• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEARNING MATURITY MODEL

Dalam dokumen prosiding semnas mipa uny 2012 (Halaman 158-164)

SMA MARSUDI LUHUR YOGYAKARTA Maria Immaculata Ray Bastiani 1) , dan M Andy Rudhito 2)

E- LEARNING MATURITY MODEL

E-learning Maturity Moodel (EMM) dikembangkan di Selandia Baru berdasarkan dua model komplementer Capability Maturity Model (CMM) dari Software Engineering Institute (SEI 2002) dan SPICE (Software Process Improvement and Capability Determination) (Petch et.al, 2007)

MaturityModel adalah suatu model kesuksesan yang digunakan oleh suatu organisasi yang digunakan untuk meningkatkan proses organisasi, produk, dan pelayanan. Sebagian besar institusi pendidikan yang menerapkan online course dalam pembelajaran, maturity model didesain untuk merencanakan dan menilai online course tersebut untuk meningkatkan kematangan dalam penerpan e-learning (Neuhauser, 2004).

Maturity Model yang melibatkan proses dan kinerja yang tinggi terbukti berguna bagi individu dan organisasi untuk menilai sendiri tingkat kematangan dari beberapa aspek yang telah ditetapkan. Suatu institusi pendidikan (PT dan sekolah) berusaha untuk meningkatkan penerapan e- learning-nya, sehingga diperlukan suatu informasi tentang sikap, kepuasan dan hasil pembelajaran dari seluruh komponen yang ada dalam institusi tersebut. Suatu model maturity dapat membantu institusi pendidikan untuk menilai penerapan e-learning-nya khususnya tingkat kematangan dan memberikan rekomendasi tentang tingkat prioritas perbaikan untuk meningkatkan tingkat kematangannya (Neuhauser, 2004).

Online Course Design Maturity Model (OCDMM) mempunyai lima level maturity (Neuhauser, 2004). Stuktur level maturity OCDMM menurut Neuhauser (2004) adalah :

1. Level 1 (Initial) 2. Level 2 (Exploring) 3. Level 3 ( Awakening) 4. Level 4 (Strategizing)

5. Level 5 (Integrating Best Practices)

Menurut Neuhauser (2004) key prosess areas dari model OCDMM ini diidentifikasi dari kajian literatur terbaik dalam desain course online. Key process areas ini dikategorikan dalam lima

Nur hadi/E-Learning Readiness To

M-114

area. Setiap process area di setiap tingkat kematangan mengidentifikasi praktek sekelompok kegiatan yang dilakukan secara kolektif yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan untuk meningkatkan kemampuna kinerja. Key process area terlihat seperti Gambar 2.

Gambar 2. Relationship of OCDMM Components.

Marshall (2002) mengemukanan bahwa meskipun adopsi e-learning sangat luas di dunia pendidikan, tetapi hal ini tebukti baik dan efektif untuk menyampaikan nilai –nilai pendidikan dan cukup efisien dalam penggunaan komponen sumber daya dalam institusi pendidikan tersebut, walaupun dalam implementasinya hal ini sangat sulit. Kesulitan-kesulitan ini muncul karena penciptaan, pemanfaatan dan dukungan fasilitas e-learning membutuhkan keseimbangan antara kebutuhan teknis, pertimbangan intitusi dan juga aspek pedagosis.

Selain itu berdasarkan 33 kegagalan yang terbagi dalam 8 kategori tersebut, Hill dan Overton (2010) mengelompokkan lagi dalam 6 Warning Zones. Warning Zones tersebut adalah : 1. Warning Zone 1 – Poorly Defined Business Need

Penyebab umumnya adalah :

• proyekt idak sesuaidengan kebut uhan; • t idak adat arget (at aut arget kurang jelas);

• tidak adanya kontrol dari pimpinan

• Akt ivit as yang sering muncul adalah ‘a cottage activity' yang didorong olehant usiasme lokal t erhadap t eknologi .

2. Warning Zone 2 – Lack of Hybrid Skills for Learning Professionals 3. Warning Zone 3 – Poor Project Planning and Management

4. Warning Zone 4 – Lack of Involvement With Key Stakeholders 5. Warning Zone 5 - Failure to Understand The Learner’s Environment 6. Warning Zone 6 - Failure to Demonstrate Value

Menurut Marshall dan Mitchell (2007), E-learning Maturity Model (EMM) menyediakan sarana dimana lembaga dapat menilai dan membandingkan kemampuan mereka untuk secara berkelanjutan mengembangkan, menyebarkan dan mendukung e-learning. Capability mungkin merupakan konsep yang paling penting yang tergabung dalam eMM.. Hal ini menggambarkan kemampuan institusi untuk memastikan bahwa desain e-learning, pengembangan dan penyebaran

M-115

sudah memenuhi kebutuhan staf, peserta didik dan institusi. Dalam hal ini, kemampuan termasuk kemampuan institusi untuk mempertahankan elearning delivery dan dukungan proses pembelajaran karena permintaan perkembangan dan perubahan staff dalam institusi (Marshall dan Mitchell, 2007). E-learningMaturityModel (eMM) mempuyai 5 dimensi capability. Dimensi tesebut adalah :

1.

Delivery

Berkait an dengan pencipt aan dan penyediaan proseshasil. Penilaian dim ensi ini dit ujukan unt uk m enent ukan sejauh m anaproses ini t erlihatberoperasi dalam lem baga.

2.

Planning

Menilai penggunaant ujuanyang t elah dit et apkan dan rencanadalam m elakukan pekerjaan. Penggunaan rencana yang t elah dit et apkan berpot ensi m em buat proses yang lebih dapat dikelolasecara efektif dandireproduksijika berhasil.

