• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMINTA MAAF

Dalam dokumen Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Halaman 137-139)

SUARA DAN KECEPATAN KEPERCAYAAN

MEMINTA MAAF

Belajar mengatakan "Saya salah, maafkan saya," atau "Saya terlalu egois, bereaksi berlebihan, saya mengabaikan Anda, dan saya kadang- kadang meletakkan loyalitas di atas integritas," dan kemudian hidup sesuai dengannya, adalah salah satu bentuk permohonan maaf yang terbaik yang bisa Anda lakukan. Saya telah melihat banyak hubungan yang telah putus selama bertahun-tahun bisa disambung kembali dalam jangka waktu yang relatif pendek dengan kedalaman dan ketulusan permohonan maaf semacam itu. Jika Anda mengatakan sesuatu karena tekanan keadaan, tetapi tidak benar-benar bermaksud demikian, pada saat Anda meminta maaf jelaskan bagaimana Anda didorong oleh gengsi Anda dan apa sebenarnya yang Anda

maksudkan. Jika Anda mengatakannya pada saat keadaan menekan dan memang bermaksud demikian, maka sifat dari permohonan maafnya akan menuntut Anda untuk benar-benar mengubah hati Anda, untuk melakukan penyesalan secara pribadi, sampai Anda bisa dengan benar-benar tulus mengatakan, "Saya minta maaf; perkataan dan perbuatan saya benar-benar salah, dan saya akan berusaha untuk memperbaiki keduanya."

Saya pernah mengalami konfrontasi yang tidak menyenangkan dengan seseorang mengenai sesuatu yang benar-benar menjeng- kelkan. Sejak saat itu, perasaan yang diakibatkan oleh cekcok tersebut amat memengaruhi ketulusan komunikasi kami, sekalipun di permukaan kami tetap tampak sopan dan santai. Lalu suatu hari dia datang kepada saya dan mengatakan bahwa dia merasa tidak enak mengenai ketegangan dalam hubungan kami dan ingin mengem- balikan keakraban dan harmoni yang sebelumnya kami rasakan. Dia mengatakan betapa sulitnya memasuki relung hatinya sendiri dan melihat di mana dia telah berbuat salah. Dia benar-benar ingin meminta maaf. Permohonan maafnya amat rendah hati dan tulus, tanpa pembelaan diri apa pun, sehingga membuat saya juga me- nengok ke dalam hati saya sendiri dan mengambil tanggung jawab untuk bagian saya. Hubungan kami terjalin kembali.

Seorang mantan rekan kantor saya, seorang perempuan, pernah bercerita mengenai pengalamannya dengan sebuah tim eksekutif tingkat tinggi pada sebuah retret yang berlangsung satu minggu penuh. Presiden organisasi tersebut memulai pada suatu pagi dan mendorong kelompok tersebut untuk benar-benar berusaha men- dengarkan dan memahami orang lain dalam diskusi-diskusi mereka sebelum mengutarakan pendapat mereka sendiri. Sebelum memulai rapat, dia berbagi sebuah pengalaman pribadi yang amat menggugah dan memperkuat perkataannya.

Dengan mengubah semua nama, seperti juga pada kisah-kisah lainnya dalam buku ini, inilah yang diutarakan oleh teman saya mengenai apa yang terjadi di sore harinya:

Di tengah-tengah diskusi kami, seorang eksekutif yang sikapnya amat tidak menyenangkan mulai mengatakan sesuatu tentang kesulitan yang dialaminya dalam sebuah pendekatan bisnis. Kelompok itu secara verbal langsung menyerang dia. Sejujurnya, saya juga ingin menyerang dia, tetapi saya tahu bahwa tidak pada tempatnya saya melakukan hal itu. Lalu saya mendengar Jack, presiden perusahaan, tertawa keras, tepat di depan orang tersebut. Dia benar-benar membuatnya menjadi bahan lelucon di depan semua peserta lain. Tentu saja, grup itu langsung mengikuti contoh tersebut.

Saya tertegun. Hanya beberapa jam sebelumnya, presiden tersebut telah berbagi pengalamannya yang menggugah mengenai pentingnya menunggu giliran dan berusaha lebih dulu memahami tindakan seseorang. Sekarang dia melakukan hal yang tepat berlawanan. Saya tidak bisa mem- peringatkannya dengan baik di depan semua peserta lain, maka saya hanya

menatapnya dalam-dalam. Dia memahami maksud saya dengan jelas. "Tadi itu perbuatan yang buruk. Jika Anda tidak melakukan apa pun untuk memperbaikinya saat ini juga, saya akan pergi ke luar!" Sungguh. Saya benar-benar marah. Saya sudah siap untuk keluar, meninggalkan kelompok. Mereka baru saja kembali ke kebiasaan mereka yang lama, yakni melangsungkan dinamika kelompok yang saling menyerang dan merusak.

Dia memandang balik pada saya. Saya menegakkan diri lebih tinggi di kursi saya dan terus menatap dia, "Sadarlah, teman." Dia duduk tersandar di kursinya. Saya terus menatapnya. Hal ini berlangsung selama kira-kira lima menit, dan selama itu para anggota tim masih terus menyerang orang yang malang tersebut. Lalu secara tiba-tiba, presiden organisasi menghentikan rapat. Dia mengatakan, "Berhenti, saya melakukan kesalahan. David, saya minta maaf."

"Untuk apa?" David agak tergagap sedikit. Sepanjang pengetahuannya, apa yang terjadi tadi adalah hal yang normal.

"Saya melakukan hal yang tidak patut. Seharusnya saya tidak menertawakanmu. Kami tidak mendengarkan sama sekali. Kami langsung menyerangmu. Bersediakah kamu memaafkan saya?"

THE 8 T H HABIT

seperti, "Tidak masalah, jangan khawatir." Tetapi jawabannya mengagumkan: 'Jack, saya memaafkanmu. Terima kasih."

Apakab Anda menyadari seberapa besar keberanian yang dibutuhkan untuk secara aktif memberikan maaf daripada sekadar melupakan apa yang telah terjadi?

Saya duduk di sana. Emosi saya tergetar melihat perilaku Jack, Dia tidak harus minta maaf. Dia tidak barm meminta maaf di depan seluruh kelompok. Dia adalah kepala dari divisi yang membawahi delapan puluh ribu orang. Dia tidak barus melakukan apa pun yang tidak ingin dia lakukan. Setelab rapat, saya mendatanginya, dengan emosi yang masih tergetar dan terdengar pada suara saya, dan mengatakan, "Terima kasib telah melakukan hal itu." Dia menjawab, "Itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Terima kasih karena telah memelototiku." Kami tidak pernah berbicara mengenai insiden itu lagi, tetapi kami tahu bahwa kami

telah bergerak naik menjadi dirt kami yang terbaik pada hari itu.

Dalam dokumen Melampaui Efektivitas, Menggapai Keagungan (Halaman 137-139)