BAB I PENDAHULUAN
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu gambaran mengenai model penerjemahan istilah komputer dan teknologi informasi dalam subtitling. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan kompetensi strategis para penerjemah film (subtitler) dalam memecahkan berbagai masalah terjemahan istilah komputer dan teknologi informasi yang semakin berkembang. Hal ini mengisyaratkan kepada penerjemah untuk lebih berhati-hati, cermat, dan teliti dalam menerjemahkan setiap detail informasi (pesan) mengingat pentingnya terjemahan yang berkualitas.
10 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Penerjemahan
1.1 Definisi Penerjemahan
Sejumlah pakar penerjemahan telah mengungkapkan pemikiran-pemikirannya mengenai definisi penerjemahan mengingat penerjemahan memiliki peran yang cukup penting dan spesifik dalam studi kebahasaan. Nida dan Taber (1982) menyatakan
“Translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” Definisi ini menyampaikan penjelasan bahwa menerjemahkan adalah mereproduksi padanan yang wajar dan paling dekat dengan pesan BSu ke dalam BSa, pertama yang berhubungan dengan arti dan kedua yang berhubungan dengan gaya.
Dalam hal ini, yang penting pesan dari TSu tersampaikan kepada TSa secara lentur.
Definisi ini terlalu mengusung padanan alamiah dalam cakupan makna dan gaya serta rentan dengan gramatika (Hartono, 2009).
Selain itu, Larson (1984) mengutarakan:
Translation is transferring the meaning of the source language into the receptor language. This is done by going from the form of the first language to the form of a second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant.
Dalam definisi di atas, Larson memunculkan sebuah kelengkapan dan keharmonisan antara bentuk bahasa dan struktur makna. Inilah sebuah kemasan yang mampu menghantarkan pemahaman berupa makna yang dikandung oleh TSu yang harus mampu ditransfer ke TSa dengan penuh tanggungjawab (ibid.). Senada dengan pernyataan tersebut, Newmark (1988) mengemukakan “Translation is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text.”
Definisi ini berisi pemahaman bahwa maksud penulis teks asli (TSu) merupakan unsur utama yang harus diperhatikan oleh seorang penerjemah pada saat dia membaca TSu.
Pada saat membaca TSu, seorang penerjemah otomatis adalah seorang pembaca TSu, sehingga dia yang harus memahami isi hati dan maksud penulis teks asli (TSu). Jadi,
commit to user
penerjemah adalah jembatan yang menghubungkan tali batin antara penulis asli dengan penerima pesan yang berbahasa sasaran (ibid.).
Demikian pula, Steiner (dalam Choliludin, 2006) menerangkan bahwa “Translation can be seen as (co) generation of texts under specific constraints that is relative stability of some situational factors and, therefore, register, and classically, change of language and (context of) culture.” Definisi ini tampak lebih mengusung format modern karena Steiner mengangkat hasil terjemahan sebagai teks generasi kedua yang memperhatikan sosiolinguistik dan konteks kultural. Steiner lebih memandang kondisi kekinian yang sarat dengan kompleksitas register yang ada dalam masyarakat dewasa ini, sehingga dengan definisinya dia lebih dahulu mengantisipasi permasalahan leksis dan perubahan bahasa yang bisa muncul setiap saat (ibid.). Di samping itu, Hartono (2009) memiliki uraian tersendiri mengenai definisi penerjemahan, yaitu:
Penerjemahan merupakan sebuah aktivitas membaca apa yang dikehendaki dan dituju oleh penulis TSu (berupa pesan yang dikemas dalam bentuk kata, frase, kalimat dan keutuhan teks yang mengandung nuansa makna denotatif maupun konotatif) dan mereproduksi keseluruhan pesan itu ke dalam bahasa yang dipahami oleh penerima pesan dalam sebuah siklus yang simultan.
Definisi tersebut mencoba memberikan gambaran bahwa dalam proses penerjemahan harus ada kerjasama atau kolaborasi yang simultan antara penulis teks sumber, penerjemah (juga sekaligus sebagai pembaca teks sumber) dan penerima pesan (sebagai pembaca teks sasaran). Dalam konsep tersebut penerjemah lebih memiliki peranan sebagai pembaca yang berfungsi untuk membaca atau menginterpretasikan maksud, keinginan dan tujuan dari penulis teks asli sehingga ia diibaratkan jembatan yang dapat menghubungkan antara penulis teks dan penerima pesan.
