• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Trachypithecus auratus)di Cagar Alam Gunung Tilu

Edhu Enriadis Adilingga1, a) danRuhyat Partasasmita 1, 2, b) 1

Program Studi Sarjana Biologi, Departement Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran

2

Program Studi Magister Biologi, Departement Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran

a)

edhuenriadis@gmail.com

b)

ruhyat.partasasmita@unpad.ac.id

Abstrak. Surili (Presbytis comata) berdasarkan IUCN berstatus konservasi Endangered

sejak tahun 1988. Selain Surili, primata endemik berstatus konservasi adalah Lutung Jawa

(Trachypithecus auratus) berkategori Vulnerable A2cd ver 3.1 pada tahun 2008, namun

tahun 2000 sempat berstatus Endangered. Kedua satwa tersebut, menurut warga sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Tilu ditemukan di Blok K11 (Gunung karang Tengah dan Gunung Waringin) dan Blok Dewata. Publikasi tentang status keberadaan kedua primata tersebut di CA Gunung Tilu belum tersedia terutama mengenai kepadatan. Blok K11 dan Dewata mengiindikasikan potensial untuk ditempati oleh Surili dan Lutung Jawa. Survey populasi Surili dan Lutung Jawa dilakukan menggunakan metode transek dengan lebar jalur tetap (Fixed-width transects) sepanjang 1 km. Blok di buat menjadi 3 transek dengan belt transek lebar 50 m, dengan jarak antar transek 500 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah individu primata di Blok K11 (Gn Waringin dan Gn Karang tengah) dan Blok Dewata adalah berturut-turut Surili 3-4 individu dan Surili 3-6 individu. Kepadatan indvidu Surili 0,2 – 0,67 ind/ha, dan kepadatan kelompok sebesar 0,13 kel/ha di blok K11, sedangkan di blok Dewata tidak ditemukan. Lutung di blok K11 sebanyak 4 individu dan satu Lutung soliter sehingga kepadatan populasi lutung di blok K11 adalah 0,07 – 0,33 ind/ha, dengan kepadatan kelompok sebesar 0,13 kel/ha. Kelompok Lutung di blok Dewata hanya ada satu kelompok berjumlah 6-12 individu, dengan kepadatan populasi 0,6-0,12 ind/ha dan kepadatan kelompok 0,1 kel/ha.

Kata kunci: CA Gunung Tilu, lutung, populasi, surili

Pendahuluan

Di dunia terdapat sekitar 200 jenis primata (bangsa kera dan monyet) dan 40 jenis atau hampir 25 % diantaranya hidup di Indonesia [1]. Sekitar 70% primata Indonesia terancam punah akibat berkurang atau rusaknya habitat dan penangkapan liar untuk diperdagangkan [2]. Salah satu primata endemik Indonesia yang berada di Jawa yang memiliki status konservasi terancam punah ialah Surili (Presbytis comata Desmarest, 1822). Berdasarkan IUCN Redlist, Surili memiliki status konservasi Endangered (terancam punah) sejak tahun 1988 hingga sekarang. Selain Surili, primata endemik berikutnya yang memliki status konservasi Vulnerable A2cd ver 3.1 pada tahun 2008 adalah Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) namun pada sejarahnya sempat memiliki status Endangered pada tahun 2000 [3]. Populasi Surili Jawa (P. comata) semakin menurun seiring dengan berkurangnya luas hutan dan kerusakan hutan yang terjadi di pulau Jawa. Pada tahun 1986 diperkirakan terdapat 8.040 ekor Surili Jawa, namun pada tahun 1999, jumlahnya tersisa 2.500 individu saja [3]. Lutung Jawa, masuk kategori status konservasi

147

rentan dikarenakan karena populasinya yang menurun dan diperkirakan lebih dari 30% selama 36 tahun terakhir (3 generasi, 1 panjang generasi 12 tahun) menurun. Hal ini sebagai akibat dari penangkapan ilegal untuk perdagangan hewan peliharaan, perburuan,dan hilangnya habitat [3].

Surili Jawa dan Lutung Jawa merupakan satwa Endemik Pulau Jawa dan hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa. Khusus untuk Surili Jawa juga ditetapkan sebagai fauna identitas kabupaten Bogor. Salah satu manfaat Surili dan Lutung sebagai satwa liar yang harus di jaga ialah yang berperan membantu penyebaran biji, penyerbukan [1]. Hal ini di karenakan makanan utama satwa tersebut adalah daun, buah-buahan, biji-bijian serta serangga. Pada saat memetik daun untuk di makan, separuh dari hasil petikannya akan dijatuhkan ke bawah sehingga akan menjadi kompos alami oleh lingkungan sekitar pohon [1]. Oleh karena itu peran Surili dan Lutung Jawa dalam memelihara kelestarian hutan sangat penting untuk di jaga .

