• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Sejarah Desa: Menelusuri Jejak Kerentanan

ANALISIS KERENTANAN EKOLOGI LOKASI PENELITIAN

4.2 Perkembangan Sejarah Desa: Menelusuri Jejak Kerentanan

Kondisi Desa Karangmulya yang sangat rentan terhadap banjir dan kekeringan, yang berujung pada produksi padi sawah, rasanya bertolak belakang dengan pandangan umum terhadap Kabupaten Indramayu sebagai lumbung padi nasional yang kaya sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda sampai rezim pemerintahan saat ini. Bahkan, seperti yang telah disampaiak dalam Bab I, sejak

45 zaman kerajaan-kerajaan, Indramayu sudah tercatat sebagai lumbung padi yang mampu menyediakan padi bagi masyarakatnya dan masyarakat di luar Indramayu (Pemerintah Kabupaten Indramayu 2014, Padmo 1998). Yang terbaru adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 yang isinya, di antaranya, menetapkan Indramayu sebagai lumbung padi nasional. Lewat dua peraturan tersebut, Indramayu ditugaskan untuk tetap mempertahankan status dan perannya sebagai lumbung padi nasional. Artinya, seluruh persawahan di Indramayu harus mampu menghasilkan padi sebanyak-banyaknya, bukan hanya untuk mencukupi masyarakat lokal, tetapi juga harus mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional. Pada tahun 2012, misalnya, Indramayu ditargetkan harus mampu memproduksi 1.3 juta ton padi gabah kering giling (GKG) dan tahun 2013 naik 10 persen menjadi 1.43 jutan ton padi GKG.

Tabel 4.3. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Desa Karangmulya (dalam Persen)

Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014

Namun, fakta yang ada menunjukkan kondisi yang sangat ironis. Karangmulya yang hanya berjarak 4-6 km dari Jalan Raya Pantura dan 8-12 km dari pusat pemerintahan dan ekonomi Kecamatan Kandanghaur; serta mempunyai saluran irigasi yang tersambung dengan 6 jaringan irigasi menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Jangankan untuk menjadi lumbung padi nasional, banjir dan kekeringan menjadi “lonceng kematian”, selalu mengancam perut ribuan orang yang tinggal di Karangmulya. Data resmi terbaru (BPS Kab. Indramayu 2013b) menunjukkan bahwa pada musim tanam kedua (musim gadu) tahun 2012 seluruh tanaman padi di Karangmulya mengalami puso. Dari 325 ha lahan sawah yang ditanami, tidak ada 1 ha pun yang berhasil dipanen. Semuanya puso-mati karena kekeringan. Padahal, puluhan juta rupiah, uang petani dan juga tenaga yang sudah dikeluarkan untuk menanam dan memelihara padi. Puluhan juta pula harapan petani untuk sekadar bisa makan dari hasi panen musim rendeng sirna.

“Lonceng kematian” kembali berdering keras sepanjang delapan bulan di sebuah  desa  persawahan  yang  berada  di  sebuah  “kabupaten  berpredikat lumbung padi

nasional”.  Data pada tabel 4.2 menunjukkan kejadian penurunan produksi dan

Ketahanan pangan Lapisan Sosial Atas (n=8) Menengah (n=24) Bawah Pemilik (n=16) Bawah Penggarap (n=16) Bawah Buruh (n=16) Menyediakan stok pangan

(padi/beras) di rumah untuk satu

tahun (2013-2014) 100 77.8 54.5 55.6 14.3

Tingkat kecukupan stok pangan untuk

satu tahun (2013-2014) 100 61.8 36.4 22.2 0

Pernah kekurangan stok pangan pada

46

kegagalan panen yang terjadi hampir setiap tahun. Hal ini berakibat buruk pada ketahanan pangan sebagian besar rumah tangga di Desa Karangmulya. Pada Tabel 4.3 terlihat sebanyak 90 persen rumah tangga tidak dapat menyediakan stok pangan (beras) yang cukup. Bahkan, dalam kurun waktu tahun 2000-2014, rumah tangga-rumah tangga tersebut pernah mengalami kekurangan pangan. Semua rumah tangga di lapisan bawah pemilik dan bawah buruh pernah mengalami kekurangan stok pangan dalam kurun waktu tersebut.

