• Tidak ada hasil yang ditemukan

BELA NEGARA; Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, oleh Dr. Agus Subagyo, S.I.P., M.Si. Hak Cipta 2014 pada penulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BELA NEGARA; Peluang dan Tantangan di Era Globalisasi, oleh Dr. Agus Subagyo, S.I.P., M.Si. Hak Cipta 2014 pada penulis"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

GRAHA ILMU

Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283

Telp: 0274-882262; 0274-889398; Fax: 0274-889057; E-mail: info@grahailmu.co.id

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memper banyak atau memin-dahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN:

(5)

E

ra globalisasi yang diwarnai dengan perdagangan bebas dan pasar bebas telah membawa nilai-nilai individualisme, liber-alisme, materiliber-alisme, dan hedonisme yang merangsesk masuk dalam sendi-sendi dasar kehidupan umat manusia di dunia, terma-suk Indonesia. Nilai-nilai lokal dan nasional seperti gotong royong, musyawarah mufakat, toleransi, dan tenggang rasa telah mengalami degradasi yang teramat sangat sehingga mengancam jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa ketimuran yang memegang teguh nilai-nilai ketimuran. Budaya global Barat telah melunturkan bangunan nasio-nalisme, patriotisme, dan cinta tanah air yang terpatri dalam hati sanu-bari masyarakat Indonesia.

Generasi muda penerus bangsa seolah-olah larut dalam budaya global dominan dan melupakan nilai-nilai budaya lokal dan nasional. gaya hidup, pola hidup, dan perilaku hidup kaum muda telah banyak yang berkiblat pada budaya populer (pop culture) yang sangat

bernu-ansa ideologi kapitalisme-liberalisme. Ideologi Pancasila yang meru-pakan warisan para founding fathers seakan-akan dilupakan dan tidak

dipedulikan lagi. Segala kehidupan masyarakat sehari-hari telah diwar-nai oleh gaya dan perilaku yang berpusat ke Barat sehingga sangat mengancam nilai-nilai Pancasila.

(6)

Rasa nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air, yang meru-pakan unsur utama dari semangat bela negara kurang mendapatkan prioritas bagi generasi muda. Bela negara hanya ada di tataran retorika para elit politik dan menjadi ornamen dalam setiap pidato politik di berbagai kegiatan publik. Sebagian besar masyarakat Indonesia lebih mementingkan kepentingan indvidu, pribadi, golongan, partai, dan suku dibandingkan pada prioritas kepentingan bangsa dan negara. Negara yang seharusnya dibela oleh warga negara Indonesia justru cenderung diabaikan dan kurang mendapatkan kepedulian dari sege-nap pihak. Yang terjadi justru lebih membela kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek, seperti “bela diri”, bela pribadi”, bela partai”, “bela keluarga”, dan bela kelompok”, sehingga bela negara tidak di-indahkan lagi.

Padahal, dinamika era globalisasi yang penuh dengan tantangan ini membutuhkan warga negara yang militan dalam membela negara dari berbagai ancaman musuh, penetrasi asing, dan infiltrasi luar neg-eri yang sangat membahayakan keutuhan NKRI. Negara dibutuhkan oleh warga negara ketika warga negara mengalami kesulitan, namun ketika negara meminta kewajiban warga negara untuk membela ne-gara dari ancaman musuh, maka warga nene-gara justru tiarap dan eng-gan untuk memberikan pembelaan. Sungguh suatu hal yang ironis di negeri yang penuh dengan pejuang pemberani dan gigih di masa lalu. Di era reformasi saat ini, warga negara Indonesia mengalami anomali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kondisi ini diperburuk dengan tingkah polah para pejabat pu-blik, elit politik, dan para pejabat di daerah yang sangat kurang perha-tian terhadap semangat bela negara. Bela negara tidak mendapatkan prioritas dalam program dan kegiatan politik. Para pejabat publik dan elit politik lebih mementingkan kepentingan partainya, kepentingan pemilu, dan hasrat memenangkan pemilukada di setiap daerah de-ngan menjual jargon-jargon politik yang mengarah pada embel-embel bela negara. Bela negara dijadikan komoditas politik kaum elit politik dalam setiap ajang kegiatan politik.

(7)

Karut marutnya kondisi bermasyarakat, berbangsa, dan berneg-ara kita semakin pberneg-arah lagi dengan kondisi tberneg-araf hidup dan tingkat so sial ekonomi masyarakat yang relatif miskin. Lazim diberitakan bah-wa kondisi masyarakat Indonesia mengalami kondisi kemiskinan, pe-ngangguran, kesenjangan pendapatan, dan keterpurukan. Kesejahter-aan, kemakmuran dan keadilan sosial merupakan barang langka di negeri yang terkenal akan sumber daya alam yang melimpah ini. Bela negara yang harus dimiliki oleh semua warga negara karena merupa-kan hak dan kewajiban setiap warga negara sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945, justru enggan dipraktekan oleh warga negara. Tun-tutan negara kepada warga negara untuk bela negara ditanggap oleh masyarakat secara beragam. Masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan menganggap bahwa lebih baik membela diri, membela perut, dan membela keluarga untuk mendapatkan pekerjaan yang la-yak dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Membela negara dalam keadaan perut kosong menurut me reka sangat mustahil terjadi. Dalam kaitan ini, membela negara bagi warga negara akan terwujud apabila pemerintah memberikan kehidupan yang layak dan memenuhi kebutuhan hidup terlebih dahulu. Bela negara merupakan sesuatu yang komplek karena menyangkut harkat martaabat bangsa di tengah kondisi kenestapaan warga. Diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi untuk menumbuhkan bela negara di kalangan warga negara Indonesia. Penuhi terlebih da-hulu isi perut warga negara apabila menginginkan bela negara di ka-langan masyarakat menjadi tinggi. Bela negara merupakan persoalan yang mudah dan ringan apabila masyarakat telah mengalami kondisi hidup yang layak, makmur, adil dan sejahtera.

Dalam konteks inilah, buku ini hadir di tengah-tengah pembaca sekalian. Buku ini merupakan sebuah risalah yang bertujuan untuk menyadarkan semua komponen bangsa tentang pentingnya menum-buhkan kesadaran bela negara kepada semua masyarakat, khususnya masyarakat di lapisan bawah atau akar rumput. Melalui buku ini akan

(8)

dipotret bagaimana kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyara-kat bangsa Indonesia di tengah arus globalisasi dan arus reformasi. Pesan yang disampaikan oleh buku ini adalah bahwa bela negara merupakan persoalan komplek, beragam, dan plural, dimana bela negara sangat terkait dengan berbagai dimensi, baik dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Penulis menyadari bahwa buku ini merupakan coretan-coretan pemikiran yang awalnya bersifat parsial dan temporer, namun kemu-dian penulis merangkai menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga diharapkan dapat memotret secara nyata dan riel pelaksanaan bela negara di Indonesia. Harapannya, semoga terbitnya buku ini dapat menambah khazanah pustaka tentang bela negara yang jarang ditemui di berbagai toko buku maupun perpustakaan. Kalaupun ada materi tentang bela negara, maka hal tersebut tertuang dalam buku tentang Pendidikan Kewarganegaraan sehingga bela negara tidak diulas secara detail, terperinci, dan mendasar.

Buku ini terdiri dari enam bab. Bab pertama membahas ten-tang tinjauan umum bela negara yang didalamnya membahas peri-hal filosofi bela negara, regulasi bela negara, wacana wajib militer, relasi bela negara dan wajib militer, serta wajib militer di negara lain. Bab dua mendiskusikan tentang globalisasi, modernitas dan nasion-alisme bangsa Indonesia yang didalamnya dibahas tentang nilai-nilai globalisasi bertautan dengan nilai-nilai lokal dan nasional sehingga melahirkan degradasi nilai-nilai kebangsaan. Bab tiga memaparkan tentang krisis bela negara di tengah arus globalisasi dan reformasi di-mana para pemuda penerus bangsa dan elit politik semakin menipis rasa bela negara dan wawasan kebangsaannya. Bab empat mengulas tentang pelaksanaan bela negara di daaerah konflik Poso dan Papua yang sa ngat berpotensial mengancam keutuhan NKRI apabila tidak di-antisipasi secara cepat dan tepat. Bab lima menguraikan tentang bela negara di wilayah perbatasan Indonesia yang sangat penting untuk di-prioritaskan penanganannya sehingga meningkat rasa nasionalisme,

(9)

patriotisme dan cinta tanah air. Bab enam menggambarkan mengenai agenda besar bela negara ke depan yang sangat ditentukan oleh si-nergitas antar komponen bangsa dan perlunya melihat sejarah secara sarana refleksi dalam rangka proyeksi bela negara di masa mendatang. Penulisan buku ini dilakukan pada medio Maret sampai den-gan April 2014 disaat penulis menghadapi ujian hidup yang maha berat dari Allah SWT. Penulis merasakan banyak sekali “kegalauan”, ke terpurukan, kehancuran dan kenestapaan disaat kata demi kata dan kalimat demi kalimat dirangkai dengan penuh cucuran air mata yang menetes secara terus menerus bak mata air yang mengalir dari hulu sampai hilir. Ujian berat tersebut penulis lalui dengan hati yang sabar, tabah, tawakal, dan selalu menyebut nama Allah SWT dalam setiap langkah sehingga penulis berhasil melalui ujian berat tersebut. Penu-lis selalu berpegang teguh pada keyakinan bahwa : “Allah SWT ti-dak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya”. Ujian maha berat dapat penulis hadapi karena adanya dukungan, semangat, dan doa yang tiada henti dari istriku : Erlin Wulandari, S.IP, dan kedua putri kecilku yang sangat aku sayangi : Latisya Aurelly Anindia Sub-agyo dan Davina Valerie Queensha SubSub-agyo.

