• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3.2 Pendekatan dan Paradigma Penelitian

Menurut Neuman (2013), penelitian ilmu sosial adalah untuk, mengenai, dan dilakukan oleh manusia. Penelitian sosial dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan sosial sekaligus dapat juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru dan mungkin juga mengubah seseorang, kelompok, komunitas, ataupun bangsa memandang dunia. Ada dua pendekatan yang berkembang dalam penelitian sosial, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua pendekatan mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dilihat pada Tabel 3.1

30

Tabel 3.1 Perbedaan pendekatan kuantitatif dan kualtitatif Pendekatan Kuantitatif Pendekatan Kualitatif Mengukur fakta-fakta objektif Membentuk kenyataan sosial, makna

budaya

Berfokus pada variabel Berfokus pada proses, peristiwa interaktif Keandalan sebagai faktor utama Keontetikan sebagai faktor utama

Bebas menilai Menilai saat ini dan eksplisit Memisahkan teori dan data Teori dan data bercampur Konteksnya tidak saling

tergantung

Dibuat tergantung situasi Kasus, subjek banyak Kasus, subjek sedikit Analisis tatistika Analisis tematik Peneliti tidak memihak Peneliti terlibat

Tahapan proses penelitian Tahapan proses penelitian

1. Pilih topik 1. Menyadari adanya persoalan sosial 2. Fokus pertanyaan 2. Menerapkan perspektif

3. Merancang penelitian 3. Merancang penelitian 4. Mengumpulkan data 4. Mengumpulkan data 5. Menganalisis data 5. Menganalisis data 6. Menginterpretasikan data 6. Menginterpretasikan data 7. Memberitahu orang lain 7. Memberitahu orang lain

Sumber: Neuman (2013: 19-23)

Masing-masing pendekatan banyak digunakan secara terpisah oleh seluruh peneliti sosial di dunia. Kedua belah pihak berusaha memahami dan menjelaskan kehidupan sosial dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang seringkali menciptakan miskomunikasi dan kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Perdebatan pengakuan yang pendekatan A adalah benar dan B adalah salah terus mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelitian sosial. Dengan menonjolkan kelebihan pendekatannya dan menyoroti kelemahan pendekatan yang lain, kedua belah pihak terus berdebat seakan tanpa ujung. Namun, di antara kedua belah pihak yang hanya menggunakan pendekatan tunggal dalam penelitiannya, ada juga peneliti yang mengkombinasikan kedua penelitian dalam memahami dan menjelaskan permasalahan yang ditelitinya.

Penggunaan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dimaksudkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan yang dimiliki dari setiap pendekatan. Dengan mengkombinasikan dua pendekatan, seluruh rangkaian proses penelitian diharapkan dapat berjalan secara komprehensif dan menghasilkan hasil penelitian yang holistik. Pengkombinasian pendekatan kuantitatif dan kualitatif menambah kompleksitas dan lebih memakan waktu, namun memberikan keuntungan yang dapat membangun kekuatan yang saling melengkapi (Neuman 2013: 186).

“Kebanyakan  peneliti  mengembangkan  keahlian  dalam  salah  satu  pendekatan, tetapi kedua pendekatan [kuantitatif dan kualitatif] ini memiliki

31

kekuatan yang saling melengkapi. Penelitian yang menggabungkan keduanya cenderung lebih kaya dan lebih komprehensif. Pencampuran keduanya terjadi dalam beberapa cara: (1) dengan mengunakan kedua pendekatan secara berurutan atau (2) dengan menggunakan kedua pendekatan secara paralel atau bersamaan” (Neuman 2013: 187)

Penggunaan kedua pendekatan ini diwujudkan dalam penggunaan prinsip triangulasi (penyertigaan) dalam pelaksanan penelitian. Dengan penggunaan prinsip triangulasi, peneliti sosial lebih banyak belajar mengamati permasalahan dari berbagai perspektif dibanding hanya melihat dari satu perspektif tunggal. Menurut Neuman (2013: 186), dengan menggunakan prinsip triangulasi yang melihat sesuatu hal dari beberapa sudut pandang bisa meningkatkan keakuratan. Peneliti sosial bisa menggunakan beberapa jenis triangulasi, seperti triangulasi ukuran, triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan triangulasi metode.

