• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ASET PENGHIDUPAN DAN AKSESNYA

3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam Pranata pinjam

5.2 Modal Alam

Sesuai dengan karakteristik wilayahnya yang merupakan desa persawahan, aset atau modal alam yang terpenting adalah lahan sawah dan air irigasi untuk mengairi sawah. Hal ini juga dipengaruhi oleh suprastruktur sosial (sistem nilai dan cara pandang) masyarakat Desa Karangmulya yang menilai dan memandang kegiatatan pertanian padi sawah bukan hanya sebagai budi daya, namun juga sebagai budaya (bisa dilihat banyaknya institusi tradisi-budaya dalam kegiatan padi sawah pada Tabel 5.1). Suprastruktur sosial inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan lahan sawah menjadi penentu struktur sosial (lapisan sosial) masyarakat. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, semakin luas lahan sawah yang dimiliki, semakin tinggi lapisan sosial sebuah rumah tangga. Dalam tabel 5.3 dapat dilihat setiap rumah tangga lapisan atas memiliki lahan sawah rata- rata 25,869 m2, rumah tangga lapisan menengah 8,350 m2, rumah tangga lapisan bawah pemilik 2,689 m2, dan rumah tangga lapisan bawah penggarap 0 m2. Yang menarik adalah ada satu rumah tangga yang saat ini tercatat sebagai rumah tangga lapisan bawah buruh tani (rumah tangga tidak berlahan) ternyata pada waktu disurvei menyebutkan bahwa sebetulnya masih memiliki lahan sawah sebanyak 7,000 m2, namun saat ini masih digadaikan ke rumah tangga lain. Transaksi gadai dilakukan sudah cukup lama sehingga masyarakat desa menyangka rumah tangga tersebut sudah tidak mempunyai lahan sawah lagi dan langsung dikategorikan sebagai rumah tangga lapisan bawah buruh tani. Padahal, ketika lahan sawahnya belum digadaikan, masyarakat memandang rumah tangga tersebut sebagai lapisan menengah.

Tabel 5.3 Aset lahan sawah yang dimiliki dan diakses rumah tangga Lahan sawah Lapisan Sosial Atas (n=8) Menengah (n=24) Bawah Pemilik (n=16) Bawah Penggarap (n=16) Bawah Buruh (n=16) Rata-rata Luas Lahan

- Lahan milik sendiri (m2) 25,869 8,350 2,689 0 438 - Lahan milik orang lain (m2) 2,188 1,871 1,831 6,213 0 - Total lahan (m2) 28,056 10,221 4,521 6,213 438 Pengairan

- Kecukupan pasokan irigasi

musim rendeng (%) 100 100 100 90.9 -

- Kecukupan pasokan irigasi

musim gadu (%) 0 0 0 0 -

- Air dalam tanah sawah bisa

dipantek dan dipakai (%) 16.7 22.2 7.7 8.3 -

Kemudahan dijangkau

- Dapat dijangkau dg mobil (%) 16.7 5.6 0 10 -

- Dapat dijangkau dg motor (%) 50.0 72.2 83.3 60 - Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014

60

Fakta sosial ini semakin menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan sangat menjadi penentu posisi rumah tangga dalam lapisan sosial. Sebaliknya, bagi rumah tangga lapisan bawah buruh tani (tidak berlahan) bisa naik kelas (mobilisasi sosial) dengan segera ketika mereka mampu memiliki lahan sawah. Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa 12.5 persen rumah tangga lapisan atas, 12.5 persen rumah tangga lapisan menengah, dan 6.7 persen rumah tangga bawah pemilik dipastikan rumah tangga-rumah tangga yang mengalami kenaikan kelas (mobilisasi sosial). Ini terlihat dari asal lahan sawah mereka yang seluruhnya diperoleh dengan cara membeli lahan sawah orang lain. Begitu pun dengan sebagian rumah tangga yang lahan sawahnya sebagian besar diperoleh dengan cara membeli lahan sawah orang lain merupakan rumah tangga yang berusaha meningkatkan status sosialnya.