Buku ini hadir di tengah-tengah pembaca untuk kembali meng-ingatkan bahwa bela negara merupakan modal dasar bagi Indonesia menjadi negara “super power” di dunia. Masih banyak kelemahan dalam buku ini, sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan buku ini di masa men-datang. Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pi-hak yang berkepentingan terhadap kepentingan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Cimahi, November 2014 Agus Subagyo

(10)
(11)

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Filosofi Bela Negara 1

B. Regulasi Bela Negara 4

C. Relasi Bela Negara dan Wajib Militer 7

D. Wacana “Wajib Militer” 8

E. Wajib Militer di Negara Lain 11

BAB 2 GLOBALISASI, MODERNITAS DAN NASIONALISME 15

A. Modernitas, Humanisme dan Krisis Kemanusiaan 15

B. Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik

dan Uniformitas Global 20

C. Radikalisme Etnis Merembet ke Radikalisme Teroris 25

D. Sumpah Pemuda atau Pemuda Disumpah? 28

BAB 3 KRISIS BELA NEGARA 35

A. Pendidikan Bela Negara 35

(12)

C. Elit Politik dan Bela Negara 44

D. Empat Pilar Kebangsaan dan Bela Negara 48

BAB 4 MENEROPONG BELA NEGARA DI INDONESIA 55

A. Pendahuluan 55

B. Bela Negara: Pengertian, Nilai dan Dasar Yuridis 58

C. Indonesia: Karut Marut Bela Negara Kita 60

D. Menelisik Faktor Yang Mempengaruhi Bela Negara 62

E. Alternatif Meningkatkan Bela Negara 65

BAB 5 BELA NEGARA DI WILAYAH PERBATASAN 73

A. Karakteristik Masyarakat Perbatasan 73

B. Arti Penting Bela Negara di Perbatasan 77

C. Kesadaran Bela Negara di Perbatasan 81

BAB 6 AGENDA BESAR BELA NEGARA KE DEPAN 87

A. Sinergitas Komponen Bangsa 87

B. Membangun Benteng Terakhir Bangsa 94

C. Belajar dari Sejarah 97

DAFTAR PUSTAKA 103

(13)

-oo0oo-A. FILOSOFI BELA NEGARA

B

ela negara adalah sebuah konsep yang menarik untuk diperde-batkan di era globalisasi saat ini. Era globalisasi yang me-ngancam eksistensi bangunan nasionalisme dan fondasi negara bangsa telah mendorong semua pihak untuk menekankan kepada pentingnya bela negara bagi warga negaranya. Setiap warga negara diminta untuk selalu berpikir, bertindak, berjuang dan berupaya mem-bela negara. Negara perlu dimem-bela agar supaya tidak terancam oleh ber-bagai ancam an dan serangan musuh di era kapitalisme global saat ini. Negara harus diamankan, harus dilindungi, harus dibela karena warga negara selama ini telah dilindungi oleh negara.

Ada ungkapan umum yang dikenal luas, yakni: “kalau bukan kita yang membela negara, maka siapa lagi?” dan “kalau bukan sekarang kita membela negara, maka kapan lagi?”. Ungkapan ini mengandung arti bahwa setiap warga negara harus setiap saat wajib membela ne-gara dan setiap warga nene-gara tanpa memandang jabatan apapun wa-jib membela negara. Harus ada hubungan timbal balik antara negara dan warga negara, dimana negara memberikan keamanan (security)

dan kesejahteraan (prosperity) kepada warga negara, sedangkan warga

(14)

negara harus memberikan pembelaan ketika negara dalam kondisi ter-ancam oleh ter-ancaman musuh yang langsung atau tidak langsung me-nyerang bangunan negara.

Secara filosofis, bela negara merupakan sebuah implementasi dari teori kontrak sosial atau teori perjanjian sosial tentang terben-tuknya negara. Dalam pandangan para penganut teori kontrak sosial dinyatakan bahwa negara terbentuk karena keinginan warga negara atau masyarakat untuk melindungi hak dan kewajibannya dalam ke-hidupan bermasyarakat agar supaya terjalin hubungan yang harmo-nis, damai dan tentram. Setiap warga negara memiliki kepentingan, masing-masing kepentingan pasti berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di tengah masyarakat. Negara dihadirkan oleh kesepakat-an atau perjkesepakat-anjikesepakat-an kesepakat-antara warga negara di tengah masyarakat untuk melindungi hak dan kewajiban warga negara serta untuk menjamin tidak adanya konflik kepentingan antar individu di tengah masyarakat. Dalam konteks ini, negara memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu menselaraskan kepentingan antar warga negara di tengah inter-aksi masyarakat. Negara menjamin adanya hak dan kewajiban yang dijalankan secara damai, aman dan harmonis di tengah masyarakat. Untuk menjamin tujuan itu tercapai, maka negara membuat aturan main, regulasi, dan aturan hukum yang didalamnya mengatur hak dan kewajiban antar warga negara kaitannya pula dengan negara serta adanya pemberian sanksi atau hukuman bagi siapapun warga negara yang melanggar regulasi atau aturan hukum tersebut. Warga negara diminta mematuhi semua aturan itu dan bagi warga negara yang me-langgar aturan akan diberi sanksi / punishment dan bagi warga negara

yang mematuhi aturan akan diberikan reward.

Dalam kaitan ini, sangat jelas bahwa negara lahir karena ada-nya kesepakatan antar warga negara. Negara merupakan produk yang dibuat oleh warga negara. Adanya negara karena kesepakatan dari warga negara. Negara akan kokoh dan kuat apabila dibela oleh warga negara karena warga negara adalah pihak yang mendesain

(15)

terben-tuknya negara. Sangat logis dan masuk akal apabia negara dibela oleh warga negara. Alasannya, negara dibuat oleh warga negara, sehingga ketika negara memerlukan bantuan untuk dibela maka warga negara harus membela negara kapanpun dan dimanapun. Selain itu, mem-bela negara harus dilakukan karena mem-bela negara merupakan tindakan timbal balik antara relasi negara dengan warga negara. Negara hadir di dunia untuk melindungi keselarasan kepentingan antar warga negara, sedangkan warga negara harus membalasnya dengan membela negara ketika negara membutuhkan pembelaan.

Hubungan antara negara dan warga negara dalam konteks bela negara adalah hubungan yang bersifat timbal balik. Negara membu-tuhkan warga negara, sedangkan warga negara membumembu-tuhkan negara. Antara warga negara dan negara saling membutuhkan, saling meleng-kapi, dan saling mengisi. Hubungan antara negara dan warga negara bersifat komplementer sehingga dapat memberikan kekuatan yang kuat dan dahsyat apabila kedua pihak bersatu padu membangun ba-ngunan negara bangsa. Negara akan kuat dan kokoh apabila warga negaranya bersatu padu dan solid membela negara. Warga negara akan nyaman, aman, damai dan sejahtera apabila negara kuat dan ko-koh karena adanya jaminan keamanan yang kuat dari negara.

Bela negara harus dipahami dalam konteks yang luas dimana setiap warga negara merupakan entitas yang hidup didalam sebuah bangunan negara sehingga secara hakiki warga negara wajib untuk menjaga, memelihara dan mengayomi setiap pranata, institusi dan perangkat kelengkapan negara. Negara harus dibela sampai titih darah penghabisan apabila memang negara tersebut amanah dalam men-jalankan pemerintahannya. Tidak ada alasan bagi warga negara untuk mengelak dan menghindar dari kewajiban untuk membela negara. Warga negara harus patuh, loyal, taat, dan tunduk pada setiap regulasi yang dibuat oleh negara dalam upaya menggalakkan bela negara.

