M
empelajari atau mempraktekan komunikasi tidak bisa dilepaskan dengan strategi, etika dan hal lain yang melingkupinya. Termasuk dalam komu-nikasi politik, pelaku komukomu-nikasi harus memiliki strategi agar agenda menyampaikan pesan politik baik secara personal maupun kelompok tersampaikan dengan baik kepada khalayak.Gabriel Almond (1960) mendifinisikan komunikasi politik sebagai salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Proses komunikasi dalam politik mempu-nyai beberapa cakupan agar agenda politik yang digenggam komunikator politik bisa sampai kepada komunikan atau penerima pesan. Keenam cakupan tersebut adalah komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan aki-bat (Perloff: 2003).
Di Indonesia sendiri, proses politik termasuk mengkomunikasikan politik adalah proses yang tidak sederhana karena kemajemukannya (http://wantimpres.go.id/? p=978&lang=id). Khalayak sebagai komunikan dalam proses politik sering terbuai dengan suatu politik primordial karena masing-masing individu ingin diakui ke dalam sebuah entitas sehingga politik yang mereka ikuti selaras dengan kelompoknya.
Strategi komunikasi politik bukanlah sesuatu yang sederhana walau pun di permukaaan kita lihat politik adalah sesuatu yang cair dengan segala dinamikanya. Komunikasi politik atau komunikasi yang beririsan dengan politik memiliki kerumi-tannya sendiri bagi pelakunya terlebih jika proses komunikasi tersebut membawa misi sebuah ideologi sektoral kelompok. Praktek komunikasi politik juga dilakukan oleh kelompok sektoral keagamaan yang biasanya memiliki pengaruh kuat dalam sisi kuantitas. Perebutan pengaruh organisasi masa berbasis agama sudah maklum di Indo-nesia dewasa ini yang sebenarnya sebuah isu yang sejak dahulu biasa disebut teokrasi yang berkonsekuensi agama menjadi pertimbangan utama dalam setiap pertimbangan politik (Maarif: 2006).
Hadirnya komunikasi politik sudah sama uzurnya dengan politik itu sendiri karena hal itu muncul seiring dengan penggunaan media massa sebagai pengejawanta-han komunikasi politik di masa kontemporer. Proses komunikasi politik lebih dari sekedar kampanye untuk memperoleh kekuasaan dan hal itu telah dijelaskan oleh Sey-mour-Ure (1974) karena itu memiliki dimensi vertikal dan horizontal.
Indonesia pada umumnya, khususnya di Kabupaten Purbalingga, perebutan pengaruh dua ormas agama terbesar yaitu Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul
Ula-ma). Dua ormas tersebut juga tidak alpa dari setiap perhelatan politik baik nasional maupun hajatan politik lokal. Dua organiasi ini selalu meramaikan hajat politik dengan segala strategi pendekatan baik kepada pemangku politik praktis dalam hal ini partai politik maupun kepada masyarakat akar rumput.
Pada tulisan ini akan membahas komunikasi politik sektoral Muhammadiyah di Purbalingga di setiap hajat politik. Membedah dan menelisik apakah Muhammadiyah Purbalingga menjalankan komunikasi politik di dalam kelompoknya dan seperti apa pola dan prakteknya.
Membedah komunikasi politik yang berhubungan dengan politik primordial termasuk dalam keagamaan tidak bisa dilepaskan dari sebuah teori yang bernama teori homifili. Membedah komunikasi politik yang bersifat primordial sejalan dengan teori yang dikemukanan Everet M. Rogers (Homofili) pada beberapa decade yang lalu. Teori tersebut masih begitu relevan dengan iklim politik Indonesia yang mengedepankan identitas baik kesukuan, antar golongan, agama dan sub yang ada di bawahnya.
Komunikasi politik Homofili (Rogers, 321: 1978) sejatinya adalah sebuah proses komunikasi yang dimaksudkan kepada orang atau kelompok yang mempunyai kepada hal atau minat yang sama serta latar bellakang yang sama. Komunikasi politik jenis ini digunakan agar satu komunitas yang memiliki kesamaan bisa membentuk satu tujuan yang sama.
