T
idak disangkal bahwa ditemukannya komputer khususnya internet, telah mengubah tata kehidupan manusia termasuk dalam cara bagaimana mengembangkan potensi untuk meraih kesuksesan usaha. Pola-pola lama dalam berbisnis, memasarkan produk, maupun pola komunikasi pemasaran konven-sional yang beberapa dekade yang lalu diyakini dan terbukti mampu mendukung tercapainya tujuan perusahaan, dalam era teknologi informasi ini menjadi lumpuh. Seperti yang dikatakan Richard Fizdale, Chief Executive Officer pada Leo Burnett Company, Inc., suatu perusahaan periklanan di Amerika Serikat, dalam pengantarnya di buku ‘Integrated Marketing Communications’, (Schultz, Tannenbaum, & Lauter-born, 1993) mengatakan:[…] Penulis buku tersebut menandai bahwa pasar massal telah mati. Asumsi lama, strate-gi, dan taktik untuk mencapai pasar yang luas melalui suatu pesan penjualan yang disebarkan melalui media massa sudah tidak lagi valid. Televisi, sebagai salah satu ‘kendaraan’ pengantar terbaik, akan tidak punya daya. Database akan membuktikan menjadi suatu alat pemasaran yang penuh kekuatan dibanding televisi yang berlaku sela-ma ini. (p. xi)
Adapun Eric Greenberg & Alexander Kates (2014) dalam buku mereka ‘Strategic Digital Marketing’ menegaskan bahwa perubahan paradigma pemasaran konvensional yang menebar pesan penjualan melalui media massa seperti periklanan untuk mencapai konsumen dan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen su-dah tidak berdampak optimal. Pada era baru paradigma pemasaran digital, pesan penjualan harus dikembangkan penuh kreativitas dan disebar melalui berbagai saluran digital, seperti search marketing, mobile marketing, social media, websites, video mar-keting, digital storefronts, gamified environments, dan sejenisnya yang disampaikan pada saat yang tepat dalam menjangkau konsumen dan menggerakkan penjualan. (p. 3-7)
Merek, sebagai cerminan inti pesan penjualan bagi suatu produk dan menjadi inti potensi dalam mencapai kesuksesan, pada era digital masih tetap menjadi penentu utama dalam proses keputusan pembelian bagi konsumen. Untuk itu diperlukan adan-ya kejelian pemasar dalam membangun merek adan-yang kuat, memilih langkah-langkah stratejik dalam mengkomunikasikan pesan penjualan melalui merek, dan diselaraskan
dengan zaman terutama dalam pemanfaatan teknologi informasi, di samping pola pengembangan media konvensional secara terintegrasi, sehingga mampu memeroleh dampak yang optimal.
Apa Itu Merek?
Istilah merek banyak dimaknakan dari bermacam sudut pandang, baik dari sisi awam, bahkan oleh para praktisi dan akademisi di bidang komunikasi pemasaran. Merek umumnya diartikan sebagai suatu nama, simbol, lambang, bentuk, atau apapun yang terkait dengan pengenalan atau identifikasi suatu produk. Hal ini dimungkinkan karena adanya definisi klasik tentang merek yang dilontarkan oleh American Market-ing Association/AMA (1960), yang menyatakan bahwa “merek adalah suatu nama, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi dari berbagai elemen tersebut, yang mana cenderung untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari satu penjual atau ke-lompok penjual dan untuk membedakan dari pesaing mereka”. (Brand Management, Heding, Knudtzen, & Bjerre, 2016, p. 281)
Tergantung pada perspektif dan pemikiran lembaga pendidikan atau perus-ahaan terkait, merek dapat didefinisikan dalam berbagai makna. Seperti yang dikemukakan oleh Tom Duncan (2005) dalam bukunya ‘Advertising & IMC’, yang mendefinisikan bahwa “merek adalah suatu ‘persepsi’ hasil dari pengalaman dengan, dan informasi tentang suatu perusahaan atau suatu produk”. (p. 6). Hal ini selaras dengan pemahaman dari Interbrand – salah satu perusahaan konsultan merek top dunia – yang mendefinisikan merek sebagai “campuran dari atribut nyata (tangible) dan maya (intangible), yang menyimbolkan suatu tanda-dagang (trademark), yang mana apabila dikelola dengan benar akan menciptakan pengaruh dan menggerakkan suatu nilai (value) tertentu. (p. 70)
Definisi yang lebih kekinian dari American Marketing Association (AMA), pada tahun 2013 memperluas definisi tentang merek menjadi sebagai berikut:
“Suatu merek merupakan pengalaman pelanggan hasil dari koleksi citra dan ide; yang mengacu pada suatu simbol seperti nama, logo, slogan, dan desain. Pengenalan merek dan reaksi lainnya diciptakan oleh akumulasi dari pengalaman dengan suatu spesifik produk atau jasa, yang mana keduanya langsung dikaitkan pada penggunaannya, dan melalui pengaruh periklanan, desain, dan komentar media. Merek dapat meliputi suatu logo, bentuk ukuran huruf, warna khusus, simbol, suara, yang dikembangkan untuk merepresentasikan suatu nilai tertentu, ide, dan personalitas produk.’ (‘Brand Manage-ment: Research, Theory, and Practice’, Heding, Knudtzen, & Bjerre, 2016, p. 281)
Adapun pemahaman tentang produk - sebagai dasar pengembangan merek - secara konvensional umumnya terbatas pada produk dalam kriteria produk komersial saja, yang disebut sebagai barang (goods) dan jasa (services). Sedangkan dalam re-alitanya, ada juga produk yang ‘diproduksi’ bukan untuk kepentingan komersial,
seper-ti upaya penyampaian “suatu pemikiran, ide, atau nilai-nilai tertentu yang dianggap akan dapat meningkatkan taraf hidup manusia agar menjadi lebih baik”. Misalnya penyebaran program-program pembatasan atau pengendalian penduduk, keselamatan berkendara, atau anjuran memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan untuk menjaga kesehatan. Produk ini dikenal sebagai produk sosial atau produk dalam ben-tuk ide (ideas). Adapun perbedaan antara produk komersial dan produk sosial yakni keuntungan (profit) dari produk komersial dinikmati oleh perusahaan, produsen dan
share-holders, sedangkan keuntungan dari produk sosial (benefit) yang menikmati adalah konsumen atau masyarakat luas sebagai pasar sasaran. (‘Integrated Marketing Communications Management’, Seri 1, Prayitno & Harjanto, 2017, p. 15)
Gambar 1: Klasifikasi Produk
suatu produk ada lima tingkat pemahaman produk, meliputi: inti produk (core bene-fit), produk dasar (basic product), produk harapan (expected product), produk tamba-han (augmented product), dan produk potensi (potential product). (p. 407-409) Pada dasarnya inti produk dan produk dasar lebih bersifat tangible, sedangkan produk hara-pan, produk tambahan, dan produk potensi lebih bersifat intangible, yang mana kedua sifat tersebut melekat pada suatu produk, baik yang berupa barang, jasa, maupun ide.
Selaras dengan pemikiran Kotler tentang tingkat pemahaman produk, Chris Fill dan Tony Yeshin (2001) membagi lebih rinci adanya dimensi tangible dan intangi-ble yang melekat pada suatu produk, terkait dengan impresi total konsumen dalam memandang produk, yang dikenal sebagai citra merek (brand image), yang mana merupakan “impresi total yang terbentuk dalam pemikiran konsumen oleh suatu produk/merek dan seluruh asosiasinya, baik fungsi dan bukan fungsi dari suatu produk”. Fill dan Yeshin mengutip dari buku ‘Creating Powerful Brands’ oleh Cher-natony dan McDonald (1998) tentang dimensi suatu merek yang terdiri dari produk
tangible (core dan basic product) dan produk intangible (Augmented dan product im-age). (p. 90-91)
Core product merupakan inti dari suatu produk, misalnya kendaraan mobil adalah sebagai alat angkut, baik untuk manusia atau barang. Basic product sebagai ‘spesifikasi’ produk yang dipasarkan, yang terdiri dari unsur-unsur fungsi, desain, fitur, kemanjuran, harga, dan kemasan. Adapun augmented product dapat dipantau dari unsur-unsur pelayanan sebelum, selama, dan setelah terjadi penjualan, sistem delivery
produk, ketersediaan, saran konsultasi, sistem pembayaran, tambahan-tambahan lain, dan garansi produk. Lapisan terluar level pemahaman produk yang dikenal sebagai citra merek (brand image), meliputi unsur-unsur persepsi pada kualitas, persepsi nilai produk, pengaruh dari pengguna lain, reputasi, citra perusahaan, nama merek, dan organisasi produk. Tentunya tidak semua unsur baik yang ada pada tangible maupun
intangible product melekat pada suatu produk atau merek, tergantung dari jenis dan klasifikasi produk terkait. (Lihat Bagan 2)
Gambar 2: Citra Merek
Dari berbagai uraian tentang produk atau merek di atas, dapat dimaknakan bahwa merek adalah “bentuk personifikasi dari suatu produk yang ada dalam pemikiran konsumen, hasil dari adanya penyampaian informasi dan pengalaman kon-sumen pada suatu produk, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang terdiri dari bermacam unsur dalam dimensi tangible dan intangible yang melekat pada suatu produk”. Merek merupakan nilai produk (product value) yang ada di dalam per-sepsi konsumen, sebagai hasil dari aktivitas komunikasi dari informasi dan pengala-man yang diperoleh konsumen tentang suatu produk (Prayitno dan Irwansyah dalam ‘Marketing Communications in Global Society’, 2012).
Membangun Potensi Merek
Merek pada dasarnya adalah persepsi yang ada pada pemikiran, di otak dan di hati konsumen. Proses terbentuknya persepsi disebabkan adanya informasi atau rang-sangan dan juga pengalaman konsumen pada suatu produk atau merek tertentu, baik disengaja maupun tidak direncanakan. Membentuk merek yang kuat agar melekat di benak konsumen, memerlukan perencanaan stratejik dalam waktu yang relatif lama di samping perlunya dukungan pembiayaan yang memadai.
Proses dalam membangun merek yang kuat, pada tahap awal adalah mencari dan menetapkan persepsi apa yang tepat untuk ‘mewakili’ produk sebagai bentuk per-sonifikasi merek yang akan dikomunikasikan kepada khalayak sasaran, yang diharap-kan merek adiharap-kan mampu dikenal, diingat, disukai, dipilih, diyakini, dan mendorong ter-jadinya tindakan atau penjualan, bahkan konsumen menjadi loyal terhadap suatu merek. Menetapkan bentuk personifikasi merek, lebih dikenal sebagai penetapan posi-tioning yang diinginkan bagi suatu produk (desired positioning product). Bagaimana proses pembentukan positioning agar ‘melekat hidup’ di benak konsumen (current positioning) dan berdampak positif, tentunya memerlukan tahapan dalam mem-bangun merek, melalui program komunikasi pemasaran yang terintegrasi.
Positioning dalam konteks komunikasi pemasaran, menurut Larry Percy (2008) dalam buku ‘Strategic Integrated Marketing Communications’ meliputi bagaimana suatu merek diposisikan seperti yang tertuang dalam bentuk eksekusi pe-san yang ditujukan pada khalayak sasaran, agar dari sudut pandang konsumen awalnya akan tercipta kaitan konsumen dengan produk sebagai pengenalan pada merek (brand awareness), yang selanjutnya (diharapkan) sikap konsumen menjadi positif terhadap merek/produk (positive brand attitude). (p. 35-36). Adapun positioning dapat
di-peroleh dari apa yang ada pada kelebihan produk (product benefits) atau dikem-bangkan dari apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap suatu produk (consumer needs and wants).
Sekedar contoh, produk minuman air mineral merek Aqua, kemungkinan sudah menempati posisi di benak konsumen sebagai air mineral yang ‘sehatnya nyata’ sebagai bentuk kebutuhan dan keinginan konsumen. Sementara, produk pesaing merek Le Minerale yang datang belakangan, mem-positioning-kan produk sebagai air mineral yang ‘banyak mengandung mineral alami’, yang lebih berorientasi pada product bene-fits. Sebagai catatan, umumnya untuk produk dalam klasifikasi sejenis, penetapan
brand positioning harus berbeda dengan positioning yang telah ‘dimiliki’ oleh produk pesaing. Melalui program pemasaran dan terutama komunikasi pemasaran terpadu (Integrated Marketing Communications/IMC), merek dibangun atau dikelola dari
positioning yang diinginkan (desired positioning) dan diupayakan agar merek atau
positioning produk dapat dikenal, dipahami, melekat, dan hidup dalam benak dan hati konsumen secara totalitas sebagai bentuk ekuitas merek (brand equity).
Menurut Duncan (2005), ekuitas merek adalah “nilai intangible dari suatu merek – sebagai nilai tambah untuk suatu produk (barang, jasa, atau ide) yang didapat-kan dari persepsi yang ada di benak konsumen”. (p. 8) Sementara, Paul Temporal (2019) dalam buku ‘Advance Brand Management: Building and Activating a Powerful Brand Strategy’ membedakan antara nilai merek (brand value) dan ekuitas merek (brand equity), walaupun keduanya merupakan hasil capaian dari ekuitas merek. Nilai merek diartikan sebagai kekayaan finansial nyata dari suatu merek, sedangkan ekuitas merek mengacu pada pengambaran aspek-aspek suatu merek – apakah simbol, citra, atau asosiasi konsumen – dan untuk merefleksikan kekuatan (yang ada) dalam termi-nologi persepsi konsumen. (p. 18)
Dalam upaya membangun merek yang kuat, David A. Aaker (2010) pada buku ‘Building Strong Brand’ memaknakan ekuitas merek akan meningkatkan suatu nilai, baik bagi keyakinan konsumen dalam keputusan pembelian maupun nilai bagi perus-ahaan dalam efisiensi dan efektivitas program pemasaran dan nilai finansial. Aaker mendefinisikan “ekuitas merek sebagai suatu rangkaian aset (atau pertanggung jawa-ban/liabilitas) terkait pada suatu nama dan simbol yang ditambahkan pada (atau pen-gurangan dari) nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa bagi suatu perusahaan dan/atau konsumennya”. Ada empat kategori aset pendukung dalam penciptaan ekui-tas merek, yakni: pengenalan nama merek (brand name awareness), loyalitas merek (brand loyalty), kualitas persepsi (perceived quality), dan asosiasi pada merek (brand associations). (p. 7-8)
Untuk mengelola ekuitas merek, diperlukan investasi (finansial maupun upaya strategis) dalam menciptakan dan meningkatkan nilai aset-aset tersebut. Bagaimana ke-empat aset tersebut mampu menggerakkan suatu nilai merek, dapat dirinci seperti
pada Bagan 3 di bawah ini. Pertama, apabila nilai loyalitas konsumen pada merek (brand loyalty) tinggi, maka akan mengurangi biaya pemasaran, mempengaruhi perdagangan, menarik konsumen baru melalui penciptaan pengenalan (awareness) dan untuk ketenangan konsumen, dan menjadi ancaman bagi pesaing karena kon-sumen berkurang memperhatikan produk mereka. Kedua, pengenalan pada merek (brand awareness) akan ‘menancapkan’ merek di benak konsumen yang mana asosiasi pada merek dapat juga disertakan, meningkatkan kesukaan dan kefamiliaran pada merek sebagai tanda dari keyakinan/komitmen konsumen terhadap merek, dan merek akan dipertimbangkan (dibeli) oleh konsumen.
Aset ketiga adalah nilai kualitas pada persepsi konsumen (perceived quality) yang akan berpengaruh pada alasan untuk membeli produk, membedakan positioning
dengan produk pesaing, pertimbangan harga (harga lebih mahal, berarti kualitas lebih baik), saluran ketertarikan konsumen, dan untuk perluasan produk. Adapun aset ke-empat adalah asosiasi pada merek (brand association) akan mempengaruhi proses bantuan pada perolehan informasi, alasan untuk membeli, menciptakan perasaan atau sikap positif pada merek, dan juga untuk perluasan produk. Di samping ke-empat aset untuk menciptakan merek yang kuat (nilai brand equity-nya tinggi), Aaker menam-bahkan adanya kepemilikan aset lain pada merek sebagai aset ke-lima, seperti adanya kelebihan atau keuntungan produk (competitive advantage).
Dari lima aset tersebut akan berdampak pada nilai ekuitas merek bagi kon-sumen melalui peningkatan interpretasi atau proses informasi, keyakinan pada kepu-tusan pembelian, dan kepuasan konsumen dalam penggunaan produk. Sedangkan ke-untungan nilai ekuitas merek bagi perusahaan/produsen akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas program pemasaran, loyalitas pada merek, peningkatan nilai margin/ harga produk, perluasan merek, pengaruh pada perdagangan, dan nilai kelebihan produk dibanding pesaing.
Bagaimana merencanakan suatu program dalam pengembangan potensi merek dan mengkomunikasikan ke khalayak sasaran agar dapat mencapai tujuan, visi, dan misi yang ada pada suatu perusahaan, lembaga sosial, lembaga politik, Pemerintah, bahkan individu perorangan, pada dasarnya dituntut adanya langkah-langkah stratejik dalam membangun merek – seperti melalui strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu – untuk pengembangan kelima aset sebagai pilar untuk pencapaian nilai ekuitas merek. Apabila tak seorang pun mengenal suatu merek (baik berupa barang, jasa, maupun ide), maka tidak akan ada dampak dukungan, tindakan, pembelian, dan loyalitas dari siapapun juga, yang bermakna terjadi kegagalan dalam membangun reputasi lembaga.
Pola Komunikasi Interaktif
Sebelum ditemukannya komputer khususnya internet, kita hanya mengenal adanya pola komunikasi melalui media interpersonal dan media massa. Pada era teknologi informasi, muncul pola komunikasi baru (new media) yang pada intinya segala bentuk media komunikasi yang menggunakan internet dan berbagai peralatan digital terkait lainnya - hardware dan software - yang dikenal sebagai pola komunikasi melalui media interaktif atau media digital.
‘Cikal-bakal’ teori komunikasi sebagai cerminan bentuk komunikasi interper-sonal, kemungkinan diawali oleh Harold D. Lasswell (1948) yang menjadi dasar acuan dalam riset komunikasi melalui satu ungkapan: “Suatu cara yang nyaman untuk meng-gambarkan tindakan komunikasi adalah menjawab pertanyaan Siapa? Berkata Apa? Melalui saluran yang mana? Kepada Siapa? dan Dampaknya apa?”. (‘Communication Models’, Denis McQuail and Sven Windahl, 1996, p. 13-15). Untuk selanjutnya
ungka-pan Lasswell menjadi dasar pengembangan teori-teori komunikasi lainnya, antara lain pengembangan teori komunikasi massa dan komunikasi digital/interaktif.
Komunikasi interpersonal sebagai bentuk awal pemahaman tentang media komunikasi, menurut Bochner (1978) adalah “pengiriman pesan oleh seseorang dan pesan diterima oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan beberapa dampak dan beberapa peluang untuk memperoleh tanggapan (feedback) segera”. Ini dikenal sebagai definisi yang berbasis komponen komunikasi (componential). Sedangkan Cappella (1987) menyatakan bahwa “komunikasi interpersonal merupakan komu-nikasi yang berada antara dua orang yang mempunyai suatu kejelasan hubungan yang mapan”, yang dikenal sebagai keterkaitan (relational). Adapun Miller (1978) me-mandang bahwa “komunikasi interpersonal sebagai akhir suatu progres dari nikasi interpersonal pada satu titik ekstrem untuk seseorang atau keintiman komu-nikasi satu personal dengan personal lainnya”. Definisi dari Miller ini dikenal sebagai komunikasi pengembangan (developmental). Dari ketiga pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah “bentuk komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih (kelompok) dalam penyampaian pesan timbal-balik yang dapat berkembang sehingga tercapai satu pemahaman bersama”. (‘The Interpersonal Communication Book’, Josepth A. DeVito, 1989, p. 96-97).
Di dalam buku ‘The Media of Mass Communication’, Vivian (1991) mendefin-isikan “komunikasi massa sebagai suatu proses yang menggunakan media massa untuk mengirim pesan pada khalayak yang luas yang bertujuan menginformasikan, menghi-bur, atau memersuasi”. Jadi, komunikasi massa memungkinkan untuk mencapai ratu-san bahkan jutaan khalayak, yang mana peratu-san disalurkan melalui saluran media massa, seperti televisi, radio, atau surat-kabar. Adapun dampak pesan yang disampaikan memunyai keterbatasan untuk memeroleh ‘umpan-balik’ dan dalam jangka waktu yang relatif lama.
Secara umum model komunikasi massa seperti yang dikemukakan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver (1948), bahwa mereka membagi suatu model sebagai standar dasar dalam menggambarkan proses komunikasi, yang terdiri dari adanya rangsangan (stimulation) sebagai bentuk pesan yang disampaikan oleh komunikator; proses penyusunan pesan (encoding), yakni bagaimana komunikator menyusun pesan ke dalam simbol dalam berbagai bentuk, seperti: lisan, tulisan, bunyi nada, atau gerakan; media penghantar pesan (transmission) dari komunikator ke komunikan seperti surat-kabar, radio, televisi, dan sejenisnya; bagaimana proses komunikan me-maknakan simbol pesan (decoding) yang ditentukan oleh kondisi internal penerima pesan, di samping juga ketergantungan pada jenis media penghantar yang digunakan; dan adanya gangguan (noise) berupa gangguan teknis yang ada pada transmisi maupun gangguan dalam proses incoding dan decoding sebagai kesalahan manusia dalam pemaknaan pesan. (p. 20-22).
yang memanfaatkan media massa untuk penyampaian pesan, yang umumnya bersifat searah dari komunikator kepada penerima pesan. Komunikasi interaktif atau digital, dikenal sebagai bentuk media baru (new media) yang menggunakan media komunikasi internet atau digital, yang mana pola penyampaian pesan lebih bersifat komunikasi interaktif. Secara substansi, media baru tersebut memungkinkan berbagai bentuk pola komunikasi, bisa searah, timbal-balik, bahkan memusat. Peranan komunikator dan komunikan bisa berganti peran, pesan berupa gambar, video, atau tulisan bisa berkem-bang, dan peran pesan informatif, persuasif, bahkan sampai kursif yang mendorong terjadinya tindakan segera dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan (real-time) dan menyebar tanpa batas (borderless) dalam jaringan yang dapat mencakup seluruh dunia. Pada dasarnya, komunikasi interaktif (interactive communication) memunyai sifat bawaan sebagai komunikasi antar-persona (interpersonal communication) dan juga komunikasi massa (mass communication), ditambah dengan sifat-sifat sendiri akibat adanya teknologi informasi - terutama internet - sehingga muncul species baru yang dikenal sebagai pola komunikasi interaktif.
Belch dan Belch menyatakan bahwa media interaktif memungkinkan aliran informasi timbal-balik dengan cara para pengguna dapat berpartisiasi di dalam dan memodifikasi bentuk dan isi pesan informasi yang diterima dalam waktu bersamaan. (‘Advertising and Promotion: An Integrated Marketing Comommunications Perspec-tive’, Belch and Belch, 2004). Adapun bentuk media internet/interaktif yang digunakan dalam pemasaran (interactive marketing), dapat berupa CD-ROMs kiosks, televisi interaktif, media sosial, dan media internet lainnya, khususnya dalam pemanfaatan melalui komponen yang dikenal sebagai World Wide Web. (p. 20-21)
Adapun, Damian Rian (2014) dalam bukunya ‘Understanding Digital Market-ing’ menyatakan bahwa dalam era digital ini, mengapa kita membutuhkan suatu strate-gi pemasaran distrate-gital? Jawaban sederhana adalah “sebab tanpa pemanfaatan komu-nikasi digital Anda akan kehilangan peluang dan bisnis Anda akan lenyap”. Apapun bisnis Anda, konsumen akan menggunakan online untuk melakukan pencarian produk atau merek, mengevaluasi, menetapkan pilihan, dan mengkonsumsi produk Anda. Konsumen melakukan keputusan pembelian didasari pada kualitas (maya) dari se-luruh pengalaman online dibanding pola konvensional, meninggalkan pola ‘bricks-and -mortar’ dan beralih ke belanja online. (p. 21-23) Secara sederhana, seperti tersebut dalam Dictionary of Marketing Term (2000), bahwa internet marketing adalah proses pembangunan dan pemeliharaan hubungan dengan pelanggan (customer relation-ships) - yang menjadi tujuan akhir dari bisnis dan pemasaran - melalui aktivitas online
untuk memfasilitasi pertukaran ide, barang, dan jasa yang memuaskan tujuan kedua belah pihak, produsen dan konsumen.
Pemerekan digital (digital branding) adalah “suatu hasil rangkuman dari sejumlah pengalaman konsumen yang terkait dengan online, yang dapat dipengaruhi dan sebagai dampak dari logo, identitas visual, nama merek, iklan, promosi, dorongan selebriti atau testimoni endorsers, program sponsorships, dan berbagai faktor lainnya – baik online maupun offline – yang dapat membentuk suatu persepsi di benak kon-sumen”. (p. 11-12) Dalam kalimat lain, dapat dikatakan bahwa pemerekan digital meru-pakan “proses keterpaduan (online maupun offline) dari berbagai elemen komunikasi pemasaran yang dimanfaatkan untuk membangun ekuitas merek”.
Salah satu ‘product’ dalam konsep komunikasi stratejik yang dihasilkan pada era teknologi informasi diawal 1990-an adalah munculnya pemikiran peran komu-nikasi pemasaran sebagai paradigma baru dalam strategi bisnis, yang dikenal sebutan ‘Integrated Marketing Communications’ (IMC). Selaras dengan pemikiran dalam