Beda dengan negara yang otoriter atau negara yang tidak nah terhadap kepentingan rakyat. Negara yang otoriter dan tidak

(16)

ama-nah tidak perlu dibela karena hanya akan melahirkan kepongahan pe-nguasa dalam menjalankan pemerintahannya. Negara yang dijalankan secara otoriter oleh pemerintahnya tentunya akan menimbulkan pro dan kontra bagi warga negara apabila bela negara diwajibkan. Tentu-nya baTentu-nyak warga negara yang tidak mau membela negara ketika war-ga newar-gara tidak nyaman denwar-gan newar-gara yang diperintah oleh penguasa yang tidak pro warga negara. Kalaupun ada bela negara, maka warga negara melakukan secara tidak ikhlas alias adanya paksaan sehingga tidak murni muncul dari kesadaran masyarakat.

B. REGULASI BELA NEGARA

Bela negara merupakan sebuah kebijakan. Sebagai sebuah kebijakan, maka bela negara tentu memiliki dasar hukum, landasan yuridis, dan regulasi yang tepat dan absah. Bela negara merupakan kebijakan yang dibuat oleh negara atau pemerintah yang bertujuan untuk melindungi negara dari ancaman musuh baik yang datang secara langsung mau-pun tidak langsung. Bela negara harus disosialisasikan kepada semua komponen masyarakat agar supaya dipahami dan dijiwai oleh semua komponen masyarakat, sehingga semua komponen masyarakat secara suka rela membela negara.

Bela Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam ke-pentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Secara fisik, hal ini dapat diartikan sebagai usaha pertahanan menghadapi serang-an fisik atau agresi dari pihak yang mengancam keberadaan negara tersebut, sedangkan secara non-fisik konsep ini diartikan sebagai upaya untuk serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, baik melalui pendidikan, moral, sosial maupun peningkatan kesejahteraan orang-orang yang menyusun bangsa tersebut1.

Bela Negara adalah sikap, perilaku, dan tindakan warga neg-ara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negneg-ara Kesatuan

(17)

Repu-blik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Dasar hukum bela negara di Indonesia memang sudah sangat jelas termaktub dalam berbagai aturan perundang-undangan, khususnya di dalam UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 Pasal 30 ayat 1 dan ayat 2 menyatakan secara eksplisit tentang bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai berikut:

• Pasal 30 ayat 1: “Setiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pertahanan dan keamanan negara”.

• Pasal 30 ayat 2: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.

Selanjutnya dalam UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, di pasal 9 diamanahkan secara jelas tentang aturan bela ne-gara bagi masyarakat Indonesia, sebagai berikut:

• Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

• Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui:

− pendidikan kewarganegaraan;

− pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;

− pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan

− pengabdian sesuai dengan profesi.

• Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang.

Secara lebih detail akan dilihat berbagai aturan yang tertuang dalam regulasi hukum tentang dasar hukum pelaksanaan bela negara yang ada di Indonesia, berikut ini:2

(18)

• Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.

• Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok

Perlawanan Rakyat.

• Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.

• Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.

• Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI. • Amandemen UUD ’45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.

• Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti: (1) Ikut serta dalam mengaman-kan lingkungan sekitar (seperti siskamling); (2) Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri; (3) Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn; (4) Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka. Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Ke-satuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.3

Bela negara merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan bagi semua komponen bangsa Indonesia sehingga tidak perlu diperdebat-kan lagi eksistensinya. Secara yuridis, bela negara telah tercantum dalam berbagai aturan hukum sehingga kuat keabsahannya. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana menjabarkan bela negara dalam praktek kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Bela ne-gara harus mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari dan tercermin

(19)

dalam sikap dan perilaku warga negara. Setiap perilaku warga negara yang berbasis bela negara harus mengacu pada unsur-unsur bela nega-ra sebagai berikut: Cinta Tanah Air, Kesadanega-ran Berbangsa & berneganega-ra, Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara, Rela berkorban untuk bangsa dan negara, dan Memiliki kemampuan awal bela negara.

C. RELASI BELA NEGARA DAN WAJIB MILITER

Masalah bela negara dan wajib militer selalu menarik untuk diperde-batkan setiaap saat dimanapun dan kapanpun serta oleh siapapun. Se-tiap membicaarakan tentang bela negara, maka ujung-ujungnya akan bermuara pada masalah yang berkaitan dengan wajib militer (wamil). Bagi sebagian orang, bela negara sama dengan wajib militer. Sebagian orang lagi menyatakan bahwa bela negara berbeda dengan wajib mili-ter. Sebagian orang lagi menyatakan bahwa wajib militer adalah salah satu contoh riel dan kongkret dari bela negara. Penulis termasuk yang meyakini dan membenarkan bahwa wajib militer adalah salah satu sarana atau wujud dari bela negara.

Bela negara dan wajib militer sangat terkait satu dengan yang lainnya. Wajib militer merupakan salah satu sarana atau instrumen pelaksanaan bela negara. Bela negara lazim diimplementasikan di negara lain melalui wajib militer. Di negara Indonesia, bela negara belum diimplementasikan melalui wajib militer. Hal ini karena masih adanya pro dan kontra tentang wajib militer dan belum adanya aturan yang jelas dan absah tentang pelaksanaan wajib militer di Indonesia.

Wajib militer di negara Indonesia menimbulkan ingatan suram di masa lampu, khususnya di masa Orde Baru. Masyarakat terkesan “trauma” dengan kata dan kalimat wajib militer yang mengingatkan akan kekerasan militer di masa Orde Baru. Wajib militer dipersepsi-kan sebagai “militerisasi” atau dipandang negatif sebagai masuknya militer dalam politik. Wajib militer masih menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak sehingga wajib militer selalu mendapatkan peno-lakan dari sebagian kalangan.

(20)

Di era reformasi saat ini, sangat sulit untuk membuat kebijakan yang terkait untuk meningkatkan bela negara melalui wajib militer. Meskipun wajib militer adalah salah satu instrumen atau sarana dalam meningkatkan bela negara di tengah kehidupan masyarakat, namun se-bagian pihak masih “alergi” dengan kata-kata “wajib militer’. Padahal, wajib militer merupakan salah satu wujud dari bela negara dan wajib militer dalam artian yang sesungguhnya adalah bukan menjadikan ru-ang bagi masuknya militer dalam kehidupan politik dan kehidup an masyarakat.

D. WACANA “WAJIB MILITER”

Wacana wajib militer di Indonesia selalu melahirkan pro dan kon-tra di tengah masyarakat. Sebagian besar pihak menyatakan bahwa wajib militer tidak perlu dilaksanakan di Indonesia. Semboyan yang dilontarkan adalah bahwa: “bela negara yes, wajib militer no”. Wa-jib militer merupakan kata yang sudah terlanjur negatif di telinga ma-yoritas masyarakat Indonesia. Wajib militer dipahami secara sempit dan kurang komprehensif sebagai upaya melegalkan militer masuk dalam politik. Persepsi keliru ini sebenarnya perlu diluruskan karena akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Di negara yang demokratis pun seperti Amerika Serikat, wajib militer wajib dilakukan oleh setiap negara. Wajib militer sangat baik tujuannya, yakni untuk melindungi negara dari berbagai ancaman dan meningkatkan soliditas antar kom-ponen bangsa.

Namun demikian, sebagai negara yang baru keluar dari rezim otoriter di bawah pemerintahan Orde Baru, sangat wajar apabila ba-nyak pihak yang khawatir akan kebijakan wajib militer bila diterap-kan di Indonesia. Wajib militer di Indonesia sebenarnya sudah dicoba digagas pada era reformasi saat ini dengan digulirkannya RUU Kom-ponen Cadangan yang sampai dengan saat ini masih dalam proses pembahasan antara pemerintah dan DPR. RUU ini terus mendapatkan sorotan dari berbagai pihak dan sampai dengan saat ini belum ada titik temu antara pemerintah dan DPR sehingga belum menjadi UU.

(21)

Di Indonesia, kita tidak mengenal adanya wajib militer (wamil), namun ternyata sejak tahun 2002 Indonesia sudah menyiapkan RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang wajib militer yang dalam hal ini disebut dengan RUU Komcad (Komponen Cadangan). Bagaimana bila Indonesia jadi menerapkan wajib militer? Pasukan Komponen Cadangan dibentuk untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemam-puan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dalam upaya penyelenggaraan pertahanan negara. Sesuai dengan pasal yang tertera di dalam RUU Komponen Cadangan ini yang wajib mengikuti wajib militer/komponen cadangan ini adalah warga negara Indonesia yaitu: Pasal 8 ayat (1) Pegawai Negeri Sipil, pekerja dan/atau buruh yang telah memenuhi persyaratan wajib menjadi anggota Komponen Cadangan. Ayat (2) mantan prajurit TNI yang telah memenuhi per-syaratan dan dipanggil, wajib menjadi anggota Komponen Cadangan. Ayat (3) warga negara selain Pegawai Negeri Sipil, pekerja dan/atau buruh dan mantan prajurit TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat secara suka rela mendaftarkan diri menjadi Ang-gota Komponen Cadangan sesuai dengan persyaratan dan kebutuhan.4

Wajib militer ini berlangsung selama 5 tahun sesuai Pasal 17 ayat (1) dalam RUU Komponen Cadangan (1) Anggota Komponen Cadangan wajib menjalani masa bakti Komponen Cadangan selama 5 (lima) tahun dan setelah masa bakti berakhir secara sukarela dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) tahun. Masa bakti ini dianggap terlalu lama, karena negara-negara yang sudah dari dulu melakukan wajib militer di nega-ranya seperti halnya Korea Selatan dan Singapura saja masa baktinya hanya 2 tahun. Akhirnya RUU Komponen Cadangan ini pun masih menimbulkan pro dan kontra. Alasan lain mengapa banyak yang me-nolak RUU Komponen Cadangan di Indonesia adalah sanksi meme-nolak wajib militer bagi warga negara ini tidak main-main lagi yaitu pidana penjara paling lama 1 tahun, hal ini ada yang menganggap sebagai pelanggaran hak asasi dan individual. Ada yang menganggap wajib militer tidak relevan untuk kondisi saat ini dimana dunia tidak akan mengarahkan ke perang, tapi dialog bilatetal atau multilateral. Serta

(22)

wajib militer itu diperlukan bagi negara yang memiliki ancaman yang besar dan dalam peperangan, sedangkan Indonesia tidak memiliki an-caman yang cukup berarti.5

Tak hanya kontra, masih banyak juga yang pro bagaimana bila Indonesia jadi menerapkan wajib militer, itu termasuk pejabat, petinggi, dan pemimpin negara ini. Mereka berpendapat, setiap warga negara wajib siaga bila suatu saat terjadi perang dan harus melakukan apa bila diserang. Wajib militer juga bisa meningkatkan rasa nasionalisme kebangsaan bagi pemuda yang kini sudah mulai memudar, selain itu dapat menguntungkan dan menghemat bagi negara dalam hal perekrut-an perekrut-anggota Tentara Nasional Indonesia dapat diambil dari Komponen Cadangan yang terpilih sesuai kualifikasi nantinya. Komisi Cadangan ini tak hanya disiapkan untuk berperang tetapi juga dapat membantu misalnya terjadi bencana alam seperti gempa di kawasan Indonesia. Dan yang terpenting sesuai Pasal 21 RUU ini, setelah proses kom-ponen cadangan/wajib militer ini mereka bisa kembali lagi bekerja di tempatnya masing-masing, selama proses penugasan tidak terjadi putusnya hubungan kerja dengan tempat mereka bekerja. Mengingat masih banyak nya pro dan kontra tentang bagaimana bila Indonesia jadi menerapkan wajib militer tampaknya RUU ini masih akan lama disah-kan, karena harus menunggu pengesahan RUU Keamanan Nasional terlebih dahulu. Agar semuanya dapat terkendali dengan baik dan ti-dak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.6

Berdasarkan pro dan kontra di atas, maka dapat dikatakan bahwa RUU Komponen Cadangan dipersepsikan oleh sebagian pihak sebagai cerminan dari kebijakan wajib militer. Ini artinya bahwa dalam benak sebagian pihak bahwa wajib militer merupakan sesuatu yang mena-kutkan dan membahayakan demokrasi dan HAM. Pandangan keliru inilah yang kemudian melahirkan pro dan kontra tentang RUU Kom-ponen Cadangan. RUU ini dikhawatirkan akan melahirkan kebijakan militerisasi sipil sehingga banyak pihak menolak secara ramai-ramai. Wajib militer masih menjadi kebijakan yang sensitif di Indonesia

(23)

se-hingga pasti akan menimbulkan wacana yang tanpa henti, khususnya bagi para aktivis pro demokrasi dan HAM.

E. WAJIB MILITER DI NEGARA LAIN

Alangkah lebih bijaksana kalau kita melihat kebijakan wajib militer di negara lain. Meskipun di Indonesia kebijakan wajib militer belum ada dan belum menjadi keharusan, maka di banyak negara lain ternyata wajib militer merupakan sebuah kewajiban dan keharusan. Negara-negara maju dan demokratis, seperti Amerika Serikat dan Inggris seka-lipun menerapkan wajib militer sebagai sebuah kewajiban bagi setiap warga negaranya masing-masing. Padahal, mereka negara demokratis dan menjunjung tinggi HAM, sehingga sebenarnya tidak ada korelasi antara wajib militer dengan negara yang otoriter. Selama ini orang meyakini bahwa wajib militer akan berpotensi lahirnya pemerintahan yang otoriter, sehingga negara yang demokratis harus menjauhi wajib militer. Pandangan ini ternyata keliru karena banyak negara-negara yang demokratis justru menerapkan wajib militer dan pemerintahan-nya malah demokratis dan sangat menjunjung tinggi HAM.

Wajib militer atau seringkali disingkat sebagai wamil adalah ke-wajiban bagi seorang warga negara berusia muda, biasanya antara 18 - 27 tahun untuk menyandang senjata dan menjadi anggota tentara dan mengikuti pendidikan militer guna meningkatkan ketangguhan dan kedisiplinan seorang itu sendiri. Wamil biasanya diadakan guna untuk meningkatkan kedisiplinan, ketangguhan, kebranian dan kemandirian seorang itu dan biasanya diadakan wajib untuk pria lelaki. Yang harus wamil biasanya adalah warga pria. Warga wanita biasanya tidak diha-ruskan wamil, tetapi ada juga negara yang mewajibkannya, seperti di

Israel, Korea Selatan dan Suriname. Mahasiswa juga biasanya tidak perlu ikut wamil. Beberapa negara juga memberi alternatif tugas nasional (Layanan alternatif) bagi warga yang tidak dapat masuk militer karena alasan tertentu seperti kesehatan, alasan politis, atau alasan budaya dan agama7.

(24)

Negara-negara yang melaksanakan Wajib Militer di dunia dapat disebutkan sebagai berikut :8

Mesir. Dengan jangka waktu Wajib Militer selama 12 sampai 30 bulan. Wajib Militer di Mesir diwajibkan bagi warga negara yang berusia 18 sampai 30 tahun. Selain itu, untuk menghindari pelang-garan-pelanggaran yang ada. Pemerintah Mesir tidak mengizinkan Warga Negaranya yang berumur kurang dari 25 tahun berpergian ke luar negeri tanpa persetujuan Kementerian Ketahanan dan Keamanan.

Republik Cina (Taiwan). Pada Republik Taiwan sudah ditetapkan sejak tahun 1949. Tetapi pada tahun 2007, masa Wajib Militer di Tai-wan dipotong menjadi lebih pendek menjadi 14 bulan.

Korea Selatan. Berbeda dengan Wajib Militer pada umumnya, di Korea Selatan wajib militer diperbolehkan dengan jangkauan umur 18-35 tahun. Jangka waktu Wajib Militer pun lebih lama, yaitu 24 bulan.

Malaysia. Biasa disebut Program Latihan Khidmat Negara (PLKN) di Malaysia, program ini dilaksanakan untuk Pria yang berumur 18 tahun ke atas. Dengan jangka waktu pendek (3 bulan). Program ini dicanangkan pemerintah Malaysia sejak Desember 2003.

Singapura. Disebut National Service di Singapura. Diwajibkan untuk Pria yang berumur 18 tahun ke atas. Dengan jangka waktu Wa-jib Militer 22 sampai 24 bulan. Program ini dijalankan sejak 1967.

Rusia. Di Rusia, program Wajib Militer diwajibkan bagi seluruh Pria yang berumur 18-27 tahun (tanpa terkecuali). Awalnya Wajib Mi-liter di Rusia mempunyai jangka waktu 18 bulan. Tetapi mulai tahun 2008 jangka waktu wajib militer dikurangi menjadi 12 bulan.

Swiss. Berbeda dengan di negara lain. Di Swiss seseorang boleh saja tidak mengikuti Wajib Militer pada masa hidupnya, tetapi orang tersebut diwajibkan membayar pajak penghasilan 3% lebih banyak daripada orang yang mengikuti wajib militer.

(25)

Brasil. Brazil sudah mempunyai sistem Wajib Militer sejak 1906. Yang diperuntukan bagi pria yang sudah berumur 18 tahun ke atas. Tetapi hukum yang mengatur tentang wajib militer baru disahkan pada tanggal 17 Agustus 1964.

Israel. Israel mewajibkan semua warga negaranya, tanpa ter-kecuali Pria atau Wanita mengikuti Wajib Militer. Pria diwajibkan mengikuti wajib militer selama 30 bulan, sementara wanita selama 18 bulan.

Turki. Banyak peraturan-peraturan unik yang ada pada Wajib Militer di Turki, para Mahasiswa S1 (atau yang akan menempuh S1) di-perbolehkan untuk menunda wajib militernya. Selain itu, mahasiswa S1 atau lebih, diperbolehkan mengikuti Wajib Militer Pelayanan pu-blik dengan jangka waktu singkat yaitu 6 bulan.