Komunikasi politik Homofili maklum digunakan di Indonesia karena kema-jemukan Indonesia justru dimanfaatkan agar orang yang memiliki kesamaan latar belakang menyatu untuk diarahkan ke dalam suatu tujuan politik. Semangat agama hingga etnik sering digunakan untuk kepentingan politik praktis (Kurniasari: 2014) Semangat politik kesamaan agama menduduki peringkat yang diperhitungkan pada kancah perpolitikan Indonesia.
Politik agama tidak berhenti pada sebuah agama secara makro namun terbagi pada sebuah politik sektarian yang terbalut pada semangat organisasi masyarat keaga-maan ( https://www.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/17/10/31/oyoo47-din-pilkada-2018-rawan-politik-sektarian-agama, Din Syamsudin, republika 31/10/2017 dibuka pukul 1.45 PM ). Berbicara tentang politik Ormas agama masih menjadi suatu yang tabu di Indonesia walau pun sangat terasa dinamikanya. Dua ormas agama yang sebenarnya berasal dari Rahim yang sama memiliki khitoh (aturan) tentang ketabuan berpolitik. Namun, pada prakteknya dua ormas ini saling berebut pengaruh termasuk pada hajatan politik walau dalam tataran yang tertutup.
Praktek komunikasi politik Homofili yang dilakukan Muhammadiyah tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Di tingkat daerah, praktek Homofili juga terjadi dengan mengedepankan identitas kelompok dan tentu saja tidak dilakukan secara ter-buka termasukyang terjadi di Kabupaten Purbalingga.
Kegiatan politik tidak mungkin dipisahkan dengan kegiatan komunikasi. Komu-nikasi politik adalah satu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik (Cangara 2009:32). Kegitan semacam ini disebut dengan komunikasi politik karena kegiatan komunikasi yang dititik beratkan pada proses politik.
Membicarakan tentang komunikasi politik tidak bisa dilepaskan dari pendikotomian sebuah terminologi. Komunikasi politik terdiri atas dua kata yaitu komunikasi dan politik dan harus kita urai satu persatu terlebih dahulu pengertiannya. Komunikasi secara umum diartikan sebagai proses penyampaian pesan dari pembawa pesan (komunikator) kepada komunikan (penerima pesan). Pengertian komunikasi yang lebih spesifik disampaikan Deddy Mulyana yang mengatakan bahwa komunikasi sebagai prose penyampaian informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang atau kata-kata, gambar, bilangan, grafik dan lain-lain (Mulyana: 2003).
Pada prakteknya, proses komunikasi merupakan sebuah proses yang tidak tetap atau stagnan namun sebuah proses yang dinamis menurut situasi yang ada dalam pros-es komunikasi tersebut (Anderson:2008). Dari Anderson tersebut kita bisa tahu sua-sana antara komunikator dan komunikan bisa berubah tergantung situasi yang sedang berjalan. Proses komunikasi juga bukan suatu proses yang tanpa makna. Proses komu-nikasi merupakan sebuah proses yang syarat akan makna sehingga terjadi dua arah (Arifin:1988).
Sedangkan politik memiliki pengertian atau definisi suatu fenomena yang berkaitan dengan manusia yang pada hakikatnya adalah mahluk social yang selalu hidup dinamis dan berkembang. Secara kosakata atau dalam lexical, ‘politik’ bisa di-artikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan dan tak jarang didi-artikan sebagai upaya untuk mencapai kekuasaan. Istilah politik seperti itu sudah dikenal sejak zaman Yunani seperti yang dikemukakan oleh Aris Toteles bahwa Politik adalah cara untuk mendapatkan suatu yang dikehendaki seseorang.
Komunikasi politik menurut (Rauf: 1993) adalah bagian objek dari kajian ilmu politik karena pesan yang diungkapkan dalam proses komunikasi bercirikan politik yakni berkaitan dengan kekuasaan politik Negara, pemerintahan dan juga aktivitas komunikator dalam kedudukan sebagai pelaku kegiatan politik.
Dari uraian Rauf kita bisa tahu bahwa kegiatan komunikasi politik tidak bisa dilepaskan dari tujuan politik itu sendiri yaitu sebuah kekuasaan Negara dan pemerintahan yang di dalamnya ada cara menghegemoni public tentang sebuah pili-han politik dan mahirnya pelaku politik sebagai komunikator.