Mungkin kondisi ini yang menyebabkan desa ini tidak beranjak bangkit dari “status desa swadaya”; sebuah label prestasi terendah yang disematkan bagi desa miskin yang potensinya rendah dan laju perkembangannya sangat lambat (lihat Profil Desa 2014 dan Permen Nomor 12 Tahun 2007). Mungkin kondisi ini pula yang menyebabkan bantuan beras miskin (raskin) menjadi permasalahan yang selalu muncul setiap tahun. Validitas rumah tangga yang berhak, distribusi, pemotongan, dan pungutan-pungutan liar di sekitar raskin menjadi isu yang tidak pernah selesai diperbincangkan di desa ini. Sungguh ironis bagi sebuah desa yang berada di kabupaten yang sejak dulu dianggap sebagai lumbung padi.

Kalau memang dalam Babad Dermayu dan beberapa dokumen Pemerintahan Kolonial Belanda menyebutkan wilayah desa ini menjadi bagian

yang  disebut  “lumbung  padi  nasional”,  penting  untuk mengkaji kapan desa ini menjadi desa yang paling rentan. Sesuai dengan kerangka penelitian, hal ini dapat dilihat dengan menganalisis tren sejarah pembentukan dan perkembangan desa. Hasil analisis tren sejarah juga bermanfaat sebagai dasar untuk menganalisis relasi sosial dan institusi sosial yang menjadi faktor berpengaruh dalam akses setiap rumah tangga terhadap berbagai aset penghidupan.

Masa Kerajan-kerajaan: Awal Kelahiran Karangmulya

Tidak ada dokumen resmi yang mencatat sejarah Karangmulya secara khusus. Oleh karena itu, tulisan mengenai sejarah Karangmulya dilakukan melalui penelusuran mengenai cerita tidak tertulis dari mulut ke mulut yang dilestarikan melalui proses sosialiasi antar generasi di masyarakat Karangmulya. Cerita mengenai Karangmulya yang diperoleh melalui beberapa diskusi kecil dan juga beberapa wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat Kandanghaur dikompilasi sekaligus dikonfirmasi dengan beberapa data sekunder yang sedikit banyak membahas mengenai wilayah Indramayu, DAS Cimanuk, dan lain-lain di mana Karangmulya menjadi bagiannya.

Tanggal 7 Oktober 1527 merupakan titik awal yang paling diingat oleh masyarakat Indramayu secara keseluruhan karena pada tanggal inilah yang dipilih Pemerintah Kabupaten Indramayu sebagai hari jadi Indramayu. Pada tanggal ini, Arya Wilarodra yang saat itu menjadi kepanjangan tangan Kerajaan Sunda Galuh dalam menguasai wilayah DAS Cimanuk di Indramayu menyatakan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda Galuh. Namun, jauh sebelum itu (tidak ingat tahunnya), Ki Banyak Wangi, seorang utusan Kerajaan Sunda Galuh yang ditugaskan untuk

47 mencari  “pohon  kestuba  atau  sekarpetak”,  adalah  orang  yang  pertama  kali 

bermukim di Karangmulya setelah ia menemukan pohon kestuba atau sekar petak di wilayah Karangmulya. Sebagai informasi, saat ini pohon yang dimaksud masih ada, dipelihara, dan diyakini sebagai pohon berkah dan perlindungan (lihat

Gambar). Selain pohon tersebut, di Karangmulya masih terdapat “sumur purba” 

dan “kolam purba” yang tidak pernah kering. Keduanya dipercaya sebagai sumber  air sejak awal Ki Banyak Wangi dan pengikutnya bermukim di Karangmulya.Tahun 1615, Indramayu dikuasai Kerajaan Mataram. Sejak saat itu, kebudayaan Jawa mulai masuk seiring masuknya orang-orang dari Jawa ke Indramayu, termasuk ke Karangmulya menyatu dengan keturunan Ki Banyak Wangi.

Masa Pemerintahan Kolonial Belanda: Hak Pemilikan Lahan dan Sawah Irigasi Teknis di Karangmulya

Tahun 1681, Indramayu mulai dikuasai Belanda. Tahun 1806-1811 oleh Daendels dimasukan ke dalam prefektur Cirebon Utara. Tahun 1822, Bapak Tua Bar yang masih keturunan Ki Banyak Wang diberikan hak pemilikan atas lahan oleh Bupati Wira Semangun (lihat juga Aass 1980). Sejak itulah Bapak Tua Bar sebagai pemimpin Karangmulya bersama masyarakat sudah menerapkan lembaga-lembaga yang mengatur penggunaan sumber daya dan aktivitas penghidupan di Karangmulya yang berlandaskan tolong menolong dan berbagi pendapatan, seperti raksa bumi, ulu-ulu, dan sistem panen dengan bawon.

