• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subsistem Produksi

Dalam dokumen ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN (Halaman 151-156)

BAB VII MODAL SOSIAL DALAM LIVELIHOOD SYSTEM

7.1 Subsistem Produksi

Asset sosial pada komunitas nelayan banyak yang dimobilisasi menjadi modal sosial dalam subsistem produksi ini. Asset sosial tersebut antara lain berbagai hubungan sosial nelaya dengan pihak lain, organisasi sosial, serta kelembagaan sosial yang terdapat dalam komunitas nelayan. Nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta untuk tetap bertahan hidup, mereka berusaha mencari berbagai cara sebagai strategi bertahan hidup salah satunya adalah

22

dengan memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki. Selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, dalam subsistem produksi para nelayan juga banyak yang memanfaatkan asset sosial yang dimobilisasi menjadi modal sosial yang berkembang dalam komunitas mereka.

Para nelayan mendapatkan modal untuk pergi melaut memanfaatkan jaringan hubungan dengan bakul yang menjadi langganannya. Modal tersebut digunakan untuk pembelian bahan bakar, perbekalan makan, serta perbaikan alat tangkap. Modal didapatkan dari bakul dengan konsekuensi nelayan tersebut harus menjual hasil tangkapnnya kepada bakul tersebut. Jaringan antara kedua pihak ini sama-sama saling memberikan keuntungan. Sehingga dalam kegiatan produksi, nelayan mendapatkan modal melaut dengan modal sosial memanfaatkan modal sosial berupa jaringan dalam hubungan kerja kerja dengan bakul ikan.

Seorang bakul juga memanfaatkan hubungan yang telah terjalin dengan depot ikan untuk memperlancar usahanya. Bakul biasanya meminta pinjaman uang untuk keperluan pembayaran ikan kepada nelayan. Bakul akan meminta pembayaran di muka juga digunakan untuk membiayai bahan bakar dan perbekalan melaut para nelayan langganannya. Hubungan ini akan terus berlangsung selama bakul akan terus menjual atau menyuplai ikan kepada depot ikan tersebut. Dalam hubungan ini, kedua pihak sama -sama mendapat manfaat untuk kelangsungan usahanya.

Masing-masing anggota komunitas nelayan, dalam subsistem produksi banyak yang memanfaatkan kelembagaan ekonomi berupa bank keliling. Tidak hanya nelayan, seorang bakul dan pengasin juga memanfaatkan

kelembagaan ini untuk memperlancar usahanya. Nelayan selain mendapatkan uang pinjaman atau modal melaut dari bakul juga memperoleh pinjaman dari bank keliling yang mendatangi rumah-rumah mereka. Bakul juga untuk menambah modal usaha menggunakan jasa bank keliling untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Seorang pengasin juga untuk menambah modal usaha mengandalkan bank keliling sebagai alternatif untuk mendapatkan modal. Hal tersebut seperti pernyataan Ibu TL sebagai berikut :

“...ya waktu itu untuk modal juga saya meminjam ke bank harian (bank keliling), sampai sekarang juga saya masih pinjam terus... Ya.. untuk membeli ikan dari nelayan juga uangnya banyak, apalagi kalau ikan asin sedang susah untuk di jual, jadi tambah terjepit saja” (diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia)

Strategi nafkah yang digunakan oleh rumahtangga nelayan dalam pemenuhan kebutuhannya sangat ditentukan oleh pola pikir masing-maisng rumahtangga nelayan. Mereka memanfaatkan bank keliling sebagai upaya untuk mendapatkan uang adalah karena dalam pikiran rasional mereka, bank keliling adalah lembaga keuangan yang dapat membantu mereka saat membutuhkan uang. Bank keliling dianggap lembaga yang dapat dengan mudah memberikan pinjaman tanpa memerlukan aturan dan syarat yang menyulitkan para nelayan. Sehingga banyak rumahtangga nelayan memanfaatkan kelembagaan ini dalam upaya pemenuhan kebutahan hidup keluarganya.

Selain kelembagaan bank keliling, terdapat pula kelembagaan bagi hasil yang mengatur sistem pembagian perolehan hasil melaut dalam sekali pemberangkatan. Sistem ini mendukung subsistem produksi dalam penangkapan ikan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam produksi (penangkapan) tersebut. Juragan, tekong, dan pandega mendapat pembagian hasil yang sesuai dengan statusnya dan sistem ini merupakan kebijakan dari juragan kapal tersebut.

Seorang nelayan (juragan) biasanya saat musim paceklik akan mengurangi aktivitas penangkapan ikan di laut sebagai upaya penghematan modal melaut. Jika seorang nelayan sering kosong, maka nelayan tersebut hanya akan mengeluarkan modal untuk bahan bakar dan perbekalan secara sia-sia. Oleh karena itu, biasanya nelayan mengurangi kegiatan melaut. Saat-saat seperti itu, biasanya selain dimanfaatkan untuk membuat jaring, seorang nelayan juga akan tetap melaut. Kegiatan melaut itu akan dilakukan dengan cara ngimbat pada juragan lain, sehingga bila memperoleh hasil tangkapan juragan tersebut akan mendapatkan tambahan penghasilan hanya dengan modal tenaganya saja. Ngimbat dilakukan seorang nelayan dengan meminta langsung kepada nelayan lainnya tersebut, biasanya yang memiliki hubungan pertemanan atau sama -sama dalam kelompok nelayan tertentu.

Selain bermata pencaharian sebagai nelayan, biasanya seorang pandega mendapat perintah dari orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Hal tersebut disebut sebagai buruh jalut. Mereka biasanya menerima perintah seperti membuat jaring, membersihkan kapal, maupun pekerjaan lainnya pada saat mereka tidak melaut terutama pada musim paceklik. Dengan adanya aktivitas mereka disaat tidak melaut, ada pemasukan tersendiri yang dapat digunakan untuk upaya pemenuhan kebutuhan hidup rumahtangga nelayan. Mereka biasanya menjadi buruh jalut karena seorang juragan atau orang lain tersebut telah mengenal mereka sebelumnya atau mereka direkomendasikan oleh teman sesama nelayan (pandega) atas kemampuan yang dimilikinya. Nelayan mendapatkan pekerjaan sebagai buruh jalut karena jaringan nelayan pada komunitas tersebut. Hal ini seperti pernyataan Bapak Slm sebagai berikut :

“...kadang-kadang kalau sedang tidak melaut, biasanya saya menjadi buruh jalut... pokoknya saya terima kalau disuruh kerja apa saja...ya membuat jaring, mengecat perahu, atau apa saja...biasanya ya mendapat uang sepuluh ribu, lumayan buat tambahan membayar listrik...” (diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia)

Selain melakukan kegiatan penangkapan ikan, seorang nelayan (juragan maupun pandega) biasanya juga membuat jaring sendiri atau menyuruh pandega uantuk membuatnya. Dalam pembuatan jaring, beberapa nelayan mendapat bantuan dari istri untuk bersama -sama membuat jaring. Mereka mengerahkan tenaga istri untuk membantu membuat jaring untuk menekan pengeluaran dengan membuat jaring sendiri untuk keperluan penangkapan ikan di laut. Hal tersebut seperti pernyataan seorang juragan Bapak Syd sebagai berikut :

“kalau saya sedang menganggur, biasanya ya saya membuat jaring, saya sering dibantu oleh istri juga ya bersama-sama membuat jaring di depan rumah... kadang-kadang ada tetangga juga yang minta tolong dibuatkan... Upahnya terserah yang mau kasih, biasanya sepuluh sampai lima belas ribu. Kalau banyak kan lumayan” (diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia)

Pembuatan jaring ini juga merupakan upaya mencari tambahan penghasilan sebagai strategi nafkah lain guna pemenuhan kebutuhan hidup rumahtangga nelayan tersebut. Mereka mendapatkan pekerjaan untuk membuat jaring dari juragan, tetangga, maupun untuk kepentingan penangkapan sendiri. Melalui hal ini, mereka sedikit dapat menambah pemasukan bagi keluarga mereka.

Dalam hubungan pertemanan maupun dalam jaringan kelompok nelayan, para nelayan biasa memanfaatkan jaringan tersebut untuk kepentingan produksi penangkapan ikan di laut. Biasanya seorang nelayan yang hendak memperluas

fishing ground ke daerah lain membutuhkan informasi untuk menemukan daerah

yang banyak ikannya. Nelayan mendapatkan informasi dari nelayan lain yang baru melaut dari daerah tersebut untuk mendapatkan lebih banyak hasil

tangkapan ikan. Informasi tersebut dimanfaatkan oleh nelayan dan disampaikan dari mulut ke mulut pada nelayan lain. Mereka tidak merasa bersaing karena hasil tangkapan ikan sering tidak sama walau dilakukan pada daerah yang sama atau berdekatan. Mereka percaya bahwa rejeki hasil tangkapan ikan merupakan nasib masing-masing nelayan. Sehingga informasi daerah penangkapan yang suwur23 akan tetap disampaikan pada nelayan lainnya.

Kalangan pendega sebetulnya juga berkeinginan untuk menjadi seorang juragan atau memiliki kapal atau peralatan produksi sendiri. Namun hingga saat ini mereka tidak memiliki dana sebagai modal untuk membeli alat produksi tersebut. Banyak hal yang membuat akses terhadap modal usaha sangat terbatas bagi golongan nelayan pandega serta terdapat beberapa hambatan yang dirasakan pendega dalam upaya mereka memperoleh dana. Para pendega kesulitan mencari pinjaman dana karena mereka tidak memiliki jaminan/agunan, dan mereka juga merasa penghasilannya tidak menentu sehingga takut tidak dapat mengembalikan pinjaman. Sehingga kebanyakan mereka pasrah dengan kondisi yang mereka alami dan jalani sekarang.

Dalam dokumen ASSET-ASSET SOSIAL PADA KOMUNITAS NELAYAN (Halaman 151-156)