Berdasarkan sejumlah definisi penerjemahan yang telah diuraikan satu per satu dari beberapa pakar, penulis dapat menarik beberapa poin penting yang patut untuk dicatat, yaitu pada dasarnya penerjemahan merupakan sebuah studi yang berhubungan erat dengan:
a. padanan alamiah dalam cakupan makna dan gaya dalam pengalihan pesan dari BSu ke dalam BSa.
b. pengalihan pesan atau makna dari BSu ke dalam BSa yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
c. proses yang menghubungkan tali batin antara penulis asli yang berbahasa sumber dengan penerima pesan yang berbahasa sasaran.
d. proses menghasilkan suatu terjemahan dengan memperhatikan konteks sosial dan kultural bahasa sasaran.
e. suatu kerjasama atau kolaborasi yang simultan antara penulis teks sumber, penerjemah (juga sekaligus sebagai pembaca teks sumber) dan penerima pesan (sebagai pembaca teks sasaran).
1.2 Makna dalam Penerjemahan
Makna merupakan poin yang sangat penting dan tak terpisahkan dalam kegiatan penerjemahan karena sejatinya penerjemahan melibatkan pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Hasil terjemahan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana makna dari pesan teks BSu dialihkan ke dalam teks BSa. Dalam hal ini, apakah makna pesan dalam BSu tersampaikan seluruhnya, sebagian besar, sebagian kecil, atau tidak sama sekali ke dalam BSa. Untuk dapat mengetahui hal tersebut, seyogianya dapat dilihat dari padanan yang dipilih oleh penerjemah dalam menyampaikan makna yang terkandung dalam suatu teks BSu. Selain itu, pemahaman terhadap semantik dapat membantu penerjemah dalam mencari padanan yang tepat dalam BSa dan maknanya sedekat mungkin dengan BSu. Semantik mengkaji makna secara linguistik dan tidak terikat oleh konteks seperti halnya pragmatik.
Nababan (2003) menyatakan bahwa makna suatu kata tidak hanya dipengaruhi oleh posisinya dalam kalimat tetapi juga oleh bidang ilmu yang menggunakan kata itu.
Dalam praktek menerjemahkan yang sesungguhnya, perhatian seorang penerjemah terfokus tidak hanya pada pengalihan makna suatu kata, namun meluas ke masalah pengalihan pesan atau amanat.
a. Makna Leksikal
Makna leksikal dimiliki oleh unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya. Makna leksikal ini dapat juga disebut makna yang ada dalam kamus mengingat kata yang ada dalam kamus lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Nababan, 2003). Berkaitan dengan penerjemahan, Soemarno (dalam Masduki, 2011) mengelompokkan kata-kata bermakna leksikal ke dalam tiga kelompok utama, yaitu:
1) Kata-kata dalam bahasa sumber yang dengan mudah dapat dicari padanannya dalam bahasa sasaran. Contoh: radio (radio), computer (komputer), book (buku), gold (emas).
2) Kata-kata bermakna leksikal bahasa sumber yang mempunyai padanan dalam bahasa sasaran, tetapi maknanya itu sebenarnya sudah sedikit berbeda, baik dari segi fisik maupun konsepnya. Namun, kedua makna leksikal tersebut (dalam BSu dan BSa) masih dianggap padanan sehingga penerjemah masih bisa menggunakannya sebagai padanan dalam penerjemahan. Contoh: kata breakfast lazim dipadankan dengan sarapan dalam bahasa Indonesia dan itu dianggap benar. Namun, ternyata konsep kedua kata tersebut berbeda. Contoh lainnya, yaitu kata farmer dan petani. Dari sudut pandang penutur asli bahasa Inggris, farmer identik dengan orang kaya karena tanah yang dimilikinya sangat luas.
Sebaliknya, dari sudut pandang penutur asli bahasa Indonesia, seorang petani umumnya dikategorikan sebagai orang miskin (Nababan, 2008c).
