UPAYA M EM BANGUN INSAN BERKARAKTER ILM IAH DAN KOM PETITIF
PRAW ACANA
1. Potensi Dasar M anusia untuk Belajar
Ungkapan klasik tentang tujuan pendidikan (dan pembelajaran) adalah “ Memanusiakan Manusia” . Spesies manusia secara Biologi disebut dengan nama Homo sapiens. Homo adalah nama makhluk dalam genus manusia, sebab menurut Biologi selain manusia yang sekarang ada, diperkirakan pernah ada manusia lain seperti Homo neanderthalensis, Homo wajakensis, Homo pekinensis, dsb. Sapiens mempunyai arti bijaksana, sempurna, berbudaya, sehingga ungkapan memanusiakan manusia bermakna bahw a pendidikan harus mampu menghasilkan manusia yang arif-bijaksana yang berbeda dengan manusia (homo) yang lainnya.
Setiap individu manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke arah karakter yang sejalan dengan ungkapan sapiens tersebut. Teori-teori yang dikembangkan oleh Margenau, tentang persepsi manusia terhadap alam; Frank, tentang pola berpikir induktif-deduktif; dan Royce, tentang jalur-jalur untuk memperoleh pengetahuan, merupakan tiga buah dasar penting yang menunjukkan potensi setiap (Suyoso, 2009 : 4 - 6).
Persepsi manusia tentang alam dapat digambarkan sebagai bagan sebagai berikut :
Wilayah Pikir C1 C2 C3 C5 C6 C7 C8 P1 P2 C4 Wilayah Indera
Gb.1. Persepsi Manusia terhadap Alam, menurut Margenau
Batas antara alam nyata (konkret) Dengan alam pikir (abstrak)
Benda alam dilambangkan sebagai P1, sedangkan C1 sampai C8 melambangkan
konstrak (construct), yaitu bangunan pengetahuan yang ada (telah dan akan ada) dalam otak (pemikiran) manusia. Konstrak adalah rekaman pengetahuan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sepanjang hidupnya. Apa yang ditangkap oleh indera, berupa fenomena benda alam, merupakan informasi yang akan dibaw a masuk ke dalam otak. Selanjutnya informasi diolah dalam bentuk mencari hubungan dengan konstrak yang telah ada, sehingga membentuk jaringan hubungan atau sistem konstrak. Hasil pengolahan ini berupa pernyataan tentang benda alam itu yang dilambangkan dengan P2. Dalam pembelajaran sains, P2 adalah sebagai interpretasi fakta, konsep, atau
teori.
Cara berpikir sains oleh Frank dirumuskan sebagai proses berpikir induktif – deduktif, seperti yang terlihat dalam bagan gambar 2.
Pada bagan gambar 3 tampak bahw a pengamatan untuk memperoleh fakta berada dalam wilayah penginderaan (bagian juring dari lingkaran). Kegiatan yang dilakukan di sini adalah menggunakan seluruh indera yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pengamatan (observasi) terhadap fenomena alam. Kegiatan seperti : pengamatan (studi) lapangan, kerja laboratorium pada saat melakukan percobaan adalah contoh proses sains pada w ilayah penginderaan, maka produknya adalah fakta
INDUKTIF
DEDUKTIF
Wilayah Berpikir Wilayah Mengindera FAKTA POLA KONSEPSI KONSEP TEORI PRINSIP HUKUM HIPOTESIS DUGAAN KENYATAAN5
atau dapat pula sebagai data jika fakta diorganisasi menurut kebutuhan. Berdasarkan fakta yang ditemukan, dan dengan memadukan pengalaman atau pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki oleh seseorang, dimulailah kegiatan berpikir yang diaw ali dengan secara sistematis dan selektif menyusun pola (kerangka) konsepsi dan berlanjut menjadi rumusan konsep dan teori. Kegiatan memperoleh fakta sampai dengan merumuskan teori inilah yang oleh Frank disebut cara berpikir induktif.
Selanjutnya, berbagai teori yang satu dengan lain memiliki kaitan yang relevan dapat dirumuskan prinsip. Demikian pula beberapa prinsip yang relevan dapat dirumuskan sebagai hukum. Secara berjenjang dari teori – prinsip – hukum sifat “ kebenarannya” (kebelakuannya) menjadi makin besar atau makin umum. Maka proses penarikan rumusan, sejak dari fakta sampai hukum disebut sebagai generalisasi.
