• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL

6.1.3 Strategi Migras

Migrasi, menurut Scoones (1998, 2009), merupakan strategi penghidupan yang dilakukan dengan rekayasa spasial atau perubahan ruang. Rumah tangga atau anggota rumah tangga yang melakukan strategi ini menjalankan aktivitas penghidupannya di luar desa dengan cara melakukan mobilisasi, baik permanen, temporer, dan sirkuler. Dalam kerangka penghidupan, migrasi dilakukan dengan mengkombinasikan aset insani/sumber daya manusia (keterampilan, pendidikan, pengetahuan); serta aset-aset lainnya, seperti aset finansial (biaya pelatihan, tabungan atau pinjaman untuk berangkat), aset fisik (sarana untuk mobilisasi), aset sosial (jaringan, kepercayaan), dan aset alam (kondisi dan kepemilikan lahan).

Migrasi, menurut Ellis dan Freeman (2005: 5-7), memberikan peran penting bagi penghidupan banyak rumah tangga di daerah yang miskin dan rentan. Migrasi yang dilakukan oleh anggota rumah tangga sebagai tenaga kerja (aset insani/sumber daya manusia) menghasilkan remitans yang dapat meningkatkan aset-aset penghidupan rumah tangga yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan rumah tangga. Remitans yang dihasilkan juga dapat mengurangi atau menurunkan risiko dari aktivitas penghidupan utama rumah tangga pedesaan (pertanian) yang sangat diperngaruhi musim (iklim/cuaca) yang kemudian mengurangi kerentanan. Berkurangnya tingkat kemiskinan dan kerentanan secara bersama-sama akan meningkatkan penghidupan rumah tangga dan masyarakat pedesaan lainnya.

Ellis dan Freeman yang merangkum beberapa hasil penelitian terdahulu (Tiffan et al. 1994, Carter 1997, Hoddinot 1994) menunjukkan bahwa peningkatan penghidupan terjadi setelah remitans yang diterima rumah tangga tersebut (1) diinvestasikan dengan cara membeli atau menyewa lahan (ekstensifikasi), (2) dibelikan input produksi pertanian yang berkualitas, termasuk alat-alat dan mesin (intensifikasi) sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal, (3) diinvestasikan untuk modal/aset yang dapat menghasilkan aktivitas penghidupan non-pertanian, seperti alat transportasi, kios warung/toko, mesin penggilingan, dan (4) diinvestikan untuk pendidikan generasi yang akan datang, misal untuk menyekolahkan anak atau membantu kegiatan pendidikan di desa.

Lipton (1980:4) yang juga dirujuk oleh Effendi (1986:4) mengemukakan adanya perbedaan antara migrasi yang dilakukan oleh yang rumah tangga lapisan atas (kaya) dengan migrasi yang dilakukan oleh rumah tangga lapisan bawah (miskin). Rumah tangga kaya, meskipun jarang yang terkaya, biasanya berusaha melindungi kekayaannya (aset) dan mampu untuk menanggung semua anggota rumah tangganya untuk tetap tinggal di desa atau mengirim anggota ke luar desa. Rumah tangga kaya ini cenderung tertarik ke luar desa (pulled out) dengan

87 dibiayai oleh keuntungan yang diperoleh dari kelebihan (surplus) produksi pertanian di desa. Oleh karena itu, mereka dari rumah tangga kaya kebanyakan berpendidikan tinggi dan bekerja/berusaha dengan pendapatan yang cukup lumayan. Sementara itu, rumah tangga miskin, meskipun jarang yang termiskin, adalah rumah tangga yang tidak mempunyai kekayaan (aset) yang mampu menanggung semua anggota keluarga untuk tetap tinggal di desa atau pun mengirim ke luar desa. Mereka dari rumah tangga miskin ini melakukan migrasi karena didorong ke luar (pushed-out) dalam rangka membantu ekonomi rumah tangga. Mereka enderung berpendidikan rendah sehingga jenis pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan yang berpenghasilan jauh lebih kecil dibandingkan pekerjaan yang diperoleh migran dari rumah tangga kaya.