Tahun 1912, Pemerintahan Kolonial Belanda membangun jaringan irigasi Rentang yang diawali dengan membuat bendung Rentang di DAS Cimanuk. Jaringan irigasi berfungsi sejak 1916. Sistem irigasi Rentang mengairi persawahan di wilayah Indramayu dengan baik, termasuk persawahan Karangmulya. Kegiatan pertanian padi sawah di Karangmulya menjadi sangat optimal. Sawah-sawah di Karangmulya menjadi paling subur dan produktif. Pada saat itu, Indramayu, termasuk Karangmulya menjadi pengekspor beras terbesar di Jawa (56 persen) (Ed Frank 1979 dalam Kalo 1983 dalam Hartoyo 1986). Saat itu, banyak buruh tani datang dari daerah lain, seperti dari (Kecamatan) Arahan, Losarang, Sukra, Gabuswetan, Bongas, Plumbon, Indramayu, dan Loh Bener untuk ikut derep dengan sistem bawon terbuka. Daerah-daerah yang saat ini menjadi daerah yang paling subur airnya, seperti Gabuswetan dan Bongas saat itu belum dialiri air dari jaringan irigasi. Saat itu belum jaringan irigasi dari Waduk Jatiluhur. Sistem bawon yang diterapkan oleh pemilik lahan di Karangmulya, termasuk oleh Kakek Sarjun, telah mengundang orang-orang di luar desa untuk datang mencari rezeki ke Karangmulya. Kakek Sarjun adalah keturunan Bapak Tua Bar yang memiliki sawah paling luas pada saat itu. Ia adalah kakek-buyut dari Abah Acong dan Waryono yang saat ini memiliki sawah cukup luas dan menjadi bagian dari lapisan atas masyarakat Karangmulya.

48

Masa Pendudukan Jepang dan Pemberontakan DI/TII: Dari Sawah Irigasi Teknis ke Sawah Tadah Hujan

Pendudukan Jepang dan pemberontakan DI/TII merupakan titik waktu terburuk bagi kegiatan pertanian padi sawah di Karangmulya. Keduanya dikenang sebagai kejadian yang menyebabkan perubahan luar biasa bagi masyarakat Karangmulya. Sejak zaman pendudukan Jepang (1942-1945), jaringan irigasi Rentang yang mengalirkan air ke Karangmulya menjadi rusak. Hutan-hutan dan daerah tangkapan air di daerah Priangan yang merupakan hulu dari DAS Cimanuk—sumber air untuk bendung dan jaringan irigasi yang mengalir ke Karangmulya dialihfungsikan untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya Jepang. Hal ini menyebabkan degradasi lingkungan: sedimentasi dan berkurangnya debit air menyebabkan air irigasi yang datang ke Karangmulya jauh berkurang. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pemberontakan DI/TII (1949-1962) yang melakukan pembukaan hutan di wilayah Indramayu untuk dijadikan areal persawahan untuk menghidupi mereka. Pemberontak mengarahkan air irigasi ke areal persawahan baru yang dikuasi mereka dan menutup aliran air ke wilayah- wilayah yang tidak dikuasainya, seperti Karangmulya. Sejak saat itulah wilayah persawahan Karangmulya menjadi wilayah sawah tadah hujan. Pada masa inilah, sebagian keluarga Karangmulya pindah ke daerah yang persawahannya memiliki pasokan air yang cukup, seperti Kecamatan Gabuswetan, Bongas, dan Kroya. Selain pindah ke daerah sekitar yang tidak terlalu jauh, sebagian lagi pindah ke daerah-daerah di Subang, Karawang, Bekasi, dan juga Banten. Ada kemungkinan

daerah Subang yang dimaksud adalah “Desa Subang Utara” yang menjadi lokasi 

penelitian Hayami dan Kikuchi, Pincus, Breman, dan Wiradi. Perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.

Masa Orde Baru: Pembagian Golongan Irigasi

Data yang dirilis oleh pemerintah, hingga akhir 1968 kondisi jaringan irigasi Rentang menurun, dari areal sawah yang ada di wilayah rentang (91,000 ha) hanya 15,000 ha saja yang menerima air secara teratur, sisanya berubah menjadi sawah setengah teratur atau sawah tadah hujan, termasuk daerah Karangmulya yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang. Oleh karena itu, mulai tahun 1969, sejalan dengan PELITA, dengan didanai World Bank jaringan irigasi Rentang diperbaiki. Alokasi air diatur dengan membagi wilayah-wilayah persawahan ke dalam empat golongan (gol I-IV) serta golongan banjir inlaat dan tadah hujan. Celakanya, wilayah persawahan desa Karangmulya hanya menjadi golongan banjir inlaat dan tadah hujan dengan pola tanam utama padi-bera-bera. Saluran yang melintasi areal persawahan desa Karangmulya hanya menjadi saluran pembuang.

