• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap

PERIKANAN TANGKAP

6. Interpretasi model (hasil analisis SEM)

7.4.3 Pola implementasi co-management terpilih

7.4.3.4 Pola evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap

Pola evaluasi kerja ini dikembangkan untuk memberi arahan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan sehingga kinerja usaha perikanan tangkap potensial lebih baik. Kinerja usaha perikanan tangkap yang lebih baik akan menjadi progress positif bagi implementasi co-management kooperatif. Terkait ini, maka hal-hal yang signifikan mempengaruhi kinerja usaha perikanan tangkap harus ditangani dengan baik dalam implementasi co-management terpilih ini. Hasil kajian teoritis menunjukkan bahwa kinerja usaha perikanan tangkap dapat dinilai dari jumlah hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan, dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

Hasil tangkapan dapat dievaluasi setiap kali usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline kembali dari melaut, sedangkan kesejahteraan nelayan dapat dievaluasi dari kesejahteraan nelayan ABK dan pemilik dari usaha perikanan tangkap tersebut. Kelestarian sumberdaya dan lingkungan dapat dievaluasi dari kondisi sumberdaya ikan dan kualitas lingkungan perairan lokasi penangkapan ikan bagi usaha perikanan tersebut. Hasil analisis SEM terkait jumlah hasil tangkapan, kesejahteraan nelayan, dan kelestarian sumberdaya dan

159 lingkungan sebagai bahan evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap

Komponen KP S.E. C.R. P

Hasil tangkapan (Y1) 1,000 fix

Kesejahteraan nelayan (Y2) 3,385 0,771 4,389 0

Kelestarian sumberdaya dan

lingkungan (Y3) 2,083 0,519 4,013 0

Hasil tangkapan berpengaruh positif terhadap kinerja usaha perikanan tangkap, yaitu dengan koefisien 1,000. Namun bila melihat probabilitasnya (P fix), maka pengaruh positif tersebut tidak siginfikan dalam memperbaiki kinerja usaha perikanan tangkap (Tabel 35). Terkait dengan ini, maka dalam implementasi co- management kooperatif, jumlah hasil tangkapan tidak harus menjadi tujuan mutlak pengelolaan usaha perikanan tangkap. Bila hasil tangkapan kualitasnya kurang baik dan tidak kontinyu produksinya tidak akan dapat memperbaiki kinerja, meskipun jumlah hasil tangkapan yang didapat banyak. Hal ini harus menjadi perhatian dalam setiap kegiatan teknis penerapan co-management terpilih.

Kesejahteraan nelayan berpengaruh positif terhadap kinerja usaha perikanan tangkap, yaitu dengan koefisien 3,385, dan bila melihat probabilitasnya (P = 0,0000), maka pengaruh tersebut bersifat signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan kesejahteraan nelayan menjadi ukuran serius dari perbaikan kinerja

usaha perikanan. Hal ini harus menjadi perhatian dalam implementasi co-management kooperatif, dimana setiap upaya pembinaan pada usaha perikanan

tangkap harus diupayakan sebisa mungkin dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan pelakunya.

Kelestarian sumberdaya dan lingkungan juga berpengaruh positif terhadap kinerja usaha perikanan tangkap (KP = 2,083). Seperti halnya pada kesejahteraan nelayan, pengaruh komponen ini juga bersifat signifikan (P = 0,000, tidak melebihi persyaratan). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan dan lingkungan yang lestari serius mempengaruhi kinerja usaha perikanan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline yang dikembangkan di lokasi. Terkait ini,

160

maka dalam implementasi co-management kooperatif pada operasional usaha perikanan, potensi sumberdaya ikan dan kualitas lingkungan dikontrol dan dikendalikan terus. Pengontrolan dan pengendalian ini dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa kelaikan alat tangkap yang dioperasikan nelayan, memeriksa ukuran dan jenis hasil tangkapan, pemeriksaan sampel air secara periodik dan lainnya.