Aljazair. Negara ini melaksanakan Wajib Militer sejak 1954 se-iring dengan adanya gerakan kemerdekaan untuk Aljazair.

Adapun negara-negara lain yang melaksanakan Wajib Militer dapat dilihat dalam tabel berikut ini:9

No Negara No Negara 1 Angola 17 Norwegia 2 Austria 18 Belarus 3 Bolivia 19 Kazakhstan 4 Chili 20 Armenia 5 Eritrea 21 Moldova 6 Estonia 22 Uzbekistan 7 Finlandia 23 Paraguay 8 Georgia 24 Polandia 9 Iran 25 Romania 10 Korea Utara 26 Seychelles 11 Kroasia 27 Siprus 12 Kuba 28 Suriname 13 Kuwait 29 Suriah 14 Myanmar 30 Swedia 15 Thailand 31 Ukraina 16 Venezuela 32 Yunani

(26)

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Bela_negara 2 http://www.organisasi.org/1970/01/kewajiban-bela-negara-bagi-semua-warga-negara-indo-nesia-pertahanan-dan-pembelaan-negara.html 3 http://www.organisasi.org/1970/01/kewajiban-bela-negara-bagi-semua-warga-negara-indo-nesia-pertahanan-dan-pembelaan-negara.html 4 http://www.saranainformasi.com/2013/10/18/bagaimana-bila-indonesia-jadi-menerapkan-wajib-militer/ 5 Ibid. 6 Ibid. 7 http://id.wikipedia.org/wiki/Wajib_militer 8 http://setya-wa2n.blogspot.com/2013/01/negara-negara-yang-menganut-wajib.html 9 Ibid.

(27)

-oo0oo-A. MODERNITAS, HUMANISME DAN KRISIS

KEMANUSIAAN

M

odernitas sebagai fajar baru dan manifesto perubahaan sosial dalam sejarah kebudayaan modern Barat pasca re-naissance, reformasi, dan aufklarung (pencerahan, enlight-ment) telah menjadi mitos laksana sebuah agama baru dalam

kehidup-an umat sejagat dewasa ini. Modernitas peradabkehidup-an Barat pasca abad tengah ini memiliki mata rantai persentuhan dengan kebudayaan di Italia abad ke-14 dan kemudian Inggris, Perancis dan Jerman pada abad ke-17 dan ke-18. Persambungan budaya ini telah menjadikan modernitas hadir sebagai hegemoni baru yang merambah ke seluruh penjuru dunia hingga akhir abad ke-20 dan menjadi kiblat peradaban dunia (core civilization).

Pengaruh proyek modernitas peradaban Barat yang dibalut oleh temali kapitalisme global dan mengangkut nilai-nilai individual-liberal serta dikemas dalam tema globalisasi sangat terasa dan ken-tara dalam kehidupan sosial masyarakat ketimuran. Arus modernisasi telah menggeser, dan mungkin juga melenyapkan, budaya lokal yang saat ini berkembang dan dianut oleh masyarakat lokal setempat dan

GLOBALISASI, MODERNITAS

(28)

umumnya berada dinegara berkembang yang dikenal dengan struktur masyarakat pinggiran.

Begitu kuat tarikan modernitas telah menciptakan kristalisasi ungkapan yang bisa dibilang naif bahwa jika tidak mengikuti mo-dernisasi ala Barat, maka dapat dikatakan tidak modern alias

tradisi-onal. Padahal, jika disimak lebih mendalam dan seksama, kebanyakan orang memahami dan meniru modernitas Barat baru pada dataran “kulit” nya saja, belum sampai pada “daging” dan “hati” nya. Karena itu, gejala demonstration effect ini menjadi aneh, lucu, janggal dan

sekaligus menggelikan. Mereka tidak sadar bahwa lokalitas budaya dan identitas ketimurannya telah dinafikan sendiri. Pergulatan antara tradisi dan modernisasi ini menciptakan dikotomi realitas kehidupan, seperti center-periferi, pusat-pinggiran, kota-desa, pengusaha-buruh

dan kaya-miskin.

Mitos modernitas yang lahir dan mengalami dinamika percepat-an sejak revolusi industri dpercepat-an revolusi Perpercepat-ancis telah melahirkpercepat-an se-deretan kisah-kisah atau cerita-cerita agung (grand narrative) tentang

kemajuan kehidupan umat manusia di dunia. Kisah-kisah agung ini berkisar pada kemajuan peradaban Barat yang lebih unggul dari per-adaban-peradaban lainnya. Demokrasi liberal, kapitalisme global, dan hak asasi manusia ala barat yang merupakan produk-produk

moder-nitas telah menjadi manifesto politik-ekonomi dunia akhir abad ke-20 dan awal abad ke- 21.

Dalam dataran alam pemikiran, modernitas yang dibingkai oleh faham humanisme-antroposentris ( manusia sebagai pusat alam

pe-mikiran dan manusia menjadi pusat titik alam), telah melakukan pem-bongkaran radikal atas alam pikiran teosentrisme (Tuhan sebagai titik

pusat alam) yang berkiblat pada faham ketuhanan, khususnya pada filsafat skolastik dan agama kristen abad tengah yang didominasi oleh hegemoni kekuasaan gereja. Di samping itu, modernitas telah pula menggeser pusat peradaban dari peradaban Islam yang mengalami

(29)

masa keruntuhan pada 1258 di Bagdad beralih ke peradaban Barat pasca abad tengah.

Modernitas telah menjadi suatu mazhab kemajuan yang berlaku umum dan kerapkali beralih fungsi sebagai alat kategorisasi sosial yang ekstrem atas struktur sosial yang masih tradisionalitas. Bahkan, modernitas telah dijadikan alat verifikasi atau pengujian atas kebenar-an universal dkebenar-an obat mujarab dalam mengatasi keterbelakkebenar-angkebenar-an, kemiskinan, dan kekerasan massal yang seringkali terjadi di negara Dunia Ketiga.

Kisah-kisah agung modernitas yang dirajut oleh para ilmuwan barat tentang kemajuan zaman modern telah melahirkan faham hu-manisme. Hal ini ditandai dengan pergeseran perkembangan manu-sia dari makhluk spiritual menjadi makhluk materiallis. Lewat corong modernitas, humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Manusia bagai superman yang merasa dirinya

unggul karena penemuan sains dan teknologi lewat otaknya. Mereka menganggap alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia tanpa mengindahkan rambu-rambu yang ada. Mereka tidak sadar bahwa dirinya adalah makhluk budaya yang tidak terlepas dari lingkungan alam dan manusia lain di sekitarnya. Akibatnya, terjadi krisis identitas manusia itu sendiri.

Menurut Frans Magnis-Suseno, humanisme modern yang berkembang saat ini sebenarnya telah ada sejak zaman Antik yang ber-pusat di Romawi dua ribu tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, humanisme modern terbelah ke dalam dua sempalan. Pertama,

hu-manisme seimbang atau moderat yang menjunjung tinggi keluhuran manusia, keterbukaan nilai, toleransi, universalisme dan religiositas yang dekat dengan alam. Kedua, humanisme sekular atau anti agama.

Artinya, agama difahami sebagai takhayul, ilusi, candu, bentuk keter-asingan manusia, dan keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila membebaskan diri dari agama.

(30)

Saat ini, humanisme yang dominan dalam alam pikiran manu-sia adalah humanisme sekular atau anti agama. Akibatnya, manumanu-sia mengalami kekosongan nilai sehingga sangat rawan jika melakukan interaksi dengan manusia lain. Gejala ingin menguasai orang lain, an-caman terorisme, munculnya kekerasan massal, dan kerusuhan sosial yang berbau primordialisme merupakan bentuk dan sekaligus kon-sekuensi dari merebaknya humanisme sekular. Modernitas, nihilisme, dan humanisme sekular telah mengalahkan humanisme moderat yang penuh dengan nilai-nilai moral-keagamaan. Menipisnya nilai-nilai moral-keagamaan inilah yang menyebabkan terjadinya krisis kemanu-siaan. Artinya, manusia telah kehilangan identitas dan jati dirinya.

Kecenderungan krisis kemanusiaan ini sebenarnya telah di-sinyalir oleh Erich Fromm, tokoh psikoanalisa yang banyak mereflek-sikan kehidupan manusia modern. Menurut Fromm, Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengantarkan manusia pada periode “bebas dari”, tetapi pada saat yang sama manusia tidak “bebas untuk”. Artinya, ilmu pengetahunan dan teknologi memang telah membebaskan manusia dari kemiskinan dan kebodohan. Tetapi, pada sisi yang lain telah membelenggu manusia itu sendiri dan keter-gantungan manusia pada teknologi.