Aktivitas migrasi yang diperhitungkan dan dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas penghidupan non-pertanian di luar Kabupaten Indramayu yang dilakukan semua anggota rumah tangga, baik bekerja maupun berusaha, yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengiriman remitans dalam kurun waktu Mei 2013- April 2014. Aktivitas penghidupan pertanian yang dilakukan di desa-desa tetangga, sebelumnya, sudah dimasukkan ke dalam strategi pertanian dan aktivitas penghidupan non-pertanian yang juga dilakukan di desa-desa tetangga sudah dimasukkan ke dalam strategi diversifikasi penghidupan non pertanian. Dengan pembatasan seperti ini, strategi penghidupan migrasi dibagi menjadi dua aktivitas, yaitu aktivitas migrasi domestik (dalam negeri) dan aktivitas migrasi internasional (luar negeri).

Tabel 6.4 Strategi migrasi yang dilakukan rumah tangga (dalam persen) Aktivitas Penghidupan Lapisan Sosial DESA (n=60) Atas (n=8) Menengah (n=24) Bawah Pemilik (n=16) Bawah Penggarap (n=16) Bawah Buruh (n=16) MIGRASI

Migrasi luar negeri 25 13 6 13 38 18

Migrasi dalam negeri 0 4 19 13 6 9

Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014

Pada Tabel 6.4 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga yang anggotanya melakukan aktivitas penghidupan migrasi sebetulnya jumlahnya tidak terlalu banyak. Untuk seluruh rumah tangga dari semua lapisan sosial terlihat hanya ada 18 persen rumah tangga yang mempunyai aktivitas penghidupan migrasi di luar negeri dan 9 persen rumah tangga yang mempunyai aktivitas migrasi di dalam negeri.

Migrasi luar negeri (internasional)

Aktivitas penghidupan migrasi luar negeri dilakukan beberapa rumah tangga di semua lapisan. Rumah tangga lapisan bawah buruh dan lapisan atas

88

menyumbang persentase terbesar dengan angka masing-masing 38 persen dan 25 persen. Artinya, lebih dari sepertiga rumah tangga bawah buruh melakukan aktivitas migrasi ke luar negeri dan seperempat rumah tangga atas juga melakukan hal yang sama.

Meskipun sama-sama migrasi ke luar negeri, perbedaan mendasar terletak dari negara tempat migrasi, jenis kelamin, jenis pekerjaan, dan pendapatan. Namun, untuk pendapatan akan dibahas di bagian selanjutnya. Semua rumah tangga atas menjalani aktivitas migrasinya di Korea, ada yang bekerja sebagai tenaga kerja kontrak di pabrik dan ada yang menjalankan usaha. Sementara itu, rumah tangga lapisan bawah cukup beragam, ada yang di Korea, Taiwan, Hongkong, Arab Saudi, Oman, dan Abu Dhabi-Uni Emirat Arab. Semuanya menjalankan aktivitas penghidupan dengan status sebagai pekerja. Untuk yang di Korea, semuanya bekerja sebagai tenaga kerja kontrak pabrik. Untuk yang di negara-negara jazirah Arab dan Hongkong, semuanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk yang bekerja di Taiwan, ada yang bekerja sebagai tenaga kerja kontrak pabrik, tenaga kerja restoran, dan ada juga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada Tabel 6.5.

Tabel 6.5 Keterangan negara, jenis kelamin, aktivitas penghidupan yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi internasional (dalam persen)

Rumah Tangga No.

Kuesioner Negara

Jenis

Kelamin Aktivitas Penghidupan

Atas 3 Korea Laki-laki Tenaga kerja pabrik

5 Korea Laki-laki Usaha PJTKI

(jaringan LPK Al-Amin) Menengah 12 Taiwan Perempuan Tenaga kerja restoran

14 Korea Laki-laki Tenaga kerja pabrik 57 Korea Laki-laki Tenaga kerja pabrik Bawah pemilik 24 Taiwan Laki-laki Tenaga kerja pabrik Bawah penggarap 73 Arab Saudi Perempuan Pembantu rumah tangga

74 Korea Laki-laki Tenaga kerja pabrik Bawah buruh 42 Oman Perempuan Pembantu rumah tangga

44 Hongkong Perempuan Pembantu rumah tangga 45 Abu Dhabi-UAE Perempuan Pembantu rumah tangga 48 Korea Laki-laki Tenaga kerja pabrik 76 Taiwan Perempuan Pembantu rumah tangga 80 Korea Laki-laki Tenaga kerja pabrik Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014

Pada Tabel 6.5. di bawah juga dapat dilihat bahwa semua anggota rumah tangga lapisan atas yang migrasi adalah laki-laki, sedangkan anggota rumah tangga bawah didominasi oleh perempuan. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aktivitas penghidupan yang dilakukan dan remitans yang bisa dikirim. Laki-laki bekerja sebagai tenaga kerja pabrik dan perempuan sebagian besar bekerja sebagi pekerja rumah tangga. Seorang anggota rumah tangga yang bekerja sebagai tenaga kerja pabrik di Korea biasanya mengirimkan remitans

89 sebesar Rp 120 juta per tahun, sedangkan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga biasanya hanya mengirimkan Rp 12 juta per tahun. Perbedaan yang sangat signifikan.

