• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.4. Aspek Pendidikan

5.1.1. Letak, Luas dan Aksesibilitas Tapak

Dilihat dari letak tapak PPDF yang berada di pinggiran kota dengan jarak 13 km dari pusat kota dan berfungsi sebagai lahan produksi PPDF yang akan dikembangkan, maka tapak memiliki potensi untuk pengembangan agrowisata dengan pengoptimalan lahan yang ada serta tidak mengganggu kegiatan praktikum santri. Sedangkan jika ditinjau dari lokasi, dapat dikatakan cukup mudah untuk menuju tapak karena lokasi tapak yang berada 1 km dari jalan propinsi yaitu Jalan Raya Bogor-Ciampea KM 12 Bogor, sehingga tapak memiliki potensi untuk pengembangan agrowisata karena mudah dicapai, serta jauh dari kebisingan dan didominasi oleh lahan pertanian.

Sektor II PPDF ini sangat mencukupi untuk melakukan kegiatan wisata pertanian beserta pengembangannya. Hal ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :

1. Tapak membutuhkan lahan yang luas,

2. Terdapat lima fungsi yang diterapkan dalam perencanaan laboratorium lapang sebagai tempat wisata pertanian ini, yaitu fungsi pendidikan,

71   

fungsi budidaya, fungsi rekreasi, fungsi konservasi, dan fungsi ekonomi.

3. Sektor II PPDF ini tidak seluruhnya dilakukan perencanaan ulang. Lahan yang telah sesuai dengan karakteristiknya tetap dipertahankan. Aksesibilitas menuju tapak PPDF juga cukup mudah dijangkau oleh pengunjung baik dari dalam kota maupun luar kota, karena didukung oleh jalur transportasi yang baik serta ditunjang dengan adanya sarana transportasi menuju kawasan untuk memudahkan pengunjung yang ingin berwisata yaitu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti angkutan antar kota dan ojek.

Aksesibilitas melalui jalur pintu utama yaitu melewati sektor I PPDF lebih sering dan lebih mudah ditempuh karena kondisi jalannya baik (diaspal). Dengan lebar 4,4 meter dan tanpa pedestrian, jalan ini dapat dilewati dengan dua buah mobil dari arah yang berlawanan walaupun dengan pengurangan kecepatan, karena jalannya relatif sempit untuk dilewati dua mobil dari arah berlawanan dalam waktu bersamaan, begitu juga dengan bis. Jalur ini hanya cukup untuk dilewati satu bis saja.

Tempat wisata memerlukan jalur sirkulasi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung akan akses transportasi. Menurut Harris dan Dines (1988) jalan yang sesuai untuk wisata disesuaikan dengan kebutuhan yang memiliki lebar jalan 5,5-6,5 meter, apabila dibandingkan dengan kondisi eksisting tapak maka perlu meningkatkan kuntitas jalan dengan cara pelebaran jalan untuk mempermudah akses masuk ke dalam tapak. Oleh sebab itu perlu penyesuaian kondisi jalan melalui pembentukan tanah (cut and fill). Pengguna tapak PPDF biasanya berjalan pada jalur kendaraan karena belum terdapat jalur trotoar sehingga akan mengganggu kendaraan yang akan melintas. Penyediaan pedestrian untuk memfasilitasi kebutuhan pejalan kaki akan memberikan kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.

Sedangkan untuk jalur masuk alternatif di sebelah tenggara tapak yang melalui perkampungan penduduk, lebar jalan relatif lebih sempit jika dibandingkan dengan jalur masuk utama yaitu kurang lebih 3,3 meter kemudian mulai menyempit setelah memasuki perkampungan penduduk. Jalur ini dibangun untuk menghubungkan tapak dengan lingkungan sekitar (perkampungan

penduduk), namun karena penduduk lebih sering memakai jalur ini untuk kepentingan sendiri dan justru sering mengganggu aktivitas di tapak serta keamanan yang kurang terjaga, maka pihak pesantren menutup jalur masuk dari sebelah tenggara tapak ini dengan portal. Dan untuk kepentingan wisata, jalur masuk alternatif ini ditutup agar keamanan di tapak lebih optimal.

Tempat wisata memerlukan penanda yang letaknya strategis agar dapat dilihat oleh masyarakat sebagai salah satu alat promosi akan keberadaan tempat wisata itu sendiri. Penanda yang paling utama berupa papan nama yang diletakkan di sebelah Jalan Ciampea Raya KM 12 yang akan masuk ke arah Kampung Gunung Leutik. Papan nama PPDF pada eksisting sudah ada, dan penambahan papan nama Sektor II PPDF yang dikembangkan sebagai tempat wisata pertanian sangat penting untuk memberitahukan kepada masyarakat.