3.

Definition

Meliputi pendefinisian penggunaan secara kelem bagaan dan pendokum ent asian st andar, pedom an, template dan kebijakanselam a prosesim plem ent asi.

4.

Management

Berkait an dengan bagaim ana lem baga m engelola pelaksanaan proses dan mem ast ikan kualit as hasil. Kem am puan dalam dim ensi ini m encerm inkan pengukuran dan kont rol dari hasil pemrosesan

5.

Optimisation

Menangkap sejauh m ana inst it usi form al yang m enggunakan pendekat an m odel ini unt uk m eningkat kan proses kegiat an. Kem am puan ini m encerm inkan budaya perbaikan yang berkelanjut an.

(Marshall dan Mitchell, 2007)

Gambar.3 eMM Process Dimension

Selain itu eMM membagi kemampuan lembaga untuk mempertahankan dan memberikan e- learning menjadi lima kategori proses utama yang menunjukkan saling keterkaitan antar proses. Kategori proses utama tersebut seperti terlihat dalam tabel

Nur hadi/E-Learning Readiness To

M-116

Tabel 2. Kategori Proses eMM

PENUTUP

Penerapan e-learning, penyediaan infrastruktur teknologi dan pelatihan SDM sama sekali belum menjamin keberhasilan e-learning, kultur organisasi dan faktor leadership memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan e-learning. Untuk menghindari kegagalan dalam penerapan e-learning tersebut, diperlukan suatu perencanaan yang matang, mulai dari tahap pra implementasi sampai dengan implementasi. Evaluasi tingkat kesiapan penerapan e-learning (E- Learning Readiness) diperlukan untuk memotret profil dan kapasitas TI , dan mengevaluasi kecukupannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dari hasil evaluasi tersebut akan diketahui tingkat kesiapan dalam penerapan e-learning dalam proses pembelajaran. Setelah itu, dapat dimunculkan rekomendasi-rekomendasi untuk peningkatan e-readiness. Evalulasi tingkat kematangan (E-Maturity) diperlukan untuk mengetahui aspek atau katergori apa yang telah mencapai tingkat kematangan yang baik dan kategori apa yang masih perlu ditingkatkan maturity- nya supaya tidak mengalami kegagalan dan penerapan e-learning dapat berlangsung dengan sukses. Berdasarkan tingkat kematangan dari aspek-aspek dalam penerapan e-learning tersebut, maka aspek yang tingkat kematangannya rendah dapat diberikan rekomendasi-rekomendasi untuk meningkatkan kematangan aspek tersebut supaya tidak mengalami kegagalan.

DAFTAR PUSTAKA

Choucri. 2003. Global E-Readiness - For What?

http://ebusiness.mit.edu/research/papers/177_Choucri_GLOBAL_eREADINESS.pdf. Diakses tanggal 5 Agustus 2009

Jim Petch, Gayle Calverley, Hilary Dexter, and Tim Cappelli. 2007.Petch, J et al. 2007. “Piloting a Process Maturity Model as an e-learning Benchmarking Method” The Electronic Journalof e-learning Volume 5 Issue 1, pp 49 - 58, available online at www.ejel.org

Marshall, S., and Mitchell, G. 2002. An E-learning Maturity Model? In A. Williamson, K. Gunn, A. Young, and T. Clear (eds), Proceedings of the 19th Annual Conference of the Australian Society for Computers in Learning in Tertiary Education (Auckland, Australian Society for Computers in Learning in Tertiary Education, 2002) http://www.unitec.ac.nz/ascilite/proceedings/papers/173.pdf

Marshall, S.J. and Mitchell, G. (2007). Benchmarking International E-learning Capability with the E-learning Maturity Model. In Proceedings of EDUCAUSE in Australasia 2007, 29 April - 2

May 2007, Melbourne, Australia.

http://www.caudit.edu.au/educauseaustralasia07/authors_papers/Marshall-103.pdf

Neuhauser, Charlotte.2004. A Maturity Model: Does It Provide A Path For Online Course Design?. The Journal of Interactive Online Learning Volume 3, Number 1, Summer 2004

Nur Hadi. 2010. Evaluasi E-Readiness untuk Penerapan E-learning dalam Proses Pembelajaran Sekolah Menengah Pertama di Kota Yogyakarta. Perpustakaan MTI UGM. Tesis. Dokumen tidak dipublikasikan

M-117

Version 1.1. IEEE Software, 10 (4), 18-27.

Prayudi, Yudi. 2009. Kajian Awal: E-Learning Readiness Index (ElRI) Sebagai Model Bagi Evaluasi E-Learning Pada Sebuah Institusi. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2009. Yogyakarta

Priyanto. 2008. Model E-Learning Readiness Sebagai Strategi Pengembangan E-Learning.

International Seminar Proceedings, Information And Communication Technology (ICT) In Education.The Graduate School. Yogyakarta State University

Swatman, Paul MC. 2006. E-learning Readiness of Hongkong Teachers.

http://www.insyl.unisa.edu.au/publications/workingpapers/200605.pdf Diakses Tanggal 2 Agustus 2009

Vaezi, Seyed Kamal dan Bimar ,H. Sattary I. 2009. Comparison Of E-Readiness Assessment Models. Scientific Research and Essay Vol. 4 (5). http://www.academicjournals.org/SRE

Nur hadi/E-Learning Readiness To

M-119

Dalam dokumen prosiding semnas mipa uny 2012 (Halaman 158-164)

Dokumen terkait