• Tidak ada hasil yang ditemukan

MULTIKULTURALISME DI TENGAH KULTUR MONOLITIK DAN UNIFORMITAS GLOBAL

DAN NASIONALISME

B. MULTIKULTURALISME DI TENGAH KULTUR MONOLITIK DAN UNIFORMITAS GLOBAL

Wacana tentang multikulturalisme mulai menguat dan memperoleh tempat yang utama dalam kajian perubahan sosial dan budaya ketika realitas kehidupan di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keanekaragaman budaya dengan berbagai corak bu-dayanya yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Multikulturalisme dipakai sebagai perangkat analisa atau perspektif untuk memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan, dan agama.

Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memi-liki karakteristik heterogen dimana pola-pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima ke-nyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence)

satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap entitas sosial dan politiknya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa

multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa ma-syarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan ke-kerasan, meskipun didalamnya terdapat kompleksitas perbedaan.

Sebagai sebuah formula dan format baru dalam agenda perubah-an sosial, multikulturalisme dihadapkperubah-an pada kenyataperubah-an adperubah-anya arus globalisasi yang menjangkiti seluruh segmen kehidupan masyarakat baik pada level primordialisme (kedaerahan), nation state (negara

bangsa), maupun pada level dunia internasional (world system).

Pro-ses mengglobalnya nilai-nilai budaya, life style, falsafah, kebiasaan,

dan institusi-institusi yang berasal dari Barat – sebagai asal mula dan sumber globalisasi – kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, hiburan, pendidik-an, sampai dengan urusan selera “perut” dan “aurat” harus dipahami sebagai proses penyeragaman dan pembaratan budaya .

Globalisasi yang membawa misi homogenisasi, westernisasi,

dan uniformitas budaya ini sangat bertentangan dengan gagasan

mul-tikulturalisme yang ber platform pluralis, humanis, dan menjaga

he-terogenitas budaya sebagai sesuatu yang alamiah (nature). Padahal,

globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang saat ini sedang mengalami krisis kebudayaan. Globalisasi telah berubah dari sebuah mitos menjadi realitas yang yang bersifat kongkret dan empirik.

Dalam sejarah perkembangannya, globalisasi merupakan suatu mata rantai dan mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad 16 sampai 19, modernisasi diabad ke-20, dan kapitalisme global dipenghujung abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi mendorong global-isasi mengalami percepatan yang luar biasa pesat.

Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak

siginfikan. Pertama, mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan

negara bangsa sebagai hasil dari pergulatan antara kedaulatan negara

versus kapitalisme global. Pola “tekanan ke atas” penetrasi globalisasi

ini cenderung mengarah pada integrasi sosial-budaya dibawah naung-an kultur Barat sebagai kultur ynaung-ang dominnaung-an.

Kedua, pola “tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah

membuka katub-katub peluang bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local culture) yang selama ini sedang terbuai oleh kemasan ikatan

nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara bangsa. Lokalitas dan kultur monolitik yang mendasarkan diri pada etnisitas, kesukuan, dan primordialisme ini mulai meneguhkan diri vis to vis identitas

na-sional yang saat ini mengalami pengenduran. Secara politis, gejala ini diindikasikan dengan merebaknya tuntutan dari berbagai daerah atau wilayah yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara bangsa. Gerakan separtisme dan disintegrasi bangsa, khususnya yang saat ini melanda indonesia merupakan salah satu contoh dari penetrasi glo-balisasi jenis ini.

Ketiga, pola “desakan ke samping”. Artinya, kecenderungan

penetrasi globalisasi telah menciptakan domain ekonomi dan kul-tural baru yang melintasi batas-batas negara bangsa yang selama ini ada. Penetrasi globalisasi yang membawa slogan-slogan liberalisme pasar dan perdagangan bebas telah membawa Dunia pada blok-blok perdagangan dan aliansi-aliansi ekonomi yang terbungkus dalam kapi-talisme global. Lahirnya Uni Eropa merupakan contoh kongkret dari gelombang sentrifugal globalisasi.

Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi ini menimbulkan suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan ge-rak meluas ke wilayah global melalui teknologi komunikasi dan in-formasi. Namun di sisi lain, globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses uniformitas nilai yang mengarah pda hege-moni budaya.