Jembatan yang menghubungkan sektor I dengan sektor II hanya dapat dilalui oleh satu mobil sehingga jika ada kendaraan dari arah berlawanan yang akan masuk ke tapak harus menunggu di seberang jembatan. Dan apabila jumlah kendaraan yang akan melewati tapak ini tinggi, maka akan terjadi penumpukan kendaraan. Hal ini tidak efisien apabila tapak ini akan dikembangkan sebagai tempat wisata karena akan terjadi kemacetan saat terjadi penumpukan kendaraan, sehingga waktu berwisata akan terhambat. Oleh sebab itu diperlukan pelebaran jembatan untuk memfasilitasi kendaraan-kendaraan yang akan masuk ke tapak. Kondisi jembatan yang hanya diberi pembatas berupa tiang besi setinggi 40 cm kurang aman untuk membatasi jembatan. Kontruksi jembatan pun perlu diperkokoh lagi dengan beton apabila ingin dilewati oleh bis maupun beberapa kendaraan agar memperkuat safety.

Penggunaan tanaman di sepanjang jalur utama dapat memberikan nilai keindahan sekaligus nilai fungsional serta memperkuat konsep perencanaan dengan pemilihan tanaman yang tepat. Beberapa fungsi tanaman sebagai soft

scape di antaranya adalah untuk menyerap polusi udara dari kendaraan bermotor

dan juga dapat bertindak sebagai peredam kebisingan pada tanaman dengan massa daun yang lebat dan padat. Serta dapat menciptakan kesan jalan yang tidak silau, teduh, sejuk dan dengan bunga yang beraneka ragam dapat memberikan efek fisiologis yang menyehatkan dan menyegarkan serta efek psikologis yang

73   

menyenangkan. Beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah faktor keamanan bagi pemakai jalan. Tanaman yang tumbuh di tepi jalan harus tergolong jenis tanaman yang tidak mudah patah dan juga tidak mudah tumbang serta memiliki perakaran yang kuat dan akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah, tidak menyebar di atas permukaan saja (Dahlan, 2004).

5.1.2. Geologi dan Jenis Tanah

Geologi pada tapak menurut peta Geologi lembar Bogor Direktorat Geologi (1998) daerah yang direncanakan termasuk batuan endapan permukaan yaitu kipas aluvium (Qva). Bahannya berupa bahan endapan volkanik andesitis dari komplek Gunung Salak dan Gunung Gede berupa pasir, debu, liat. Jika dihubungkan dengan jenis tanah latosol dengan horizon yang normal yaitu terdiri dari bahan induk, solum dan top soil yang dapat dilihat di pinggir sungai, maka tidak ada masalah untuk membangun kontruksi bangunan di tanah tersebut.

Jenis tanah pada tapak perencanaan tergolong latosol coklat kemerahan bertekstur halus dan berdrainase sedang dengan bahan induk berupa tuf andesit (Peta Tanah Semi Detail Daerah Parung-Depok-Bogor-Ciawi tahun 1979). Sifat latosol coklat kemerahan menurut Soepardi (1983) memiliki solum yang dalam (> 1,5 m) maka tanah ini sesuai untuk tanaman yang mempunyai perakaran dalam seperti tanaman perkebunan, kehutanan dan buah-buahan; tekstur liat, dengan struktur remah, tingkat kemasaman masam hingga agak masam, berkadar bahan organik lemah, kejenuhan basa rendah hingga sedang (< 35 %) dengan KTK liat < 24 me/100 gr. Keadaan hara sedang hingga rendah, permeabilitas baik, aktivitas biologi baik serta tahan erosi. Tanah tersebut masih memerlukan pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman dan kesuburan tanah. Seperti permasalahan yang ada pada tapak yaitu pertumbuhan pohon sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) di bukit Darul Fallah tidak normal, dalam hal ini ketinggian pohon tidak maksimal. Untuk pertumbuhan tanaman diperlukan pH tanah yang cocok yaitu antara 6-7. Berdasarkan data inventarisasi, pH tanah pada tapak yaitu 5-7, maka tanah tersebut merupakan tanah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman dan tidak ada masalah dengan pH tanah. Kerapatan pohon perlu diperhatikan agar tidak terjadi perebutan unsur hara antar tanaman. Oleh sebab itu penanaman dengan jarak tanam yang sesuai sangat perlu diperhatikan. Selain itu tingkat

kesuburan tanah juga perlu diperhatikan, untuk meningkatkan kesuburan tanah dapat dilakukan melalui perbaikan sistem drainase pada tapak agar tata air yang ada lebih efektif dan terkelola dengan baik.

Menurut Laporan Akhir: Daerah Parung-Depok-Bogor-Ciawi (1980) Tanah latosol coklat kemerahan tergolong tanah yang sudah lanjut perkembangannya dan terbentuk dari bahan tufa volkan andesitis sampai basaltis (di beberapa tempat berbatu). Untuk tanah latosol yang disawahkan, lapisan bawahnya (sub soil) lebih padat dan daya merembeskan air lebih lambat. Potensi tanahnya cukup baik bagi pertanian tanaman pangan dan tanaman keras (tahunan). Pada daerah yang lerengnya curam lebih cocok untuk tanaman keras. Golongan latosol coklat kemerahan memiliki tingkat kesesuaian wilayah S-1 atau sangat sesuai untuk penanaman tanaman semusim, tanaman tahunan dan padi sawah. Hal ini sangat mendukung pengembangan tapak sebagai lokasi agrowisata. Oleh sebab itu daerah yang berupa semak belukar dan belum dimanfaatkan perlu dikembangkan untuk aktivitas pertanian, sebagai objek dan atraksi utama kawasan agrowisata.