Tabel 5.4 Keterangan asal lahan sawah yang dimiliki (dalam persen)

Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014

Meskipun semua rumah tangga ingin memiliki lahan sawah, namun dengan harga yang menurut mereka cukup mahal (Rp 250 juta per bahu), tidak semuanya sanggup membeli. Selain itu, banyak rumah tangga yang tidak mau menjual lahan sawahnya. Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak sanggup membeli atau punya uang, namun tidak ada lahan yang mau dijual, mereka bisa menguasai/menggarap lahan-lahan sawah milik orang lain melalui institusi sewa dan gadai (lihat Tabel 5.2 dan 5.3). Penguasaan lahan sawah orang lain ini ternyata dilakukan oleh semua lapisan rumah tangga. Bahkan, bagi Rumah tangga lapisan bawah penggarap, semua lahan yang digarapnya adalah lahan milik orang lain. Selain itu, hampir dari setengah luas lahan yang dikuasai dan digarap rumah tangga lapisan bawah pemilik adalah lahan milik orang lain.

Harga pasaran (normal) untuk sewa lahan adalah 2 ton padi per bahu per tahun (dibayar dengan padi atau dikonversi ke dalam uang sesuai harga padi saat itu: 7-8 juta). Harga tersebut jauh lebih murah dari harga sewa lahan sawah irigasi teknis di kecamatan tetangga (Kecamatan Bongas) yang mencapai Rp 20 juta per tahun (harus dibayar dengan uang di muka). Selain murah, sebagian besar perjanjian sewa lahan di Desa Karangmulya dilakukan dengan sistem sewa

“yarnen”—dibayar setelah panen. Hal ini memberi kesempatan kepada rumah tangga lapisan bawah untuk bisa menggarap lahan sawah. Modal sosial yang kuat yang dipengaruhi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran juga memberikan

Asal lahan sawah yang dimiliki

Lapisan Sosial Atas (n=8) Menengah (n=24) Bawah Pemilik (n=16) Bawah Penggarap (n=16) Bawah Buruh (n=16) Seluruhnya beli 12.5 12.5 6.7 0 0

Sebagian besar beli 37.5 4.2 0 0 0

Sebagian besar warisan 12.5 37.5 6.7 0 0

61

kemudahan apabila terjadi gagal panen akibat kekeringan, banjir, dan serangan HPT. Sementara itu, untuk gadai, rumah tangga yang mau menggadai harus

memberikan  uang  “pinjaman”  Rp  60  juta  untuk  dua  tahun.  Transaksi  atau 

perjanjian gadai biasanya dilakukan secara tertulis serta disaksikan dan dicatat aparat pemerintahan desa. Setelah dua tahun, mereka bisa mengakhiri atau melanjutkan perjanjian gadai. Berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam, uang gadai biasanya tidak dikenakan bunga. Gambaran mengenai hal ini dapat dilihat pada tabel 5.5 di bawah ini.

Tabel 5.5 Keterangan akses yang dimiliki rumah tangga terhadap lahan sawah milik orang lain

Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014

Pada Tabel 5.5 di atas juga terlihat tidak adanya satupun penguasan lahan milik orang lain yang dilakukan melalui institusi bagi hasil. Rupanya dengan kerentanan lingkungan yang tinggi, pemilik lahan dan penggarap lebih sepakat menggunakan institusi sewa “yarnen” dan gadai. Kedua institusi ini dianggap mengurangi risiko untuk kedua belah pihak. Dengan sistem sewa “yarnen”, rumah tangga pemilik lahan yang menyewakan lahannya pasti akan mendapatkan sejumlah hasil tertentu dan rumah tangga penyewa lahan dapat membayar sewa lahan setelah panen dengan jumlah yang pasti.