• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KERENTANAN EKOLOGI DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN PEDESAAN

Desa Karangmulya merupakan desa persawahan di Pantai Utara Indramayu yang memiliki kerentanan ekologi yang sangat tinggi. Hampir setiap tahun, desa ini tidak luput dari kekeringan dan banjir. Kedua peristiwa tersebut tidak jarang menyebabkan penurunan produksi dan gagal panen. Kekurangan stok pangan menjadi permasalahan setiap tahun bagi sebagian besar rumah tangga di desa ini. Pemerintah Kabupaten Indramayu pun menyatakan bahwa desa ini sebagai desa paling rentan di wilayah Kabupaten Indramayu. Hal ini pula-lah yang menyebabkan pemerintah pusat dengan berpedoman pada Permen No. 12 Tahun 2007 menilai desa ini sebagai “Desa Swadaya”, sebuah predikat terendah  untuk sebuah desa. Artinya, Desa Karangmulya merupakan desa miskin yang laju pembangunannya sangat lambat.

Gambar 8.1 Skema sosiologi kerentanan ekologi dan penghidupan (diadaptasi dari kerangka penelitian)

Penelusuran sejarah menemukan bahwa kerentanan ekologi (banjir dan kekeringan) muncul akibat terganggunya fungsi jaringan irigasi sejak pendudukan Jepang 1942 dan pemberontakan DI/TII (1949-1962). Sebelumnya, terlebih sejak beroperasinya irigasi Rentang 1916, lahan persawahan di desa ini mendapatkan pasokan air irgasi sepanjang tahun. Program revolusi hijau ala Orde Baru yang memperbaiki jaringan irigasi Rentang, membangun jaringan irigasi Jatiluhur, membagi wilayah persawahan ke dalam empat golongan tetap tidak mampu

115 menyediakan pasokan air irigasi yang cukup untuk musim tanam kedua, apalagi ketiga. Wilayah persawahan Desa Karangmulya hanya menjadi golongan tadah hujan dan banjir inlaat. Akibatnya, ketika musim kemarau, lahan sawah di Desa Karangmulya lebih dahulu mengalami kekeringan dan ketika musim hujan lebih dahulu mengalami kebanjiran.

Kerentanan ekologi = ketidakmampuan pemerintah menyediakan air irigasi yang cukup, berlanjut, dan dapat dikontrol

Kerentanan memang menjadi semakin meningkat akibat variabilitas iklim yang semakin tidak menentu dan anomali iklim yang meningkat. Namun, penelitian ini menemukan bahwa akar permasalahannya adalah ketidakmampuan pemerintah memperbaiki jaringan irigasi Rentang dan mengoptimalkan jaringan irigasi Jatiluhur yang keduanya berakhir di Desa Karangmulya. Revolusi hijau yang dimulai 50 tahun lalu (1963/1964) dan digadang-gadang mampu “merevolusi  pertanian”  melalui  peningkatan  produksi  dan  produktivitas  lahan  sawah ternyata tidak terbukti di desa yang sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20 menjadi lumbung padi. Revolusi hijau dilakukan dengan memaksakan intensifikasi input produksi berupa bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan mekanisasi pertanian, tanpa menghadirkan air irigasi yang cukup, berlanjur, dan dapat dikontrol. Padahal, menurut Asnawi (1988), green revolution tidak akan berhasil tanpa adanya blue revolution. Tersedianya air irgasi yang cukup dan terkontrol tidak saja merupakan input kunci untuk meningkatkan produksi padi, tetapi juga merupakan unsur yang vital untuk efektifnya penggunaan teknologi yang lebih baik, yaitu varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan berumur pendek serta pupuk kimia dan pestisida.

Akibatnya, berbeda dengan desa-desa lainnya di Indramayu, bahkan beberapa desa tetangga yang mendapatkan aliran air irigasi teknis sebagai buah dari revolusi hijau sehingga menjadi desa yang mengalami revolusi pertanian, desa ini malah mengalami “kemandegan (involusi) pertanian”. Bahkan, beberapa  petani yang mengalami masa-masa kejayaan desa mengatakan situasi sekarang berada pada “kemunduran pertanian”. Status “Desa Swadaya”  yang berarti desa  miskin dan terbelakang (lambat dan tidak maju) seakan menjadi justifikasi atas hal ini. Revolusi hijau nampaknya malah memberikan dampak pada peningkatan serangan hama penyakit-tanaman padi. Diskusi kelompok yang melibatkan seluruh rumah tangga petani dari semua lapisan, misalnya, menyebutkan wereng batang coklat menjadi hama yang muncul dan tidak bisa dikendalikan setelah budidaya pertanian padi menggunakan pestisida sesuai saran dari penyuluh revolusi hijau.

Temuan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan dokumen resmi pemerintah yang hanya menjadikan faktor iklim, baik variabilitas maupun perubahan iklim, sebagai penyebab kerentanan ekologi desa ini, tanpa berhasil menemukan akar permasalahannya. Akibatnya, berbagai program yang

116

dilakukan tidak komprehensif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Berbagai tekonologi terus didatangkan dan diajarkan. Akibatnya, sesuai dengan tesis Asnawi (1988) di atas, budidaya pertanian tetap mandeg.

Dengan kondisi kerentanan ekologi yang sangat tinggi dan berlangsung puluhan tahun ini, masyarakat Desa Karangmulya sebagai masyarakat yang telah terbentuk dan tinggal ratusan tahun di desa dituntut untuk mampu bertahan dan terus melanjutkan penghidupannya melalui berbagai strategi penghidupan. Strategi penghidupan dilakukan di tingkat rumah tangga sebagai bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai unit konsumsi dan unit produksi. Strategi penghidupan dilakukan dengan mengkombinasikan aset penghidupan yang dimilikinya dan juga yang dapat diaksesnya. Setiap rumah tangga memiliki aset penghidupan yang berbeda-beda. Rumah tangga lapisan atas merupakan rumah tangga yang memiliki aset penghidupan paling lengkap dan paling berkualitas. Kepemilikan lahan sawah (modal alam) sebagai penentu status sosial rumah tangga

Pelapisan sosial rumah tangga ditentukan dari luasnya kepemilikan lahan sawah. Semakin luas lahan sawahnya, semakin tinggi lapisan sosial rumah tangga tersebut. Atas dasar itu, ada enam lapisan sosial yang terdapat di Desa Karangmulya, yaitu (1) lapisan atas, (2) lapisan menengah, (3) lapisan bawah pemilik, (4) lapisan bawah penggarap, dan (5) lapisan bawah buruh. Hasil survey menunjukkan bahwa rumah tangga lapisan atas memiliki luas lahan 25,869 m2, jauh lebih luas dibandingkan rumah tangga lapisan lainnya. Rumah tangga lapisan menengah, misalnya, memiliki 8,350 m2 dan rumah tangga lapisan bawah pemiliki hanya memiliki 2,689 m2.

Lapisan-lapisan tersebut tidak eksklusif dan sangat longgar. Rumah tangga atas selain menggarap lahan sawah sendiri juga menyewa lahan sawah orang lain untuk digarap dan juga menyewakan sebagian lahan sawahnya untuk digarap rumah tangga lain. Rumah tangga lapisan menengah selain menggarap lahan sawahnya sendiri juga menjadi buruh tani. Rumah tangga bawah buruh juga bisa seketika naik kelas (lapisan) sosial apabila dia mampu menggarap atau bahkan membeli lahan sawah. Begitu pun, dengan rumah tangga menengah bisa dengan cepat turun kelas (lapisan) apabila lahan sawah yang dimilikinya dijual. Namun, hasil penelitian menunjukkan hanya ada 1.25 persen rumah tangga yang turun kelas, sisanya sebagian besar naik kelas dan sebagiannya lagi berhasil mempertahankan kelasnya (lihat Gambar 8.2).

