• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

1

ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN

(Studi Kasus Proses Mobilisasi Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap, Jawa Tengah)

Oleh :

WAHYU DWI MARGIATI A14202009

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(2)

RINGKASAN

Wahyu Dwi Margiati. Asset-Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan (Studi Kasus Proses Mobilisasi Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap, Jawa Tengah). Di bawah bimbingan : Arya Hadi Dharmawan.

Dalam setahun nelayan menghadapi dua musim, yaitu musim ikan dan musim paceklik. Ironisnya, pada musim ikan tersebut nelayan belum tentu memperoleh pendapatan yang optimal. Kompleksitas permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya.

Permasalahan yang dihadapi nelayan tersebut menunjukkan betapa sistem kehidupan nelayan “sangat tidak aman” secara ekonomi. Adanya berbagai permasalahan yang menyangkut kehidupan atau nafkah rumahtangga nelayan menyebabkan mereka harus memanfaatkan berbagai strategi nafkah yang dapat mendukung hidup mereka. Selain memanfaatkan berbagai aset fisik yang dimiliki, dalam suatu komunitas terdapat asset sosial yang dapat dimobilisasi menjadi modal sosial dan dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup rumahtangga mereka.

Penelitian ini dirancang untuk mengetahui dan memahami asset sosial dan modal sosial pada kasus mikro-lokal yaitu komunitas nelayan di Cilacap. Bagaimana eksistensi modal sosial komunitas nelayan dan peranannya di Kelurahan Cilacap dapat dipahami dan dijelaskan, merupakan perumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini, maka tiga pertanyaan pokok yang penulis kaji lebih lanjut dalam studi ini, yaitu (1) Apa saja bentuk-bentuk asset sosial yang dapat dimobilisasi menjadi modal sosial pada komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap? (2) Sejauhmana ketersediaan asset sosial pada komunitas nelayan? (3) Bagaimana modal sosial mampu menopang sistem kehidupan (livelihood system) masyarakat pada komunitas tersebut?

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan studi ini adalah untuk (1) Menggali bentuk-bentuk asset sosial yang dapat dimobilisasi menjadi modal sosial pada komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap (2) Mengetahui sejauhmana ketersediaan asset sosial pada komunitas nelayan (3) Mengetahui bagaimana peran modal sosial dalam mendukung sistem kehidupan (livelihood system) masyarakat pada komunitas nelayan.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga bulan Oktober 2006. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposif). Komunitas nelayan yang diteliti berlokasi di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Metode penelitian yang dilakukan adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian dalam penelitian ini ditentukan secara puposif berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan kunci (teknik snowballing).

(3)

Modal sosial memiliki tiga pilar yaitu jaringan sosial, kepercayaan, dan norma -norma sosial. Bentuk-bentuk modal sosial yang terdapat dalam komunitas nelayan terdapat dalam hubungan sosial yang berbasis hubungan kerja, hubungan pertetanggaan, kekeluargaan, dan pertemanan. Hubungan itu tertuang dalam bentuk konkret berbagai jaringan yaitu pertemanan, pertetanggaan, kekeluargaan, kelompok nelayan, hubungan bakul dengan depot, kelompok arisan, hubungan patron-klien, hubungan nelayan dengan bakul, kelompok pengajian, pandega dengan pandega, nelayan dengan tagog, nelayan dengan pengasin, dan nelayan dengan pemerintahan. Selain itu juga terdapat dalam berbagai jenis kelembagaan yang muncul dan berke mbang dalam komunitas tersebut yang terdiri dari kelembagaan penghimpunan, pertukaran dan pembagian serta kelembagaan sosial yaitu kelembagaan arisan, kerja bakti, kelembagaan bagi hasil, kelompok pengajian, sistem kredit dan nendo, sedekah laut, kondanga n, dan bank keliling. Modal sosial juga terdapat pada norma -norma sosialnya yaitu adanya larangan jumat kliwon dan selasa kliwon serta norma berperilaku lainnya.

Ketersediaan modal sosial yang terdapat pada komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap ini banyak yang masih tersedia melimpah dan berkembang, namun beberapa sudah mengalami penurunan. Asset sosial yang masih tersedia melimpah antara lain kelompok arisan, kelompok nelayan, bank keliling, hubungan kekeluargaan, dan patron-klien. Sedangkan asset sosial yang mengalami penurunan antara lain kegiatan gotong royong kerja bakti, dilanggarnya larangan selasa kliwon dan norma perilaku, serta hubungan nelayan dengan pemerintahan. Asset sosial tersebut mengalami penurunan karena konsekuensi dari pekerjaan nelayan yang penuh dengan ketidakpastian serta semakin terbatasnya waktu mereka di darat karena harus sesering mungkin melaut untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Asset sosial yang dimobilisasi menjadi modal sosial masih efektif berfungsi dalam pengamanan sistem nafkah bagi rumahtangga nelayan di Kelurahan Cilacap. Adanya berbagai kegiatan kemasyarakatan serta perhimpunan kelompok masyarakat yang telah turun temurun dilakukan oleh komunitas tersebut dapat menjadi jaminan sosial bagi kehidupan nelayan yang penuh dengan ketidakpastian. Seperti kegiatan arisan, kelompok nelayan, kelompok pengajian, berbagai kelembagaan ekonomi serta hubungan antara juragan dan pandega dalam bentuk patron klien mampu menjadi jaminan sosial bagi sistem kehidupan rumahtangga nelayan. Dengan seseorang banyak tergabung dalam kelompok maupun jaringan-jaringan tertentu makin mudah baginya untuk mendapatkan bantuan sebagai jaminan sosial dalam sistem penghidupan mereka.

(4)

ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN

(Studi Kasus Proses Mobilisasi Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap, Jawa Tengah)

Oleh :

WAHYU DWI MARGATI A14202009

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(5)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama : Wahyu Dwi Margiati

NRP : A14202009

Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul : Asset-Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan (Studi Kasus Proses Mobilisasi Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap, Jawa Tengah).

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc NIP. 131 915 302

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Juli 2007

(7)

RIWAYAT PENULIS

Penulis lahir di Banjarnegara, 28 Agustus 1983 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, putri pasangan Bapak Satiman dan Ibu Karti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Krandegan IV Banjarnegara pada tahun 1996 dan SLTPN 1 Banjarnegara pada tahun 1999. Selanjutnya penulis melanjutkan studi pendidikan menengah di SMUN 1 Banjarnegara hingga kemudian lulus pada tahun 2002.

Pada Juni 2002, penulis diterima menjadi mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Masuk IPB). Penulis pernah masuk dalam keanggotaan Paduan Suara Agriaswara IPB pada tahun 2003 dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Pertanian, IPB. Penulis aktif di organisasi luar kampus yaitu IKAMAHAMAS dan FORSIMABARA sebagai sekretaris pada tahun 2003 hingga 2005. Penulis pernah aktif dalam kegiatan jurnalistik yaitu sebagai reporter di redaksi Koran Kampus IPB.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Asset-Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan (Studi Kasus Proses Mobilisasi Asset Sosial Pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap, Jawa Tengah)” ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis haturkan pada Nabi Besar Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan informasi mengenai modal sosial sebagai suatu tinjauan dalam konsep pembangunan maupun pemberdayaan di Indonesia khusunya pada komunitas nelayan. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada pembaca untuk mengkaji lebih dalam terhadap modal sosial lainnya sehingga dapat dimanfaatkan untuk program-program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.

Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dan Ibu yang memberikan kepercayaan, kasih sayang, dan lantunan doa yang melimpah selama ini

2. Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc selaku dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi yang begitu sabar membimbing dan arahannya selama dalam pembimbingan

3. Dr. Sahruddin selaku dosen penguji utama dan Ir. Murdianto, MSi selaku dosn penguji wakil Komisi Pendidikan dalam ujian skripsi atas semua saran dan kritiknya

4. Mba Asih sebagai kakak yang baik, Agung yang mulai dewasa, Abi yang nun jauh di sana... Semua benar-benar terasa indah bersama orang-orang yang menyayangi dan mengertiku...