Produk-produk sains yang berupa konsep, teori, prinsip, dan hukum jika selanjutnya dipadukan dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang dan ada dasar- dasar asumsi kuat pada peubah (variabel) atau faktor tertentu, dapat dikembangkan menjadi hipotesis dan berlanjut dengan operasionalisasi kata-kata kunci (variabel, faktor) dalam hipotesis dapat dinyatakan dugaan-dugaan kenyataan. Kebenaran dugaan kenyataan akan diuji kembali dengan memperoleh fakta-fakta baru (lihat pada bagan jumlah anak panah dari dugaan kenyataan ke fakta !). Kegiatan berpikir yang diaw ali dengan teori sampai hukum, untuk kemudian akan dikembangkan untuk memperoleh fakta baru sebagai pendukung atau pengembangan fakta yang relevan, disebut berpikir deduktif. Maka tampaklah bahw a antara antara induktif dan deduktif merupakan proses yang tiada akhir karena merupakan kegiatan yang terus berulang. Inilah yang menyebabkan produk ilmu menjadi semakin besar, atau dengan kata lain ilmu selalu berkembang dengan penemuan-penemuan baru.
Subyek belajar pada hakikatnya adalah manusia atau seseorang yang melakukan proses belajar untuk memperoleh pengetahuan. Bagaimanakah pengetahuan (knowledge) atau kenyataan (reality) diperoleh manusia? Joseph L.Royce menggambarkannya dalam bagan sebagai berikut (Sudjoko dan Siti Mariyam, 2010 : 18) :
Setiap orang memiliki potensi yang berupa kepemilikan dan mampu menggunakan 4 jalur : (1) pikiran (thinking), (2) pengideraan (sensing), (3) perasaan (feeling, bukan dengan indera pengecap tetapi dengan perasaan, kalbu), dan (4) kepercayaan (believing) terhadap (informasi dari) orang lain.
Berpikir adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh otak berupa menghubungkan hal, informasi, pengertian satu dengan yang lain, sehingga diperoleh pengertian baru. Pengertian baru yang diperoleh dapat sebagai suatu kebulatan (berpikir induktif : sintesis, generalisasi) maupun sebagai penggalan (berpikir deduktif : analisis) tetapi masih berada dalam kerangka kebulatan itu.
Mengindera merupakan kegiatan yang merupakan “ pintu” pertama kali manusia melakukan kontak atau berinteraksi dengan lingkungannya. Hasil mengindera merupakan persepsi. Hubungkanlah pengertian persepsi ini dengan skema Margenau. Tentang persepsi manusia terhadap alam.
Menggunakan perasaan sering juga disebut melakukan internalisasi, yaitu menimbang-nimbang informasi, pengertian, suatu hal tentang buruk - baik, indah - jelek, sesuai – tak sesuai, berguna – tak berguna, atau semua itu sering disebut sebagai
nilai. Nilai akan menjadi w aw asan bagi seseorang karena akan mendasari pada setiap sikap, keputusan, dan perilakunya.
Thinking Sensing Feeling Believin Rationalism Empericism Intuitionism Authoritar- ianism Logic- Illogic Perception - M isperception Insight - No insight Ideology Delusion
T
Thhee
P
Paatthhwwaayy
Gambar 3. Bagan Jalur untuk Memperoleh Pengetahuan, menurut Royce
Potensi Jalur Sifat Belaj arnya Hasilnya Hambatan Hasil Akhir
K
Knnoowwlleeddggee
R
7
Mempercayai terhadap sesuatu merupakan sifat sejak manusia pertama berada di bumi, sehingga karena kepercayaan timbullah agama, isme, ideologi. Karena kepercayaan pulalah terbangun interaksi yang positif antara individu dalam masyarakat. Dalam kaitan dengan belajar, kepercayaan yang dimaksudkan adalah seseorang bersedia menerima informasi dari orang lain melalui berbagai media.
Hasil akhir (dari setiap episode) pembelajaran adalah pengetahuan (kowledge) atau sebagai sesuatu yang diyakini sebagai kenyataan dan kebenaran (reality). Namun hasil ini dapat berbeda pada tiap-tiap perorangan (individu) karena adanya hambatan- hambatan. Bukankah potensi atau “ kadar” setiap jalur itu berbeda pada setiap orang? Di samping itu, dalam hal-hal tertentu masyarakatpun, sebagai kelompok yang terdiri dari banyak perorangan dapat merupakan penghambat untuk mencapai pengetahuan atau kenyataan yang paling benar. Contoh : pendidikan seks, yang menurut kajian ilmiah sangat penting dan harus dikembangkan pada remaja, sebelum era keterbukaan tidak dapat dilakukan karena masyarakat menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks itu sendiri secara terbuka luas.
