ANALISIS ASET PENGHIDUPAN DAN AKSESNYA
5.1 Modal Sosial
Modal sosial didefinisikan beragam oleh berbagai ahli. Fukuyama (1995, 1997, 1999, 2001) mendefiniskan modal sosial sebagai sebuah institusi sosial yang mampu meningkatkan hubungan kerja sama antar individu atau antar rumah tangga. Institusi yang dimaksud adalah nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma yang menyusun modal sosial dapat berkisar dari norma timbal balik (norm of reciprocity) antara dua teman sampai ke yang lebih komplek, menggunakan doktrin agama/religi, seperti konfusiusisme. Hal ini harus terjadi instan dalam hubungan aktual manusia (norma timbal balik berpotensi terdapat pada semua orang). Fukuyama menyebutkan bahwa trust, networks, dan civil society sebagai nilai yang terasosiasi dengan modal sosial. Trust (kepercayaan) dibangun oleh kekerabatan, kolektivitas, etnisitas, dan keterampilan. Networks (jaringan) merupakan sebentuk modal sosial yang memiliki hubungan antar manusia melalui norma-norma dan nilai-nilai bersama.
Ellis (2000) merujuk pengertian modal sosial yang disampaikan beberapa ahli, seperti Moser (1998), Scott (1976), Platteau (1991), Berry (1998), Putnam et al. (1989), Narayan and Pritchett (1999), dan Bebbington (1999) untuk menjelaskan modal sosial dalam kerangka penghidupan. Moser (1998) dalam Ellis (2000), misalnya, mendefiniskan modal sosial sebagai resiprositas yang berlaku antar rumah tangga di dalam sebuah komunitas yang didasari kepercayaan yang diperoleh dari ikatan sosial yang kuat. Resiprositas merupakan akar dari moral ekonomi dan asuransi/jaminan sosial masyarakat (Scott 1976, Platteau 1991 dalam Ellis 2000). Swift (1998) dalam Ellis (2000) menjelaskan modal sosial sebagai jaringan yang dibentuk dalam relasi antar rumah tangga, baik horisontal maupun vertikal. Putnam et al. (1993) dalam Ellis (2000) lebih menekankan modal sosial sebagai kelompok sosial horizontal yang membawa individu dan rumah tangga dalam masyarakat mencapai tujuan bersama, misalnya kelompok
54
tani. Dari hasil sintesisnya terhadap berbagai definisi, Ellis menyampaikan bahwa modal sosial adalah modal yang diperoleh rumah tangga dari relasi sosial, institusi sosial, dan organisasi sosial yang ada, berlaku, dan dijalankan di masyarakat.
Definisi yang lebih operasional dijelaskan oleh Carney (1998) dan DFID (1999). Menurutnya, modal sosial dibangun melalui (1) networks and connectedness (jaringan dan ikatan sosial), baik vertikal (patron-klien) maupun horizontal (sambatan), misalnya dalam bentuk kerja sama dan gotong royong; (2) keanggotaan kelompok formal dan informal dengan aturan dan sanksi yang jelas dan dipengaruhi oleh sistem nilai dan norma; (3) relationship of trust, reciprocity, and exchanges (hubungan kepercayaan, resprositas, dan pertukaran) yang memfasilitasi kerja sama, mengurangi biaya transaksi, dan menjadi dasar terbentuknya jaminan sosial informal bagi rumah tangga lapisan miskin. Mereka menyebutkan modal sosial sebagai bentuk dari relasi sosial, insitusi sosial, dan organisasi sosial. Oleh karena itu, membahas modal sosial berarti membahas relasi sosial, insitusi sosial, dan organisasi sosial.