(9)

5. Ibu Sartinem atas penerimaan dan kemurahan hatinya menyediakan tempat tinggal dan sepeda, serta aparat Kelurahan Cilacap dan nelayan di Pandanarang serta Sentolo Kawat atas keterbukaanya untuk berbagi pengalaman

6. Teman-teman seperjuangan KPM ’39 yang sama -sama berjuang menempa hidup di IPB dengan berbagai suka dan duka, mari gapai sukses dunia & akhirat bersama...Semangat!!!

7. Anak-anak Andhika House yang menjadi saksi naik turunnya perjuanganku dalam penyelesaian skripsi dan dukungan tanpa hentinya... Banyak hal kudapat dari persahabatan kita...

8. Teman-teman, anak-anak Banjar yang memberi semangat jarak jauh... Kesalahan datang dari manusia dan kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Oleh karena itu, penulis mohon kritik dan saran dari pembaca atas penulisan skripsi ini demi kebaikan bersama. Semoga karya kecil dan sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amien…

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, Juli 2007 Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Dasar Teori Sosiologi dari Modal Sosial ... 13

2.1.1 Pembentukan Sistem Sosial menurut Perspektif Teori Pertukaran ... 13

2.1.2 Perspektif Teori Pilihan Rasional ... 18

2.2 Konsep Modal Sosial ... 22

2.3 Pilar dan Bentuk Modal Sosial ... 24

2.3.1 Trust (Kepercayaan) ... 24

2.3.2 Social networking (Jejaring Sosial) ... 26

2.3.3 Social Norms (Norma-norma Sosial) ... 28

2.4 Konsep Komunitas dan Hubungannya dengan Modal Sosial ... 30

2.5 Komunitas Nelayan ... 31

2.6 Bentuk-bentuk Modal Sosial Komunitas Nelayan ... 36

2.6.1 Patron-Klien dalam Komunitas Nelayan ... 37

2.6.2 Solidaritas Sosial Antar Warga Nelayan ... 38

2.6.3 Jaringan Vertikal Nelayan dan Pedagang Ikan ... 38

2.6.4 Norma-norma Sosial ... 39

2.6.4.1 Pranata Sosial Tabu dan Sasi ... 40

2.6.4.2 Lubuk Larangan ... 40

2.6.4.3 Nilai-nilai Sosial Suku Komoro ... 41

(11)

BAB III KERANGKA ANALISIS ... 48

3.1 Kerangka Analisis ... 48

3.2 Hipotesa Pengarah ... 51

BAB IV METODE PENELITIAN ... 53

4.1 Metode Penelitian ... 53

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 54

4.3 Penentuan Unit Analisis ... 55

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 57

4.4.1 Wawancara Mendalam ... 57

4.4.2 Pengamatan Berperanserta ... 57

4.4.3 Penelusuran Dokumen ... 57

4.5 Teknik Analisis Data ... 58

4.6 Subtopik Terpilih dan Teknik Pengumpulan Data ... 58

BAB V PROFIL UMUM DAERAH PENELITIAN ... 60

5.1 Profil Umum Daerah Penelitian ... 60

5.1.1 Letak dan Kondisi Geografis ... 60

5.1.2 Demografi ... 61

5.1.3 Sarana dan Prasarana Fisik ... 63

5.2 Karakteristik Komunitas ... 68

5.3 Ikhtisar... 69

BAB VI BENTUK-BENTUK ASSET SOSIAL YANG DAPAT DIMOBILISASI MENJADI MODAL SOSIAL KOMUNITAS NELAYAN ... 73

6.1 Hubungan Sosial ... 73

6.1.1 Asset Sosial Berbasis Hubungan Kerja ... 74

6.1.1.1 Antara Juragan dengan Pandega (Patron-Klien) ... 74

6.1.1.2 Asset Sosial dalam Bentuk Hubungan Sosial Antara Pandega dengan Pandega ... 80

6.1.1.3 Asset Sosial berupa Hubungan Sosial Antara Nelayan dengan Bakul ... 83

6.1.1.4 Asset Sosial berbentuk Hubungan Sosial Nelayan dengan Tagog ... 85

(12)

6.1.1.5 Asset Sosial Hubungan Sosial Pedagang Besar (Depot)

dengan Pedagang Kecil (Bakul) ... 87

6.1.1.6 Asset Sosial berbentuk Hubungan Sosial Nelayan dengan Pengasin ... 90

6.1.2 Asset Sosial berbentuk Hubungan Sosial Berbasis Pertetanggaan. 93 6.1.3 Asset Sosial berbentuk Hubungan Sosial Berbasis Kekeluargaan 96 6.1.4 Asset Sosial berbentuk Hubungan Sosial Hubungan Nelayan dengan Pemerintahan ... 98

6.2 Kelembagaan dalam Komunitas Nelayan ... 99

6.2.1 Kelembagaan Penghimpunan dan Pertukaran ... 101

6.2.1.1 Arisan ... 102

6.2.1.2 Kerja Bakti ... 105

6.2.2 Kelembagaan Bagi Hasil ... 107

6.2.3 Kelembagaan Ekonomi ... 110

6.2.3.1 Bank Keliling ... 110

6.2.3.2 Kredit dan Nendo ... 113

6.2.4 Kelembagaan Sosial Lainnya ... 115

6.2.4.1 Sedekah Laut ... 116

6.2.4.2 Kondangan ... 119

6.2.4.3 Kelompok Pengajian ... 120

6.3 Norma-norma Sosial ... 121

6.3.1 Larangan Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon... 122

6.3.2 Nilai-nilai Sosial Lainnya ... 124

6.4 Ikhtisar... 127

BAB VII MODAL SOSIAL DALAM LIVELIHOOD SYSTEM ... 136

7.1 Subsistem Produksi ... 136

7.2 Subsistem Konsumsi ... 141

7.3 Subsistem Organisasi Sosial ... 145

7.4 Subsistem Social Security ... 149

7.5 Ikhtisar... 151

BAB VIII PENUTUP ... 155

(13)

8.2 Saran ... 156 DAFTAR PUSTAKA ... 158 LAMPIRAN ... 162

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal. Teks

1. Pertukaran dalam Sistem Sosial ... 20 2. Kerangka Analisis ... 57 3. Persentase Penduduk Kelurahan Cilacap Berdasarkan

Matapencaharian, 2006 ... 68 4. Persentase Penduduk Kelurahan Cilacap Berdasarkan Tingkat

Pendidikan, 2006 ... 69 5. Struktur Pemerintahan Kelurahan Cilacap ... 73

(15)

DAFTAR TABEL

No. Hal. Teks

1. Matriks Subtopik Penelitian ... 59 2. Profil Umum Kelurahan Cilacap ... 76 3. Karakteristik Komunitas Nelayan Pada Kelurahan Cilacap ... 77 4. Matriks Pemanfaatan Hubungan Patron-Klien dalam Berbagai Kondisi 80 5. Matriks Ketersediaan Asset Sosial yang Dimobilisasi Menjadi Modal

Sosial Pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Cilacap ... 132 6. Bentuk-bentuk Asset Sosial dalam Livelihood System pada Komunitas

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laut mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting dan sekitar 65% penduduk Indonesia bermukim di sekitar wilayah pesisir. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di atas seharusnya dapat memakmurkan masyarakat Indonesia, namun pada kenyataannya merupakan suatu ironi, karena sebagian besar taraf kehidupan masyarakat Indonesia dalam kondisi pra-sejahtera. Hal ini disebabkan karena sebagian besar sumberdaya kelautan dan perikanan yang ada telah mengalami degradasi sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, karena laju kerusakan telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan1.

Potensi penangkapan ikan menurun secara cepat mulai dari perairan pantai menuju laut lepas. Perairan Laut Jawa terletak di sisi pulau yang paling padat di Indonesia (120 juta penduduk atau hampir 60% dari populasi penduduk Indonesia), perairan ini sudah sejak lama merupakan perairan yang paling tinggi tingkat pengeksploitasiannya dan paling banyak juga mendaratkan volume hasil tangkapan (hampir 30% dari total hasil tangkapan Indonesia). Terdapat tanda-tanda yang jelas yaitu produksi hasil tangkapan yang stagnan dan menurun. Selain itu terdapat kecenderungan semakin meningkatnya pengeksploitasian di wilayah-wilayah yang lebih jauh lagi yang hanya dapat diakses oleh kapal-kapal dengan ukuran tonase yang besar seperti kapal purse seine berukuran sedang dan besar (Lubis et al. 2005).

