ekonomi yang muncul seiring dengan kebutuhan para nelayan akan pinjaman uang tanpa memerlukan persyaratan yang terlalu memberatkan pengguna jasa ini (nelayan buruh).

Bank keliling merupakan bentuk kelembagaan ekonomi yang terdapat pada komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap. Warga lokal ada yang

menyebutnya bank harian karena sistem pembayarannya dilakukan harian. Kelembagaan ini membantu masyarakat yang memerlukan pinjaman uang dengan segera maupun masyarakat yang ingin menabung tapi tidak harus terikat dengan aturan-aturan ketat dari bank resmi. Seperti penuturan Ibu Tr (Istri Pak Try) dibawah ini:

“Nah kalau jualan nasi seperti ini kan banyak nelayan yang nendo, jadi untuk mencukupi selain dari hasil melaut bapak juga dari hasil jualan nasi saya terus ditambah dari meminjam uang ke bank harian (bank keliling). Namanya juga usaha, kan butuh modal...dulu awalnya juga pinjam ke bank harian buat modal, jadi ya... lebih mudahnya ke bank keliling saja.” (diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia)

Untuk modal usaha, beberapa bakul ikan juga memanfaatkan jasa bank keliling karena dirasa mudah, serta tidak adanya pilihan lain untuk mendapatkan pinjaman modal atau uang untuk usaha maupun dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Bank keliling dapat dikatakan sebagai tempat simpan pinjam informal yang sudah begitu dekat dengan komunitas nelayan di Cilacap. Suatu rumahtangga diberi pinjaman mulai nominal kecil hingga besar sesuai dengan kepercayaan pihak bank keliling dengan peminjam. Apabila peminjam mengembalikan hutang secara rutin, maka pada bulan berikutnya pegguna jasa tersebut boleh meminjam uang dengan jumlah yang lebih besar. Seperti contohnya Ibu Tr mulai berhutang pada bank keliling sebesar 50.000 rupiah hingga kini mencapai 500.000 rupiah per 30 kali setoran.

Bunga yang diberikan oleh bank keliling pada pengguna jasa mereka sebesar 25%. Misalnya sebuah rumahtangga yang meminjam uang sebesar 500.000 rupiah, akan menerima 450.000 rupiah namun tetap mengembalikan dengan angsuran sebesar 20.000 rupiah selama 30 kali setoran dan akan total dari setoran tersebut yang 25.000 rupiah dimasukkan sebagai tabungan wajib bagi si

peminjam. Tabungan tersebut akan di akumulasi selama satu tahun dan akan diberikan setahun sekali menjelang Hari Raya Idul Fitri. Jika dicermati sistem yang diterapkan oleh bank keliling tersebut pada dasarnya merugikan masyarakat pengguna jasa ini, namun kebutuhan mendesak para nelayan untuk memperoleh uang tunai dengan mudah dan cepat mampu menutupi kekurangan bank keliling ini. Bahkan dirasakan oleh pengguna jasa ini sangat membantu dalam pengadaan modal usaha maupun demi kelancaran usaha seperti warung makan yang dimiliki oleh Ibu Tr. Sehingga rumahtangga nelayan dengan menggunakan rasionalitas yang dipahaminya lebih memilih berhubungan dengan bank keliling sebagai tempat meminjam uang daripada bank-bank yang ada di kota dengan persyaratan yang sulit bahkan tidak dapat dipenuhi.

Pinjaman kepada bank keliling juga dipengaruhi oleh kondisi nelayan yang satu dengan nelayan yang lainnya adalah sama dalam hal kondisi perekonomian keluarga yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan. Sehingga apabila mereka akan meminjam uang kepada sesama nelayan lainnya, mereka akan berpikir ulang dan merasa tidak enak pada nelayan lainnya tersebut. Oleh karena itu, adanya bank keliling mampu menjawab alternatif cara pemenuhan kebutuhan perekonomian rumahtanga nelayan yang selalu tidak pasti dan merata pada semua nelayan dalam wilayah tersebut dengan segala kelebihan dan kelemahannya.

