Purwadi
P
enggunaan strategi pemasaran politik (political marketing) telah menjadi bagian yang penting dan tidak terelakkan lagi dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) hingga pemilihan kepala dae-rah (pilkada) pada saat sekarang. Sejatinya, penerapan pemasaran politik di Indonesia telah mulai berkembang sejak era reformasi 1998 dan terus berkembang masif hingga sekarang ini. Pemasaran politik merupakan kombinasi penerapan ilmu pemasaran (dalam perspektif komunikasi) dan ilmu politik (Aziz, 2008), yang mana pemasaran adalah sebuah seni memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia dan politik adalah seni dalam mencapai tujuan sesuai dengan aturan yang ada (Abu, 2019). Kendati relatif baru dan banyak perdebatan tentang keilmuan pemasaran politik, namun penerapan pemasaran politik menjadi sebuah kebutuhan dalam kontestasi pemilihan karena un-tuk mewujudkan kemenangan.Apabila dicermati lebih lanjut, penggunaan pemasaran politik dalam kontestasi pemilihan telah melahirkan banyak kesuksesan untuk memenangkan kontestan/ kandidat pemilihan. Ada banyak contoh kasus sukses untuk hal itu, lebih khusus lagi dalam pertarungan pilpres. Sebut saja, ada Bill Clinton berhasil menang sebagai presi-den dalam Pilpres 1992 di Amerika Serikat (AS). Lalu, ada kemenangan Tony Blair se-bagai Perdana Menteri Inggris pada 1999 (Lees-Marshment, 2009; Needham, 2005). Ada pula Barack Obama yang berhasil menjadi Presiden AS selama dua periode (pilpres 2008 dan 2012). Terbaru, ada pula Donald Trump yang berhasil menjadi Presiden AS pada Pilpres 2016 (Lees-Marshment, 2019). Di Indonesia, strategi pemasaran politik juga berhasil memenangkan Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia dalam dua peri-ode pada Pilpres 2014 (Qeis, 2014b, 2014a) dan Pilpres 2019.
Jika dicermati kesuksesan para kandidat partai menjadi presiden dalam berbagai contoh sebelumnya, tidak terlepas dari strategi pemasaran politik yang di dalamnya terdapat strategi branding. Apabila merujuk pada strategi pemasaran politik yang dikembangkan oleh Lees-Marshment, letak branding adalah pada desain produk (product design). Desain produk adalah kunci awal dan utama dalam tahapan proses pemasaran politik. Karena dari desain produklah kesuksesan pemasaran politik diten-tukan untuk melaju ke tahapan pemasaran politik selanjutnya. Keberhasilan dari de-sain produk ini ditentukan oleh branding dan disinilah branding pemasaran politik menjadi penting (Lees-Marshment, 2001a, 2001b).
Bila melihat kembali penelitian terdahulu tentang branding (pemasaran) poli-tik, maka penelitian dari Zavattaro (2010) dan Lees-Marshment (2009, 2019) telah mengupasnya. Dalam salah satu pembahasan kasus, branding politik dari Barack Obama (sering disebut Obama) telah berhasil mengomunikasikan kekuatan kandidat dan kelemahan kompetitor, sekaligus harapan atau janji mengatasi persoalan yang terjadi. Salah satu ilustrasi yang baik adalah pesan kampanye Obama dalam Pilpres AS 2008. Pesan kampanye Obama berpusat pada kata “Change” (perubahan), yang di-lontarkan dalam iklan media, internet dan sebagainya. Pesan kampanye ini mengomu-nikasikan janji adanya perubahan sekaligus menjawab kegelisahan pemilih di AS. Sela-ma delapan tahun di bawah pemerintahan George W. Bush, pemilih AS tidak puas. Kondisi ekonomi yang buruk, kebencian dunia yang tinggi pada AS. Bush membawa AS pada dunia yang tidak stabil karena lebih mengutamakan perang dibandingkan diplo-masi. Obama menjanjikan adanya perubahan ekonomi yang lebih baik, kebijakan inter-nasional yang lebih bersahabat. Pesan “Change” ini sekaligus mengomunikasikan per-lu adanya perubahan kebijakan, perper-lunya orang dengan visi baru yang membawa AS lebih baik (Lees-Marshment, 2009; Zavattaro, 2010). Di sisi lain, Obama juga memba-wa branding sebagai sosok yang sederhana dan meyakinkan, berpusat pada retorika aspirasional dengan slogan Yes We Can, mewujudkan nilai-nilai inti harapan, dan pe-rubahan yang selaras dengan khalayak target, sembari menawarkan kredibilitas (Lees-Marshment, 2019; Zavattaro, 2010).