1

Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. http://www.dkp.go.id/content.php?c=1737. Diakses tanggal 22 Mei 2006 pukul 19.0 0.

(17)

Kompleksitas permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Kondisi inilah yang mengakibatkan nelayan dijauhi oleh institusi-institusi perbankan dan perusahaan asuransi, seperti sulitnya masyarakat nelayan mendapatkan akses pinjaman modal, baik untuk modal kerja maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Di tengah kesusahan itulah, masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada institusi lain yang mampu menjamin keberlangsungan hidup keluarganya. Jaminan sosial dalam suatu masyarakat merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang diselenggarakan oleh negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya2

.

Pada musim paceklik, para nelayan begitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hingga terlilit hutang. Seperti dalam penelitian Iqbal (2003), pada lapisan belah banyak bergantung pada hasil tangkapan ikan. Bila hasil tangkapan melimpah, penghasilan seorang belah klontong akan cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan bila hasil tangkapan ikan sedikit, untuk mencukupi kebutuhan pokok saja harus hutang terlebih dahulu kepada jeragan atau Bank Titil (rentenir) yang banyak berkeliaran di pelosok desa.

Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, tergantung pada kondisi sumberdaya yang tersedia. Dengan sifat laut yang open acces menyebabkan siapa saja dapat memanfaatkannya. Hal tersebut mengakibatkan semakin banyaknya bermunculan nelayan-nelayan baru dengan teknologi penangkapan yang maju.

2

Ahmad Solihin. 2004. Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=7. Diakses tanggal 16 Mei 2006 pukul 21.00

(18)

Pengeksploitasian sumberdaya laut yang terus menerus dilakukan serta pencemaran ekosistem laut berdampak pada penurunan hasil perikanan yang berdampak pada penurunan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Komunitas nelayan sangat rentan secara ekonomi terhadap timbulnya ketidakpastian yang berkaitan dengan musim-musim produksi (Satria et al., 2002). Dalam setahun nelayan menghadapi dua musim, yaitu musim ikan dan musim paceklik. Ironisnya, pada musim ikan tersebut nelayan belum tentu memperoleh pendapatan yang optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, keterbatasan teknologi penangkapan sehingga daya jangkau dan daya tangkap terbatas. Kedua, rendahnya teknologi pasca tangkap sehingga harga jual komoditas tangkapnya kurang optimal. Ketiga, adanya hubungan patron klien pedagang perantara dan nelayan dimana pedagang lebih mendominasi penentuan harga. Keempat, sistem bagi hasil yang tidak seimbang antara pemilik (juragan darat), juragan laut, dan nelayan buruh. Bagi hasil ini lebih berpihak kepada nelayan pemilik atau juragan laut (Juwono dikutip Satria, 2002).

Nelayan tradisional di pedesaan tertinggal jauh oleh kapal-kapal besar dengan alat tangkap modern. Mereka kebanyakan masih menggunakan alat tangkap tradisional sehingga tidak dapat mengakses sumberdaya laut lebih jauh ke tengah laut. Persaingan usaha penangkapan dengan pemodal yang menggunakan kapal-kapal besar tersebut membuat kondisi nelayan semakin terpuruk.

Menurut Kusnadi (2002) kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan buruh berakar pada faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam faktor alamiah dan non-alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi

(19)

musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non-alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan atas jaringan pemasaran hasil dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikana n yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.

Permasalahan yang dihadapi nelayan tersebut menunjukkan betapa sistem kehidupan nelayan “sangat tidak aman” secara ekonomi. Adanya berbagai permasalahan yang menyangkut kehidupan atau nafkah rumah tangga nelayan menyebabkan mereka harus memanfaatkan berbagai strategi nafkah yang dapat mendukung hidup mereka. Selain memanfaatkan berbagai aset fisik yang dimiliki, dalam suatu komunitas terdapat modal atau aset sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup rumahtangga mereka. Modal sosial juga hadir dalam bentuk jaringan sosial pengamanan sistem kehidupan seperti patron-klien,

share-cropping/fishing system yang mampu mengembangkan sistem nafkah

rumahtangga nelayan di masa sulit.

Dalam suatu komunitas, terdapat lima modal yang bekerja secara bersama sebagai modal/aset bagi kelangsungan hidup individu-individu dalam komunitas. Modal masyarakat yang digunakan untuk melakukan perubahan struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik terdiri dari financial capital,

human capital, natural capital, physical capital, dan social capital (Farrington dalam Grootaert, 1998). Dalam penelitian ini akan dibahas dan digali salah satu

(20)

Modal sosial (social capital) didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan (Colletta & Cullen, 2000). Putnam (1995) menggambarkan modal sosial sebagai berbagai hal dari organisasi sosial, seperti jaringan individu atau rumah tangga, dan hubungan norma -norma dan nilai-nilai, yang menciptakan eksternalitas untuk masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Putnam juga menjelaskan bahwa modal sosial adalah seperangkat nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerja sama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Pada tingkatan mikro, meso, atau makro, modal sosial menggunakan pengaruhnya pada pembangunan sebagai hasil interaksi antara dua jenis modal sosial-struktural dan kognitif. Modal sosial struktural memudahkan berbagi informasi, dan tindakan kolektif dan pengambilan keputusan sampai pembentukan peran, jaringan sosial dan struktur sosial lain yang dilampirkan menurut peraturan, memeriksa prosedur, dan sesuatu yang dapat dijadikan teladan. Teori/kognitif modal sosial mengacu pada norma -norma bersama, nilai-nilai, kepercayaan, sikap, dan keyakinan (Uphoff , 2000).

Kondisi pembangunan yang sudah tidak mendapat kepercayaan masyarakat, membuat program pembangunan yang direncanakan maupun yang

(21)

telah dilaksanakan banyak yang mengalami kegagalan. Yang lebih parah, demi kebijakan ekonomi yang hyper-pragmatis, pembangunan tak jarang me lakukan penghancuran modal sosial yang sebetulnya sudah diwarisi dari generasi ke generasi dan berfungsi sebagai tiang penyangga ketahanan dan keutuhan sebuah masyarakat. Maka, perlahan tapi pasti, praktik pembangunan semacam itu akan terus menumpuk persoalan dalam pembangunan sosial dalam skala yang lebih luas dan mempercepat kemerosotan kualitas hubungan sosial dalam masyarakat (Ufford & Giri, 2004). Perspektif modal sosial penting dengan gejala-gejala yang menyertainya—kemiskinan, konflik sosial, krisis identitas, korupsi-kolusi-nepotisme, oportunisme, dan kerusakan lingkungan hidup—merupakan persoalan empiris yang menjadi perhatian dan keprihatinan.

Uraian di atas mengungkapkan mengenai kompleksitas permasalahan nelayan dalam sistem kehidupannya serta mo dal sosial yang mampu menopang sistem kehidupan nelayan. Alasan inilah yang mendasari pemilihan subyek penelitian yaitu komunitas nelayan di pedesaan. Berbagai isyu modal sosial dan peranannya sebagai jaminan sosial untuk kelangsungan hidup masyarakat pedesaan membuat modal sosial menjadi menarik untuk dikaji secara lebih dalam lagi. Bentuk-bentuk modal sosial masih banyak diperbincangkan dan terlihat abstrak oleh sebagian orang menjadi patut untuk mendapat perhatian lebih. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui dan memahami modal sosial pada kasus mikro-lokal yaitu komunitas nelayan di Cilacap.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam sebuah komunitas, agar segala kegiatan dapat berjalan dengan baik dan tetap terjaga eksistensi komunitas tersebut, diperlukan sebuah kekuatan

(22)

sebagai perekat yaitu modal sosial. Berbagai ketidakpastian dan resiko serta adanya berbagai permasalahan yang menyangkut keberlangsungan hidup suatu rumah tangga komunitas nelayan menyebabkan mereka harus memanfaatkan berbagai hal yang dapat mendukung hidup mereka. Selain memanfaatkan berbagai aset yang dimiliki, dalam suatu komunitas terdapat asset sosial yang menjadimodal sosial dan dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup berupa jaminan sosial.