Melakukan pembelian terhadap barang-barang kebutuhan rumahtangga secara kredit merupakan alternatif pembelian yang dilakukan oleh banyak rumahtangga yang tergolong kurang mampu dalam komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap dalam upaya pemenuhan kebutuhan rumahtangga. Jasa “tukang kredit” ini banyak dimanfaatkan oleh para ibu rumahtangga nelayan untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga seperti panci, ember, kompor, dan lainnya. Mereka tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkannya karena “tukang kredit” tersebut yang selalu mendatangi kelompok ibu-ibu ataupun ke rumah-rumah nelayan di Kelurahan Cilacap. Sedangkan pembayarannya juga mudah yaitu melalui “tukang kredit” yang mendatangi rumah pelanggan secara berkala dalam periode tertentu sesuai kesepakatan kedua belah pihak, bisa harian, mingguan, bahkan bulanan.

Sistem kredit ini memudahkan para ibu rumahtangga dalam upaya pemenuhan kebutuhan, karena penghasilan nelayan yang diperoleh secara harian sangat mendukung sistem kredit ini, mereka tidak perlu mengeluarkan uang dalam jumlah besar dalam satu waktu yang dirasa cukup berat bagi rumahtangga nelayan tersebut. Pemberi kredit juga tidak membatasi jenis barang yang diinginkan oleh pelanggannya. Alternatif pembelian secara kredit ini memerlukan kepercayaan pemberi kredit pada pelanggan. Harga barang yang dibeli secara kredit bisa mencapai dua kali lipat dari harga normal, namun hal tersebut tidak mengurangi keinginan para ibu-ibu nelayan untuk menggunakan alternatif pembelian ini secara terus menerus.

Nendo (berhutang) adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat di wilayah Cilacap untuk membeli makanan di warung makan secara berhutang.

Biasanya hal tersebut dilakukan oleh nelayan yang makan atau membeli nasi bungkus untuk bekal melaut di warung sekitar pantai. Mereka biasa nendo apabila hasil tangkapan mereka sedang sedikit ataupun nendo sebelum melaut kemudian dilunasi setelah kembali dari laut. Hal itu dilakukan oleh para nelayan karena pendapatan mereka baru akan didapat apabila mereka melaut dengan hasil yang terkadang kurang untuk mencukupi kebutuhan. Penjual nasi di warung-warung makan juga tidak keberatan saat para nelayan nendo, karena dengan sistem nendo maka penjual nasi mendapatkan pelanggan. Hubungan tersebut terus terjalin karena mereka saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Walau penjual nasi tahu ada beberapa orang yang lupa atau sengaja tidak membayar, akan tetapi sistem nendo ini tetap diterima demi mendapatkan pelanggan.

Berhutang juga sering dilakukan oleh rumahtangga nelayan di warung-warung yang menjual bahan-bahan makanan atau sembako. Pembelian bahan pokok dengan berhutang seperti beraslah yang sering mereka lakukan. Hal tersebut mereka lakukan karena keterbatasan kemampuan membeli mereka secara kontan. Seperti pernyataan Bapak Syd sebagai berikut :

“Kalau sedang tidak punya uang...ya bingung...tapi saya malu kalau harus pinjam tetangga, biasanya ya istri atau saya hutang beras saja di warung Bu Haji...orangnya juga baik jadi saya boleh membayar kalau saya sudah punya uang kalau habis pulang dari melaut... Bu Haji juga sudah tahu, karena banyak nelayan di sekitar sini yang berhutang juga ke dia” (diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia)

Biasanya rumahtangga nelayan membayar hutang-hutangnya di warung setelah mereka menda patkan penghasilan dari menangkap ikan di laut. Apabila mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup mereka akan berhutang kembali. Hal tersebut terjadi secara berulang-ulang dan

bagi beberapa nelayan sudah menjadi kebiasaan. Biasanya pihak warung juga memaklumi kondisi perekonomian para nelayan yang sulit. Sehingga sistem kredit dan nendo atau hutang adalah salah satu upaya yang dilakukan rumahtangga nelayan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sehingga warung-warung yang menjual kebutuhan hi dup para nelayan menjadi jaminan nafkah tersendiri bagi para nelayan melalui sistem penjualannya secara kredit maupun utang.

Dalam dokumen ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN (Halaman 125-130)