Catatan sejarah menunjukan bahwa kehidupan umat manusia selalu diliputi oleh ancaman dan krisis kemanusiaan. Perang Dunia I dan II, perang Dingin, Perang Vietnam, dan perang Teluk adalah sede-retan contoh krisis kemanusiaan dunia yang memakan banyak korban. Akankah peristiwa mengerikan ini terulang lagi di abad ke-21 ini?. Sulit untuk menjawabnya. Tetapi, yang jelas tragedi WTC dan Pen-tagon, 11 september lalu merupakan awal yang buruk dalam menata kemanusiaan abad ini. Nampaknya, tema terorisme akan muncul ke permukaan dan menjadi musuh bersama (common enemy) bagi

selu-ruh bangsa yang cinta perdamaian dan kemanusiaan.

Ciri dan karakteristik modernitas yang lahir dari rahim peradab-an Barat dperadab-an menjadi model perilaku umat mperadab-anusia sebenarnya

(31)

memi-liki tiga dimensi kecenderungan. Pertama, dimensi kemanusiaan yang

tidak bertuhan (humanisme) yang mengandung gagasan dikotomis un-tuk memisahkan dunia dari akherat. Kedua, dimensi materi yang tidak

bertuhan (materialisme) yang menganggap realitas kehidupan ini ha-nya materi. Ketiga, dimensi perilaku yang tidak bertuhan (atheisme).

Artinya, manusia tidak punya waktu sedikitpun untuk merenungkan, menghayati dan menuruti perintah Tuhan.

Ketiga dimensi kecenderungan inilah yang telah menyebabkan bangsa Indonesia dihantam oleh badai krisis multidimensional dan terancam dalam jurang kebangkrutan. Meletusnya kerusuhan etnis di Sambas, Sampit, Poso, dan Ambon adalah wujud dari krisis kemanu-siaan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Bahkan, gejala sepa-ratisme dan disintegrasi semakin kuat gemanya diwilayah Aceh dan Papua. Celakanya, para pejabat dan elit politik banyak yang terlibat dalam perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan kepenting-an meraih kekuasakepenting-an sehingga lupa terhadap tkepenting-anggung jawab kema-nusiaannya.

Kompleksitas permasalahan bangsa Indonesia ini harus ditang-gulangi secara cepat dan tepat dengan berpegang teguh pada morali-tas yang tinggi (hi-mo, high morality), bukan teknologi tinggi (hi-tech, high tecnology). Oleh karena itu, perlu pengembangan sebuah etos

kemanusiaan baru yang berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai dengan sila kedua dari Pancasila. Cita-cita humanistik ini tidak mesti menjauhkan diri dari norma ketuhanan. Adalah pang-gilan orang-orang beragama untuk membuktikan dengan sikap dan kelakuan nyata bahwa keagamaan bukan halangan bagi sikap yang menghormati martabat manusia dan melihat perbedaan, pluralitas, dan keragaman sebagai sesuatu yang harus diakui dan dihormati.

Pengembangan etos kemanusiaan baru diharapkan dapat men-jadi obat mujarab bagi maraknya aksi kekerasan, kerusuhan, dan ter-orisme anti kemanusiaan–keagamaan yang selama ini mewarnai di-namika kehidupan masyarakat indonesia pasca-reformasi. Masyarakat

(32)

yang memiliki etos kemanusiaan baru bercirikan kemanusiaan yang adil dan beradab dimana secara struktural-institusional, norma-norma hukum, adat istiadat serta moralitas keagamaan dijunjung tinggi oleh individu-individu dalam masyarakat.

Pluralitas dan keragaman masyarakat indonesia harus dibangun dengan nilai-nilai kemanusiaan baru yang menjamin toleransi antar ke-lompok agama, menjaga hak-hak dasar manusia, menolak kekerasan untuk memecahkan masalah bangsa, mengembangkan budaya dialog, dan menjalin solidaritas bangsa yang saat ini mengalami carut marut sebagai konsekuensi dari krisis kemanusiaan. Format dan karakteristik kemanusiaan lama yang dibangun secara bias oleh rezim hegemonik

Orde Baru sudah saatnya didekonstruksi karena terbukti hanya men-ciptakan “bom waktu” meledaknya kekerasan kolektif-etnik dan di-ganti dengan etos kemanusiaan baru yang lebih pluralistik, adil dan beradab.

B. MULTIKULTURALISME DI TENGAH KULTUR

MONOLITIK DAN UNIFORMITAS GLOBAL

Wacana tentang multikulturalisme mulai menguat dan memperoleh tempat yang utama dalam kajian perubahan sosial dan budaya ketika realitas kehidupan di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keanekaragaman budaya dengan berbagai corak bu-dayanya yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Multikulturalisme dipakai sebagai perangkat analisa atau perspektif untuk memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan, dan agama.

Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memi-liki karakteristik heterogen dimana pola-pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima ke-nyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence)

satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap entitas sosial dan politiknya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa

(33)

multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa ma-syarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan ke-kerasan, meskipun didalamnya terdapat kompleksitas perbedaan.

Sebagai sebuah formula dan format baru dalam agenda perubah-an sosial, multikulturalisme dihadapkperubah-an pada kenyataperubah-an adperubah-anya arus globalisasi yang menjangkiti seluruh segmen kehidupan masyarakat baik pada level primordialisme (kedaerahan), nation state (negara

bangsa), maupun pada level dunia internasional (world system).

Pro-ses mengglobalnya nilai-nilai budaya, life style, falsafah, kebiasaan,

dan institusi-institusi yang berasal dari Barat – sebagai asal mula dan sumber globalisasi – kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, hiburan, pendidik-an, sampai dengan urusan selera “perut” dan “aurat” harus dipahami sebagai proses penyeragaman dan pembaratan budaya .

Globalisasi yang membawa misi homogenisasi, westernisasi,

dan uniformitas budaya ini sangat bertentangan dengan gagasan

mul-tikulturalisme yang ber platform pluralis, humanis, dan menjaga

he-terogenitas budaya sebagai sesuatu yang alamiah (nature). Padahal,

globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang saat ini sedang mengalami krisis kebudayaan. Globalisasi telah berubah dari sebuah mitos menjadi realitas yang yang bersifat kongkret dan empirik.

Dalam sejarah perkembangannya, globalisasi merupakan suatu mata rantai dan mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad 16 sampai 19, modernisasi diabad ke-20, dan kapitalisme global dipenghujung abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi mendorong global-isasi mengalami percepatan yang luar biasa pesat.

Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak

(34)

siginfikan. Pertama, mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan

negara bangsa sebagai hasil dari pergulatan antara kedaulatan negara

versus kapitalisme global. Pola “tekanan ke atas” penetrasi globalisasi

ini cenderung mengarah pada integrasi sosial-budaya dibawah naung-an kultur Barat sebagai kultur ynaung-ang dominnaung-an.

Kedua, pola “tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah

membuka katub-katub peluang bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local culture) yang selama ini sedang terbuai oleh kemasan ikatan

nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara bangsa. Lokalitas dan kultur monolitik yang mendasarkan diri pada etnisitas, kesukuan, dan primordialisme ini mulai meneguhkan diri vis to vis identitas

na-sional yang saat ini mengalami pengenduran. Secara politis, gejala ini diindikasikan dengan merebaknya tuntutan dari berbagai daerah atau wilayah yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara bangsa. Gerakan separtisme dan disintegrasi bangsa, khususnya yang saat ini melanda indonesia merupakan salah satu contoh dari penetrasi glo-balisasi jenis ini.

Ketiga, pola “desakan ke samping”. Artinya, kecenderungan

penetrasi globalisasi telah menciptakan domain ekonomi dan kul-tural baru yang melintasi batas-batas negara bangsa yang selama ini ada. Penetrasi globalisasi yang membawa slogan-slogan liberalisme pasar dan perdagangan bebas telah membawa Dunia pada blok-blok perdagangan dan aliansi-aliansi ekonomi yang terbungkus dalam kapi-talisme global. Lahirnya Uni Eropa merupakan contoh kongkret dari gelombang sentrifugal globalisasi.

Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi ini menimbulkan suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan ge-rak meluas ke wilayah global melalui teknologi komunikasi dan in-formasi. Namun di sisi lain, globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses uniformitas nilai yang mengarah pda hege-moni budaya.

(35)

Banyak kalangan awam dalam masyarakat , khususnya yang tidak peduli dengan masalah sosial budaya, tidak menyadari bahwa pola kehidupannya sehari-hari telah didominasi oleh kultur asing yang pada tahap-tahap tertentu tidak sesuaii dengan budaya lokal. Mereka tidak sadar bahwa dilingkungan sekitarnya telah terjadi proses unifor-mitas budaya. Mereka larut dan terbius oleh arus budaya pop dan lyfe style yang lagi nge-trend. Padahal, mereka tidak memahami makna

dan substansi dari penampilan budaya yang demikian.