Komunitas nelayan di Desa Panciran, Lamongan me manfaatkan modal sosial yang sudah ada di tengah-tengah kegiatan sosial-ekonomi mereka sehari-hari. Misalnya kelembagaan sosial setempat, jejaring (keluarga, pertemanan, pola kelompok kerja dan seterusnya), pola patron-klien, kebiasaan saling tolong menolong dan unsur modal sosial lainnya yang banyak terdapat di masyarakat. Dengan menggunakan strategi sosial ini, tekanan sosial ekonomi memungkinkan bisa dihindari atau setidaknya memperingan beban hidup yang semakin berat, terutama beban ekonomi (Iqbal, 2004).

Menurut Scott (1981), ikatan antara pelindung (patron) dan klien, merupakan satu bentuk asuransi sosial yang terdapat di mana-mana di kalangan petani kecil (peasant) Asia Tenggara. Dapat dikatakan bahwa lembaga utama dalam masyarakat petani adalah hubungan patron klien. Secara konseptual, hubungan patron-klien tersebut adalah hubungan diadik, dimana patron (strata atas) yang menguasai lebih banyak sumberdaya harus memperlihatkan perhatian serta respons terhadap kebutuhan-kebutuhan klien, sedangkan klien memperlihatkan kesetiaan sebagai balasannya. Meskipun klien-klien seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral kepada hubungan itu - oleh

(23)

karena kedudukan mereka dalam menghadapi patron seringkali lemah sekali- patronase itu ada segi baiknya, bukan pertama -tama karena dapat diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya (Scott, 1981).

Satria (2002) menggambarkan bahwa ciri umum hubungan produksi masyarakat pesisir adalah patron-klien, sebagaimana yang umum tejadi dalam masyarakat petani yang bersifat eksploitatif. Hubungan atas-bawah ini juga nampak dalam pola hubungan produksi perikanan dalam komunitas Brondong. Akan tetapi tidak seketat dalam komunitas petani, seperti yang digambarkan Scott (1981). Patron-klien yang digambarkan oleh Scott (1981) menunjukkan bahwa klien yang mengandalkan pada perlindungan dari seorang patron yang lebih berpengaruh, sekaligus juga berkewajiban untuk menjadi anak-buahnya yang setia dan selalu siap melakukan pekerjaan apa saja yang diberikan kepadanya. Dalam penelitian Iqbal (2004), klien yang umumnya terdiri dari kaum nelayan buruh, tidak tergantung kepada jeragan patron (para Jeragan), meskipun sang patron telah banyak memberi fasilitas berupa pekerjaan, saprodi (sarana produksi perikanan), jasa pemasaran dan bantuan teknis dan sebagainya. Klien masih mempunyai keleluasaan sewaktu-waktu untuk tidak terikat dengan patron. Adanya banyak pilihan dan jaringan sesama nelayan untuk melakukan pekerjaan bersama, membuat longgarnya hubungan patron-klien.

Bentuk hubungan patron-klien pada komunitas tersebut telah mengalami perubahan. Hubungan yang terjalin bersifat lebih lunak dan norma atau aturan di dalamnya yang saat ini ada terlihat lebih baik bagi posisi klien (buruh). Hubungan tersebut memastikan buruh mendapat perlindungan atau jaminan ekonomi serta dalam prosesnya tidak selalu berada dalam posisi tertindas.

(24)

Selain hubungan patron klien tersebut di atas terdapat beberapa hubungan yang terjalin dalam suatu komunitas nelayan. Penelitian Mochtaria (1995) dalam Satria (2001) menunjukkan bahwa ternyata ada hubungan kerja antara nelayan, toke motor, dan toke ikan (pedagang). Dalam hubungan kerja tersebut, nelayan merupakan pihak yang paling tidak diuntungkan. Dalam hubungan yang terjalin antara nelayan juragan dengan bawahannya (juru mundi dan ABK) tidak selalu didasari kepercayaan di antara kedua belah pihak. Seperti dalam penelitian Satria (2001) mengenai kelembagaan bagi hasil, persoalan yang selalu menjadi pertanyaan nelayan adalah besarnya biaya perbekalan yang ditentukan juragan. Pada umumnya, setelah lelang, juru mundi dipanggil juragan dan diminta untuk menerima uang bagi hasil dari perhitungan juragan. Juru mundi sebagai wakil ABK dipaksa harus percaya dengan perhitungan juragan tersebut. Dalam situasi seperti inilah para juru mundi dan ABK merasa dirugikan dalam aturan main kontrak kerja, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa karena takut dipecat oleh juragan tersebut. Mereka hanya memikirkan bahwa hubungan kerja tersebut dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bentuk peraturan bagi hasil dalam komunitas tersebut terlihat telah mengalami perubahan, bagi hasil yang terjadi bukan merupakan kelembagaan yang disusun bersama untuk mengatur hubungan antara pelaku hubungan produksi perikanan. Namun lebih pada penguasaan aturan oleh satu pihak (juragan) dalam kontrak kerja.

Hubungan yang terjalin di pedesaan banyak didasari oleh pertalian keluarga atau kekerabatan. Namun berbeda dengan yang terjadi dalam komunitas nelayan pada penelitian Yulidar (2003), yaitu terdapat kecenderungan seorang anak untuk menjadi awak pada unit pena ngkapan orang tuanya, mereka lebih suka

(25)

menjadi awak pada kapal orang lain. Hal tersebut berkaitan dengan kenyamanan bekerja, karena di kapal orang tuanya seorang anak akan cenderung sering terkena marah dan tidak bebas mengekspresikan emosinya, disamping juga tidak bebas dari dominasi orang tuanya dalam hal menguasai pendapatan hasil kerjanya.

Dalam penelitian Yulidar (2003) pada hubungan antar nelayan untuk kerjasama, ketika ikan tangkapan tersedia banyak, mereka saling bekerja sama dan menampilkan solidaritas. Antara nelayan saling memberi informasi lokasi penangkapan yang terdapat banyak ikannya. Namun bila ikan tangkapan tersedia sedikit, mereka saling bersaing keras karena masing-masing mempertaruhkan pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa modal sosial berupa jaringan sosial yang terdapat dalam komunitas nelayan tidak terus bertahan dan tetap eksis dalam berbagai kondisi, modal sosial dalam komunitas Desa Teluk tersebut melemah seiring dengan perkembangan masyarakat. Hal serupa terjadi pada jaringan usaha penangkapan, rendahnya tingkat modal sosial dalam jaringan usaha pena ngkapan ikan kenyataanya hampir merupakan fenomena umum dalam komunitas nelayan Desa Teluk, kecuali bila ada hubungan dekat lain antara kedua pihak yang bekerjasama tersebut (Yulidar, 2003).

Selain itu, Yulidar (2003) mengungkapkan bahwa aktivitas yang menggambarkan solidaritas antar warga dapat dikatakan kurang tampak. Dua orang ketua RT yang diminta konfirmasi membenarkan bahwa warga masyarakat yang lemah seperti orang jompo dan orang sakit umumnya hanya medapat bantuan melalui hubungaan kekerabatan. Seorang warga mengatakan ketika ia mengalami sakit atau kesulitan ekonomi yang parah ia bisa mengharapkan

(26)

bantuan melalui jaringan keluarga, namun dalam kesulitan ekonomi yang “biasa”, ia lebih mengharapkan bantuan melalui jaringan ekonomi pada unit kerjanya. Pemanfaatan jaringan keluarga dalam jaringan fungsi ekonomi seperti dalam jaringan unit kerja, jarang terjadi murni, kecuali dikombinasikan dengan alasan lain misalnya karena punya kemampuan tertentu yang dibutuhkan dalam unit kerja tersebut (Yulidar, 2003). Contoh hubungan sosial tersebut menunjukkan bahwa modal sosial dalam komunitas nelayan Desa Teluk telah mengalami kemerosotan serta beberapa bentuk telah kehilangan peran untuk dapat mendukung sistem kehidupan ekonomi dalam komunitasnya.

Norma-norma sosial yang berkembang di masyarakat nelayan dan berfungsi mengatur aktivitas masyarakatnya, saat ini banyak aturan yang dilanggar demi kepentingan diri sendiri. Hal tersebut seperti terjadi pada komunitas nelayan pada kasus dalam penelitian Tarmizi (2003), yaitu konflik yang terjadi antar nelayan lokal maupun luar daerah di Desa Tanjung Medang bersumber dari pengoperasian alat tangkap oleh nelayan sesuai ijin yang dimiliki (SIUP). Kenyataannya banyak nelayan yang melanggar jalur yang telah diterapkan. Nelayan yang memiliki perlengkapan yang sudah maju mencari ikan di jalur hingga enam mil laut yang sebenarnya merupakan wilayah nelayan tradisional. Nelayan tradisional tidak mampu bersaing denga n nelayan yang menggunakan peralatan canggih sehingga hasil tangkapan ikan nelayan tradisional merosot. Ketimpangan jumlah hasil tangkapan antar nelayan besar dan kecil menimbulkan potensi konflik.