Upaya pemerintah untuk mengairi persawahan Karangmulya dari jaringan irigasi Jatiluhur pun tidak berhasil. Air yang dialirkan ke dari Jatiluhur melalui Bendung Salamdarma hanya mampu mengairi sawah-sawah sebelum

49 Karangmulya, seperti Eretan, Bongas, Curug, Gabus, dan terakhir di Lebiah. Saluran Sekunder Tipar yang mengairi persawahan Karangmulya hanya terisi air pada musim hujan saja. Jadi, selama Orde Baru (sampai 1997), semua areal persawahan mendapatkan jatah pengairan sesuai dengan jadwal golongan. Persawahan di Karangmulya sesuai dengan golongannya hanya menjadi sawah tadah hujan yang ditanami sekali setahun pada musim hujan saja.

Selain, mengatur pembagian golongan irigasi, sejak tahun 1978 pemerintah juga memperkenalkan benih padi modern dan paket usaha tani yang lainnya, seperti pupuk dan pestisida serta traktor pada tahun 1986, dengan harapan sawah-sawah di Karangmulya dapat ditanam lebih dari satu kali dalam setahun. Namun, kondisi air tidak memungkinkan. Jadi, sampai akhir Orde Baru, sawah- sawah di Karangmulya hanya optimal ditanami padi sawah sekali dalam setahun. Itupun akan berhasil panen apabila kondisi musim hujannya normal, tidak mengalami el-nino (musim kemarau panjang).

Masa Reformasi dan Otonomi Daerah: Pengalihan Urusan Pertanian dan Irigasi ke Pemerintah Daerah

Menambah musim tanam dan tugas tambahan untuk ulu-ulu

Runtuhnya rezim Orde Baru, runtuh pula sistem pemerintahan dan pembangunan terpusat, termasuk untuk pembangunan pertanian dan pengelolaan jaringan irigasi. Mulai saat itu, tata kelola pengairan termasuk pengaturan jaringan irigasi Rentang. Pengaturan dan penjadwalan aliran air dari saluran induk ke saluran-saluran sekunder berdasarkan golongan yang ditetapkan dan dijalankan selama Orde Baru menjadi tidak berfungsi. Semua masyarakat di semua daerah persawahan ingin menanam padi sebanyak-banyaknya, termasuk Desa Karangmulya. Lebih-lebih, para tokoh masyarakat dan petani-petani tua yang pernah merasakan kejayaan Karangmulya ketika air irigasi mengalir sepanjang tahun ke sawah-sawah mereka terus disosialisasikan ke tokoh-tokoh pemuda dan petani-petani muda. Romantisme kejayaan pertanian dan harapan untuk mengembalikan kejayaan itu membuat para tokoh masyarakat, pemuda, bersama seluruh anggota masyarakat meminta pemerintah daerah untuk mengalirkan air ke Karangmulya dan merubah penggolongan air.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Gayung bersambut, keinginan masyarakat Karangmulya akhirnya mendapatkan izin dari Bupati (incumbent) yang saat itu hendak mencalonkan kembali menjadi bupati untuk periode berikutnya. Sejak saat itulah, siapa pun yang datang ke Karangmulya untuk mendulang suara politik, baik untuk kepentingan pemilihan Bupati, Gubernur, dan Presiden maupun pemilihan DPRD kabupaten, DPRD provinsi, dan DPR pusat, diminta komitmennya agar air bisa mengalir sepanjang tahun di sawah-sawah Karangmulya. Air menjadi komoditas politik yang ditukar dengan suara politik di bilik suara. Celakanya, ternyata hal yang sama juga diminta oleh masyarakat desa

50

perawahan yang lainnya, baik yang selama ini mendapatkan aliran air sepanjang tahun maupun yang tadah hujan, seperti Karangmulya. Fenomena ini akhirnya

menimbulkan “patologi sosial” baru. Oknum-oknum mantri air dan petugas pintu yang selama Orde Baru taat menjalankan prosedur pembagian air sesuai golongan yang ditetapkan (meskipun dirasakan tidak adil oleh masyarakat yang berada di ujung saluran irigasi), sejak saat itu berubah menjadi makhluk yang bernama

“preman air”. Di tangan mereka lah, air bisa datang atau tidak ke saluran-saluran sekunder di tiap desa/wilayah. Karena semuanya menginginkan air, sementara airnya terbatas, maka hukum ekonomi menjadi mutlak berlaku. Air yang tadinya hanya menjadi komoditas politik sekarang menjadi komoditas dagang strategis bagi para oknum tersebut. Untuk mendatangkan air ke persawahan Karangmulya, masyarakat harus mengeluarkan biaya 5-12 juta rupiah.