2.
Implementasi dalam Pembelajaran Sains untuk Pembentukan Karakter
Ilmiah
Sains pada hakikatnya merupakan ilmu induktif. Dalam sejarah sains, pada aw al penemuan sains berkembang dari mitos yang lebih dulu telah terbangun dalam pikiran manusia. Namun di dalam prakteknya, tidak selamanya mitos itu sesuai dengan realitas yang dialami oleh manusia. Sebagai contoh, apabila perorangan atau sekelompok masyarakat agraris telah melakukan upacara ritual, maka hasil panenan akan berlimpah. Namun pada kenyataan, suatu ketika upacara telah dilakukan hasil tidak seperti yang diharapkan, maka mulailah manusia melakukan penyelidikan dengan observasi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi untuk menemukan penyebab kegagalan. Maka mulailah orang meninggalkan mitos dan melakukan observasi kepada obyek-obyek yang berkait dengan kepentingan dalam kehidupannya. Observasi dan hasilnya adalah seperti yang dinyatakan oleh Margenau (lihat gambar 1, tentang Persepsi manusia terhadap Alam !).Pengembangan konsep Margenau dalam pembelajaran sains adalah dalam bentuk Model Pembelajaran Konstruktivisme, yang pada prinsipnya sisw a harus
dihadapkan langsung dengan obyek sains yang berupa benda alam dan fenomenanya (P1 ) dan sisw a akan melakukan proses menghubung-hubungkan
dengan konstrak (C) yang telah dimiliki dan kemudian merumuskannya sebagai P2 .
Proses inilah yang dinyatakan sebagai prinsip pembelajaran konstruktivisme, bahw a “ sisw a membangun pengetahuannya sendiri” dalam proses belajarnya. Pembiasaan sisw a melakukan proses belajar menurut sintaks model pembelajaran konstruktivisme akan menumbuhkan karakter : teliti dan jujur (selalu berlandaskan pada fakta), sebagai nurturant effect dari proses sisw a.
Berpikir induktif-deduktif tercermin di dalam organisasi sajian meteri pembelajaran yang didisain oleh guru. Kenyataan yang masih berlangsung sampai saat ini, pembelajaran sains dilaksanakan dalam teori dan praktikum selalu menempatkan praktikum dilakukan setelah teori diperoleh sisw a. Seharusnya, sesuai dengan model pembelajaran konstruktivisme pengetahuan seharusnya dibangun oleh sisw a sendiri, maka ketika sisw a diajak berpikir induktif prinsip urutan proses belajar adalah sisw a memperoleh (mengamati) fenomena (fakta) – mengorganisasi hasil pengamatan – dan menyatakan interpretasinya (simpulan, konsep, dfinisi, dsb) sebagi persepsi sisw a terhadap obyek yang sedang dipelarinya. Kegiatan sisw a dalam memperoleh fakta dapat berupa pengamatan lapangan, praktikum, atau demonstrasi.Strategi pembelajaran dengan pendekatan deduktif diaw ali dengan sisw a memperoleh abstraksi (konsep, teori, definisi) yang dapat diperolehnya dari informasi guru, hand out, atau sumber bacaan. Selanjutnya, juga sesuai dengan prinsip sisw a membangun sendiri, diikuti dengan kegiatan untuk mengidentifikasi kata-kata kunci dalam abstraksi tersebut dan dilanjutkan dengan konkretisasi (definisi operasional) setiap kata kunci. Jika setiap kata kunci telah jelas operasionalnya, kegiatan dilanjutkan dengan cara-cara untuk memperoleh fakta- fakta yang mendukung kata kunci (sehingga cara ini dapat disusun/ ditemukan sisw a melalui kegiatan diskusi yang intensif dan efektif). Pada akhirnya sisw a diminta untuk mencari/ menyebutkan fakta-fakta yang terjadi pada obyek-obyek yang lain , sesuai dengan abstraksi yang diperoleh pada tahap aw al, berdasarkan pada pengalaman (konstrak) yang telah dimiliki sisw a sebelumnya.