Uraian sejarah Desa Karangmulya serta hasil pengamatan, diskusi, dan wawancara mendalam menunjukkan bahwa masyarakat Desa Karangmulya merupakan masyarakat agraris yang terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu dengan ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Mereka memandang dan menilai pertanian padi sawah sebagai budaya bukan sekedar budidaya. Sejarah perkembangan desa dan Indramayu secara keseluruhan menggambarkan dengan baik hal ini. Ki Banyak Wangi yang pertama kali bermukim di Karangmulya dan Arya Wiralodra bersama istrinya Nyi Dermayu yang dikenal sebagai pendiri Indramayu sudah mengajarkan nilai-nilai ini. Di samping mengajarkan teknik budidaya padi, mereka juga mengajarkan nilai-nilai budaya dalam setiap tahapan proses budidaya padi. Bagi mereka, padi bukan hanya sekedar dinilai sebagi biji tanaman yang mampu membuat mereka kenyang dan tetap hidup. Bagi mereka,
padi adalah wujud “sang pencipta” yang datang ke bumi untuk memberikan
manfaat bagi manusia. Padi adalah wujud Dewi Sri-sang hyang yang memberi makan bagi manusia. Padi akan tumbuh dengan subur dan memberikan hasil yang baik ketika dipelihara dan diperlakukan dengan baik. Sebagai wujud sang hyang, maka semua orang di desa berhak mendapatkan padi.
Dengan ikatan kekerabatan, cara pandang, dan sistem nilai tersebut mereka menjalankan hubungan dan interaksi sosial sesama anggota masyarakat dengan prinsip resiprositas dan prinsip pertukaran yang cukup kuat. Hal ini semakin diperkuat dengan kerentanan lingkungan yang cukup tinggi. Ketersediaan air yang terbatas membuat lahan-lahan sawah hanya mampu ditanami dengan optimal hanya sekali dalam setahun. Upaya menanam di musim kedua, seringkali mengalami kegagalan karena kekeringan. Kegiatan menanam di musim hujan pun tidak lepas dari ancaman banjir dan serangan hama-penyakit tanaman. Data-data sebelumnya menunjukkan masyarakat Desa Karangmulya seringkali menghadapi kenyataan penurunan hasil panen disebabkan banjir dan
55
ledakan hama-penyakit tanaman. Permasalahan ini membuat mereka mempunyai
rasionalitas “utamakan selamat”.
Di awal-awal musim hujan, misalnya, mereka harus melakukan strategi
“geleduk cengkuk”, yaitu begitu ada geleduk (geledek) mereka harus segera
mengolah lahan untuk musim tanam pertama. Kemudian, apabila ingin menanam di musim tanam kedua, mereka harus melakukan strategi “culik tanam”, yaitu membuat persemaian ketika padi di musim pertama masih menguning dan belum dipanen. Kedua strategi ini dilakukan agar padi-padi mereka masih bisa diairi dengan cukup. Lambat sedikit mengolah lahan di awal musim pertama akan menghilangkan kesempatan tanam untuk musim kedua. Lambat sedikit mempersiapkan persemaian untuk musim kedua akan mengancam keberlangungan hidup tanaman padi karena menjelang akhir musim tanam kedua, biasanya pasokan air irigasi sudah tidak ada lagi. Mereka juga harus menanam dengan serentak untuk menghindari ledakan serangan hama-penyakit. Lahan sawah yang tidak ditanam secara serentak (mengikuti sawah-sawa lain) menjadi sasaran empuk tikus dan hama-penyakit lainnya.
Bisa dibayangkan, lahan-lahan sawah yang proporsinya mencapai 85 persen dari luas wilayah desa pada saat bersamaan membutuhkan tenaga kerja atau buruh tani yang jumlahnya tidak sedikit. Pada kondisi seperti ini, rumah tangga lapisan atas sangat membutuhkan banyak tenaga kerja dari rumah tangga lapisan bawah. Adanya buruh tani yang bekerja di sawahnya menjadi “juru
selamat” yang berhasil menyelamatkan sawahnya sehingga bisa ditanam dan
diambil hasil panennya. Di sisi lainnya, para buruh tani dari lapisan bawah yang tidak berlahan memang sangat membutuhkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Lebih dari itu, para buruh tani juga menginginkan kehidupannya tetap berjalan sepanjang tahun, bukan hanya sekedar dapat uang dari bekerja di sawah
ketika para pemilik lahan membutuhkannya. Mereka membutuhkan “juru selamat” yang membuat perut mereka tetap kenyang, anak-anak mereka bisa bersekolah, ada yang memperhatikan ketika sakit, dan tetap dapat mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat. Keinginan keduanya bertemu dalam ikatan vertikal yang disebut ikatan patron-klien. Ikatan asosiasional yang tidak hanya berhenti sesaat ketika transaksi pembayaran upah kerja selesai dilaksanakan. Ikatan patron-klien melekat ke dalam relung kehidupan kedua belah pihak.