Komunikasi politik menurut (Nasution: 1990) dibagi menjadi dua yaitu per-tama komunikasi politik didefinisikan sebagai hasil yang bersifat politik yang menekankan pada hasil dan kedua definisi Komunikasi Politik jika menekankan pada fungsi komunikasi politik dalam sistem politik, adalah komunikasi yang terjadi dalam
suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya.
Hasil dari proses politik secara praktis adalah kekuasaan dan jika dipadukan dengan proses komunikasi maka proses komunikasi tersebut harus bermuara pada sebuah paradigma kekuasaan untuk mengendalikan dan menjalankan sebuah proses pemerintahan. Komunikasi politik juga harus menyesuaikan system politik pada suatu tempat sehingga pesan yang akan disampaikan sampai dengan makna yang sama anta-ra komunikator dan komunikan.
Politik mempunyai muara kekuasaan dan setiap proses menuju kekuasaan ha-rus melalui sebuah proses rekruitmen yang melibatkan proses komunikasi sehingga tujuan dari pelaku politik bisa tercapai (Almond:1960).
Komunikasi politik juga diartikan sebagai bentuk komunikasi yang diniatkan tentang politik (McNair, 2003). Dengan demikian segala bentuk komunikasi yang din-iatkan untuk proses politik bisa disebut dengan komunikasi politik karena tujuannya jelas yaitu politik untuk menghegemoni khalayak.
Komunikasi Politik Homofili
Dalam menyampaikan pesan politik, komunikator menggunakan berbagai cara agar agenda politiknya bisa tersampaikan. Agenda politik tentu saja menyampaikan sebuah pesan politik dari kelompoknya atau bahkan menyasar kepada internal ke-lompoknya dan melibatkan dua perspektif yaitu perangkat institusi politik dan organ-isasi media yang terlibat dalam persiapan pesan bagi interaksi yang lebih horizontal satu sama lain, sedangkan dalam arah yang vertical institusi-institusi tadi baik secara terpisah maupun bersama-sama melakukan diseminasi dan pengolahan informasi dan gagasan dari dan untuk masyarakat. Penyampaian pesan politik kepada kelompok in-ternal harus menggunakan strategi komunikasi yang tepat.
Kelompok internal berarti bisa mengandung arti sebuah kelompok yang dibangun atas dasar beberapa kesamaan latar belakang. Berangkat dari hal tersebut, strategi komunikasi politik yang paling tepat untuk menyampaikan pesan politik ada-lah teori empati dan homofili mengingat cara-cara komunikasi ini ditekankan kepada kelompok masyarakat yang memiliki suatu kesamaan.
Teori ini terkadang secara sadar digunakan oleh sebuah kelompok dan tak ja-rang juga secara tidak sadara mereka mempraktekan Homofili (Rogers:1978). Teori homofili merupakan teori yang termasuk dalam difusi dan inovasi yang membedah manusia cenderung akan nyaman melakukan proses komunikasi dengan yang mempu-nyai latar belakang sama.
Teori komunikasi politik homofili merupakan sebuah teori yang ada dalam Dif-fusion of Inovation karya Everett M. Rogers (1978). Berawal dari kedaan social politik pada masa itu yang memandang ada kelompok politik yang menekankan pada sebuah kelompok yang memiliki kesamaan latar belakang.
men-galami trend menanjak (Amstrong: 2000). Praktek-praktek semacam ini biasanya digunakan pada hajat-hajat politik baik skala nasional maupun lokal. Trend ini naik seiiring dengan peristiwa reformasi 98 dimana kelompok politik tertentu menunjukan identitasnya.
Trend menggunakan politik identitas pasca reformasi 98 banyak digunakan oleh kelompok agama yang ada di Indonesia. Tak hanya kelompok agama mayoritas seperti Islam, kelompok agama minoritas seperti Kristen juga ikut dalam hajat dan praktek politik praktis (Komara: 2015). Tentunya mereka menggunakan teori Homofili untuk menghegemoni warganya dalam mensukseskan agenda politik ke-lompoknya.
Kelompok agama mayoritas di Indonesia yaitu Islam telah memiliki sejarah perpolitikan yang panjang di Negara ini bahkan semenjak Negara ini belum lahir (Duriana: 2014). Ketika Negara ini telah merdeka, kekuatan politik Islam terus berikhtiar untuk ikut andil dalam bernegara khususnya dalam Pemilu 1955 atau Pemi-lu pertama sejak Negara ini merdeka.
Pada Pemilu 1955, kekuatan Islam melebur menjadi satu kesatuan oleh sebab dinamika politik saat itu menjadi Masyumi (Siregar: 2013). Tercatat ada dua organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU yang tergabung dalam Masyumi yang mempenetrasi sebuah system Negara Indonesia hingga akhirnya Masyumi dibubarkan oleh rezim kala itu.
Pada perjalanannya, NU dan Muhammadiyah sering berjalan sendiri-sendiri bahkan dalam hajat perpolitikan Indonesia. Memasuki masa Orde baru, politik bagi dua organisasi tersebut adalah sesuatu yang tabu dan ingin mengembalikan khittoh mereka ke dalam gerakan keagamaan yang berkecimpung pada bidang social hingga pada reformasi 98, mereka akhirnya berpolitik kembali dalam bingkai yang berbeda dan masih tabu bagi sebagian warganya.
Politik Muhammadiyah
Membicarakan tentang politik sebuah ormas harus bisa membedakan antara anggota kultural dan structural termasuk pada Muhammadiyah (khittor Muhammadi-yah). Pada tataran elit, sering kali Muhammadiyah menegaskan bahwa mereka tidak berpolitik praktis walau pun pada kenyataannya atmosfer perpolitikan Muhammadi-yah di akar rumput sangat terasa.
Walau pun Muhammadiyah sejatinya dikenal sebagai organisasi yang bergerak di bidang social, namun Muhammadiyah juga mempunyai khittah (pakem) tentang politik (Nashir: 2008). Seperti yang dituangkan dalam khittah Muhammadiyah Denpasar (2002) yang menyebutkan “Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konsti-tusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat
bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban” .
Khittah tersebut muncul pasca peristiwa reformasi yang menjelaskan posisi politik Muhammadiyah. Saat reformasi muncul (1998), kekuatan politik Muhammadi-yah muncul dengan partai yang merepresentasikan kekuatan politiknya yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) besutan Amien Rais ( Al-Barbasy: 2017).
Tak hanya PAN, kekuatan politik Muhammadiyah juga bisa dilihat saat pemilu tahun 2009, ada partai baru bernama Partai Matahari Bangsa yang pada perjalanannya tenggelam karena tidak bisa memenuhi parliamentary threshold.
Percaturan politik nasional tersebut menandakan komunikasi yang yang cair di antara kader Muhammadiyah yang tidak mengkristal pada satu titik kekuatan. Namun begitu, semangat identitas Muhammadiyah tetap kentara pada dua partai politik itu. Di level daerah khususnya Purbalingga, politik warga Muhammadiyah begitu cair dan tidak hanya mengkristal pada satu partai. Ada beberapa partai politik yang menampung suara warga Muhammadiyah, namun tetap saja embel-embel Muham-madiyah dibawa ketika pelaku politik menghegemoni konstituennya.
Selain PAN, ada PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan Golkar (Golongan Karya) yang menampung kader Muhammadiyah dalam membawa visi politiknya.
Strategi Komunikasi Politik Muhammadiyah
Penelitian menemukan bahwa Muhammadiyah Purbalingga baik secara kul-tural maupun struckul-tural menjalankan apa yang disebut teori komunikasi politik em-pati dan homofili. Berikut akan diuraikan hasil temuan dari kedua Ormas Agama yang ada di Purbalingga dalam menjalankan kegiatan politiknya.
Pengurus Struktural (Soberi Arofah, Bidang Politik)
Berdasarkan pengamatan serta wawancara yang dilakukan peneliti pada in-forman pertama diketahui proses komunikasi politik empati dan homofili dilakukan secara formal dan informal kepada simpatisan Muhammadiyah di Kabupaten Purbal-ingga.
Proses komunikasi formal yang dilakukan oleh PDM (Pimpinan Daerah Mu-hammadiyah) Purbalingga dilakukan secara tertutup dan tidak frontal dengan secara spesifik mengarahkan kepada salah satu kandidat yang maju pada suatu perhelatan politik.
PDM Purbalingga hanya mengarahkan kepada simpatisan untuk memilih pem-impin berdasarkan empat kriteria dalam Islam yaitu Sidiq (Jujur), Amanah (bisa di-percaya, Tabligh (menyampaikan) Fatonah (cerdas). Hal ini dilakukan karena Mu-hammadiyah secara Organisasi tidak menempatkan diri sebagai organisasi partisan politik.
Retorika yang dijalankan Muhammadiyah pada forum formal ini tidak serta merta ditafsirkan sebagai sebuah kenetralan organisasi tersebut terhadap perhelatan politik yang sedang berlangsung. Clue-clue tetap diberikan oleh opinion leader dari PDM Purbalingga agar memilih sesuai dengan apa yang mereka kriteriakan.
Clue-clue calon tokoh politik yang digambarkan oleh PDM Purbalingga sering disampaikan pada forum dalam ruang public Muhammadiyah misalnya pengajian ahad pagi, tarjih ataupun kajian yang melibatkan organisasi sayap seperti PDPM (Pimpinan daerah Pemuda Muhammadiyah. Pada pertemuan seperti ini, justru simpatisan atau warga Muhammadiyah secara terang-terangan meminta PDM untuk memberikan gar-is komando politik agar mereka tidak tersandera setiap hajat politik berlangsung.
Pada tataran non formal, komunikasi politik homofili dan empati terjadi dengan terbuka dengan cara menyampaikan agenda politik partai yang dalam hal ini diidentikan dengan PAN (Partai Amanat nasional) diharapkan memberikan dukungan ke partai politik tersebut.
Soberi mengibaratkan komunikasi ini sebagai ‘permintaan’ pertimbangan tokoh politik Muhammadiyah kepada warga Muhammadiyah untuk mensukseskan agenda politik Muhammadiyah. Walaupun secara sadar, pasca pemilu 2004 ada sedikit penurunan ghirah (semangat) warga Muhammadiyah untuk kompak memilih PAN atau calon yang diusung Muhammadiyah.
Efektifnya komunikasi politik homofili Muhammadiyah Purbalingga dapat dilihat dari keterwakilan kader Muhammadiyah pada PAN. PAN mendapatkan empat kursi di DPRD (Dewan Perwakilan rakyat Daerah) Purbalingga. Dan semua anggota DPRD dari PAN terpilih dari dapil yang merupakan basis Muhammadiyah (Karangmoncol, Pengadegan, Bukateja, Kaligondang).
Bahasa komunikasi politik yang digunakan para kader Muhammadiyah yang kemudian terakomodasi agenda politiknya adalah mereka akan memperjuangkan kepentingan Muhammadiyah di parlemen daerah sehingga daya tawar
Muhammadi-yah di Purbalingga akan terlihat.
Menghegomonikan PAN agar mendapat kursi di legislatif artinya akan mengakomodasi kepentingan Muhammadiyah di kemudian hari. Sebab itulah PAN sebagai representasi dari politik Muhammadiyah membidik suara warga Muhammadi-yah agar kontribusi warga MuhammadiMuhammadi-yah untuk PAN bisa terserap.
Apa yang dikemukakan oleh Soberi bisa merepresentasikan politik Muham-madiyah dan secara sektoral MuhamMuham-madiyah mempromosikan PAN sebagai represen-tasi dari politik Muhammadiyah karena Muhammadiyah merasa membidani lahirnya PAN.
Ada temuan lain bahwa obrolan serius yang tidak terbalut dalam pertemuan formal Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah terutama yang berjuang melalui PAN yang maju dalam pertarungan politik secara terang-terangan meminta dukungan kepada tokoh Muhammadiyah di dapil tertentu dan juga kepada warga akar rumput Muhammadiyah. Menurutnya, kader Muhammadiyah yang berjuan di PAN akan mu-lus melenggang ke parlemen jika warga Muhammadiyah mendukung terlebih dahulu.
Namun demikian, dirinya mengakui tidak hanya kader Muhammadiyah yang di PAN yang berjuang dalam politik. Kader Muhammadiyah berkecimpung di partai lain pun tidak dilarang seperti di PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang tentu saja masih berhaluan Islam. Menariknya adalah walau pun mereka tidak di PAN, dalam meraih suara mereka tetap membidik suara warga Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah diminta pertimbangan serta dukungan terlebih dahulu sebelum meminta dukungan kepada warga non Muhammadiyah.