Prof. Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi merupakan contoh dari peneliti sosial Indonesia yang mengkombinasikan kedua pendekatan dan menerapkannya ke dalam prinsip triangulasi di berbagai penelitiannya. Hasilnya, mereka berdua berhasil menghasilkan berbagai mahakarya dalam ilmu sosiologi pedesaan dan studi agraria di Indonesia yang mendunia (Dharmawan 2007, Wiradi et al. 2009). Sajogyo menggunakan kombinasi dari empat ganda (combination of ‘multiples’) dalam melakukan berbagai penelitian dalam Studi Dinamika Pedesaan yang dilakukan Survei Agro-Ekonomi (SAE)—sebuah lembaga penelitiann antar departemen di pemerintahan—untuk merumuskan kebijakan pembangunan pedesaan—selama kurun waktu 1975-1981 (Wiradi et al. 2000). Kombinasi dari empat ganda (combination of ‘multiples’) yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Multiple theoritical perspective. Peneliti harus menggunakan berbagai perspektif teori dalam seluruh rangkain proses penelitian.

2. Multiple observers. Peneliti ketika mengumpulkan data di lapangan harus berfungsi bukan sekedar enumerator survei.

3. Multiple sources of data. Peneliti harus menggunakan berbagai sumber data dari berbagai sumber, dari mulai tingkatan/satuan individu, interaksi antar individu, dan organisasi. Dengan demikian, data dan informasi dapat dianalisis dalam tiga tingkat, yaitu tingkat agregrat, tingkat interaksi, dan tingkat kolektivitas.

4. Multiple methodologies dalam pengumpulan data. Peneliti harus menggunakan berbagai teknik metode, seperti wawancara survei, life histories, wawancara dengan pihak ketiga, wawancara kelompok, observasi berpartisipasi, dan lan-lain untuk mengumpulkan berbagai sumber data dari berbagai sumber.

Wiradi et al. (2009) menggunakan triangulasi (penyetigaan) dalam mempelajari keadaan pedesaan secara intensif, berulang, dan eksploratif. Baginya, triangulasi artinya penyetigaan terhadap tiga dimensi utama, yaitu (1) komposisi

32

tim peneliti yang terdiri minimal dari tiga orang anggota yang disiplin ilmunya berbeda-beda; (2) satuan observasi dipilih secara sengaja melalui tiga jenis strata, kategori, ataupun kelas; dan (3) penggunaan metode, alat, atau teknik pengumpulan data secara segitiga: data sekunder, wawancara, dan pengamatan langsung.

Setelah mempelajari berbagai pendekatan dan memahaminya lewat karya- karya yang menggunakan pendekatan tunggal maupun pendekatan kombinasi dan dikaitkan dengan permasalahan penelitian yang ingin dijawab dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, peneliti memutuskan menggunakan kombinasi kedua pendekatakan (mix-methods) secara paralel atau bersama.

Dengan mengadaptasi konsep triangulasi yang dijalankan Neuman, Sajogyo, dan Wiradi, peneliti menerapkan triangulasi ke dalam tiga dimensi utama penelitian ini (lihat Gambar 3.1), yaitu:

1. Analisis penelitian dilakukan dengan tiga analisis penghidupan, yaitu aset- akses-aktivitas.

2. Satuan atau unit observasi pengumpulan data terdiri dari tiga unit yang berbeda, yaitu responden, informan, dan kelompok (group).

