• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kepentingan

FAKTOR INTERNAL STRENGTH-S :

2. KETERPD SEKTORAL

4. SDA 5. SDS 6. SDB 1. KETERPADUAN INSTITUSI 2. KETERPD SEKTORAL 3. KETERPD WILAYAH AHP PENDEKATAN STRATEGI

Berdasarkan analisis persepsi stakeholders, maka secara garis besar, strategi pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, dengan prioritas secara berturut-turut adalah sebagai berikut : (1) Keterpaduan Institusi/stakeholders, (2) Keterpaduan sektoral dan (3) keterpaduan wilayah.

Dari hasil analisis silang pada tabel 78, maka dapat dirumuskan strategi umum pengembangan wilayah di Kapet Bima, yakni sebagai berikut :

1. Pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi 2. Pengembangan sosial ekonomi perdesaan

3. Pengembangan sektor unggulan dan optimalisasi sumber daya lahan kering dan pesisir/kelautan

4. Pengembangan infrastruktur transportasi dan perdagangan skala regional

a. Pengembangan Kerjasama dan Peningkatan Kapasitas Institusi

Pengembangan Wilayah Kapet Bima melibatkan berbagai pihak dan secara administratif Kapet Bima terdiri dari tiga kabupaten/kota, yakni : Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu dan Kota Bima. Konsekuensi dari hal di atas adalah dibutuhkan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota serta dengan pelaku pembangunan lainnya.

Untuk memenuhi hal tersebut maka dibutuhkan pengembangan kerjasama dan peningkatan kapasitas institusi yang meliputi strategi : (1) Pengembangan kerjasama antar kabupaten/kota dalam Pengelolaan Kapet Bima; (2) Penyusunan dan penganggaran pembangunan Kapet Bima secara reguler pada jangka pendek, menengah dan panjang; (3) Reposisi dan restrukturisasi BP Kapet Bima dan (4) Promosi dan kerjasama inter regional.

Kerjasama antar pemerintah kabupaten/kota dalam lingkup wilayah Kapet Bima merupakan syarat utama dalam pengembangan wilayah Kapet Bima secara terpadu karena permasalahan struktural-adiministratif, kendala teknis dan keterbatasan infrastruktur merupakan kendala utama dalam kegiatan pembangunan. Selain itu alternatif lainnya adalah dengan melakukan penggambungan daerah administratif. Hal ini sesuai dengan pasal 4 sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 yang

sekarang sedang dalam proses revisi, namun alternatif penggabungan daerah administrasi dapat dilakukan apabila adanya usulan dan persetujuan dari daerah yang bersangkutan dan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik wilayah. Berbagai pilihan alternatif ini dalam pelaksanaannya harus melalui kajian yang lebih mendalam sehingga tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah secara terpadu dapat diwujudkan.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kerjasama antar daerah ini secara jelas ditekankan guna mendukung pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada pasal 87 ayat (1) disebutkan bahwa beberapa daerah dapat mengadakan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Untuk itu daerah dapat membentuk Badan Kerjasama Antar Daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa daerah dapat juga mengadakan kerjasama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama.

Dalam penyempurnaannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menegaskannya kembali tentang kerjasama tersebut. Pada Pasal 195 disebutkan bahwa dakam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerjasama ini justru diwajibkan seperti yang tersurat pada pasal 196, yakni : (1) pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait; (2) untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat; (3) untuk pengelolaan kerjasama itu daerah dapat membentuk badan kerjasama; (4) apabila daerah tidak melaksanakan kerjasama tersebut, pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Terdapat banyak model kerjasama antar daerah yang telah dipraktekkan, mulai dari pembagian (sharing) informal sumber-sumber pendapatan sampai penciptaan daerah-daerah dengan tujuan khusus dan usaha bersama untuk pencapaian layanan-layanan khusus. Banyak pengaturan kerjasama antara Pemerintah Daerah dimulai dengan perlunya untuk mempertimbangkan

kepentingan bersama seperti : (1) memastikan untuk saling melengkapi penataan lahan daerah-daerah terdekatnya; (2) pengelolaan bersama atas sumber-sumber alam; dan (3) membentuk aliansi untuk bersaing dengan daerah-daerah lain atau bernegosiasi agar lebih efektif (Sarundajang 2005).

Sampai saat ini terdapat beberapa daerah yang telah menjalin kerjasama dengan bentuk-bentuk kerjasama seperti Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi) dan sekarang berkembang sesuai dengan tuntutan yang terus berkembang, sehingga kerjasama itu menjadi Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur). Kerjasama ini berkembang mulai dari kerjasama memecahkan masalah-masalah kependudukan, transportasi dan infrastruktur berkembang menjadi suatu kesatuan ekosistem. Jabodetabekpunjur yang berpenduduk lebih dari 22 juta sekarang ini sudah berkembang menjadi megapolitan dengan berbagai aktivitasnya dan merupakan pusat kegiatan nasional yang harus dapat bersaing dengan wilayah lainnya dalam menarik investasi.

Daerah-daerah lain yang mengikuti Jabodetabekpunjur adalah bandung dan daerah sekitarnya membentuk Bandung Raya (Great Bandung), semarang dan daerah sekitarnya membentuk Badan Kerjasama Kedungsepur (Kendal, Ungaran, Semarang dan Purwodadi), Surabaya dan daerah sekitarnya membentuk Gerbang Kertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa/Gowa dan Takalar).