117 Gambar 8.2 Skema hubungan lahan dan mobilitas sosial

Pembagian lapisan (struktur) dan peran (fungsi) sosial yang tidak eksklusif ini sudah lama diterapkan sejak awal pendirian desa. Bagi masyarakat desa, pelapisan (struktur) sosial hanya digunakan untuk membagi peran (fungsi) sosial yang lebih jelas di masyarakat. Rumah tangga lapisan atas, misalnya, dituntut memikul peran sosial yang lebih banyak. Rumah tangga atas harus menyediakan cadangan beras yang dapat dipinjam rumah tangga lapisan di bawahnya. Rumah tangga atas harus menyumbang bahan makanan yang lebih banyak untuk tradisi budaya sedekah bumi. Rumah tangga atas harus menyumbang lebih banyak untuk pembangunan mesjid. Rumah tangga atas harus sering melakuan selametan yang mengundang banyak rumah tangga untuk makan di rumahnya. Rumah tangga atas harus mau membukakan pintu setiap saat bagi rumah tangga lain yang membutuhkan.

Kondisi ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Scott (1976) dan Hayami dan Kikuchi (1987) mengenai ciri masyarakat desa Asia Tenggara yang tinggal di daerah yang rentan secara ekologis. Menurut mereka, pertukaran tenaga kerja, penggunaan harta benda komunal untuk biaya hidup anak yatim atau janda, hadiah-hadiah yang diberikan oleh patron pada kelahiran seorang anak atau kematian seorang ayah, dan penurunan sewa pada tahun kegagalan panen merupakan pola yang melembaga (terinstitusionalisasi). Sejauh seorang patron (rumah tangga kaya dengan lahan yang luas) melindungi para kliennya (penyewa lahan dan buruh tani dari rumah tangga miskin) di dalam masyarakat desa terhadap kesulitan ekonomi dan pangan pada tahun-tahun yang buruk, patron tersebut akan dianggap sebagai pelindung yang baik. Hayami dan Kikuchi (1987), meskipun seringkali para petani di desa egois dengan selalu berusaha mencari keuntungan pribadi seperti yang disampaikan Popkin (1979). Namun, para petani

118

akan tetap mempertahankan sikap altruistiknya sejauh keuntungan altruismenya melebihi biaya untuk bertingkah laku sebagai altruis. Orang desa akan melanggarnya apabila mereka melihat peluang bahwa keuntungan karena pelanggaran itu melebihi biayanya.

Modal sosial memberikan akses yang memelihara resiliensi penghidupan rumah tangga pedesaan

Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk hubungan sosial dan jaringan yang didasarkan atas prinsip “… trust, mutual reciprocity, and norm of action”. Modal sosial lahir dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari (Syahyuti, 2008). Berbagai tulisan tentang modal sosial pun lahir dari pengamatan dan penelitian yang dilakukan terhadap ribuan interaksi sosial tersebut. Tak ayal, sampai saat ini, definisi modal sosial sangat beragam, bahkan ada yang saling menegasikan. Ancok (2003) membagi pandangan para pakar dalam mendefinisikan konsep modal sosial ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social net-work), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Syahyuti (2008) mengamini bahwa telah terjadi banyak perbedaan batasan antar ahli tentang modal sosial. Menurut Syahyuti, beberapa ahli menekankan pentingnya trust, sebagian social network, dansebagian social networks. Namun, ada juga yang menekankan ketiganya sekaligus, misalnya Putnam (1993).

Penulis pun mencoba melakukan penelusuran berbagai literatur untuk mencari definisi modal sosial. Hasilnya memang benar, berbagai ahli menuliskan definisi yang berbeda dari modal sosial. Beberapa saling mendukung, namun beberapa saling mengkritik. Coleman (1988; 1999) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama, demi mencapai tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Burt (1992) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial lainnya. Cohen dan Prusak (2001) mendefiniskan modal sosial sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat aksi bersama yang dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Brehm dan Rahn (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan kerja sama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Pennar (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

119 Kalau kembali pada Ancok (2003), berbagai definisi yang dituliskan pada paragraf di atas dapat menggambarkan pendapat kelompok pertama yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (social net-work). Namun, pendapat ini berbeda, bahkan ditentang oleh Fukuyama dan berbagai ahli yang “bergabung”  pada kelompok kedua yang lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.

Menurut Fukuyama (1995), modal sosial adalah kemampuan individu untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok dan berbagai organisasi. Fukuyama (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Pada tahun 2001, Fukuyama kembali menegaskan adanya kesalahan dari ahli-ahli lain dalam mendefinisikan modal sosial. Menurut Fukuyama (2001), meskipun modal sosial telah memiliki beragam definisi, beberapa di antaranya menunjukkan manifestasi modal sosial dibandingkan modal sosial itu sendiri. Fukuyama (2001) mendefinisikan modal sosial sebagai norma informal instan yang mendorong kerja sama antar dua individu atau lebih. Norma- norma yang menyusun modal sosial dapat berkisar dari norma timbal balik (norm of reciprocity) antara dua teman sampai ke yang lebih komplek, menggunakan doktrin agama/religi, seperti konfusiusisme. Hal ini harus terjadi instan dalam hubungan aktual manusia (norma timbal balik berpotensi terdapat pada semua orang). Dengan definisi ini, trust, jejaring (network), masyarakat madani, dan sejenisnya yang berhubungan dengan modal sosial, semuanya adalah epiphenominal, muncul sebagai hasil dari modal sosial, tetapi tidak menyusn modal sosial itu sendiri. Selain itu, norma-norma tersebut harus mendorong kerjasama dalam grup sehingga sangat berhubungan dengan nilai-nilai tradisional, seperti kejujuran, menjaga komtmen, melaksanakan kewajban dengan baik, dan sebagainya.

Untuk mempermudah memahami definisi modal sosial, Fukuyama (2001) menggambarkannya melalui konsep the radiust of trust. Semua grup yang menyusun modal sosial memiliki radius trust tertentu, yaitu lingkaran dimana norma-norma kooperatif beroperasi. Jika modal sosial suatu grup menghasilkan eksternalitas positif, radius trust lebih besar dibandingkan keanggotaan grup. Suatu masyarakat modern dapat dipandang sebagai seri radius trust konsentrik dan saling tumpang tindih (lihat Gambar 8.3). Di antara dua orang ahli modal sosial, Bowles dan Gintis (2001) adalah yang sependapat dengan Fukuyama. Mereka mendefinisikan modal sosial sebagai berikut “Social  capital  refers  to  trust, concern  for  one’s  associates,  a  willingness  to  live  by  the  norms  of  one’s 

120

Gambar 8.3 Ilustrasi network of trust Sumber: Fukuyama (2001)

Yang menarik, sementara para ahli terus berdebat, World Bank ternyata sangat tertarik dengan peranan dan implementasi modal sosial dalam pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. World Bank (1998) menyebutkan modal social sebagai “… a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern inetractions among people and contribute to economic and social development. Modal sosial berperan sebagai perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Menurut World Bank (1998), (i) modal sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial, politik, dan hubungan sosial yang mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja dan begitu juga sebaliknya: pasar dan negara juga akan membentuk modal sosial di masyarakat; (ii) hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong keefektifan dan efisiensi, baik perilaku kolektif maupun individual; (iii) modal sosial dalam satu masyarakat dapat diperkuat, namun membutuhkan sumber daya tertentu untuk memperkuatnya; dan (iv) agar tercipta hubungan sosial dan kelembagaan yang baik, anggota masyarakat harus mendukungnya.

Selain membaca langsung dari berbagai naskah aslinya, buku berjudul Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik yang ditulis Lawang (2004) membantu peneliti memahami modal sosial dalam perspektif sosiologi. Menurut Lawang (2004), hampir semua definisi tentang modal sosial menempatkan modal sosial sebagai variabel independen. Artinya, kapital sosial merupakan penyebab dari suatu tindakan individual atau tindakan kolektif, termasuk rumah tangga, yang memungkinkan suatu daya guna dan daya hasil tercapai. Lawang membuat ikhtisar mengenai inti definisi modal sosial menurut beberapa ahli, seperti yang tersaji dalam Tabel 8.1.