Perbedaan remitans yang sangat signifikan diawali dengan perbedaan persyaratan dan tahapan proses yang harus dijalani antara bagi yang mau bekerja sebagai tenaga kerja pabrik di Korea dengan yang mau bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persyaratan utama ke Korea adalah pendidikan minimal SMA, lolos ujian bahasa Korea, dan lolos medical check-up. Semua tahapan proses rekruitmen dilakukan langsung oleh orang Korea langsung dengan difasilitasi BNP2TKI. Semua ujian-ujian dilakukan dengan ketat dan tidak ada celah untuk rekayasa. Tidak ada lagi peran PJTKI (Perusahaan Jasa Pengerah Tenaga Kerja Indonesia) yang sangat menentukan dan bisa merekayasa data seperti untuk keberangkatan kerja ke negara-negara Arab.

Ketatnya dan banyaknya persyaratan, terutama pendidikan minimal SMA dan kemampuan bahasa Korea, membatasi kesempatan hanya bagi yang memiliki ijazah SMA, lolos ujian bahasa Korea, dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan. Dengan persyaratan ini, calon tenaga kerja setidaknya harus mempersiapkan diri setidaknya satu tahun. Mereka harus mengikuti pelatihan bahasa Korea secara rutin dan intensif di lembaga-lembaga pelatihan bahasa Korea dengan biaya yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, biaya pelatihan bahasa Korea selama enam bulan di LPK Al-Amin sebesar Rp 2.2 juta. Itu pun tidak menjamin calon tenaga kerja lolos ujian bahasa Korea.

Selain biaya pelatihan bahasa Korea Rp 2.2 juta, masih banyak biaya- biaya lain yang harus dikeluarkan. Total biaya resmi yang harus dikeluarkan untuk persiapan sampai dengan pemberangkatan Januari-Juni 2014 mencapai Rp 17.5 juta dengan perincian sebagai berikut (Data LPK A-Amin) :

1. Pelatihan bahasa Korea selama 6 bulan : Rp 2,200,000. 2. Biaya ujian bahasa Korea di BNP2TKI : Rp 250,000.

3. Paspor : Rp 700,000. 4. SKCK : Rp 250,000. 5. Medical check-up : Rp 350,000. 6. Sending data : Rp 2,000,000. 7. Visa kerja : Rp 6,700,000. 8. Tiket Jakarta-Korea : Rp 2,500,000.

Menurut rumah tangga yang anaknya bekerja di Korea, selain biaya di atas, mereka juga harus mengeluarkan biaya-biaya tambahan lainnya sebesar Rp 7.5 juta untuk ongkos-ongkos selama persiapan, selamatan sebelum berangkat, dan uang jajan anaknya untuk sebulan pertama di Korea. Jadi, total biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 25 juta.

Bagi rumah tangga lapisan atas yang mempunyai tabungan dari surplus produksi padi atau keuntungan usaha lainnya, jumlah sebesar ini bisa diperoleh dengan mencairkan tabungan atau meminjam ke bank dengan mengagunkan

90

lahannya. Namun, bagaimana dengan rumah tangga bawah yang hanya memiliki lahan sedikit dan tidak bisa mengakses bank atau tidak punya lahan sama sekali sehingga tidak punya akses terhadap perbankan? Sebagai informasi, tidak semua bank mau membiayai pinjaman untuk keberangkatan tenaga kerja ke luar negeri. Hanya ada satu bank saja, yaitu BRI melalui KUR TKI. Syaratnya pun lumayan banyak (selain agunan) seperti sertifikat lulus pelatihan, sertifikat lulus tes bahas Korea, surat panggilan preliminary (surat tanda diterima kerja di Korea). Padahal, seperti telah disampaikan di atas, pelatihan bahasa, ujian bahasa korea, tes kesehatan, dan paspor memerlukan biaya yang cukup besar juga.

Seperti yang telah dibahas sedikit di atas, pendapatan dan remitans yang lumayan besar telah menarik (pulled out) minat hampir semua lapisan rumah tangga untuk bisa bekerja ke Korea. Apalagi, bagi rumah tangga bawah yang tidak memiliki lahan dan usaha lainnya yang bisa menahan anggota rumah tangganya untuk melakukan aktivitas penghidupan di desa (pulled out), hal ini bisa membantu perekonomian dan penghidupan rumah tangga. Bahkan, selanjutnya bisa meningkatkan status sosial rumah tangganya. Oleh karena itu, mereka akan berusaha untuk bisa bekerja di Korea. Beberapa rumah tangga bawah yang punya lahan sedikit ada yang menggadaikan lahan sawahnya untuk mendapatkan modal persiapan dan keberangkatan. Namun, beberapa lagi dan semua rumah tangga bawah yang tidak punya lahan memanfaatkan institusi sosial pinjam meminjam yang ada dalam organisasi kekerbatan dan patron-klien. Mereka meminjam kepada kerabat dan patron-klien dengan bunga 100 persen. Pinjaman akan dicicil setiap bulan setelah rumah tangga tersebut menerima remitans. Bagi mereka, meskipun bunganya tinggi, namun institusi ini menjembatani mereka untuk meningkatkan penghidupan mereka.

Sementara itu, dibandingkan dengan ke Korea, persyaratan, tahapan proses, dan biaya yang dibutuhkan untuk bekerja ke negara lainnya, relatif lebih ringan, lebih mudah, dan lebih murah. Biasanya pendidikan minimalnya hanya SLTP dan tidak perlu persyaratan lainnya. Mereka yang punya keinginan bisa langsung mendaftar ke PJTKI tanpa biaya yang tinggi. Meskipun sebetulnya ada keharusan menguasai bahasa asing (bahasa di negara tujuan) dan keterampilan khusus (sesuai jenis pekerjaannya), namun semuanya bukanlah persyaratan awal. Setelah mendaftar, calon tenaga kerja tersebut akan diasramakan untuk diberikan pelatihan bahasa dan keterampilan di balai latihan kerja yang dimiliki PJTKI. Semua biaya persyaratan dan kelengkapan dokumen administrasi, seperti SKCK, paspor, visa kerja, dan tiket ditanggung oleh PJTKI. PJTKI juga seringkali membantu  “merekayasa”  data  dan  informasi  supaya  calon  tenaga  kerja  yang  sebagian besar perempuan tersebut bisa berangkat.

Mudah dan rendahnya biaya yang harus dikeluarkan berbanding lurus juga dengan murah dan rendahnya pendapatan bersih yang bisa mereka terima dan remitans yang bisa diterima rumah tangganya di desa. Gaji mereka masuk melalui PJTKI sehingga setiap bulan atau setiap periode gajian, gaji mereka akan dipotong

91 terlebih dahulu oleh PJTKI. Biaya pelatihan (termasuk akomodasi dan makan- minum selama di asrama), biaya dokumen kelengkapan, biaya tiket, dan biaya- biaya “rekayasa”  lainnya  ternyata  dibebankan  sepenuhnya  kepada  tenaga  kerja  dan dihitung sebagai pinjaman yang berbunga tinggi. Akibatnya mereka hanya mendapatkan pendapatan bersih yang sangat sedikit. Menurut mereka yang bekerja sebagai pembantu di negara-negara Arab, paling-paling setiap bulannya mereka hanya mendapatkan gaji bersih Rp 2 jutaan-an sehingga dalam setahun mereka hanya bisa mengirimkan remitans sebanyak Rp 12 juta saja. Ketika ditanya berapa sebetulnya gaji mereka (sebelum dipotong PJTKI), tidak ada satu pun yang tahu. Bagi mereka, yang penting mereka bisa berangkat dan bekerja ke Korea. Prosesnya mudah dan tidak perlu ribet mempersiapkan dokumen kelengkapan dan tiket. Semuanya disiapkan PJTKI.

Meskipun gaji yang diterimanya sedikit, sebagian besar tenaga kerja, termasuk para pembantu rumah tangga, rata-rata kembali lagi ke sana untuk bekerja. Mereka hanya pulang selama 1-2 bulan saja setiap 2 tahun. Kontrak kerja dengan PJTKI rata-rata dilakukan untuk dua atau empat tahun dan bisa diperpanjang. Bagi mereka yang pernah bekerja di luar negeri, meskipun jadi pembantu rumah tangga, bekerja di luar negeri, selain memberikan manfaat ekonomi bagi penghidupan rumah tangga juga memberikan kepuasan lain. Alasan inilah sepertinya yang membuat para TKI dan TKW tidak ada kapok-kapoknya bekerja di luar negeri, meskipun hanya menjadi pembantu bergaji kecil.

Migrasi Dalam Negeri (Domestik)

Seperti yang ditunjukkan Tabel 6.4, rumah tangga yang melakukan aktivitas penghidupan di luar Kabupaten Indramayu jumlahnya hanya sedikit, bahkan lebih sedikit dari aktivitas penghidupan migrasi internasional. Dari seluruh lapisan yang ada di desa saja hanya mencapai 9 persen dengan persentase terbanyak dicapai oleh rumah tangga bawah pemilik yang mencapai 19 persen. Bahkan, untuk lapisan atas, tidak ada satu pun rumah tangga yang melakukannya.

Tabel 6.6 Keterangan kota, jenis kelamin, aktivitas penghidupan

yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi dalam negeri (dalam persen) Rumah Tangga No.

Kuesioner Kota

Jenis

Kelamin Aktivitas Penghidupan Menengah 61 Serang Perempuan Tenaga kerja pabrik Bawah pemilik 25 Jabodetabek Laki-laki Tenaga kerja pabrik 66 Sumatera Laki-laki Usaha perdagangan 67 Jabodetabek Laki-laki Usaha perdagangan Bawah penggarap 69 Batam Perempuan Penghibur

70 Jabodetabek Laki-laki Tenaga kerja pabrik Bawah buruh 77 Jabodetabek Laki-laki Usaha perdagangan

92

Pada Tabel 6.6 dapat dilihat kota tujuan migrasi, jenis kelamin, dan aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh rumah tangga dari berbagai lapisan sosial. Dari tabel tersebut terlihat anggota rumah tangga laki-laki merupakan anggota yang paling banyak melakukan migrasi dengan daerah tujuan terbanyak, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Di kota-kota tersebut sebagian besar dari mereka melakukan aktivitas bekerja di pabrik, berdagang, dan ada satu orang yang menjalani aktivitas penghidupan dengan menjadi wanita penghibur di Batam. Para anggota rumah tangga yang sebagian besar adalah anaknya ini rutin mengirimkan remitans ke desa untuk membantu penghidupan rumah tangganya. Setidaknya setiap tahun, terutama lebaran, mereka pulang ke desa. Dibandingkan dengan bekerja di luar negeri, terutama di Korea, penghasilan yang didapatkan memang jauh lebih sedikit

Berkurangnya rumah tangga yang menjalankan aktivitas penghidupan di luar Kabupaten Indramayu juga disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, saat ini, dengan pendapatan dan remitans yang lebih tinggi, rumah tangga di Desa Karangmulya lebih memilih melakukan aktivitas migrasi di luar negeri, terutama ke Korea. Apalagi setelah adanya kebijakan wajib sekolah gratis sampai SMA, semua anak-anak dari semua lapisan rumah tangga hampir semuanya bersekolah sampai tingkatan SMA. Adanya institusi yang memberikan pinjaman modal untuk persiapan dan keberangkatan ke Korea memberi kesempatan kepada siapa saja, termasuk rumah tangga bawah untuk berangkat bekerja di Korea. Kedua, saat ini, kesempatan bekerja dan berusaha di desa dan sekitarnya cukup banyak. Ketiga, saat ini, upah bekerja di desa dan sekitarnya lebih besar daripada upah bekerja di luar desa dan sekitarnya (di dalam negeri). Keempat, saat ini, hampir semua rumah tangga memiliki sepeda motor dan handphone sehingga mempermudah mobilitas dan komunikasi untuk bekerja dan berusaha di desa dan sekitar desa.

Di sektor pertanian, keberhasilan adaptasi petani secara kolektif di tingkat komunitas maupun adaptasi di tingkat rumah tangga untuk mengurangi kerentanan terhadap kekeringan, banjir, dan serangan HPT mampu meningkatkan banyaknya musim tanam padi (dari hanya satu kali menjadi dua kali), produktivitas padi, dan keanekaragaman jenis usaha tani non-padi. Keberhasilan adaptasi, terutama, terjadi pada lahan-lahan sawah yang dekat dengan bendungan Kali Bojong. Selain itu, dalam waktu yang bersamaan, pemerintah juga menaikkan harga dasar pembelian gabah yang kemudian menaikkan harga pasaran pembelian gabah di tingkat petani. Petani pun bisa menjual padi hasil panennya dengan harga yang cukup tinggi. Keberhasilan adaptasi dan kenaikan harga padi semakin memberikan keuntungan yang menagan rumah tangga atas, menengah, pemilik, dan penggarap lahan untuk tetap menggarap sawahnya di desa.

Harga jual padi pada tahun 2013-2014 mencapai Rp 3,800 – 4,200 per kg pada panen musim rendeng dan Rp 4,300 – 4,600 per kg pada panen musim gadu. Analisis usaha tani padi 2013-2014 yang dilakukan menunjukkan dari satu bahu

93 sawah yang ditanami dapat menghasilkan keuntungan bersih Rp 12,595,000 s.d. Rp 18,900,000 dari hasil penjualan 4.5 ton padi (setelah dipotong bawon) pada musim tanam rendeng dan Rp 9,495,000 s.d. Rp 10,545,000 dari hasil penjualan 3.5 ton padi (setelah dipotong bawon) pada musim tanam gadu. Beberapa rumah tangga yang rajin, bahkan mendapatkan tambahan penghasilan dari usaha tanaman sayuran, semangka, dan timunsuri. Kondisi ini menyebabkan, sebagian besar rumah tangga pemilik lahan luas tidak lagi tertarik untuk melakukan aktivitas.

Sebelum produktivitas dan harga jual padi bagus seperti ini, banyak rumah tangga yang bermigrasi musiman dengan menanam semangka di lahan-lahan sawah di luar Kabupaten Indramayu. Rumah tangga lapisan atas berperan sebagai pemodal dan rumah tangga lapisan bawah berperan sebagai buruh taninya.

Hasil dan keuntungan yang bagus (ditambah kelangkaan tenaga kerja karena para buruh tani umurnya semakin menua dan sudah banyak yang meninggal), upah kerja buruh tani pun saat ini mencapai Rp 50 ribu per setengah hari (sabedug) di musim tanam rendeng dan Rp 60 ribu di musim tanam gadu. Upah sebesar ini membuat mereka lebih memilih tetap tinggal dan bekerja di desa. Selain itu, adanya sepeda motor mempermudah mereka untuk bekerja sebagai buruh tani di lahan-lahan sawah luar desa (di desa-desa tetangga) dan tetap pulang ke rumah setiap hari.

Selain itu, institusi bawon yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut memanen dan mendapatkan padi (bawon) menjadi faktor yang menarik mereka tetap tinggal di desa. Sebagai hitung-hitungannya, tenaga panen akan mendapatkan bagian 0.9 ton bawon per bahu. Artinya, ada Rp 3,420,000 s.d. Rp 3,780,000 pada musim rendeng dan Rp 3,010,000 s.d Rp 3,220,00 yang bisa diperoleh kelompok penderep (tenaga panen) dari setiap satu bahu lahan sawah yang dipanennya. Adanya handphone mempermudah pertukaran informasi waktu panen dengan para penderep dari desa lain. Adanya sepeda motor mempermudah mereka untuk mengangkut padi hasil panen dan segera menuju ke lahan sawah lainnya yang ada di desa serta menjangkau lahan sawah di desa-desa tetangga. Dengan adanya sepeda motor, mereka juga bisa pulang setiap hari meskipun sudah larut malam dan bisa berangkat ke sawah, terutama yang jauh, sepagi mungkin.

Banyaknya pembangunan dan renovasi rumah tinggal sebagai dampak tingginya remitans dari Korea telah membuka kesempatan bekerja dan berusaha di sektor konstruksi. Para tukang dan buruh bangunan yang biasanya merantau ke kota-kota besar saat ini lebih memilih bekerja di desa karena banyaknya peluang bekerja di desa. Upah yang diterima pun sama, bahkan ada yang lebih tinggi daripada bekerja di kota-kota besar. Rumah tangga yang tadinya bekerja sebagai karyawan kusen di kota-kota besat lebih memilih membuat usaha sendiri di rumahnya.

94