Demikianlah hasil studi yang menggambarkan asset sosial pada komunitas nelayan. Dari uraian tersebut dapat dilihat asset sosial dan perannya pada

(27)

komunitas nelayan banyak yang telah mengalami perubahan bahkan ada yang telah hilang karena berbagai faktor. Bagaimana eksistensi asset dan modal sosial komunitas nelayan dan peranannya di Kelurahan Cilacap dapat dipahami dan dijelaskan, merupakan perumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini. Perumusan masalah tersebut dapat dirinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa saja bentuk-bentuk asset sosial yang dapat dimobilisasi menjadi modal sosial pada komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap?

2. Sejauhmana ketersediaan asset sosial pada komunitas nelayan?

3. Bagaimana modal sosial mampu menopang sistem kehidupan (livelihood

system) masyarakat pada komunitas tersebut? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Menggali bentuk-bentuk asset sosial yang dapat dimobilisasi menjadi modal sosial pada komunitas nelayan di Kelurahan Cilacap.

2. Mengetahui sejauhmana ketersediaan asset sosial pada komunitas nelayan. 3. Mengetahui bagaimana peran modal sosial dalam mendukung sistem

kehidupan (livelihood system) masyarakat pada komunitas nelayan.

Penelitian ini diharapkan mampu menambah informasi dan khasanah studi sosio-ekologi lokal di berbagai kawasan Indonesia, khususnya tentang komunitas nelayan di desa pesisir. Hasil studi ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang asset dan modal sosial dan dinamikanya di pedesaan di Indonesia pada khususnya.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori Sosiologi dari Modal Sosial

2.1.1 Pembentukan Sistem Sosial menurut Perspektif Teori Pertukaran Teori pertukaran (exchange theory) didasarkan pada norma resiprositas. Di sini ada posisi sejajar di antara dua pihak, dimana sumberdaya dipertukarkan. Sumberdaya tersebut ialah nilai, norma, struktur, dan materi. Nilai dan norma merujuk kepada aturan-aturan yang kemudian disepakati bersama. Struktur merujuk kepada pola-pola tindakan yang telah disetujui bersama. Sedangkan materi merujuk kepada pertukaran benda-benda di antara mereka (Agusta, 2005). Proses dasar pertukaran menggambarkan pentingnya perspektif untuk menganalisis bagaimana pola-pola organisasi sosial dibangun, dipelihara, berubah, dan rusak (Turner et al. 1998).

Manusia dalam melakukan pertukaran mengejar barang-barang material, tetapi mereka juga menukarkan sumberdaya non-material seperti perasaan (sentiment), jasa (services), dan simbol-simbol (symbols). Sesuatu yang dipertukarkan tidak hanya terdiri dari uang, tetapi juga komoditas lain meliputi persetujuan (approval), penghargaan (esteem), kerelaan (compliance), cinta (love), kasih sayang (affection), dan barang-barang non material lainnya (Turner et al. 1998). Beberapa orang mempunyai “modal” untuk memberikan hadiah bagi yang lain, apakah dari surplus makanan mereka, uang, sebuah kode moral, maupun kualitas kepemimpinan yang dihargai (Turner et al. 1998). Manusia tidak hanya

(29)

berfikir dengan cara-cara yang kompleks, pikiran mereka merupakan perasaan dan dibatasi oleh banyak kekuatan-kekuatan sosial dan kultural.

Frazer mengakui bahwa pola sosial dan struktural yang melambangkan budaya tertentu mencerminkan alasan (motive) ekonomi pada manusia dalam pertukaran barang-barang sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi dasar mereka. Meskipun penjelasan Frazer secara spesifik yang telah ditemukan masih sangat kurang bagi generasi ahli antropologi selanjutnya, terutama Bronislaw Malinowski dan Claude Lévi-Strauss, teori pertukaran modern dalam sosiologi suatu konsep yang sama dari organisasi sosial yaitu 1) Proses pertukaran merupakan hasil usaha seseorang untuk mewujudkan kebutuhan dasar, 2) Saat keterlibatan itu menghasilkan keuntungan, proses pertukaran menimbulkan pola interaksi, 3) Pola-pola interaksi seperti itu tidak hanya memenuhi kebutuhan individu, tetapi juga memaksa beberapa struktur sosial baru yang dapat muncul kemudian (Turner et al. 1998).

Blau mengemukakan bahwa “kebutuhan untuk membalas manfaat/keuntungan yang diterima agar dapat berlanjut dengan menerima jasa mereka sebagai sebuah ‘mekanisme awal’ interaksi sosial”. Blau mengemukakan beberapa prinsip pertukaran implisit, yaitu:

1. Rationality Principle: lebih banyak keuntungan yang diharapkan seseorang dari orang lainnya dalam pemancaran sebuah aktivitas khusus, lebih memungkinkan mereka untuk memancarkan aktivitas tersebut.

2. Reciprocity Principles: lebih banyak orang tukar-menukar hadiah dengan yang lainnya, lebih memungkinkan terjadi kewajiban timbal balik untuk muncul dan menjadi pedoman pertukaran berikutnya di antara mereka.

(30)

Lebih banyak kewajiban timbal balik dari hubungan pertukaran telah terganggu, lebih cenderung menghilangkan kelompok-kelompok adalah sanksi-sanksi negatif gangguan norma resiprositas itu.

3. Justice Principles: hubungan pertukaran tidak dapat dipungkiri lagi, mungkin mereka menjadi diperintah oleh norma -norma “pertukaran adil”. Norma-norma yang kurang adil terealisasi dalam pertukaran, lebih cenderung menghilangkan kelompok-kelompok adalah sanksi secara negatif terhadap gangguan norma -norma itu.

4. Marginal Utility Principle: banyak hal (rewarded) yang diharapkan telah diperoleh dari keluaran aktivitas khusus, aktivitas yang kurang berguna dan tidak mungkin menghasilkan hal ini.

5. Imbalance Principle: yang lebih stabil dan seimbang beberapa hubungan pertukaran antara unit-unit sosial, lebih menekankan hubungan pertukaran lainnya menjadi tidak seimb ang dan tidak stabil (Turner et al. 1998). Pandangan Blau tentang organisasi sosial pada level organisasi mikro dan makro, proses yang sama pada kedua level pertukaran: (1) atraksi sosial, (2) pertukaran hadiah (rewards), (3) kompetisi untuk kekuatan, (4) perbedaan, (5) ketegangan ke arah integrasi, dan (6) ketegangan ke arah pertentangan. Dia melihat bentuk dasar pertukaran banyak memiliki persamaan, tanpa memperhatikan apakah unit-unit tersebut terkait dalam pertukaran individu-individu atau unit-unit kolektif organisasi. Tentu saja ada beberapa perbedaan antara pertukaran di antara unit-unit individu dan organisasi, dan tercantum pula dasar dari bagan organisasi sosial Blau (Turner et al. 1998).

(31)

Dalam membahas kelompok, konsep penting dari teori pertukaran ialah tindakan bersama (collective action). Kelompok dipandang sebagai wujud dari tindakan bersama. Pada dasarnya orang-orang yang bertindak dalam satu kelompok sedang berbagi atau bertukar pengalaman. Dalam proses ini mereka sedang membentuk norma kelompok dan masyarakat. Dalam kaitan perolehan keuntungan bersama di antara mereka, maka dikembangkan keuntungan (manfaat) yang secara spesifik merujuk kepada individu yang telah memberikan pengorbanan (cost). Hal yang sama juga berlaku pada sanksi yang diberikan kepada individu yang melanggar aturan bersama. Hal ini disebut prinsip selective

benefits and sanctions (Agusta, 2005).