3) Kata-kata dalam bahasa sumber yang sulit dicari padanannya dalam bahasa sasaran. Contoh: kata baby shower sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, kata sekaten sulit dicari padanannya dalam bahasa Inggris.
b. Makna Gramatikal
Makna gramatikal ialah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan yang lebih besar, misalnya hubungan suatu kata dengan kata yang lain dalam frasa atau klausa (Kridalaksana dalam Nababan, 2003). Contoh: kata can bisa berarti dapat, kaleng, atau mengalengkan, bergantung pada posisi kata itu dalam kalimat.
c. Makna Kontekstual dan Situasional
Makna kontekstual atau situasional ialah hubungan antara ujaran dan situasi di mana ujaran itu dipakai (Nababan, 2003). Dengan kata lain, makna kontekstual ialah makna suatu kata yang dikaitkan dengan situasi penggunaan bahasa. Oleh karena itu, makna suatu kata akan mempunyai arti sebanyak situasi atau konteks yang menyertainya (Soemarno dalam Masduki, 2011). Contoh: ucapan Good morning!
diterjemahkan ‘keluar!’ apabila ucapan itu dituturkan oleh seorang pimpinan kepada bawahannya yang selalu masuk terlambat di kantor.
d. Makna Tekstual
Makna tekstual berkaitan dengan isi suatu teks atau wacana. Perbedaan jenis teks dapat pula menimbulkan makna suatu kata menjadi berbeda (Nababan, 2003). Dalam teks biologi, kata morphology artinya suatu cabang biologi yang berhubungan dengan bentuk dan struktur tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam bidang teks kebahasaan, kata itu diartikan sebagai studi morfem suatu bahasa dan bagaimana morfem itu digabungkan untuk membentuk makna.
e. Makna Sosio-kultural
Makna suatu kata yang erat kaitannya dengan sosio-budaya pemakai bahasa disebut makna sosio-kultural (ibid.). Makna sosiokultural seringkali dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat pengguna bahasa itu (Masduki, 2011). Makna ini sering ditemukan dalam istilah-istilah budaya seperti Halloween, Baby Shower, Thanksgiving, midodareni, angkringan, arisan, dan sebagainya.
1.3 Teknik Penerjemahan
Teknik penerjemahan merupakan prosedur untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bagaimana kesepadanan terjemahan berlangsung dan dapat diterapkan pada berbagai satuan lingual, misalnya kalimat, klausa, frase, dan/atau kata (Nababan, 2010b) dan teknik-teknik tersebut mempengaruhi hasil terjemahan (Molina
& Albir, 2002). Dengan demikian, teknik penerjemahan bersifat praktis dan dapat dilihat dari produk terjemahan yang dihasilkan mengingat kesepadanan merupakan hal penting yang harus diperhatikan secara saksama dalam penerjemahan. Lebih lanjut, Molina dan Albir (2002) menyebutkan lima karakteristik teknik penerjemahan, antara lain:
a. Teknik penerjemahan berpengaruh terhadap hasil terjemahan.
b. Teknik penerjemahan membandingkan bahasa sumber (BSu) dengan bahasa sasaran (BSa).
c. Teknik penerjemahan berpengaruh terhadap satuan-satuan teks terkecil, misalnya kata, frasa, dan kalimat.
d. Teknik penerjemahan bersifat diskursif (logis) alamiah dan kontekstual.
e. Teknik penerjemahan itu fungsional.
Dengan mengacu kepada poin-poin di atas, berikut ini akan dipaparkan satu per satu sejumlah teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir (2002):
1) Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi merupakan teknik penerjemahan yang menggantikan unsur budaya dalam bahasa sumber dengan unsur budaya yang mempunyai sifat yang sama dalam bahasa sasaran, dan unsur budaya tersebut akrab bagi pembaca sasaran (Nababan, 2010b). Sebagai contoh:
BSu : Dear Sir or Madam BSa : Dengan hormat
Terjemahan frasa dengan hormat pada sistematika penulisan surat dalam BSa lebih dikenal dalam budaya pembaca sasaran dan konsepnya mirip dengan bahasa sumber. Dengan menggunakan teknik adaptasi, penerjemah mampu menghasilkan terjemahan yang berterima dan mudah dipahami bagi pembaca sasaran.
2) Amplifikasi (Amplification)
Teknik amplifikasi memperkenalkan suatu penjelasan rinci dalam bahasa sasaran yang tidak terdapat dalam bahasa sumber. Dengan kata lain, amplifikasi merupakan teknik penerjemahan yang mengeksplisitkan atau memparafrase suatu informasi yang implisit dalam bahasa sumber (ibid.). Sebagai contoh, untuk menerjemahkan nomina bahasa Arab Ramadhan ke dalam bahasa Inggris perlu diberi deskripsi the Muslim month of fasting.
3) Peminjaman (Borrowing)
Peminjaman adalah teknik penerjemahan dengan meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Teknik peminjaman ini bisa berbentuk peminjaman murni (pure borrowing) dan peminjaman yang sudah dinaturalisasi (naturalized borrowing).
Peminjaman murni dilakukan ketika tidak ada padanan yang sesuai di dalam bahasa sasaran dan ketika istilah asing yang dipinjam sudah banyak dikenal oleh pembaca sasaran. Pada peminjaman murni, penerjemah tidak melakukan perubahan apapun terhadap istilah asing yang dipinjam. Sebagai contoh:
BSu : It’s on your blog.
BSa : Ada di blog-mu.
(The Social Network, 2010)
Di sisi lain, peminjaman yang sudah dinaturalisasi dilakukan dengan menyesuaikan ejaan istilah asing yang dipinjam dengan ejaan bahasa sasaran.
Sebagai contoh:
BSu : No, I need the algorithm you use to rank chess players.
BSa : Tidak, aku butuh algoritma yang kau gunakan untuk membuat peringkat catur.
(The Social Network, 2010) 4) Kalke (Calque)
Kalke adalah teknik penerjemahan kata atau frasa dalam bahasa sumber secara literal. Teknik ini mirip dengan penerjemahan harfiah (literal translation), namun perbedaannya adalah pada teknik kalke terdapat interferensi struktur bahasa sumber pada bahasa sasaran (Nababan, 2010). Sebagai contoh:
BSu : Each Residency was divided into Assistant Residencies.
BSa : Setiap karesidenan dibagi ke dalam pemerintahan Asisten Karesidenan.
(Wulansari, 2013)
5) Kompensasi (Compensation)
Kompensasi adalah teknik penerjemahan yang memperkenalkan unsur-unsur informasi atau efek stilistika bahasa sumber terhadap bahasa sasaran karena unsur atau efek tersebut tidak dapat digantikan atau tidak ada padanannya dalam bahasa sasaran. Teknik ini biasanya digunakan untuk menerjemahkan karya-karya sastra.
Sebagai contoh:
BSu : You can let your imagination go wild with a Vision Board.
BSa : Melalui Papan Visi, anda bisa membiarkan imajinasi mengembara sejauh mungkin.
6) Deskripsi (Description)
Deskripsi adalah teknik penerjemahan yang menggantikan sebuah istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Teknik ini sekilas tampak mirip dengan amplifikasi, namun perbedaannya adalah teknik deskripsi memberikan penjelasan yang lebih panjang tentang deskripsi suatu hal. Sebagai contoh:
BSu : ‘cow-creamer’
BSa : ‘poci yang berbentuk sapi untuk tempat susu’
(Hartono, 2009)
7) Kreasi Diskursif (Discursive Creation)
Kreasi diskursif adalah teknik penerjemahan yang menampilkan kesepadanan sementara yang tidak terduga atau keluar dari konteks. Teknik ini biasanya digunakan untuk menerjemahkan judul buku atau film. Di bawah ini merupakan judul novel karya John Grisham yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia:
BSu : Bleachers BSa : Sang Pelatih
8) Pemadanan Lazim (Established Equivalence)
Nababan (2010b) menyatakan bahwa pemadanan lazim adalah teknik penerjemahan dengan menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau penggunaan sehari-hari). Sebagai contoh:
BSu : Let the hacking begin.
BSa : Mari kita mulai peretasan.
(The Social Network, 2010) 9) Generalisasi (Generalization)
Generalisasi adalah teknik penerjemahan dengan mengganti istilah-istilah khusus dalam bahasa sumber yang sulit dipahami dengan istilah yang lebih umum atau lebih netral dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh:
BSu : The burglar was shot.
BSa : Maling itu terbunuh.
10) Amplifikasi Linguistik (Linguistic Amplification)
Amplifikasi linguistik adalah teknik penerjemahan dengan menambahkan unsur-unsur linguistik dalam bahasa sasaran. Teknik ini sering digunakan dalam penerjemahan lisan konsekutif dan sulih suara (dubbing). Sebagai contoh:
BSu : Can I help clean?
BSa : Boleh kubantu membersihkannya?
11) Kompresi Linguistik (Linguistic Compression)
Kompresi linguistik adalah teknik penerjemahan dengan cara memampatkan unsur-unsur linguistik yang ada pada bahasa sumber sehingga terjemahan yang dihasilkan menjadi lebih ringkas tetapi tetap mampu mengakomodir makna yang diinginkan penulis. Teknik ini sering digunakan dalam penerjemahan lisan simultan dan penerjemahan teks film (subtitling). Sebagai contoh:
BSu : I want you to know...
BSa : Ketahuilah...
12) Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)
Penerjemahan harfiah merupakan teknik penerjemahan kata demi kata. Teknik ini mirip dengan kalke. Namun, pada penerjemahan harfiah, satu kata dalam bahasa sumber tidak selalu diterjemahkan menjadi satu kata dalam bahasa sasaran. Selain
itu, penerjemah telah menyesuaikan struktur kalimat terjemahan dengan struktur kalimat yang berlaku dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh:
BSu : I will visit you.
BSa : Aku akan mengunjungimu.
13) Modulasi (Modulation)
Modulasi merupakan teknik penerjemahan dengan cara mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan teks sumber.
Perubahan sudut pandang tersebut dapat terjadi pada tataran leksikal maupun struktural (Nababan, 2010b). Sebagai contoh:
BSu : You are going to have a child.
BSa : Anda akan menjadi seorang ayah.
14) Partikularisasi (Particularization)
Partikularisasi adalah teknik penerjemahan dengan menggunakan istilah yang lebih konkret atau presisi dan arah terjemahannya dari superordinat ke subordinat.
Teknik ini kebalikan dari teknik generalisasi. Misalnya, frasa artistic manifestation diterjemahkan menjadi lukisan.
15) Reduksi (Reduction)
Reduksi merupakan teknik penerjemahan yang memadatkan informasi teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Teknik ini kebalikan dari teknik amplifikasi. Sebagai contoh:
BSu : The proposal was rejected and repudiated.
BSa : Usulnya ditolak.
16) Subtitusi (Subtitution)
Subtitusi adalah teknik penerjemahan yang mengganti elemen linguistik menjadi elemen paralinguistik (termasuk gerak tubuh atau gesture dan intonasi atau isyarat) dan sebaliknya. Sebagai contoh:
BSu : They bow to each other.
BSa : Mereka saling memberi salam.
17) Transposisi (Transposition)
Transposisi merupakan teknik penerjemahan dengan mengubah susunan kata (structural adjustment) atau menggeser (shifting) kategori kata dan satuan lingual (unit). Penyesuaian susunan kata wajib dilakukan apabila struktur kata dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran berbeda. Sementara itu, pergeseran kategori merujuk pada perubahan kelas kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran. Selain
itu, perubahan dari kalimat kompleks menjadi kalimat-kalimat sederhana juga merupakan wujud dari penerapan teknik transposisi (Nababan, 2010b: 8). Sebagai contoh:
BSu : I am Indonesian.
BSa : Saya orang Indonesia.
Pada contoh di atas, kata sifat Indonesian dalam BSu bergeser menjadi kata benda Indonesia dalam BSa. Contoh lainnya:
BSu : Simon is wearing trousers.
BSa : Simon mengenakan celana panjang.
Kata trousers dalam BSu diterjemahkan menjadi frasa celana panjang dalam BSa.
18) Variasi (Variation)
Variasi adalah teknik penerjemahan yang mengubah unsur-unsur linguistik atau paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik: perubahan tona tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dialek geografis (Nababan, 2010b: 10). Sebagai contoh:
BSu : You know what?
BSa : Tahu nggak sih lu?
Berdasarkan kedelapan belas teknik penerjemahan yang telah dijabarkan di atas, peminjaman, kalke, dan penerjemahan harfiah merupakan tiga teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber (BSu), sedangkan adaptasi, amplifikasi, kompensasi, deskripsi, kreasi diskursif, kesepadanan lazim, generalisasi, amplifikasi linguistik, kompresi linguistik, modulasi, partikularisasi, reduksi, subtitusi, transposisi, dan variasi adalah lima belas teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran (BSa). Nababan (2010b) menyatakan bahwa teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber akan menghasilkan terjemahan yang akurat, tetapi ada kemungkinan terjemahan tersebut tidak atau kurang berterima dan sulit dipahami.
Sebaliknya, teknik penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran akan menghasilkan terjemahan yang berterima dan mudah dipahami namun ada kemungkinan terjemahan mengalami distorsi atau penyimpangan makna dan pesan.