7.5 Pembahasan

Menurut Nikijuluw (2002), implementasi co-management harus memiliki empat komponen utama, yaitu pengelolaan sumberdaya, pengembangan masyarakat dan ekonomi, pengembangan kapasitas, dan dukungan kelembagaan. Sedangkan isu lain yang juga penting dan harus diperhatikan dalam implementasi co-management adalah gender, budaya, etnis, skala ekonomi dan legitimasi. dalam kaitan ini, maka dalam pengembangan konsep co-management kooperatif sebagai co-management terpilih perlu mengakomodir hal tersebut terutama dengan indikator dan lingkup tugas co-management. Selain itu juga pengembangan sumberdaya manusia dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu penyuluhan, pendampingan, dan bimbingan teknis. Sedangkan menurut Jentoft (1989), kegiatan pendidikan, pelatihan, dan praktek teknis yang intensif dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia suatu organisasi hingga pada level optimal. Terkait dengan ini, maka penyuluhan/pelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis dapat diterima sebagai dimensi untuk konstruk sumberdaya manusia usaha perikanan tangkap (SDM UPT).

Hasil pada Tabel 29, menunjukkan bahwa indikator yang digunakan dalam implementasi co-management cenderung berdampak negatif terhadap kegiatan implementasi. Hal ini memberi pengertian, bahwa indikator yang digunakan dalam mengukur kondisi sumberdaya, pengembangan ekonomi dan masyarakat, kapasitas usaha perikanan, serta kelembagaan, cenderung memberatkan dan bahkan menghambat pelaksanaan co-management yang direncanakan. Terkait dengan ini, maka indikator capaian co-management kooperatif ini perlu dibuat lebih lugas, dinamis, dan akomodatif, tidak harus mengacu kepada hal yang ideal, tetapi mengacu kepada hal-hal yang secara nyata bisa dicapai melalui penerapan co-management. Hal yang secara nyata tersebut diantaranya lebih efektifnya

161 kegiatan lelang, terbangunnya kemitraan dengan koperasi dan perbankan, dan lainnya. Ini lebih realistis menjadi indikator keberhasilan co-management karena di Palabuhanratu sudah ada tempat lelang, dan koperasi maupun perbankan juga aktif beroperasi. Menurut ICOFE (2000), persyaratan operasi perikanan perlu didasarkan pada kondisi lingkungan yang ada di sekitar kawasan perikanan. Hal ini penting supaya kebutuhan operasi terpenuhi dan mendapat dari masyarakat kawasan.

Hal yang sama juga perlu diperhatikan dalam merumuskan hal-hal yang menjadi tugas/lingkup kerja dari co-management. Pelaksanaan tugas co- management harus dilaksanakan sesuai kemampuan dan kondisi yang ada di masyarakat. Menurut Nikijuluw (2002), tugas co-management dapat mencakup delapan hal, yaitu : pengenalan masyarakat, penelitian secara partsipatif, identifikasi kebutuhan masyarakat, pendidikan dan pengembangan informasi, pembentukan organisasi masyarakat, penetapan tujuan, strategi, dan perumusan rencana, implementasi rencana program, dan evaluasi. Bila melihat hasil analisis Tabel 29, tugas co-management mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses implementasi, meskipun tidak signifikan. Terkait dengan ini, maka pelaksanaan delapan tugas co-management tersebut dalam pengelolaan perikanan Palabuhanratu tidak perlu dipaksakan semua atau harus dilaksanakan sekaligus. Setiap program terutama yang berasal dari dukungan Pemerintah perlu disertai dengan acuan/perangkat kebijakan pendukung, sehingga tidak terjadi penyimpanan dalam pelaksanaan, yang justru menganggu kondusifitas pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.

Dalam kaitan dengan perikanan tangkap, implementasi co-management paling tidak perlu diarahkan pada tiga hal, yaitu pengembangan sumberdaya manusia, permodalan, dan pengembangan teknologi. Menurut Liana et al. (2003), pengembangan ekonomi pesisir dengan basis perikanan sangat ditentukan oleh potensi sumberdaya manusia (SDM), kekuatan modal, dan teknologi yang diterapkan. Potensi SDM akan menentukan pola interaksi bisnis perikanan, perluasan pasar, dan kemampauan dalam menangani masalah internal perikanan. Sedangkan modal dan teknologi mendukung mereka dalam merealisasi ide dan

162

keinginan mereka terkait pengelolaan perikanan dan pengembangan ekonomi pesisir.

Mengacu kepada hal ini, maka dalam implementasi model co-management kooperatif, pembinaan SDM baik melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan pelibatan langsung pada berbagai program co-management harus menjadi perhatian penting. Tabel 30 menunjukkan bahwa co-management berpengaruh signifikan terhadap pengembangan SDM perikanan, yang berarti bahwa pembinaan SDM tersebut menjadi hal perlu, dibutuhkan, dan terasa manfaatnya bila dapat direalisasikan. SDM perikanan tersebut dapat mencakup nelayan, pengolah, pedagang ikan, serta pelaku kegiatan pendukung perikanan tangkap di sekitar Palabuhanratu. Menurut Bengen (2004) dan Pomeroy dan Williams (1994), pembinaan atau pengembangan SDM yang baik dapat membantu terjalinnya komunikasi, kerjasama, konsultasi, tukar informasi, dan kontrol masyarakat pada setaip kegiatan pengelolaan perikanan.

Permodalan juga dipengaruhi positif signifikan oleh implementasi model co-management kooperatif (Tabel 30), yang berarti bahwa program-program yang terkait dengan kemitraan, kredit, dan simpan pinjam perlu digerakkan dan menjadi program unggulan dari co-management pengelolaan perikanan tangkap. Bila hal ini dapat dilakukan, maka kesulitan model yang menyebabkan nelayan tidak melaut, bunga pinjaman tinggi dari tengkulak, dan lainnya dapat dihindari sehingga usaha perikanan tangkap dapat berkembang lebih baik untuk mendukung perekonomian Palabuhanratu dan sekitarnya. Usaha perikanan tangkap potensial, seperti payang, gillnet, pancing tonda, dan longline (Bab 5) harus diperkuat permodalan melalui program kemitraan dan kerjasama sehingga dukungannya terhadap co-management lebih optimal. DKP (2005) menyatakan pengembangan usaha perikanan tangkap yang potensial dan sesuai dengan daya dukung dapat meningkatkan produksi perikanan suatu kawasan, namun tidak melebihi JTB yang ditetapkan.

Diantara program pembinaan SDM yang ada, implementasi co-management kooperatif perlu memberi khusus pada program yang bersifat pendampingan dan bimbingan teknis. Hal ini karena kedua program ini menekankan interaksi langsung dalam pembinaan, dan hal ini sangat bersesuaian dengan prinsip

163 kooperatif yang menekankan keterlibatan dan kerjasama. Menurut Nikijuluw (2002), co-management kooperatif merupakan prinsip pengelolaan yang menekankan pada keterlibatan bersama stakeholders dalam berbagai program pengelolaan. Dalam implementasinya, prakarsa dan motivator program dapat ditunjuk LSM atau lembaga pengabdian di perguruan tinggi.

Pelibatan LSM dalam mengerakkan program co-management melalui pendampingan dan bimbingan teknis oleh LSM ini pernah dilakukan di Pulau San-Salvador, Filipina tahun 1989 (Katon et al. 1999). Pada tahap awal, LSM tersebut membentuk sistem pengelolaan berbasis masyarakat yang mana beberapa orang anggota masyarakat dibina dan dididik, sehingga menjadi contoh dan dapat membantu memotivasi rekannya. Kelompok masyarakat tersebut dibimbing tata cara pengembangan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, pengembangan jaringan pasar, tata cara penyelesaian konflik yang terjadi di antara mereka. Hal ini berhasil baik dan dipraktekkan terus oleh masyarakat Pulau San-Salvador, yang kemudian mendapat simpati dan tanggapan positif dari Dewan Kota Masinloc dengan mengeluarkan Ordinasi Nomor 30-89 untuk