Penjelasan di atas menerangkan mengenai landasan teori pertukaran dan bagaimana pertukaran antar individu dapat terjadi beserta mo tivasi-motivasi yang mendasarinya. Kaitan teori pertukaran dengan modal sosial yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini dapat dilihat dari sebuah hubungan sosial. Dalam perspektif teori pertukaran, seseorang membangun jaringan sosial karena ada sesuatu yang harus dipertukarkan. Hubungan pertukaran dapat terjadi antar orang perorangan atau antar kelompok. Setiap manusia untuk dapat bertahan hidup serta untuk memenuhi kebutuhan hidup berupa kebutuhan ekonomi maupun sosialnya dengan melakukan pertukaran. Manusia saling mengisi kekosongan (kekurangan) dengan melakukan pertukaran. Dalam pertukaran antara orang yang satu dengan yang lainnya atau suatu kelompok dengan kelompok lainnya menciptakan suatu hubungan (jaringan sosial). Melalui pertukaran yang terus menerus berlangsung tersebut solidaritas sosial antar individu atau kelompok yang berinteraksi dapat

(32)

terbangun. Solidaritas sosial merupakan salah satu komponen dalam modal sosial yang berfungsi sebagai perekat dalam suatu komunitas.

Hubungan sosial (jejaring sosial) yang dilandasi oleh kepercayaan antar individu di dalamnya dapat terwujud dan berlangsung dengan baik karena masing-masing individu mengetahui aturan atau norma -norma yang harus mereka taati dalam berinteraksi dengan yang lain. Ketiga pilar ya ng terdapat dalam modal sosial yaitu jaringan sosial, kepercayaan, dan norma -norma sosial berfungsi secara bersama-sama dan saling melakukan pertukaran atau melengkapi. Jalinan antar individu tersebut membentuk jaringan dalam bentuk luas yang tergambar dalam sistem sosial. Ketiga pilar modal sosial tersebut berfungsi sebagai perekat hubungan sosial yang terdapat dalam suatu sistem sosial. Suatu sistem sosial akan berjalan dengan baik tanpa kekacauan apabila unsur-unsur didalamnya termasuk individu yang terlibat dalam melakukan pertukaran baik dalam bentuk material mupun non-material mengikuti norma yang berlaku dan dilandasi oleh kepercayaan yang terjalin di antaranya keduanya.

Dalam suatu hubungan atau jaringan sosial (social networking) diperlukan aturan (norms) yang berfungsi sebagai pedoman individu-individu dalam berinteraksi. Hubungan sosial dapat terjalin apabila di dalam hubungan tersebut didasari oleh kepercayaan (trust). Apabila dalam suatu hubungan sosial tidak lagi terdapat kepercayaan, maka aktivitas di dalamnya tidak dapat berjalan dengan baik dan menimbulkan kekacauan sistem sosial yang telah terbentuk. Ketiga pilar tersebut bersama modal lainnya saling berhubungan dalam suatu sistem sosial. Hal tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

(33)

Gambar 1. Pertukaran dalam Sistem Sosial

(Sumber : Dibangun berdasarkan konseptualisasi penulis dengan diadaptasi dari Dharmawan, 2002)

Perspektif Teori Pilihan Rasional

Dalam tradisi sosiologi, pembahasan tentang pertimbangan biaya (cost) dan reward (ganjaran) dalam perilaku sosial dibahas secara khusus dalam teori pilihan rasional (rational choice theory). Secara sepintas saja bisa diketahui bahwa perspektif teori ini memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip yang dipakai dalam pertukaran ekonomi. Faktanya, teori pilihan rasional saat ini memang lebih dikenal luas di kalangan para pengikut aliran teori pertukaran (exchange theory). Dengan kalimat lain, teori pilihan rasional mengadopsi pendekatan ilmu ekonomi dalam menjelaskan prilaku sosial sebagai peristiwa-peristiwa pertukaran. Dalam perspektif ini perilaku orang akan dilihat berdasarkan kemampuannya

Jejaring Sosial (Social Networking) Kepercayaan (Trust) Norma Sosial (Norms) MODAL SOSIAL

Karakteristik Sistem Sosial Kemasyarakatan

menentukan Modal Fisik Modal Finansial Modal Alam Modal Manusia

(34)

mempertimbangkan cost dan reward dari pilihan tindakan yang akan dilakukannya. Sebuah tindakan hanya bisa disebut rasional jika penghargaan yang didapat lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Kalau sebuah tindakan menghasilkan penghargaan, maka kemungkinan besar tindakan yang sama akan diulang. Oleh George Homans ini dirumuskan dalam Proposisi Keberhasilan (The

success proposition)3.

Agusta (2005) mengambil empat analogi teori pengambilan keputusan rasional dari ekonomi neo-klasik. Pertama, individualisme metodologis. Teori ini menjelaskan tindakan aktor dalam hubungannya dengan penyusunan sistem sosial yang melingkupinya. Sistem tersebut mempengaruhi tindakan aktor. Dalam tindakannya secara individual, aktor berperan secara rasional. Kombinasi tindakan aktor-aktor tersebut di dalam suatu institusi sosial kemudian mempengaruhi sistem. Kedua, prinsip maksimisasi atau optimisasi aktor. Lebih jauh lagi, aktor merupakan manusia yang dituntun oleh tujuan. Sekali tujuan tersebut diketahui, manusia akan meraihnya dengan cara yang paling efisien. Oleh sebab itu dipersyaratkan tujuan tersebut bertingkat. Demikian pula aturan, cara, atau jalan untuk meraih tujuan itupun hierarkis. Preferensi di antara kedua hierarki tersebut menghasilkan tindakan ekonomis atau efisien (Polanyi, 2003). Ketiga, konsep optimum sosial (biasa pula disebut Pareto optimum) merujuk kepada keadaan di mana seseorang tidak bisa lagi memaksimalkan keuntungan tanpa merugikan pihak lain. Optimisasi ini berlangsung dalam interaksi dari tingkatan sistem ke tingkatan individual, dan sebaliknya dari tingkatan individual ke tingkatan sistem sosial. Keempat, konsep kesetimbangan sistem, dalam konsep kesetimbangan

3

http://hikmat.atspace.org/page2/mini_kata/tulisan/pilihanrasional.html. Pilihan Rasional. Diakses tanggal 16 Mei 2006 pukul 20.15.

(35)

sistem ini tindakan aktor benar-benar tidak bisa lagi menentukan sistem. Hal ini disebabkan aktor tidak memiliki insentif untuk berubah.

Menurut Agusta (2005), teori pengambilan keputusan rasional juga mengambil empat elemen dari sosiologi. Pertama, meraih kegunaan justru dengan memberikan kontrol kepada aktor lain. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Dalam kondisi informasi yang langka, maka kepastian hasil suatu tindakan menjadi minimal. Oleh karena itu aktor mempercayakan tindakan mengontrol ini kepada pihak lain. Pada saat itulah ia percaya, atau tepatnya menciptakan kepercayaan (trust), kepada pihak lain. Implikasinya terletak pada perubahan otoritas. Selanjutnva, keefektifan norma tergantung pada kemampuan melaksanakan konsensus itu. Kedua, modal sosial

(social capital). Modal sosial ialah aspek informal dari organisasi sosial yang mampu mendukung seorang aktor atau kelompoknya untuk memperoleh sumberdaya produktif. Ketiga, lahirnya hak dari masyarakat. Sejauhmana suatu tindakan tergolong rasional dalam suatu konteks sosial tergantung kepada distribusi hak di sana. Dengan demikian hak tersebut diperoleh dari proses sosial lebih lanjut, sebagai hasil tindakan yang menguntungkan atau untuk kepentingannya sendiri maupun kelompoknya. Keempat, kelembagaan, yang memainkan dua peranan. Kelembagaan tersebut mengagregatkan tindakan-tindakan individu untuk membentuk sistem sosial. Di samping itu, kelembagaan juga menerjemahkan kebutuhan sistem sosial ke dalam tindakan-tindakan individu. Sesuai dengan tingkat kesulitan perolehan sumberdaya pada masing-masing masyarakat, maka di sana akan ditemukan kelembagaan yang berbeda dalam rangka memperoleh sumberdaya tersebut.