Selain itu, penelitian Lees-Marshment (2019), mengulas pula tentang strategi Donald Trump memenangkan Pilpres AS 2016 dengan memanfaatkan brand Partai Republik Reagan yang berasal dari negara bagian yang lebih kecil, pajak yang lebih ren-dah, dan AS yang kuat. Trump juga memproyeksikan dirinya sebagai seseorang yang akan mengembalikan kejayaan AS, tetapi juga mengintegrasikan kepribadiannya dan posisi orang luar untuk memperbaharuinya ke perubahan, membuat brand, Make America Great Again. Kemenangan “mengejutkan” Trump tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan dalam membuat branding dalam pemasaran politik (Lees-Marshment, 2019).
Dalam konteks Indonesia, penelitian dari Juditha (2015) menyoroti pula ten-tang branding sebagai salah satu bagian dari pemasaran politik telah memenangkan Joko Widodo sebagai presiden pada Pilpres 2014. Kendati antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto menggunakan strategi pemasaran politik dengan branding di da-lamnya, namun ternyata branding Joko Widodo telah memenangkan pemilih untuk menjadikannya presiden (Juditha, 2015). Dari hal tersebut, dapat dicermati bahwa
branding pemasaran politik memberikan implikasi penting dalam setiap pilpres yang ada di Indonesia, terutama sejak era reformasi berlangsung. Hal itu juga berlaku untuk Pilpres 2019 yang mempertemukan kembali dua kandidat presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dalam pertarungan ulang ini, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto membangun lagi branding mereka. Keduanya berusaha meraih pilihan
pem-ilih sebanyak mungkin. Pertarungan branding itu pun menarik dicermati, terutama semasa kampanye pilpres. Beragam media massa, terutama media daring (online) pun memberikan ulasan-ulasan dalam pemberitaan mereka tentang pertarungan branding
pemasaran politik kedua capres tersebut. Ulasan atau sorotan media daring tersebut pun menarik untuk dikaji, sehingga memicu peneliti mengkajinya. Kajian ini pun beru-paya memberikan kebaruan, terutama dari segi analisis perbandingan branding
pemasaran politik antara Joko Widodo versus Prabowo Subianto dari perspektif ber-beda dari kajian penelitian sebelumnya yang lebih kepada media sosial (Juditha, 2015). Hal itu karena kajian ini mengulas sorotan yang ditampilkan oleh media daring. Kemudian, hasil analisis kajian ini juga dihubungkan dengan konsep atau teori dalam pemasaran politik dan diulas dari segi keefektifan strategi yang dibangun. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi akademis dalam mencermati strategi branding
pemasaran politik dalam suatu kontestasi pemilihan terhadap kandidat tertentu, se-hingga ulasan strategi ini dapat menjadi acuan pengembangan dalam pemanfaatan secara keilmuan dan segi praktis.
Pemasaran Politik
Sama seperti pemasaran (marketing), pemasaran politik adalah tentang bagaimana organisasi dan praktisi politik menggunakan alat dan konsep pemasaran. Penerapan pemasaran politik pada dasarnya untuk memahami, mengembangkan produk, melibatkan serta berkomunikasi, dan berinteraksi dengan pasar politik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tentu saja tujuannya bukan tentang menghasilkan uang, tetapi memenangkan pemilihan, termasuk menciptakan perubahan kebijakan, mewakili minoritas, mengubah perilaku, dan meningkatkan partisipasi (Lees-Marshment, 2019).
Apabila melihat definisi pemasaran politik, ada beragam definisi dari berbagai pakar yang ada. Lock & Harris (1996) mendefinisikan pemasaran politik adalah studi pertukaran antara entitas politik dan lingkungan mereka dan di antara mereka sendiri, dengan referensi khusus untuk posisi entitas tersebut dan komunikasi mereka. Se-dangkan, Lees-Marshment (2001a) memberikan pengertian pemasaran politik adalah tentang organisasi politik (seperti partai politik, parlemen dan departemen pemerintah), teknik (seperti riset pasar dan desain produk), dan konsep (seperti keinginan untuk memenuhi tuntutan pemilih) mengadaptasi awalnya digunakan di dunia bisnis, untuk membantu mereka mencapai tujuan mereka (seperti me-menangkan pemilihan atau meloloskan undang-undang). Definisi lainnya lagi, pemasaran politik dijelaskan sebagai perspektif untuk memahami fenomena di ranah politik, dan pendekatan yang berupaya memfasilitasi pertukaran nilai politik melalui interaksi di pasar pemilihan umum, parlementer dan pemerintahan untuk mengelola hubungan dengan para pemangku kepentingan. Pemasaran politik juga merupakan serangkaian proses manajerial yang mengandalkan pengetahuan sistematis tentang
keterlibatan dan responsif terhadap warga negara yang merupakan "konsumen" dari apa yang ditawarkan oleh pemasar politik (Beckman, 2018).
Dari beragam definisi pemasaran politik tersebut, beberapa poin umum dapat dicermati, di antaranya pertama bahwa pemasaran politik terkait dengan kampanye politik. Ini termasuk mengidentifikasi kebutuhan pemilih yang dapat dilayani dengan bantuan produk politik. Kedua, tujuan utama pemasaran politik adalah untuk memen-garuhi orang agar berperilaku atau memilih dengan cara tertentu. Ini berarti bahwa pemilihan harus tanpa rasa takut dan bias sehingga membuat pemasaran politik ber-makna. Ketiga, pemasaran politik menggunakan alat dan teknik yang dikembangkan untuk tujuan komersial ke dalam arena politik (Gopal et al., 2019).
Branding Pemasaran Politik
Brand adalah konstruksi multidimensi yang melibatkan perpaduan nilai-nilai fungsional dan emosional untuk menyocokkan kinerja konsumen dan kebutuhan psikososial. Sebuah brand dapat didefinisikan sebagai ''nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengiden-tifikasi barang dan jasa dari satu penjual atau kelompok penjual dan untuk mem-bedakannya dari barang-barang pesaing'' (Cwalina & Falkowski, 2015; Kotler & Pföertsch, 2016). Salah satu tujuan branding adalah membuat brand unik pada dimensi yang relevan dan diterima oleh konsumen. Keberhasilan dalam pasar tergantung pada diferensiasi brand yang efektif, berdasarkan identifikasi, internalisasi, dan komunikasi nilai-nilai brand unik yang diinginkan oleh konsumen (Cwalina & Falkowski, 2015).
Konsep brand juga dapat digunakan dalam politik, khususnya untuk kandidat dalam suatu pemilihan. Konsep ini pun sering disebut sebagai branding pemasaran politik, yang didefinisikan sebagai upaya atau segala proses yang dilakukan oleh aktor (kandidat atau partai) untuk menciptakan persepsi di benak pemilih. Proses tersebut mulai dari konsep, program hingga dieksekusi lewat pesan kampanye, logo, slogan, hingga iklan (Lees-Marshment, 2009). Ada beragam teori yang menjelaskan tentang bagaimana branding pemasaran politik yang baik dan efektif. Dalam kajian ini, terdapat dua teori branding pemasaran politik yang digunakan untuk menganalisis dan mem-bedah pokok bahasan penelitian. Teori pertama adalah dari Lees-Marshment (2009), yang menyebutkan terdapat tiga aspek penting dalam branding pemasaran politik yang baik, yaitu: (1) branding harus otentik, unik (punya unsur diferensiasi atau pembeda dengan kompetitor) di mana melalui branding, politisi dan partai mampu mengomu-nikasi dalam persepsi pemilih kekuatan sekaligus menunjukkan kelemahan kompeti-tor; (2) branding harus bisa dikirimkan (delivered), yakni branding diturunkan ke da-lam program-program, dieksesuki lewat slogan, logo dan sebagainya; serta (3) brand-ing selalu berubah terus-menerus untuk menyesuaikan dengan keinginan pemilih. Teori kedua datang dari Needham (2005) yang menyebutkan, branding pemasaran politik yang efektif setidaknya memenuhi enam unsur ini: (1) simple (sederhana), (2)
unique (ada diferensiasi), (3) reassuring (memberi keyakinan), (4) aspirational
(aspiratif), (5) value-based (berbasis nilai), dan (6) credible by delivering on promises
(kredibel dengan memenuhi janji).
Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto
Dalam kontestasi Pilpres 2019, terdapat dua pasang capres yang saling ber-tarung untuk berkompetisi menjadi presiden. Kedua capres tersebut adalah Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Joko Widodo berpasangan dengan Ma’ruf Amin se-bagai calon wakil presiden (cawapres) dan Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Uno sebagai cawapres. Kedua pasangan capres-cawapres ditetapkan sebagai kontestan pemilu setelah ada penetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 September 2018 (Kompas.com, 2018).
Sementara itu lebih khusus kepada para capres di Pilpres 2019, capres dengan nomor urut 01 adalah Joko Widodo. Capres Joko Widodo adalah pria kelahiran Sura-karta (Solo), 21 Juni 1961. Joko Widodo adalah politikus PDI Perjuangan dengan latar belakang pengusaha mebel. Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada ini mengawali karir politiknya dengan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pada 2005. Setelah lima tahun memerintah Solo, dia kembali terpilih untuk periode kedua. Namun di periode kedua Joko Widodo tidak menyelesaikan masa jabatannya. Dia maju di Pilgub DKI Jakarta 2012 dan menang. Sebagai gubernur, Joko Widodo hanya jabat selama dua tahun. Dia kemudian maju pada Pilpres 2014 dan terpilih serta men-jadi presiden.
Sedangkan, capres dengan nomor urut 02 adalah Prabowo Subianto. Prabowo Subianto merupakan pria kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1952. Dia pernah menjabat se-bagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus selama berkarier di dunia militer. Setelah pensiun dari militer, Prabowo Subianto bergabung dengan Partai Golkar hingga akhirnya mengikuti konvensi capres pada 2004, namun gagal. Pada 2008, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra. Di Pemilu 2009, Prabowo Subianto menjadi cawapres Megawati Soe-karnoputri, yang akhirnya kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Di Pilpres 2014, Prabowo Subianto juga kalah dari Joko Widodo. Begitu pula hal yang sama pada Pilpres 2019 (Detik.com, 2018b).
Media Daring
Kehadiran media massa daring tidak lepas dari perkembangan internet sejak 1990 hingga sekarang yang begitu masif, tak terkecuali di Indonesia. Media daring pada dasarnya tidak pernah menghilangkan media massa lama, namun lebih kepada me-nyubstitusinya. Media daring adalah tipe media baru jurnalisme sebab mempunyai sejumlah fitur dan karakteristik dari jurnalisme tradisional, namun yang berbeda ada-lah fitur interaktif multimedia dalam teknologinya yang terhubung dengan internet
sehingga menawarkan kemungkinan tidak terbatas dalam memproses serta menyebar-kan berita (Santana K, 2017).
Perkembangan terkini, jumlah media daring di Indonesia telah mencapai lebih kurang 43.000 portal media daring. Namun, jumlah media daring yang telah terverifi-kasi Dewan Pers tidak lebih dari 100 media (Kominfo.go.id, 2018). Kendati demikian, jumlah media daring masih tergolong banyak. Dengan jumlah yang begitu masif terse-but tentu menarik bagi strategi branding dalam pemasaran politik. Hal ini disebabkan media daring merupakan salah satu media baru (dalam ilmu komunikasi) yang dapat menjadi alat branding yang efektif bagi para kontestan atau kandidat dalam pemilihan. Selain itu, media daring juga dapat memberikan ulasan-ulasan (bahkan terkadang kritis) tentang perbandingan branding antar kandidat. Pemanfaatan media daring ini tidak terlepas dari sifatnya yang tidak terbatas dalam proses dan penyebaran berita (Santana K, 2017).
Analisis Branding Pemasaran Politik Joko Widodo
Hasil analisis berbagai artikel media daring sebagai bahan kajian memperlihat-kan bahwa branding pemasaran politik Joko Widodo dalam Pilpres 2019 dibangun dengan hal-hal berikut ini:
Joko Widodo konsisten menggunakan identitas baju putih sejak terpilih men-jadi presiden pada Pilpres 2014 hingga maju kembali menmen-jadi capres pada Pilpres 2019. Baju putih digambarkan sebagai sosok sederhana dan bersih sekaligus merakyat (Jawapos.com, 2019).
Jelang Pilpres 2019, branding Joko Widodo secara personal menyesuaikan konteks demografi pemilih. Joko Widodo juga semakin luwes dalam hal berpakaian dan sukses keluar dari kakunya busana protokoler kepala negara, dan menunjukkan sebagai sosok yang luwes. Keluwesan ini menjadi bingkai yang terlihat bukan hanya dari cara pakaiannya saja, tetapi juga cara berpikirnya. Dia lebih bergaya anak muda dengan sering menggunakan sneakers, jaket bomber, dan kaos oblong. Dengan gaya seperti itu, Joko Widodo menempatkan dirinya sebagai bagian dari ceruk pemilih mu-da, hal yang mirip dengan apa yang dilakukannya pada 2014 terhadap kelompok pem-ilih menengah ke bawah (Cnbcindonesia.com, 2019; Pinterpolitik.com, 2018).
Untuk gaya Joko Widodo, branding yang ditampilkan sebagai equalitarian style, yakni bersifat turun ke bawah dan merangkul (Tempo.co, 2018). Joko Widodo tergambar sebagai pribadi yang selalu mendengar, memperhatikan, mencintai, mem-bela serta gemar blusukan. Dia identik dengan kalem dan tertata rapi (Tribunnews.com, 2019). Kemudian, dia lebih menonjolkan aktivitas branding dengan keluarganya (Gatra.com, 2018).
Joko Widodo membentuk branding keislaman yang lebih kuat ketimbang Prabowo Subianto. Hal itu dibuktikan Joko Widodo sering tampil sebagai imam salat (Cnnindonesia.com, 2018).
Analisis Branding Pemasaran Politik Prabowo Subianto
Hasil analisis dari artikel-artikel media daring sebagai bahan kajian menunjukan bahwa
branding pemasaran politik Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 dibangun dari hal-hal berikut ini:
Identitas yang dibangun oleh Prabowo Subianto adalah dengan kampanye Rabu Biru. Artinya mengenakan pakaian berwarna biru sebagai identitasnya. Branding ini lebih dibangun oleh pasangannya, Sandiaga Uno (Jawapos.com, 2019).
Jelang Pilpres 2019, Prabowo Subianto memunculkan branding lagi sebagai “The New Prabowo”. Prabowo Subianto ingin menampilkan citra yang asyik, cair, mendengar, dan menghormati orang lain. Hal itu untuk mengubah perspektif masyarakat terhadap kesan temperamental dan emosional yang menjadi persoalan pada Pilpres 2014 lalu kare-na menjadi salah satu masalah yang diduga menjegal kemekare-nangannya (Detik.com, 2018a; Katadata.co.id, 2019).
Dari segi gaya, Prabowo Subianto lebih menampilkan branding ke arah dynamic style yang merupakan tipe eksplisit, to the point, dan menggunakan bahasa lugas (Tempo.co, 2018). Sehingga, Prabowo Subianto identik dengan emosional dan heroik (Tribunnews.com, 2019). Bahkan, saat jelang akhir kampanye yang terjadi tim kampanye lebih agresif dan militan (Gatra.com, 2018), sehingga ada kesan dari yang awalnya “malas -malasan/kurang serius” menjadi agresif yang terlihat seperti “marah” (Tirto.id, 2019).
Prabowo Subianto membangun branding bahwa keislaman yang kuat tidak harus dengan menjadi imam salat, melainkan lebih peduli pada ulama atau pemuka agama Is-lam yang menjadi imam salat (Cnnindonesia.com, 2018).
Perbandingan Branding Pemasaran Politik Joko Widodo Versus Prabowo Subianto, Siapa Unggul?
Setelah mencermati satu per satu branding dari Joko Widodo dan Prabowo Subianto, maka selanjutnya adalah menganalisis dan membandingkan branding yang telah dilakukan oleh keduanya dalam Pilpres 2019. Analisis ini didasarkan pada aspek teoritis dari branding pemasaran politik, yakni tiga aspek branding pemasaran politik yang baik (Lees-Marshment, 2009) serta enam unsur branding pemasaran politik yang efektif (Needham, 2005). Hasilnya adalah tersaji dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Branding Pemasaran Politik Joko Widodo Versus Prabowo Subianto
Sumber: Olahan Peneliti
Berdasarkan tabel di atas (Lihat Tabel 1), dapat dijelaskan bahwa Joko Widodo
Unsur Joko Widodo Prabowo Subianto
Unik (otentik atau ada deferensiasi)
- Identitas baju putih. - Gaya equalitarian style.
- Identitas baju biru. - Gaya dynamic style. Branding dapat
dikirimkan (delivered)
- Joko Widodo telah melakukan delivered dengan implementasi pada identitas, gaya, program, hingga simbol-simbol sebagai capres 01.
- Prabowo Subianto telah melakukan delivered dengan implementasi gaya, identitas, simbol-simbol, dan program capres 02.
Branding selalu berubah sesuai keinginan pemilih
- Konsisten dengan branding Jokowi yang luwes, seder-hana, dan bergaya anak muda seperti saat menang dalam Pilpres 2014 dan tidak mengu-bahnya hingga Pilpres 2019 karena dianggap masih sesuai keinginan pemilih.