Kerjasama antar daerah meliputi berbagai skema sangat luas. Mulai dari kerjasama bersifat mikro (misalnya penempatan TPA sampah di daerah lain), transfer fiskal antar daerah (telah ada contoh, misalnya antara Denpasar dan Kabupaten Badung dengan beberapa daerah disekitarnya, hal ini disebabkan oleh kesadaran eksternalitas ekstra yurisdiksi kegiatan pariwisata), kerjasama ekonomi antar daerah (misalnya kasus kerjasama antar provinsi se-Sumatra), hingga kerjasama tata pemerintahan antar daerah (misalnya pembentukan Supra DPRD, asosiasi Kepala Daerah dengan tingkat koordinasi dan kewenangan tertentu) Kerjasama-kerjasama antar daerah seperti ini perlu terus didorong agar mempercepat pencapaian cita-cita otonomi daerah yang sekarang sedang dilaksanakan.

Kerjasama antar daerah dilakukan dengan prinsip efisiensi, efektifitas, sinergi dan saling menguntungkan, dimana objek kerjasama antar daerah meliputi seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom. Dengan memperhartikan karakteristik dan permasalahan daerah-daerah kabupaten/kota di Kapet Bima, maka tiga kabupaten/kota ini dapat melakukan kerjasama dibidang :

(1) Transportasi/perhubungan. Letak geografis daerah-daerah di Kapet Bima cenderung menyebar dan terpisah, seperti Kecamatan Wera, Ambalawi, Wawo, Sape dan Lambu Kabupaten Bima yang harus melewati Kota Bima sedangkan Kecamatan Sanggar dan Tambora harus melewati Kabupaten Dompu. Demikian pula keberadaan Kecamatan Kilo untuk menuju Ibu Kota Kabupaten Dompu maka harus melewati Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima. Tiga kabupaten/kota ini berada pada satu jalur transportasi jalan negara, sedangkan di sisi lain keberadaan Bandara Udara tersedia di Kabupaten Bima dan Pelabuhan Laut skala regional berlokasi di Kota Bima yang digunakan oleh berbagai daerah di Pulau Sumbawa, sehingga berbagai hal tersebut dapat menjadi pertimbangan pola kerjasama terkait perijinan dan pengelolaan serta pemanfaatan infrastruktur transportasi/perhubungan ini.

(2) Pengelolaan sumber daya hutan dan wilayah perbatasan. Terdapat beberapa kawasan hutan dan wilayah perbatasan antar daerah kabupaten/kota di Kapet Bima, antara lain Kawasan Hutan Gunung Tambora antara Kabupaten Bima dan Dompu. Kawasan Hutan Gunung Tambora memiliki kekayaan aneka ragam sumber daya hayati, namun kerusakan kawasan hutan Gunung Tambora ini sudah mencapai tingkat yang mengkuatirkan. Demikian juga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menuju Teluk Bima, dimana yang menjadi daerah hulu adalah Kecamatan Ambalawi dan Wawo Kabupaten Bima, sedangkan yang menjadi daerah hilir adalah Kota Bima. Pengelolaan dan pemanfaatan (DAS) yang tidak terarah, pendekatan penataan ruang yang belum dilakukan secara terpadu serta makin berkurangnya daerah resapan air telah menyebabkan banjir besar di Kota Bima pada tahun 2006 yang lalu. Berbagai hal tersebut menjadi alasan penting bagi perlunya pengelolaan

kawasan hutan dan wilayah perbatasan secara bersama, terpadu, dan berkelanjutan.

(3) Pengelolaan pesisir dan kelautan. Antara lain Teluk Bima yang keberadaannya di Kabupaten Bima dan Kota Bima, Teluk Sanggar dan Teluk Ombo merupakan wilayah Kabupaten Bima dan Dompu.

(4) Pengelolaan air bersih dan energi kelistrikan, antara Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu

(5) Pengembangan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan. Dibutuhkan pengembangan industri pengolahan perikanan, pertanian dan peternakan serta sumber daya alam masing-masing kabupaten/kota untuk meningkatkan efisiensi dan skala ekonomi pada tingkat regional yang pada akhirnya dapat meningkatkan kegiatan eksport kawasan baik di Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima.

(6) Pengembangan sosial budaya dan pariwisata. Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima merupakan satu kesatuan komunitas sosial budaya ”Suku Mbojo” yang memiliki keadaan sosial dan nilai budaya yang secara generalnya relatif sama, dan di sisi lain memiliki keragaman dan kekayaan budaya dan objek pariwisata. Potensi sosial budaya dan pariwisata ini perlu dibuatkan paket promosi dan pengembangan yang dilaksanakan secara bersama dan terpadu, karena memiliki peluang pasar yang besar dan menawarkan banyak pilihan wisata bagi turis domestik maupun mancanegara.

Kerjasama antar daerah yang dilakukan dalam jangka panjang membutuhkan suatu institusi penyelenggara kerja sama yang dapat berbentuk badan kerja sama. Badan kerja sama dibentuk pada setiap bidang kerja sama, dimana pembentukan dan susunan organisasi badan kerja sama sebaiknya ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah sehingga memiliki kekuatan hukum yang tetap. Penyelenggaraan kerjasama antar daerah kabupaten/kota dapat difasilitasi oleh Gubernur, baik karena keberadaannya sebagai Kepada Pemerintah Daerah Propinsi (kewenangan dalam bentuk desentralisasi dan dekonsentrasi, pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2004) maupun karena kewenangannya mengkoordinir fasilitasi lintas pemerintah daerah