1.4 Penilaian Kualitas Terjemahan
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerjemah merupakan mediator atau jembatan penghubung antara penulis BSu dengan pembaca BSa dan teks terjemahan sebagai sarananya. Teks terjemahan sebagai produk dari setiap tahap proses penerjemahan harus menunjukkan kualitas terjemahan yang baik karena kualitas sangat
berpengaruh terhadap pemahaman pembaca sasaran terhadap teks BSu. Koller (dalam Nababan dkk, 2004) melihat bahwa teks terjemahan merupakan produk dari proses penerjemahan yang terjadi dalam otak penerjemah secara kognitif. Dia mendefinisikan terjemahan sebagai berikut:
As the result of a text-processing activity, by means of which a source language text is transposed into a target language text. Between the resultant text in L2 (the target language text) and the source text in L1 (the source language text) there exist a relationship, which can be designed as a translational, or equivalence relational.
Definisi Koller di atas menjelaskan bahwa terjemahan merupakan hasil dari proses penerjemahan, yaitu penerjemahan teks dari BSu ke dalam BSa. Dalam hal ini, L2 tidak hanya sebagai teks terjemahan dari L1 saja, namun L2 harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan dengan L1 sebagai teks bahasa sumber (Anshori, 2010).
Sebagai hasil akhir yang muncul dari serangkaian kegiatan penerjemahan, suatu teks terjemahan yang dihasilkan pasti memiliki tingkat kualitas yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, penilaian terhadap kualitas terjemahan diperlukan untuk menilai sejauh mana suatu terjemahan dapat berfungsi sebagai alat komunikasi yang mampu menjembatani perbedaan dua sistem bahasa yang berbeda. Newmark (1988) mengemukakan “Translation quality assessment is a very important in the process of translation and it becomes a significant link between translation theory and its practice.” Pernyataan tersebut ingin menyampaikan bahwa penilaian kualitas terjemahan dapat menjadi suatu media yang mengevaluasi hasil pengaplikasian teori terhadap praktek penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah. Menurut Nababan (2003), penelitian terhadap mutu terjemahan terfokus pada tiga hal pokok, yaitu: 1) ketepatan pengalihan pesan, 2) ketepatan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, dan 3) kealamiahan bahasa sasaran. Berdasarkan poin-poin tersebut, terdapat tiga komponen yang harus diperhatikan dalam menilai kualitas terjemahan, yaitu keakuratan (accuracy), keberterimaan (acceptability), dan keterbacaan (readability).
a. Keakuratan (Accuracy)
Keakuratan (accuracy) merupakan indikator utama dalam penilaian kualitas terjemahan. Nababan (2010a) menyatakan bahwa tingkat keakuratan pengalihan pesan ditetapkan oleh seberapa akurat isi atau pesan teks bahasa sumber dialihkan ke dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, keakuratan berkaitan dengan pengalihan pesan dari teks BSu ke dalam teks BSa yang tidak ditambah dan tidak dikurangi. Keakuratan ini
nantinya berkaitan dengan ketepatan pencarian padanan dalam BSa, sebagaimana pernyataan Shuttleworth dan Cowie (1997) bahwa keakuratan mengacu pada kesepadanan antara informasi dalam bahasa sumber dengan informasi dalam bahasa sasasaran. Di sisi lain, Catford (1965) menyatakan bahwa “The central problem of translation is that of finding equivalence.” (Inti permasalahan dalam penerjemahan sesungguhnya adalah pencarian padanan) dan Machali (2000) menambahkan bahwa keakuratan tidak hanya dilihat dari ketepatan pemilihan makna, tetapi juga ketepatan gramatikal, kesepadanan makna, dan pragmatik.
Kesepadanan merupakan hal yang sangat penting karena tujuan penerjemahan ialah untuk mencari padanan yang sedekat mungkin dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Hal ini senada dengan pernyataan Karimi (2006) yang menyebutkan “If a specific linguistic unit in one language carries the same intended meaning/message encoded in a specific linguistic medium in another, then these two units are considered to be equivalent.” (Jika terdapat unit linguistik tertentu dalam satu bahasa mengandung makna/pesan yang (dimaksudkan) sama setelah dikodekan melalui medium linguistik tertentu dalam bahasa lain, maka dua unit ini dianggap sepadan). Selain itu,
Kesepadanan merupakan hal yang sangat penting karena tujuan penerjemahan ialah untuk mencari padanan yang sedekat mungkin dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Hal ini senada dengan pernyataan Karimi (2006) yang menyebutkan “If a specific linguistic unit in one language carries the same intended meaning/message encoded in a specific linguistic medium in another, then these two units are considered to be equivalent.” (Jika terdapat unit linguistik tertentu dalam satu bahasa mengandung makna/pesan yang (dimaksudkan) sama setelah dikodekan melalui medium linguistik tertentu dalam bahasa lain, maka dua unit ini dianggap sepadan). Selain itu,