Embung Kali Bojong. Tahun 2003, terinspirasi konsep adaptasi yang disampaikan pada Sekolah Lapang Iklim (SLI), kelompok tani bersama unsur- unsur pemerintahan desa (kepala desa, raksa bumi, ulu-ulu) dan masyarakat menjadikan Kali Bojong sepanjang 1.3 km—yang merupakan sungai alam yang hanya berfungsi (ada airnya) di musim hujan saja—menjadi embung air dengan pendanaan secara swadaya. Kali Bojong yang tadinya memiliki kedalaman 1 m dan lebar 2 m menjadi embung bertanggul 6 m dengan kedalaman sungai 4 m dan lebar 24 m.

Tahun 2005, ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla (pemerintahan Presiden SBY) datang ke desa untuk melihat gagal panen akibat kekeringan, kelompok tani bersama unsur-unsur pemerintahan desa (kepala desa, raksa bumi, ulu-ulu) dan masyarakat mengajukan peningkatan kemampuan penampungan embung air Kali Bojong. Keinginan masyarakat Karangmulya pun dipenuhi. Tak lama setelah itu, BBWS Cimanuk-Cisanggarung membangun embung Kali Bojong menjadi bendungan kecil dengan panjang 2 km, kedalaman 6 m, dan lebar 50 m. Sejak saat itu sampai terjadinya banjir pada awal tahun 2011, sawah-sawah yang ada disekitar Kali Bojong dapat ditanami dua kali dalam setahun. Kali Bojong menjadi tempat penampungan air di musim kemarau dan pengendali banjir di musim hujan. Namun, banjir yang cukup besar melanda Karangmulya pada awal tahun 2011 merusak pintu air dan tembok bendungan embung kali Bojong. Akibatnya, Kali Bojong tidak bisa berfungsi dengan baik. Puso atau gagal panen yang sangat luas di persawahan Karangmulya pada tahun 2012 dan 2014 menjadi bukti tidak berfungsinya Kali Bojong.

Ikhtisar

Desa Karangmulya merupakan desa persawahan tadah hujan yang memiliki kerentanan sangat tinggi. Hampir setiap tahun, kekeringan dan banjir selalu mengancam dan hadir di desa ini. Kekurangan stok pangan menjadi permasalahan setiap tahun bagi sebagian besar rumah tangga. Penelusuran sejarah

51 pembentukan dan perkembangan desa ternyata menemukan bahwa kerentanan ini muncul sejak tidak optimalnya fungsi jaringan irigasi.

Sebelumnya desa ini merupakan desa yang sangat subur dan mendapatkan pengairan sepanjang tahun dari jaringan irigasi Rentang yang mulai beroperasi tahun 1916. Namun, sejak pendudukan Jepang 1942 dan pemberontakan DI/TII, pasokan air dari jaringan irigasi Rentang tidak lagi sampai ke sawah-sawah sepanjang tahun. Revolusi hijau ala Orde Baru yang salah satunya melaksanakan modernisasi sistem irigasi tetap tidak mampu menyediakan pasokan air yang cukup pada musim-musim keamarau. Jaringan irigasi Rentang yang diperbaiki dan jaringan irigasi Jatiluhur yang baru selesai dibangun akhir 1967 tetap tidak bisa mengembalikan kondisi pengairan sebelum tahun 1942. Lokasinya yang berada di ujung kedua jaringan irigasi terbesar di Pantura Jawa Barat hanya mampu menetapkan saluran-saluran sekunder yang melintasi persawahan Desa Karangmulya sebagai saluran pembuang banjir. Akibatnya, persawahan Desa Karangmulya menjadi langganan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kondisi ini semakin diperparah oleh dampak perubahan iklim yang meningkatkan variabilitas iklim dan frekuensi maupun intensitas banjir dan kekeringan.

52

BAB V