Banyak kalangan awam dalam masyarakat , khususnya yang tidak peduli dengan masalah sosial budaya, tidak menyadari bahwa pola kehidupannya sehari-hari telah didominasi oleh kultur asing yang pada tahap-tahap tertentu tidak sesuaii dengan budaya lokal. Mereka tidak sadar bahwa dilingkungan sekitarnya telah terjadi proses unifor-mitas budaya. Mereka larut dan terbius oleh arus budaya pop dan lyfe style yang lagi nge-trend. Padahal, mereka tidak memahami makna

dan substansi dari penampilan budaya yang demikian.

Ancaman hegemoni budaya (culture hegemony) yang

tersembu-nyi dibalik gelombang globalisasi semakin kuat terasa di era modern sekarang ini. Pada hakikatnya, hegemoni budaya ini sangat berlawan-an dengberlawan-an multikulturalisme yberlawan-ang lebih menekberlawan-ankberlawan-an pada pluralitas dan heterogenitas budaya sebagai sebuah mozaik dan kekayaan bang-sa. Hegemoni budaya ingin melakukan proses pendominasian buda-ya buda-yang beranekaragam itu dalam kendalinbuda-ya. Tentunbuda-ya, gejala buda-yang demikian sangat membahayakan eksistensi budaya-budaya yang lain.

Secara historis, hegemoni budaya yang saat ini sedang gencar-gencarnya dipropagandakan oleh Barat melalui media globalisasi telah ada sejak masa kolonialisme dan imperialisme. Jika pada abad ke-19, kedatangan bangsa-bangsa Barat membawa modernisasi hadir bersamaan dengan perluasan kapitalisme dan kolonialisme politik ser-ta ekonomi, maka pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21, kehadiran budaya universal juga ikut membawa muatan budaya dan peradaban Barat. Gejala seperti ini menurut Huntington akan menim-bulkan titik picu bagi konflik atau benturan peradaban dengan kebu-dayaan-kebudayaan lain.

Saat ini, proses hegemoni budaya sebenarnya telah melanda ke-hidupan masyarakat berbangsa dan bernegara baik yang berdimensi politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politis, Demokrasi liberal Barat telah menjadi model yang didambakan setiap negara dalam sistem kenegaraannya. Secara ekonomi, kapitalisme global Barat selalu menjadi referensi bagi negara yang ingin maju pertumbuhan

ekonominya. Dan secara sosial, masyarakat telah terkooptasi oleh nilai-nilai individualisme Barat, hedonisme, dan konsumerisme. Ini semua tentu sangat berlawanan dengan budaya mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Ketidakberdayaan melawan gempuran luar dan ketidakberanian menampilkan identitas budaya sendiri akan mengakibatkan suatu entitas sosial menjadi korban dari hegemoni budaya.

Saat ini bangsa indonesia tengah menghadapi arus ganda per-masalahan seputar identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan

lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan

hegemo-ni budaya. Di lain sisi, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai aki-bat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi glo-balisasi. Contoh dari gejala ini adalah munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.

Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal indonesia yang terbungkus dalam mozaik kebudayaan nasional, yang sebenarnya saat ini telah mengalami carut marut dan tercerabut oleh konflik et-nik dan kekerasan kolektif. Oleh karena itu, multikulturalisme (plural culture) seharusnya dijadikan paradigma baru menggantikan konsep

masyarakat majemuk (plural society) yang selama ini diterapkan oleh rezim militer Orde Baru. Masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan sudah saatnya digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme yang mem-punyai cakupan tidak hanya budaya etnik, tapi juga berbagai budaya lokal yang diposisikan secara sederajat.

Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati

sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (“tunggal ika”) yang paling potensial akan melahirkan persatuan yang kuat, me-lainkan pe ngakuan akan adanya pluralitas (“bhineka”) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaharuan sosial yang demokratis.

Dengan demikian, perlu proses penyadaran diantara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati ke-anekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat kerukun-an dkerukun-an perdamaikerukun-an. Kekerukun-anekaragamkerukun-an budaya ini dapat diilustrasikkerukun-an bagai bintang-bintang dilangit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagad raya. Dalam konteks ini, peranan negara sebaiknya hanya men-fasilitasi bagi terciptanya toleransi antar entitas sosial budaya, dan bu-kan memainbu-kan perana intervensi-represif yang dapat menimbulkan

resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim ko-rporatis Orde baru.

C. RADIKALISME ETNIS MEREMBET KE