Ancaman hegemoni budaya (culture hegemony) yang

tersembu-nyi dibalik gelombang globalisasi semakin kuat terasa di era modern sekarang ini. Pada hakikatnya, hegemoni budaya ini sangat berlawan-an dengberlawan-an multikulturalisme yberlawan-ang lebih menekberlawan-ankberlawan-an pada pluralitas dan heterogenitas budaya sebagai sebuah mozaik dan kekayaan bang-sa. Hegemoni budaya ingin melakukan proses pendominasian buda-ya buda-yang beranekaragam itu dalam kendalinbuda-ya. Tentunbuda-ya, gejala buda-yang demikian sangat membahayakan eksistensi budaya-budaya yang lain.

Secara historis, hegemoni budaya yang saat ini sedang gencar-gencarnya dipropagandakan oleh Barat melalui media globalisasi telah ada sejak masa kolonialisme dan imperialisme. Jika pada abad ke-19, kedatangan bangsa-bangsa Barat membawa modernisasi hadir bersamaan dengan perluasan kapitalisme dan kolonialisme politik ser-ta ekonomi, maka pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21, kehadiran budaya universal juga ikut membawa muatan budaya dan peradaban Barat. Gejala seperti ini menurut Huntington akan menim-bulkan titik picu bagi konflik atau benturan peradaban dengan kebu-dayaan-kebudayaan lain.

Saat ini, proses hegemoni budaya sebenarnya telah melanda ke-hidupan masyarakat berbangsa dan bernegara baik yang berdimensi politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politis, Demokrasi liberal Barat telah menjadi model yang didambakan setiap negara dalam sistem kenegaraannya. Secara ekonomi, kapitalisme global Barat selalu menjadi referensi bagi negara yang ingin maju pertumbuhan

(36)

ekonominya. Dan secara sosial, masyarakat telah terkooptasi oleh nilai-nilai individualisme Barat, hedonisme, dan konsumerisme. Ini semua tentu sangat berlawanan dengan budaya mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Ketidakberdayaan melawan gempuran luar dan ketidakberanian menampilkan identitas budaya sendiri akan mengakibatkan suatu entitas sosial menjadi korban dari hegemoni budaya.

Saat ini bangsa indonesia tengah menghadapi arus ganda per-masalahan seputar identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan

lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan

hegemo-ni budaya. Di lain sisi, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai aki-bat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi glo-balisasi. Contoh dari gejala ini adalah munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.

Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal indonesia yang terbungkus dalam mozaik kebudayaan nasional, yang sebenarnya saat ini telah mengalami carut marut dan tercerabut oleh konflik et-nik dan kekerasan kolektif. Oleh karena itu, multikulturalisme (plural culture) seharusnya dijadikan paradigma baru menggantikan konsep

masyarakat majemuk (plural society) yang selama ini diterapkan oleh rezim militer Orde Baru. Masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan sudah saatnya digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme yang mem-punyai cakupan tidak hanya budaya etnik, tapi juga berbagai budaya lokal yang diposisikan secara sederajat.

Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati

(37)

sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (“tunggal ika”) yang paling potensial akan melahirkan persatuan yang kuat, me-lainkan pe ngakuan akan adanya pluralitas (“bhineka”) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaharuan sosial yang demokratis.

Dengan demikian, perlu proses penyadaran diantara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati ke-anekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat kerukun-an dkerukun-an perdamaikerukun-an. Kekerukun-anekaragamkerukun-an budaya ini dapat diilustrasikkerukun-an bagai bintang-bintang dilangit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagad raya. Dalam konteks ini, peranan negara sebaiknya hanya men-fasilitasi bagi terciptanya toleransi antar entitas sosial budaya, dan bu-kan memainbu-kan perana intervensi-represif yang dapat menimbulkan

resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim ko-rporatis Orde baru.

C. RADIKALISME ETNIS MEREMBET KE

RADIKALISME TERORIS

Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan militansi yang mere-bak di Indonesia adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon. Selanjutnya, radikalisme etnik ini kemudian menjalar pada radikalisme kesukuan, golongan, dan agama. Akhirnya, gejala dis-integrasi bangsa menjadi fenomena penting yang mendapat perhatian serius waktu itu. Bentuk-bentuk radikalisme etnik ini telah menelan korban ratusan, dan bahkan ribuan nyawa melayang.

Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu meredup digeser oleh radikalisme teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah ada secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa pengeboman di berbagai Gereja pada malam

(38)

Na-tal, peledakan bom di Atrium Senin, pengeboman Masjid Istiqlal, dan bom di Kedubes Filipina di Jakarta. Puncak dari rangkaian aksi penge-boman ini adalah tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, I2 Oktober 2002 lalu yang menewaskan lebih dari I80 orang tewas dan 300 orang luka berat ringan, yang kemudian disusul dengan berbagai aksi teroris di berbagai wilayah Indonesia saat ini.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan ke-beragaman, sudah sepatutnya jika kita semua mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris yang selama ini menghantui bangsa Indonesia. Biar bagaimanapun juga, dampak dari radikalisme teroris yang menjangkiti berbagai kelompok dan gerakan sosial sangat bertentangan dengan ni-lai-nilai kemanusiaan dan norma-norma keagamaan. Meskipun tujuan dari kelompok-kelompok radikalisme teroris ini ingin menegakkan hukum dan keadilan Tuhan, tapi cara-cara yang mereka pergunakan telah melanggar hukum dan keadilan Tuhan itu sendiri.

Disamping itu, yang perlu dipegang teguh adalah bahwa teror-isme dan segala bentuknya jangan disangkutpautkan dengan agama. Kecenderungan radikalisme teroris terletak pada individu atau per-sonel masing-masing. Bahkan secara lugas dapat dikatakan bahwa para pelaku tindak teroris itu adalah manusia-manusia yang tidak be-ragama dan tidak bertuhan. Sebab, manusia yang bebe-ragama tidak akan melakukan perbuatan biadab seperti itu.

Semakin menguatnya gejala radikalisme teroris di Indonesia saat ini tentunya akan berdampak pada terjadinya benturan-benturan antar berbagai kelompok masyarakat dengan pemerintah. Di samping itu, isu-isu terorisme telah mempengaruhi proses penciptaan dan pengem-bangan pluralitas budaya dan manusia. Tatanan sosial masyarakat, yang ketika meletup reformasi bercerai-berai dan ingin ditransformasi dalam wadah multikulturalisme, akan mengalami hambatan serius apabila isu terorisme semakin mempengaruhi struktur sosial masyara-kat.

(39)

Konsepsi multikulturalisme yang intinya menekankan pada pe-ngakuan dan penghormatan terhadap kebhinekaan dan perbedaan yang selama ini akan dikembangkan dalam konteks kebangsaan In-donesia akan berhadapan secara tajam dengan isu-isu terorisme yang berkembang akhir-akhir ini. Dikatakan demikian karena radikalisme teroris yang disinyalir menghinggapi sebagian kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan sosial masyarakat tidak mengenal akan perbe-daan dan kebhinekaan.

Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan pluralisme, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme tidak memprioritaskan pada upaya-upaya dialog, melainkan langsung pada tindak kekerasan yang mem-bahayakan. Hal ini sangat bertentangan dengan perspektif multikul-turalisme yang mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan, kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan pengakuan akan per-bedaan.

Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Oleh karena itu,Tragedi bom Bali harus dijadikan momentum yang tepat untuk menyadarkan kepada bangsa Indonesia bahwa isu-isu terorisme akan sangat membahayakan semangat multikulturalisme di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Terorisme adalah musuh baru multikul-turalisme.

Melihat betapa bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia ini terhadap persatuan bangsa dan pengembangan multikulturalisme yang sedang dibangun, maka perlu diupayakan sebuah strategi untuk menangkalnya secepat mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah langkah penguatan masyarakaat sipil (civil sosiety) yang ada

dalam masyarakat Indonesia. Seluruh komponen masyarakat sipil mu-lai dari partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi So-sial, Organisasi Keagamaan, Komunitas Intelektual Kampus, Masyara-kat Pers dan komponen masyaraMasyara-kat lainnya harus senantiasa bersatu

(40)

padu, saling berdialog, tukar informasi dan merapatkan barisan demi cegah tangkal praktek terorisme.

Konsolidasi masyarakat sipil ini sangat penting mengingat saat ini negara sebagai unit politik formal tidak mampu lagi memberikan rasa aman dan kedamaian pada rakyatnya dari ancaman terorisme. Struktur negara seperti Eksekutif (Birokrasi dan aparat penegak hukum: Polri, Kejaksaan, TNI), Legislatif (MPR/DPR) dan Yudikatif (Lembaga Peradilan) telah gagal dalam menciptakan tertib sosial masyarakat. Padahal, tujuan utama dibentuknya negara adalah kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat untuk secara bersama mendelegasikan kekuasaan kepada negara untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi interaksi hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat.