121 Tabel 8.1 Inti definisi kapital sosial menurut beberapa ahli

Ahli Tertambat pada Modal sosial (variabel

independen)

Variabel dependen Coleman Struktur sosial:

hubungan sosial, institusi sosial.

Fungsi kewajiban, harapan, layak percaya, saluran, norma, sanksi, jaringan, organisasi

Tindakan aktor atau aktor dalam badan hukum.

Putnam Institusi sosial. Jaringan, norma,

kepercayaan

Keberhasilan ekonomi, demokrasi.

Fukuyama Agama, filasafat Kepercayaan, nilai Tindakan sosial

Bank Dunia

Institusi, norma, hubungan Potensi perkembangan ekonomi

Turner Hubungan sosial,

pola organisasi yang diciptakan individu

Kekuatan Potensi

perkembangan ekonomi Lawang Struktur sosial

mikro, meso, dan makro

Kekuatan sosial komunitas. Efisiensi dan efektifitas dalam mengatasi masalah. Sumber: Lawang (2004)

Kembali pada kerangka penghidupan yang menjadi framework dalam penelitian ini, DFID (1999) mengemukakan bahwa modal sosial terdiri dari: (1) jaringan dan ikatan, baik vertikal (patron-klien) maupun horisontal (antara individu/rumah tangga yang senasib atau mempunyai tujuan yang sama) yang meningkatkan kepercayaan dan kemampuan orang-orang untuk bekerja sama dan saling memberikan akses melalui berbagai institusi sosial produksi; (2) heanggotaan dalam kelompok yang memiliki aturan, norma, dan sanksi yang disetujui bersama, serta (3) hubungan kepercayaan, resiprositas, dan pertukaran yang memfasilitasi kerja sama, memberikan akses, mengurangi biaya transaksi, dan menjad basis untuk jaring pengaman sosial bagi rumah tangga miskin. DFID (1999) dan juga Scoones (1998), Ellis (2000) menekankan bahwa modal sosial yang terwujud dalam institusi sosial produksi dapat memberikan akses kepada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya. Dengan mengurangi biaya transaksi dalam produksi, modal sosial dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah uang yang bisa ditabung (modal finansial). Modal sosial dapat membantu mengurangi pembonceng/penumpang gelap (free rider) yang menjadi masalah dalam pengelolaan common resources (modal alam) dan memelihara infrastruktur publik (modal fisik). Jaringan sosial (modal sosial) memfasilitasi penyebaran informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan seseorang atau rumah tangga (modal insani).

122

Hasil penelitian ini juga menunjukkan dan membuktikan peran penting modal sosial. Modal sosial terbukti memberikan akses kepada semua rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupannya. Pada Gambar 8.4 dapat terlihat pentagon aset penghidupan masing-masing rumah tangga. Dengan adanya akses, kapasitas aset penghidupan setiap rumah tangga mengembang/meningkat (lihat warna merah). Sebaliknya, tanpa akses, kapasitas aset penghidupan setiap rumahtangga akan mengkerut (lihat warna biru). Apabila dilihat secara detail, pada gambar tersebut terlihat bahwa modal sosial merupakan modal yang paling melimpah dan paling kuat yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Kerentanan ekologi yang membatasi sumber daya air serta menekan dan mengguncang penghidupan setiap rumah tangga direspons dengan membangun modal sosial yang dapat memelihara resiliensi dan keberlanjutan penghidupannya.

Gambar 8.4 Pentagon aset penghidupan dan akses Keterangan: Hasil analisis

5.0 4.6 5.0 4.2 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 3.5 4.0 4.5 5.0

Tanpa akses Dengan akses

Aset dan akses