(36)

Dalam perspektif pilihan rasional, tindakan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain serta dalam menentukan setiap tindakan yang akan dilakukannya ditentukan dengan menyusun secara hierarkhi beberapa pilihan dan kemudian akan ditentukan yang menurutnya paling rasional (bermanfaat). Seseorang akan membangun suatu jaringan apabila dengan tergabung dalam jaringan tersebut dapat diperoleh manfaat baginya. Dalam perspektif ini, seseorang atau rumahtangga akan membangun suatu jaringan untuk memenuhi kebutuhannya, bila modal sosial (jaringan) dianggap sebagai aset yang lebih bermanfaat dan mudah dilakukan dibandingkan dengan pilihan (modal) lainnya.

Dalam studi ini, teori pertukaran dan pilihan rasional digunakan dalam menganalisis setiap hal yang ditemuka n di lapangan. Penulis berusaha untuk memahami asset dan modal sosial nelayan di pedesaan dan melihat perannya dalam sistem kehidupan komunitas nelayan. Sistem penghidupan (livelihood

system) adalah kumpulan dari strategi nafkah yang dibentuk oleh individu,

kelompok maupun masyarakat di suatu lokalitas. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhati kan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Pemilihan strategi nafkah akan sangat ditentukan oleh rasionalisme yang dianut oleh aktor-nafkah dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di hadapannya (Dharmawan, 2006).

(37)

2.2 Konsep Modal Sosial

Modal sosial saat ini mulai banyak diperbincangkan. Banyak pihak berusaha mendefinisikan modal sosial. Modal masyarakat untuk melakukan perubahan struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik terdiri dari

financial capital, human capital, natural capital, physical capital, dan social capital. Financial capital merupakan modal yang dimiliki masyarakat dalam

bentuk uang. Human capital merupakan modal berupa sumberdaya manusia.

Natural capital merupakan modal masyarakat dalam bentuk sumberdaya alam

yang ada di lingkungan masyarakat tersebut. Physical capital adalah modal masyarakat yang berupa sarana dan prasara fisik. Sedangkan social capital lebih menekankan pada modal yang dimiliki oleh masyarakat sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin antar individu dalam masyarakat (Farrington dalam Grootaert, 1998).

James Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial sebagai “sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut”. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial. Menurut Bardhan (1995), modal sosial dipahami sebagai serangkaian norma, jaringan dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan. Pengertian modal sosial yang diungkapkan Robert D. Putnam (1998) merujuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan horisontal dan berisi norma -norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja

(38)

sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya dirasakan oleh anggota organisasi (Hermawanti dan Hesti, 2005).

Menurut fungsi dasarnya, modal sosial dapat menjadi sumber kontrol sosial. Secara khusus di tingkat rumahtangga, modal sosial dapat menjadi pendukung efisiensi rumahtangga yang tinggi. Lebih jauh lagi, modal sosial dapat digunakan oleh anggota rumahta ngga untuk memperoleh tambahan pendapatan. Hasil dari penggunaan modal sosial dapat bersifat positif atau negatif. Hasil positif diwujudkan dalam bentuk norma pengontrol, keluarga, dan pemilikan jaringan. Sedangkan hasil negatif diwujudkan oleh pembatasan akses masuk kelompok, pembatasan kebebasan individu oleh norma, free riders, kontrol normatif (Agusta, 2005).

Modal sosial mempunyai tiga pilar utama, yaitu kepercayaan, norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat dan jaringan sosial yang terjalin (Colleman

dalam Grootaert, 1994). Loury (1977), Bourdieu (1985), dan Coleman (1988)

semuanya menjelaskan bahwa modal sosial tidak diwujudkan dalam orang tertentu, tetapi agaknya melekat dalam hubungan sosial orang. Pada saat yang sama, bagaimanapun, mereka juga menyatakan bahwa modal sosial didapat oleh individu. Putnam, sebaliknya, menjelaskan bahwa modal sosial adalah sebuah sumber daya yang individu atau kelompok orang memiliki atau gagal untuk memiliki (Portes 1998).

Dari beberapa konsep yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan mengenai modal sosial. Sebagai salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan

(39)

sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Dari beberapa konsep diatas modal sosial dapat dinyatakan sebagai suatu elemen yang ada dalam masyarakat dan berkembang yang terdiri dari kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai sosial serta jejaring sosial yang membentuk karakter dari suatu komunitas.

2.3 Pilar dan Bentuk Modal Sosial 2.3.1 Trust (Kepercayaan)

Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis sosial disebut sebagai bagian

tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi “ruh” dari modal sosial. Trust merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam modal sosial. Trust membawa konotasi aspek negosiasi harapan dan kenyataan yang dibawakan oleh tindakan sosial individu-individu atau kelompok dalam kehidupan kemasyarakatan. Ketepatan antara harapan dan realisasi tindakan yang ditunjukan oleh individu atau kelompok dalam menyelesaikan amanah yang diembannya, dipahami sebagai tingkat kepercayaan. Tingkat kepercayaan akan tinggi, bila penyimpangan antar harapan dan realisasi tindakan, sangat kecil. Sebaliknya, tingkat kepercayaan menjadi sangat rendah apabila harapan yang diinginkan tak dapat dipenuhi oleh realisasi tindakan sosial (Dharmawan, 2002).

Kepercayaan terbagi atas tiga klasifikasi aras, yaitu :

1. Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji (promise keeping) sesuai yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan adanya nilai mengemban amanah.

(40)

2. Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat group sosial secara efektif.

3. Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam mengoperasikan kepercayaan dalam hubungan bermasyarakat (Dharmawan, 2002).

Dharmawan (2002) dengan merujuk pada pendapat Mollering (2001), maka trust mempunyai enam fungsi penting yaitu : (1) Kepercayaan dalam arti

confidence yang merupakan ranah psikologi individual sebagai sikap yang akan

mendorong seseorang dalam mengambil keputusan setelah menimbang resiko yang akan diterima. Ketika orang lain mempunyai sikap yang sama maka tindakan ini akan memperoleh legitimasi kolektif; (2) Kerja sama yang menempatkan trust sebagai dasar hub ungan antar individu tanpa rasa saling curiga; (3) Penyederhanaan pekerjaan yang memfungsikan trust sebagai sumber untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial; (4) Ketertiban dimana trust sebagai inducing behaviour setiap individu untuk menciptakan kedamaian dan merendam kekacauan sosial; (5) Pemelihara kohesivitas sosial yang membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam komunitas menajdi kesatuan; (6) trust sebagai modal sosial yang menjamin struktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien.

Narayan (1999) dikutip oleh Dharmawan (2002) menilai bahwa trust adalah salah satu essential contributor factor yang mempengaruhi tingkat

(41)

kesejahteraan suatu masyarakat dan secara signifikan membantu terciptanya harmoni kehidupan sosial dan integrasi sosial (a unity in diversity). Untuk itu, dia menganggap penting adanya institusi formal dan informal yang menjamin trust agar berfungsi secara operasional.

Menurut Dharmawan (2002), kelembagaan informal yang bisa menumbuhkan trust adalah: (1) Interpersonal relations, yakni hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang telah terbina sejak lama. (2) Norms and

values, yang dikukuhkan bersama -sama serta diyakini dan ditaati oleh masyarakat.

(3) Social sanctions, yang mengikat orang atau kelompok agar tak berbuat semaunya. Sedangkan pada sisi kelembagaan formal, trust akan tumbuh bila fungsi-fungsi organisasi ikut menyumbang “energi” bagi tumbuh dan berkembangnya atmosfer moralitas trust dalam masyarakat. Fukuyama (2001) menyebutkan bahwa modal sosial dalam membangun ikatan sosialnya dilandasi oleh “trust” (kepercayaan), sehingga modal sosial akan bermakna lebih menjadi aset sosial yang dikuasai dan dioperasionalkan oleh sistem sosialnya. Pada akhirnya ikatan-ikatan sosial yang terbentuk dari dibangunnya kepercayaan akan membentuk jaringan ikatan sosial yang merupakan infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja.

2.3.2 Social Networking (Jejaring Sosial)

Jaringan sosial atau social networking merupakan elemen penting dalam pengembangan masyarakat, termasuk dalam perancangan strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat lokal. Barnes dalam Kusnadi (2000) menyatakan bahwa setiap individu dapat memasuki berbagai kelompok sosial yang tersedia di masyarakat. Mereka dapat menjalin ikatan-ikatan sosial berdasarkan unsur

(42)

kekerabatan, ketetanggaan, dan pertemanan. Ikatan sosial tersebut dapat berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang setara maupun tidak setara.