Merebaknya aksi-aksi terorisme telah menggangu dan meram-pas hak hidup dan hak untuk aman dari rakyat. Sudah selayaknya bagi rakyat menuntut rezim penguasa berkait dengan terganggunya hak-hak mereka. Tidak berhenti disitu saja, segenap elemen masyarakat harus mengonsolidasi diri demi keamanan masing-masing dari anca-man terorisme.

Penguatan masyarakat sipil bisa dilakukan secara nyata dengan saling tukar informasi, saling dialog, saling bekerjasama sehingga akan tercapai suatu kesepakatan dan gerakan moral sosial yang kuat se-hingga persatuan dan kesatuan bangsa bisa terjaga. Selain itu, de ngan ditumbuhkembangkan budaya dialog, diskusi, dan tukar informasi masing-masing komponen masyarakat akan mendorong percepatan timbulnya budaya multikulturalisme yang selama ini ingin dikem-bangkan secara bersama.

D. SUMPAH PEMUDA ATAU PEMUDA DISUMPAH?

Tepat tanggal 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia menapaki sebuah perjuangan kemerdekaan yang sangat monumental dan bersejarah. Saat itu, tanpa ada paksaan alias dengan kesadaran hati yang bersih,

(41)

berbagai elemen bangsa yang terdiri dari para pemuda dan pemudi pejuang bangsa berkumpul dalam suatu forum dan menyatakan se-buah ikrar yang sangat terkenal sampai saat ini. Para tunas bangsa yang terdiri dari Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Sulawesi, Jong Kali-mantan dan masih banyak lagi jong-jong lainnya bersepakat untuk me-nyatakan diri bersatu dalam satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia.

Peristiwa heroik yang memberikan semacam stimulan dan mo dal awal dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonial-isme Belanda ini kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Karena lahirnya sumpah Pemuda ini tepat tanggal 28 Oktober 1928, maka tiap-tiap tanggal bulan tersebut bangsa Indonesia memperingati hari Sumpah Pemuda.

Makna yang dapat kita ambil dari peringatan hari Sumpah Pemu-da kali ini aPemu-dalah semangat Pemu-dari para pemuPemu-da Indonesia diseluruh ta-nah air ketika itu yang menyatakan diri untuk bersatu dalam tumpah darah bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme yang menggelora dalam setiap sanubari para pemuda Indonesia itu patut untuk dijadikan mo-del panutan oleh para pemuda bangsa Indonesia saat ini. Para pemuda bangsa Indonesia yang saat ini dapat dikatakan mengalami krisis nasi-onalisme harus menjadikan peringatan hari Sumpah Pemuda kali ini sebagai momentum untuk mempertebal jiwa nasionalisme bangsa.

Seperti diketahui bahwa ditahun-tahun terakhir ini, khususnya setelah bergulirnya reformasi, bangsa Indonesia mendapat ujian berat masalah nasionalisme bangsa. Beberapa daerah yang rawan konflik sosial secara berentetan menyatakan pernyataan untuk keluar dari ikat an nasionalisme bangsa Indonesia. Daerah-daerah seperti Aceh, Papua, Maluku, dan Riau (meskipun saat ini sudah surut), tanpa di-nyana-nyana sebelumnya menginginkan untuk keluar dari Negara Ke-satuan Republik Indonesia.

Mereka beramai-ramai mengusung bendera primordialisme se-bagai landasan bagi perjuangan untuk melepaskan diri dari bangsa

(42)

Indonesia. Singkatnya, bangsa Indonesia mengalami gejala grasi bangsa yang sangat membahayakan. Berbagai gerakan disinte-grasi bangsa ini banyak didorong oleh adanya fakta lepasnya Timor-Timur dari pangkuan Republik Indonesia melalui jajak pendapat tahun 1999 lalu. Belum lagi ditambah dengan permasalahan konflik politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial yang sampai saat ini masih sering terjadi.

Berbagai gejala disintegrasi bangsa ini tentunya harus dipahami sebagai sebuah gejala arus balik. Dikatakan sebagai arus balik karena jika ditelusuri dari aras sejarah bangsa, maka kita akan dapat mengeta-hui bahwa pada tahun 1928 dan 1945, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai elemen berdasar pluralitas suku, agama, ras, dan golong-an ini melakukgolong-an lgolong-angkah maju dgolong-an bergolong-ani, yakni bersatu dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan gagah berani dan semangat nasionalisme membara, para pejuang bangsa ini ber-satu untuk kemudian menyatakan diri merdeka lepas dari kungkungan penjajahan asing. Sejak saat itulah, tonggak-tonggak negara Indonesia dimulai dan dipancangkan.

Berbagai kalangan pemuda-pemudi pejuang bangsa yang di-pimpin oleh Soekarno dan Hatta meletakan dasar-dasar kenegaraan dan pemerintahan. Ada semacam arus utama yang sangat dahsyat yang mendorong berbagai komponen bangsa dari seluruh pelosok ta-nah air untuk bersatu berdasarkan senasib dan sepenanggungan men-derita dijajah oleh bangsa Belanda.

Namun, saat ini, kita semua melihat terjadinya arus balik. Arti-nya, terjadi suatu kenyataan yang sangat ironis dimana berbagai kom-ponen bangsa yang pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa In-donesia melakukan semacam gerakan perkuatan kohesifitas menuju entitas nation state, namun saat ini yang terjadi adalah kebalikannya.

Komponen bangsa itu mulai mengalami ketidakbetahan berada dalam bingkai nasionalisme Indonesia. Mereka menginginkan untuk kem-bali lagi seperti dahulu, yakni berjalan sendiri-sendiri. Ini merupakan

(43)

suatu hal yang sangat ironis dan memprihatinkan karena gejala terse-but adalah gejala kemunduran, bukan kemajuan.

Paling tidak terdapat dua faktor yang menyebabkan gejala terjadinya arus balik dari proses berbangsa dan bernegara yang di-alami bangsa Indonesia saat ini. Pertama adalah semakin menguatnya

fenomena etnisitas dan etnonasionalisme sempit berbasis pada pri-mordialisme. Primordialisme yang saat ini sedang menggejala diham-pir seluruh struktur sosial masyarakat merupakan sebuah antitesa dari konsekuensi represifitas rezim Orde Baru. Rezim militeristik pimpinan Soeharto ini telah menciptakan struktur masyarakat yang sentralitatif, alienatif, marginalitatif, dan monolitik.

Karena itu, begitu hegemoni rezim otoriter itu mulai mengalami kehancuran akibat gelombang reformasi, maka kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan ini mulai menampakan diri untuk menunjukan eksistensinya sembari menyampaikan pesan bahwa mereka ingin menciptakan suatu entitas baru berdasarkan norma dan ideologi yang mereka yakini sebelumnya. Lokalitas bagi mereka merupakan pilihan strategis dibanding tetap bergabung dengan ikatan bangsa Indonesia.

Kedua, kuatnya penetrasi global yang senantiasa masuk melalui

media-media tertentu diseluruh dimensi kehidupan. Kekuatan ekster-nal berupa penetrasi politik, ekonomi dan budaya ini telah merasuk ke dalam struktur lokalitas bangsa sehingga mendorong entitas-entitas lokal untuk lebih eksesif dalam menghadapi hegemoni negara yang sentralistik.

Penetrasi politik bisa melalui masuknya nilai-nilai HAM dan de-mokrasi ala Barat yang cenderung bersifat sangat liberal dan

menekan-kan pada individualisme. Penetrasi ekonomi berupa mengalirnya alir-an modal, investasi, dalir-an hutalir-ang luar negeri yalir-ang kialir-an hari kialir-an terasa berat beban untuk mengembalikannya. Penetrasi budaya dapat dilihat dari aneka perilaku dan gaya hidup yang konsumeris diseluruh lapisan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

(2008) yang menguji pengaruh kejujuran dan otorisasi yang unggul pada proposal anggaran dengan metoda kuesioner, menggunakan 60 lulusan sarjana dari sebuah universitas

Dosis ekstrak etanol wortel (Daucus carota L.) yang memberikan efek anti inflamasi paling besar pada penelitian ini adalah 400 mg/kgBB, dengan prosentase reduksi radang mencapai

Bab II berisi tentang landasan teori dan konsep-konsep yang akan digunakan dan dibutuhkan dalam menunjang penelitian. Penjelasan mengenai teori dan konsep lebih jauh lagi

Seluruh dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan bekal pendidikan serta masukan

Kursus Bahasa dan budaya Melayu mula diperkenalkan di Pusat Pengajian Bahasa, Literasi dan Terjemahan (PPBLT), USM pada tahun 2002. Peserta sulung yang diterima

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan metode tes. Validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan meningkatkan ketekunan

Permasalahan utama yang dapat diangkat dan apakah pergerakan atau perubahan nilai tukar mata uang rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika dalam sistem nilai tukar

Penelitian ini dilakukan secara langsung atau studi kasus terhadap obyek yang diteliti yang dianalisa secara mendalam dan memfokuskan pada suatu masalah yaitu