melindungi kegiatan mereka dan kawasan perikanan di sekitarnya. Implementasi co-management di Palabuhanratu melalui berbagai program pembianan nantinya

diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian nelayan dan masyarakat sekitar bagi pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Untuk aspek teknologi, secara umum teknologi kapal, alat tangkap, dan alat pendukung penangkapan sudah baik di Palabuhanratu, terutama untuk usaha perikanan tangkap unggulan (payang, gillnet, pancing tonda, dan longline). Hasil survei menunjukkan bahwa keempat usaha perikanan tangkap tersebut umumnya sudah memiliki peralatan pendukung seperti kompas, GPS, dan radio HT dalam operasinya dan kapal yang digunakan umumnya berjenis kapal motor. Menurut PPN Palabuhanratu (2010), kapal gillnet, pancing tonda, dan longline yang digunakan nelayan Palabuhanratu semuanya merupakan jenis kapal motor, perahu motor tempel hanya digunakan pada pancing ulur, trammel net, bagan, dan jaring rampus.

Hasil analisis Bab 5 menunjukkan bahwa gillnet, pancing tonda, dan longline merupakan usaha perikanan tangkap yang paling tepat dikembangkan

164

untuk mendukung co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Oleh karena secara teknologi sudah baik, maka pengembangan usaha perikanan tangkap ini tidak harus lagi difokuskan pada pengembangan teknologi penangkapan, tetapi bisa pada aspek lainnya, seperti manajemen usaha usaha dan sistem permodalan. Arahan Tabel 32 yang menunjukkan hubungan tidak signifikan pengembangan melalui co-management terhadap teknologi kapal, alat tangkap, dan peralatan pendukung penangkapan memperkuat argumen tersebut. DKP Kabupaten Sukabumi (2006) menyatakan bahwa teknologi perikanan di Palabuhanratu relatif lebih berkembang dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini lebih ini karena Palabuhanratu cukup DKI Jakarta, sehingga lebih mudah mencari peralatan penangkapan yang dibutuhkan.

Dalam kaitan dengan permodalan, implementasi co-management kooperatif harus dapat mengembangkan jaringan kemitraan usaha dengan lembaga keuangan seperti koperasi, bank, pegadaian, dan lainnya. Hal ini karena pengaruh permodalan dari lembaga keuangan tersebut sangat besar dampaknya bagi pengembangan usaha perikanan tangkap potensial (payang, gillnet, pancing tonda, dan longline) dan prinsip pelibatan dan kerjasama yang dikembangkan dalam co- management kooperatif juga berpengaruh signifikan bagi pengembangan kemitraan tersebut (Tabel 33). Setiawan et al. (2007) dalam penelitiannnya menyatakan bahwa pengembangan kemitraan usaha perikanan dengan lembaga keuangan dapat membantu daerah dalam mengatasi permasalahan permodalan yang banyak dihadapi nelayan. Penurunan produksi perikanan banyak terjadi di musim paceklik, dimana tidak sepenuhnya disebabkan oleh ketiadaan ikan. Bila modal selalu tersedia dengan baik, pada musim paceklik, nelayan longline, purse seine dan gillnet dapat mengarungi perairan yang lebih jauh untuk mencari fishing ground alternatif.

Dalam implementasi co-management kooperatif ini, kemitraan/permodalan dari lembaga keuangan tersebut dapat dilakukan bentuk kredit, kerjasama pengeloalan, atau bentuk lainnya yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun lembaga keuangan. Dalam kaitan pengembangan usaha, masalah permodalan ini perlu menjadi perhatian penting co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Selama ini nelayan, sering meminjam modal kepada tengkulak,