Ikatan kekerabatan, prinsip resiprositas dan pertukaran, perasan saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok terakumulasi dalam berbagai institusi yang menjadi pranata yang mengatur interaksi antar rumah tangga dari semua lapisan, berkaitan dengan strategi penghidupan (aktivitas produsksi) di pertanian maupun di luar pertanian. Institusi-institusi sosial produksi masih bisa ditemukan dengan mudah di Desa Karangmulya. Secara umum, institusi-institusi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:
56
1. Institusi yang mengatur hubungan petani pemilik dan penggarap lahan
sebagai manusia dengan sang pencipta, sebagai bentuk berdo’a dan
bersyukur; dan juga dengan buruh tani dan tetangga sebagai bentuk resiprositas.
2. Institusi yang mengatur hubungan antar rumah tangga dari semua lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi.
3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam.
Tabel 5.1 Institusi dan organisasi sosial dalam sistem penghidupan masyarakat
Institusi Keterangan Organisasi
formal
Organisasi informal 1. Hubungan petani pemilik dan penggarap dengan “sang pencipta”sebagai bentuk berdo’a
dan bersyukur; dan juga dengan buruh tani dan tetangga sebagai bentuk resiprositas Sedekah bumi Berdo’a bersama dan selametan di
tingkat desa sebelum memulai musim tanam pertama.
Kelompok tani, pemerintah desa
Ulu-ulu, raksa bumi
Labu macul Berdo’a dan bersedekah di tingkat rumah tangga sebelum mengolah lahan sawah.
Patron-klien, ketetanggaan Labu tandur Berdo’a dan bersedekah di tingkat
rumah tangga sebelum melakukan tandur
Patron-klien, ketetanggaan Mapag tamba Berdo’a bersama di tingkat desa untuk
menolak bala dan melindungi tanaman dari serangan HPT Kelompok tani, pemerintah desa Ulu-ulu, raksa bumi Mbuburi Berdo’a di tingkat rumah tangga untuk menolak bala dan melindungi tanaman dari serangan HPT
Patron-klien, ketetanggaan Mapag sri Berdo’a bersama dan selametan di
tingkat desa menjelang panen raya musim pertama.
Kelompok tani, pemerintah desa
Ulu-ulu, raksa bumi
Labu panen Berdo’a dan bersedekah di tingkat rumah tangga menjelang panen.
Patron-klien, ketetanggaan 2. Hubungan antar lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi
Geleduk cengkuk
Pengolahan lahan segera di awal musim hujan, untuk musim tanam pertama.
Kelompok tani, penyuluh
Ulu-ulu, raksa bumi
Culik tanam Mempercepat tanam untuk musim kedua dengan membuat persemaian sebelum panen musim pertama.
Kelompok tani, penyuluh
Ulu-ulu, raksa bumi
Irigasi Pemeliharaan jaringan irigasi, penyediaan pasokan air, dan pengendalian banjir
Kelompok tani, pemerintah desa, mantri air
Ulu-ulu, raksa bumi
Tandur Penanaman bibit padi dari persemaian ke lahan sawah
Kelompok kerja tandur
Bawon Sistem pemanenan padi yang
memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk ikut memanen dan mendapatkan hasil 1/6 dari total hasil panen.
Patron-klien, kekerabatan, ketetanggaan pasangan bawon Ceblokan Tandur + penyiangan + pemanenan padi
dengan sistem bawon.
Patron-klien, kekerabatan, ketetanggaan pasangan bawon Remi Pengambilan padi dari sisa-sisa Kekerabatan,
57
perontokan padi ketetanggaan
Senggang Pengambilan padi yang tumbuh setelah panen.
Kekerabatan, ketetanggaan Sewa sawah
“yarnen” Penyewaan lahan sawah dengan sistem pembayaran setelah panen.
Kelompok tani Patron-klien Gadai sawah Pengalihan hak pengelolaan lahan sawah
sementara dengan cara memberikan uang gadai.
Pemerintahan desa
3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam