STRUKTUR KALIMAT DAN FUNGSI GRAMATIKAL DALAM BAHASA JEPANG
4.4 Penentuan Subjek Kalimat
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pemarkah kasus nominatif
dalam bahasa Jepang adalah ga. Namun, munculnya ga setelah konstituen dalam
kalimat tidak selalu bisa dijadikan patokan bahwa konstituen yang dalam hal ini
berupa NP adalah subjek kalimat. Hal ini terjadi karena dalam bahasa Jepang bisa
saja muncul dua pemarkah ga yang memarkahi dua NP dalam satu kalimat.
Contohnya dapat dilihat sebagai berikut.
(11) Ano hito ga eigo ga suki desu. itu orang-NOM bahasa Inggris-NOM suka-KOP-KKin ‘Orang itu suka bahasa Inggris’
Contoh kalimat di atas tidak bisa dinyatakan memiliki dua buah subjek hanya
karena ada dua pemarkah kasus nominatif. Predikat kalimat tersebut adalah suki yang
memang memerlukan pemarkah nominatif ga sama halnya dengan verba statif
lainnya dalam bahasa Jepang. Namun, pembaca atau pembicara bisa saja langsung
berpikir bahwa subjek kalimat tersebut adalah ano hito ‘orang itu’, bukan eigo
‘bahasa Inggris’ karena subjek untuk suki ‘suka’ harus animate. Tsujimura (1996:
228) memberikan beberapa cara untuk menentukan subjek kalimat dalam bahasa
4.4.1 Refleksifisasi
Dalam bahasa Jepang ada dua pronomina refleksif, yaitu jibun dan jibun
jishin. Berbeda dengan bahasa Inggris yang memiliki pronomina refleksif untuk
laki-laki dan perempuan (herself dan himself), pronomina refleksif dalam bahasa Jepang
tidak mengaitkannya dengan hal tersebut. Tsujimura (1996: 230) menyatakan bahwa
kapan pun ditemukan pronomina refleksif jibun dalam kalimat, antesedennya
diidentifikasi sebagai subjek kalimat. Beberapa hal menyangkut pronomina refleksif
dalam bahasa Jepang, antara lain, anteseden untuk jibun harus animate, jibun bisa
muncul di posisi posesor dan anteseden untuk jibun terbatas pada subjek kalimat.
(12) a. Taroo ga Hanako wo jibun no heya de koro-shita Nama-NOM Nama-AK REF-GEN kamar LOK bunuh-KLam ‘Taroo membunuh Hanako di kamarnya sendiri’
Subjek kalimat tersebut adalah Taroo sehingga anteseden dari jibun adalah
Taroo. Tsujimura (1996: 231) juga menyebutkan bahwa jibun bisa mengalami yang
disebut dengan refleksif jarak jauh (long-distance reflexive) dan ketika jibun yang
muncul dalam klausa sematan menemukan antesedennya di klausa utama, orientasi
subjek diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
b. Taroo ga Hanako ni [Ziroo ga jibun wo hihan-shita] to i-tta
Nama-NOM Nama-DAT [Nama-NOM REF-AK kritik] COM berkata-KLam ‘Taroo mengatakan kepada Hanako bahwa Ziroo mengkritik dirinya’
Pada contoh kalimat di atas, jibun dapat memiliki dua anteseden. Baik Taroo
maupun Ziroo diidentifikasi sebagai subjek. Taroo adalah subjek dari klausa utama,
yang mungkin untuk pronomina refleksif sama dengan jumlah subjek yang ada dalam
kalimat. Pada contoh di atas terdapat dua subjek, yaitu subjek klausa utama dan
subjek klausa sematan. Contoh lain yang diberikan untuk melihat bagaimana
refleksifisasi dapat menentukan subjek kalimat dapat dilihat berikut ini.
c. Taroo ga Hanako ga jibun no guruupu de ichiban suki da
Nama-NOM Nama-NOM REF-GEN grup LOK paling suka-KOP-KKin ‘Taroo paling suka Hanako di antara (anggota lain) di grupnya’
d. Taroo ni jibun no kimochi ga wakara-nai
Nama-DAT REF-GEN perasaan-NOM mengerti-KKinNeg ‘Taroo tidak mengerti perasaanya sendiri’
Pada contoh (12c) ada dua frasa nominal yang dimarkahi oleh pemarkah kasus
ga, yaitu Taroo dan Hanako. Namun, yang menjadi anteseden dari jibun adalah
Taroo. Hal tersebut disebabkan oleh predikat contoh kalimat (c), yaitu suki ‘suka’.
Predikat ini adalah salah satu predikat statif dalam bahasa Jepang yang memang
mengharuskan pola ga (subjek) - ga (objek). Itu berarti bahwa Taroo adalah subjek
kalimat sedangkan Hanako adalah objek. Sementara itu, pada contoh (12d) Taroo
dimarkahi oleh pemarkah kasus datif ni dan kimochi ‘perasaan’ dimarkahi oleh
pemarkah kasus ga. Pronomina refleksif jibun mengambil Taroo sebagai antesedenya
karena anteseden untuk jibun harus animate. Jadi, tanpa memerhatikan tipe pemarkah
4.4.2 Honorifikasi Subjek
Honorifikasi subjek berkaitan dengan bahasa Jepang yang memiliki tiga level
ujaran, yaitu futsuu (biasa), teinei (sopan), dan keigo (halus). Sebuah ujaran dalam
bahasa Jepang dapat diidentifikasi tingkat kehalusannya dari bentuk verba yang
digunakan. Hal ini pula yang dijadikan acuan oleh Tsujimura (1996: 231) untuk
menentukan subjek dalam kalimat bahasa Jepang.
(13) a. Yamada sensei ga gakusei no hon wo o-yomi-ni na-tte iru Nama guru-NOM murid-GEN buku-AK baca-KKin-HOR ‘Guru Yamada membaca buku murid’
Ketika membaca kalimat di atas, pembaca bisa dengan mudah mengenali yang
mana subjek kalimat, terlebih adanya pemarkah kasus ga. Namun, mengingat
pemarkah kasus ga tidak selalu bisa dijadikan acuan, pembaca bisa melihat bentuk
verba yang digunakan. Verba o-yomi-ni natte iru adalah bentuk halus dari yomu
‘membaca’ yang digunakan untuk menyatakan kegiatan seseorang yang dihormati.
Dalam kalimat di atas, orang tersebut adalah Yamada sensei ‘guru Yamada’.
Meskipun kalimat di atas diubah, melihat bentuk verba yang digunakan subjek
kalimat tetap sama. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
b. Yamada sensei ni gakusei no kimochi ga o-wakari-ni nara-nai Nama guru-DAT murid-GEN perasaan-NOM mengerti-HOR-KKinNeg ‘Perasaan murid dimengerti oleh Guru Yamada’
Contoh kalimat di atas menunjukkan kembali bahwa konstituen yang
dimarkahi oleh ga tidak selalu subjek kalimat. Bentuk verba o-wakari-ni naranai
adalah bentuk halus dari verba wakaru ‘mengerti’ yang dalam contoh di atas
Yamada. Jadi, terlihat bahwa honorifikasi subjek memainkan peran untuk
mengidentifikasi subjek dalam bahasa Jepang. Subjek pada contoh (b) merupakan
subjek konstruksi pasif yang memang dimarkahi oleh pemarkah datif ni dan di
terjemahkan oleh dalam bahasa Indonesia. Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam
bahasa Jepang ni tidak hanya berfungsi sebagai pemarkah datif, tetapi juga
memarkahi subjek kalimat pasif.