- Melakukan rebranding “The New Prabowo” untuk mengubah citra Prabowo Subianto sebelumnya dan memenangkan hati para pemilih.
Simpel
- Sosok yang sederhana, be-rasal dari kalangan biasa (miskin), dan merakyat.
- Sosok yang tegas, bergaya bahasa lugas, dan dari kalangan berada (kaya).
Memberi keyakinan
- Keislaman yang kuat dengan menjadi imam salat.
- Keislaman yang kuat dengan
mempedulikan ulama sebagai imam salat.
Aspiratif
- Joko Widodo tergambar sebagai pribadi yang selalu mendengar, memperhatikan, mencintai, membela serta gemar blusukan.
- Prabowo Subianto berusaha menampil-kan citra yang asyik, cair, mendengar, dan menghormati orang lain.
Berbasis nilai
- Nilai kehidupan yang tercer-min dari kalem dan tertata rapi.
- Nilai kehidupan yang tercermin dari mantan prajurit yang tegas dan langsung ke pokok persoalan.
Kredibel memenuhi janji
- Joko Widodo dalam setiap kampanye berusaha mencitrakan diri sebagai pemimpin yang kredibel dan memenuhi janji-janji poli-tiknya.
- Sama halnya dengan Joko Widodo, Prabowo Subianto juga berupaya mencitrakan diri sebagai pemimpin yang tegas dan kredibel dengan segala janji-janji politiknya.
dan Prabowo Subianto telah sama-sama berupaya menerapkan unsur-unsur dalam teori branding pemasaran politik yang baik dan efektif dari Lees-Marshment (2009) dan Needham (2005) sebagai bagian dari strategi pemasaran politik. Namun, prinsip utama dalam pemasaran politik adalah keberhasilan diukur dari kemenangan. Artinya,
branding Joko Widodo lebih sukses menggaet hati pemilih dibandingkan dengan
branding Prabowo Subianto karena Joko Widodo terbukti menang dalam Pilpres 2019. Joko Widodo dinilai berhasil karena mampu konsisten dengan strategi branding, sementara Prabowo Subianto sebaliknya. Ada kesan setengah-setengah dalam menjalankan strategi branding.
Mengapa lebih sukses Joko Widodo? Pria kelahiran Solo itu adalah contoh pal-ing dekat bukti keberhasilan branding pemasaran politik, mulai dari kemasan personal, latar belakangnya, pendekatan politik, program kerja, serta penampilannya di depan media dan masyarakat. Sedangkan, kenapa Prabowo Subianto dianggap kurang sukses secara branding? Hal itu disebabkan citra diri yang ingin ditampilkan dalam branding
kurang nampak. Citra diri Prabowo Subianto masih didominasi oleh gagasan poli-tiknya dan karakter aslinya yang keras, temperamental dan berapi-api. Kalau dilihat dari cara Prabowo Subianto berpidato, mungkin personal branding yang ditunjukkann-ya adalah orator keras menggelegar, katakanlah seperti Soekarno. Prabowo Subianto adalah sosok populis klasik, tipikal pemimpin berkarakter kuat. Namun, tampilan karakter itu justru terlihat “agak kuno” dalam konteks dinamika politik dan sosial saat itu. Kemudian, identitas baju biru yang ingin dibangun masih kalah dengan baju yang selama ini menjadi identitas Prabowo Subianto yakni Safari, dengan empat kantong berwarna cokelat keabu-abuan, atau putih yang menjadi busana andalannya sejak ter-jun ke dunia politik. Tidak ada perubahan signifikan yang menunjukkan citra diri yang menyesuaikan dengan hal-hal yang secara penampilan disukai oleh pemilih.
Konteks rebranding Prabowo Subianto dengan “The New Prabowo” dianggap juga kurang berhasil sebab yang dilakukan hanya mengganti apa yang dikenakannya saja, tetapi tidak mengonsep ulang strategi kampanye dan pendekatan politik sesuai dengan situasi sosial politik saat itu (Pinterpolitik.com, 2018). Kata-kata asyik, gaul dan santai yang diungkapkan Sandiaga pada diri “The New Prabowo” sepertinya belum terbukti. Di publikasi media massa, publik masih menyaksikan Prabowo Subianto yang berbaju safari putih khasnya, dengan perawakan tegap dan tegas seorang militer, dan gaya orasi yang bergelora bak pejuang zaman Belanda menghadapi penjajah. Memang tidak ada yang negatif dengan itu semua, namun masyarakat jadi dibingungkan dengan