Menurut Kusnadi (2000), berdasarkan status sosial ekonomi individu yang terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial horizontal dan hubungan sosial vertikal.

1. Hubungan sosial horizontal dibangun oleh individu-individu yang berstatus sosial relatif sama. Mereka memiliki kewajiban dan sumberdaya yang relatif sama, contohnya hubungan tolong menolong. Jaringan horisontal terdiri atas jaringan kerabat, jaringan campuran kerabat dan tetangga.

2. Hubungan sosial vertikal dibangun oleh individu-individu yang tidak memiliki status sosial ekonomi yang setara, baik kewajiban maupun jenis sumberdaya yang dipertukarkannya. Contoh jaringan vertikal adalah hubungan patron klien. Jaringan vertikal ini terdiri atas jaringan kerabat, jaringan tetangga, jaringan campuran tetangga dan teman.

Jaringan sosial bisa dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan genealogis, dan lain-lain. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Jaringan sosial bukanlah suatu pemberian alami dan harus dibangun melalui investasi strategi yang diorientasikan pada pelembagaan (institutionalization) hubungan kelompok (Portes, 1998).

(43)

Keterkaitan individu dalam hubungan sosial merupakan pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Setiap individu memiliki kemampuan berhubungan sosial yang berbeda-beda kualitas, kuantitas, dan interaksinya. Hubungan tersebut membentuk jaringan sosial yang merefleksikan terjadinya pengelompokkan sosial dalam masyarakat. Pengertian jaringan sosial ini mengacu pada hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama (Kusnadi, 2000).

2.3.3 Social Norms (Norma-norma Sosial)

Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskanlah norma -norma masyarakat. Mula-mula -norma--norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Namun lama -kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar (Soekanto, 1990).

Modal sosial dibentuk dari norma -norma informal berupa aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung terjadinya kerja sama di antara dua atau lebih individu. Norma yang dimaksud bisa berbentuk aturan tertulis atau nilai-nilai kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbal balik dan yang lainnya. Norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua orang teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi, dalam menjalin kerjasama dalam sebuah intraksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban,

(44)

ikatan timbal balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain (Fukuyama, 2001).

Norma yang berkembang dalam masyarakat berfungsi sebagai petunjuk masyarakat dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Aturan tersebut memiliki kekuatan yang mengikat sehingga dapat menjadi pengontrol tingkah laku individu dalam berinteraksi dalam suatu masyarakat. Tingkatan kekuatan mengikat yang disebutkan di atas terdapat pula pada komunitas nelayan. Dalam kegiatan perikanan dari waktu penangkapan hingga cara-cara menangkap ikan, para nelayan memiliki aturan yang harus diikuti oleh masyarakat setempat. Ada waktu-waktu tertentu nelayan dilarang menangkap ikan dan ada saatnya nelayan untuk menangkap ikan.

Uphoff (2000) dalam Iqbal (2004) mendeskripsikan beberapa komponen modal sosial yang umumnya sudah berjalan di masyarakat, beberapa di antaranya adalah:

1. Hubungan sosial yang berfungsi sebagai jaringan, merupakan hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non-materi. Hubungan ini memberi keuntungan satu dengan yang lainnya.

2. Norma, yaitu aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang disepakati dan dipatuhi bersama .

3. Kepercayaan, aktifitas sosial dimana kepercayaan menjadi dasar hubungan. Dari kepercayaan ini kemudian dikembangkan untuk mewujudkan keinginan bersama.

(45)

4. Solidaritas, yaitu norma untuk saling menolong satu dengan yang lainnya, baik dalam hal kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan sosial. Juga menyangkut sikap kesetiaan pada kelompok yang menjadi pilar penting dalam solidaritas.

5. Kerjasama, di daerah pedesaan, elemen ini sangat terlihat dala kehidupan mereka. Misalnya gotong-royong dalam banyak kegiatan masyarakat dan bentuk lainnya yang bersifat kerjasama.

2.4 Konsep Komunitas dan Hubungannya dengan Modal Sosial

Komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of

common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai

territorial. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah dusun (dukuh atau kampung), desa, kota, suku, atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas. Berdasarkan ciri-ciri masyarakat agraris terdapat tipologi komunitas agraris, yang secara garis besar dapat dibedakan atas: (1) Komunitas nelayan (pantai dan pesisir), (2) Komunitas petani padi sawah (dataran rendah), dan (3) Komunitas petani peladang atau lahan kering (dataran tinggi) (Tonny, 2002).

Dharmawan (2004) mengungkapkan bahwa ada beberapa aspek yang selalu melekat dalam definisi komunitas. Pertama adalah adanya wilayah atau

(46)

lokalitas di mana sekelompok individu hidup dan membina kehidupan sosial mereka. Kedua adalah adanya ikatan-ikatan sosial bersama (common ties) yang dibangun komunitas, sehingga membentuk jejaring sosial. Ketiga adalah adanya interaksi sosial yang terbentuk di antara individu-individu anggota suatu komunitas. Ketiga aspek tersebut akan selalu tampil bersama -sama menentukan ciri sebuah komunitas. Dalam beberapa kasus, adanya perasaan senasib dan sepenanggungan mendorong sekelompok anggota masyarakat membentuk ikatan sosial sedaerah asal ataupun ikatan sedarah. Jadi, modal sosial yang terdapat dalam suatu struktur sosial (masyarakat) menentukan karakteristik suatu komunitas dan menjadi wujud yang dapat menjaga kebersamaan suatu komunitas tertentu.

2.5 Komunitas Nelayan

Membicarakan nelayan sebagai sebuah komunitas berarti membicarakan kesadaran kolektif apa yang mengikat para nelayan dalam komunitas tersebut. Komunitas tersebut terbentuk karena ikatan kesadaran kolektif dalam bentuk kesamaan sejarah dan orientasi nilai budaya, serta status sosial selaku nelayan. Selaku nelayan mereka memiliki ciri-ciri yang sama: mandiri (independent), percaya diri (self-reliance), bebas dari aturan yang kaku (freedom from

regimentation), mobile (baik secara geografis dan kadang-kadang secara

ekonomi), dan kuat secara fisik. Itu semua adalah konsekuensi dari pekerjaan nelayan yang memang sangat menantang dan beresiko tinggi (Satria, 2001).

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya

(47)

melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan4.

Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002), pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak- hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

Berdasarkan status pemilikan secara umum nelayan dapat digolongkan menjadi nelayan pemilik/juragan dan nelayan buruh/pandega. Nelayan juragan atau pemilik adalah nelayan yang memiliki atau menyediakan sarana produksi/operasi penangkapan seperti perahu atau kapal, motor tempel dan alat

4

Pathul Arifin. 2005. Status Nelayan Andon dan Pengakuan Keberadaannya. Makalah. http://tumoutou.net/pps/702_9145/pathul_arifin.pdf. Diakses tanggal 9 Januari 2006 pukul 21.23.

Gambar

Gambar 1. Pertukaran dalam Sistem Sosial
Gambar 2. Kerangka Analisis
Tabel 1. Matriks Subtopik Penelitian
Gambar 3. Persentase Penduduk Kelurahan Cilacap Berdasarkan  Matapencaharian, 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tokoh lainnya, yaitu Stair & Reynolds (2010) mengatakan bahwa sistem informasi merupakan suatu perangkat elemen atau komponen yang saling terkait satu sama lain,

[r]

Realisasi PAD agregat seluruh Pemda di Provinsi Sulawesi Tengah sampai dengan triwulan III-2019 sebesar Rp1,48 triliun atau 61,62 persen dari target PAD tahun 2019

Dapat di artikan bahwa rerata penurunan tinggi fundus uteri (TFU) atau proses pengecilan uterus kembali seperti kondisi sebelum hamil (involusio uteri) pada ibu-ibu

[r]

Ketepatan (precision) : Kemampuan alat ukur untuk memberikan hasil ukur yang mendekati tetap atau mirip satu sama lain bila dilakukan pengukuran berulang. Sensitivitas

Merupakan tempat tinggal para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan

Berdasarkan dari hasil penelitian pembentukan desa siaga di desa Ciangsana masih masuk tahapan pratama karena indicator input belum semuanya tersedia, seperti forum