Hal ini juga berlaku pada kader Muhammadiyah yang memilih jalan politik dengan menggunakan partai berhaluan nasionalis atau bukan berbasis agama. Misal-nya pada partai Golkar (Golongan Karya) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun ada yang menduduki kursi DPRD. Dalam meraih simpati di Dapilnya, kader Muhammadiyah dari partai nasionalis ini tetap mendekati warga Muhammadi-yah terlebih dahulu dan dari hasil pemetaan memang sebagian banyak yang mencoblos caleg ini pun berasal dari warga Muhammadiyah.
Politisi Dari Anggota Legislatif asal Muhammadiyah Suharto
Suharto merupakan seorang anggota legislative DPRD Purbalingga dari fraksi PAN untuk dapil (Kaligondang, Pengadegan, Kejobong) yang merupakan basis masa Muhammadiyah dengan angka yang mencolok. Fraksi PAN sendiri menyumbangkan empat kursi di DPRD Purbalingga dengan basis Muhammadiyah seperti Karangmon-col, Kaligondang, Pengadegan, Kejobong dan Bukateja. Suharto adalah kader PAN sekaligus kader Muhammadiyah.
Saat wawancara, Suharto menjawab metode komunikasi politiknya hingga ter-pilih adalah yang utama membidik suara warga Muhammadiyah. Dirinya juga menganggap PAN adalah representasi dari politik Muhammadiyah sehingga warga Muhammadiyah perlu diminta pertimbangan dan dimintai dukungannya.
Di dapilnya, sumbangan suara signifikan yang tertuju pada dirinya terdapat di kecamatan Pengadegan tepatnya di Desa Pengadegan dan itu berkorelasi dengan basis Muhammadiyah di daerah tersebut. Basis tersebut menjadi lumbung bagi dirinya kare-na terhegemoni lewat komunikasi politik Homofili yang digemakan Suharto kepada warga Muhammadiyah.
Dirinya percaya dan sudah membuktikan metode komunikasi politik seperti itu lebih efektif dibanding menggunakan metode komunikasi random atau fokus kepada kumpulan masyarakat luas. Warga Muhammadiyah dinilai lebih akan loyal terhadap PAN dibanding warga lain.
Simpatisan Muhammadiyah (Sarif Hikmayanto)
Gambar 3. Homofili yang Diterima Oleh Warga Muhammadiyah
Narasumber yang ketiga yaitu Sarif Hikmayanto yang merupakan seorang sim-patisan Muhammadiyah asal Kecamatan Bukateja. Sarif tumbuh di daerah dan ling-kungan yang ke-Muhammadiyahannya kental dan hingga sekarang pun dia adalah war-ga Muhammadiyah yang sanwar-gat kuat.
Disinggung mengenai pilihan politiknya, dirinya mengakui akan lebih condong kepada kader Muhammadiyah yang berlaga pada setiap hajat politik. Dirinya paham
betul pakem-pakem pemimpin yang telah ditetapkan Muhammadiyah yaitu empat kriteria (sidiq, amanah, fatonah dan tabligh) sehingga dirinya menimbang yang paling dekat kriteria itu.
Putusan-putusan tarjih dia resapi betul dan ketika kader Muhammadiyah mengkomunikasikan sebuah kepentingan politik, maka dirinya akan lebih memper-timbangkan kader Muhammadiyah tersebut karena dinilai akan mewakili kepentingan Muhammadiyah.
Dia juga sering berkomunikasi dengan kader Muhammadiyah yang berkecimpung di dunia politik. Namun, PAN menjadi partai politik yang dia sukai kare-na dianggap lebih merepresentasikan politik Muhammadiyah.
Di ruang-ruang informal, dirinya manfaatkan untuk berdiskusi tentang politik sektoral atau homofili Muhammadiyah. Sebagai komunikan politik homofili, dirinya mencermati betul calon mana yang akan memperjuangkan kepentingan Muhammadi-yah di masa depan.
Jika tidak ada kader Muhammadiyah yang bertarung pada hajat politik seperti Pilpres dan Pilkada, dirinya akan mengikuti kemana arah PAN berlabuh. Pesan-pesan politik yang disampaikan komunikator Muhammadiyah ditangkap dengan baik dan dipraktekan pada hajat politik yang ada.
Ischaq Abdul Aziz Simpatisan Muhammadiyah Desa Tunjungmuli Kecamatan Karangmoncol
Narasumber yang keempat yaitu Ischaq Abdul Aziz berasal dari Desa Tunjung-muli Kecamatan Karangmoncol. Secara hitung-hitungan, jumlah warga