3. Metode atau teknik pengumpulan data dilakukan secara segi tiga, yaitu wawancara, pengamatan, dan data sekunder. Untuk wawancara dibagi lagi ke dalam tiga kategori, yaitu wawancara survei terhadap responden, wawancara mendalam terhadap informan, dan wawancara semi terstruktur terhadap group/kelompok yang ada di masyarakat melalui diskusi kelompok.

Gambar 3.1 Triangulasi penelitian

Sebagai bricoleur,1peneliti harus menentukan dan memahami paradigma penelitian yang dilakukannya. Peneliti tidak bisa lagi tidak tahu menahu atau

1

Bricoleur adalah  “seorang  manusia  serba  bisa  atau  seorang  yang  mandiri  dan 

professional”  (Levi-Strauss 1996, hlm. 17 dalam Denzin & Lincoln 2009). Bricoleur memunculkan brikolase, yaitu “serangkaian praktik yang disatupadukan dan disusun rapi 

Unit Metode Aset Akses Aktivitas Analisis Penghidupan Wawancara Responden Data sekunder Pengamatan Informan Kelompok

33 berpura-pura tidak tahu atas paradigma penelitian yang dilakukannya. Paradigma didefinisikan sebagai keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Paradigma menentukan pandangan peneliti sebagai bricoleur. Oleh karena itu, peneliti harus memahami asumsi-asumsi dasar ontologis, epsitemologis, dan metodologis dari paradigma penelitian yang dilakukannya (Denzin & Lincoln 2009). Paradigma penelitian menjelaskan sekaligus menuntun peneliti mengenai apa yang hendak dilakukan dan apa saja batasan-batasan dari penelitiannya (Guba & Lincoln 2009). Guba dan Lincoln menjelaskan, sampai saat tulisannya ditulis, ada empat paradigma penelitian yang menjadi pilihan dalam memantapkan dan membimbing jalannya penelitian, yaitu positivisme, post-postivisme, teori kritis, dan konstruktivisme.

Berkaca pada pilihan paradigma yang disodorkan Guba & Lincoln (2009), penelitian ini menggunakan konstruktivisme sebagai paradigma penelitiannya. Ontologis dari paradigma konstruktivisme adalah relativitis. Realitas bisa dipahami dalam bentuk kontruksi mental yang beragam yang berdasarkan kondisi sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik, serta bentuk dan isinya tergantung pada individu atau kelompok individu yang memiliki konstruksi tersebut. Dari sisi epistemologis, paradigma konstruktivisme bersifat transaksional, dialogis, dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian (tineliti) terhubung secara timbal balik sehingga hasil-hasil penelitian terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian. Sedangkan dari sisi metodologi, paradigma konstruktivisme bersifat hermeneutis dan dialektis.

Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara peneliti dengan objek yang ditelitinya (tineliti). Konstruktivisme memandang peneliti sebagai pelaksana dan fasilitator penelitian. Hal ini menjadi pembeda dengan paradigma lain yang cenderung menyeret peneliti ke dalam peran yang lebih otoriter. Konstruktivisme menyertakan nilai-nilai partisipasi dalam penelitian. Suara partisipan yang penuh semangat/empati adalah suara peneliti yang secara aktif terlibat dalam upaya membangun konstruksi ataupun rekonstruksi. Denzin dan Lincoln (2009) menyatakan bahwa paradigma konstruktivisme dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan hasil temuannya berdasarkan sifat layak dipercaya

(trustworthiness) dan otensitas (authenticity). Menurut Dharmawan (2007), paradigma konstruktivisme memang menjadi paradigma yang digunakan dalam penelitian-penelitian penghidupan yang dilakukan oleh para ilmuwan Eropa, seperti Chambers and Conway, Bebbington and Baterbury, Carney, Scoones, dan Ellis, dan belakangan juga dilakukan oleh para ilmuwan penghidupan di Bogor, seperti Sajogyo dan murid-muridnya .

sehingga menghasilkan solusi  bagi  persoalan  dalam  solusi  nyata” (Denzin  dan Lincoln  2009, hlm 3).

34