Penelitian tentang status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat memperlihatkan ada fluktuasi populasi yaitu Tahun 2002 surili 0,03 ind/ha, 2003 menjadi 1.44 ind/ ha menjadi 0,35 ind/ha pada tahun 2005 dan 0,13 ind/ha pada tahun 2006 [4]. Untuk lutung 0,11 ind/ha pada tahun 2002, kemudian 0,52 ind/ha pada tahun 2003, 0,51 ind/ha tahun 2005 dan 0,03 ind/ha pada tahun 2006 [4]. Dengan status populasi fluktuasi ini masih sulit menggambarkan meningkat atau tidak populasinya. Namun untuk tahun 2003- 2006 jelas terjadi penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi habitat yang mengalami perubahan dapat diduga mempengaruhi penurunnya populasi satwa primata.

Surili dan Lutung Jawa selain ada di TN Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Halimun salak, satwa ini juga terdapat di daerah CA Gunung Tilu. Data yang tersedia di CA Gunung Tilu belum tersedia mengenai data kepadatan Surili dan Lutung, sedangkan menurut Sartika 2008 [5], daerah ini merupakan potensial habitat untuk primata arboreal. Seperti yang kita ketahui Surili dan Lutung Jawa juga merupakan satwa arboreal. Melihat potensi blok K11 dan blok dewata yang diindikasi terdapat Surili dan Lutung Jawa serta memilki potensial habitat untuk satwa arboreal maka perlu dilakukan upaya konservasi di daerah ini. Dalam mendukung upaya konservasi Surili dan Lutung Jawa maka akan di lakukan survey populasi satwa tersebut di Blok K11 dan Blok Dewata. Survey populasi di lakukan karena, salah satu tahap pengelolaan satwa liar ialah inventarisasi dan sensus untuk mengetahui ukuran populasi. Ukuran populasi sangat menentukan pada kepunahan dan kelestarian satwa liar. Populasi Surili (P. comata Desmarest, 1822) dan Lutung (T. auratus Geoffrey, 1812) di Blok K11 dan Blok dewata Cagar Alam Gunung Tilu merupakan upaya pengelolaan satwa liar. Pengukuran populasi berdasarkan petak-petak contoh, di harapkan penelitian ini dapat membantu mengumpulkan data yang akan di jadikan kebijakan dalam upaya konservasi Surili dan Lutung Jawa khususnya di CA Gn Tilu , Jawa Barat Indonesia.

Bahan dan Metode

Alat dan bahan yang di gunakan pada penelitian ini adalah Alat tulis, Binokuler Nikom 7x50 CF, Golok tebas, Handy Talky, Kamera Fujifilm Pro Summer, GPS Garmin tipe 76cx, Kompas bidik, Peta, Meteran gulung, Pita label, Staples tembak, Tali Webbing, Q Gis 2.0.

Metode sigi (survey) dilakukan pada jalur transek untuk mendeteksi kelompok indvidu Surili Jawa dan Lutung Jawa. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat langsung, mendengar suara dan bunyi gerakan surili di pohon [6]. Pengamatan lutung dilakukan dengan cara Line Transek [5]. Pengamatan habitat dilakukan dengan cara pengamatan langsung secara visual dan studi literatur.

Populasi Surili dan Lutung Jawa dicuplik menggunakan teknik transek dengan lebar jalur tetap (Fixed-width transects) yaitu dengan menarik garis lurus dari titik yang di tentukan sepanjang 1 km. Satu Blok di buat menjadi 3 titik transek dengan belt transek lebar 50 m ke kiri dan kanan, dan masing-masing jarak antar titik transek 500 m (Tabel 1).

148

Gambar 1. Fixed-width transects

Hasil

Hasil menunjukan bahwa Surili Jawa dan Lutung Jawa di seluruh tempat survey adalah 2 Kelompok Surili, 2 kelompok lutung dan 1 Individu Lutung soliter seperti tampak pada tabel 1 :

Tabel 1. Pertemuan kelompok pada setiap wilayah

No Wilayah

Surili Lutung Jawa

kelompok Jumlah Individu Kelompok Jumlah Individu 1 Gn. Karangtengah dan Gn. Waringin (K11) Kelompok 1 3-4 Kelompok 1 4 Kelompok 2 3-6 Soliter 1 2 Gn. Dewata - - Kelompok 1 6 - 12

Hasil survey menunjukan penyebaran Surili Jawa dan Lutung Jawa di seluruh tempat survey di tunjukan pada gambar 1 berikut :

149

Pembahasan

Dari hasil pengamatan di dapatkan kepadatan populasi di daerah Blok K11 (Gunung Karang tengah dan Gunung waringin) yaitu Surili sebesar 0.2-0.67 ind/ha dan Lutung sebesar 0.07-0.33 ind/ha, sedangkan kepadatan kelompok Surili dan Lutung Jawa sama-sama sebesar 0.13 kel/ha. Jumlah individu Surili yang paling banyak terdapat pada transek T3, sedangkan jumlah individu Lutung paling banyak terdapat pada transek T2. Salah satu penyebab transek T1 tidak di temukan Surili maupun Lutung di karenakan transek T1 blok K11 merupakan daerah pelepasan liar dari Owa Jawa (Hylobates moloch), sehingga kelompok Surili atau Lutung berada di luar home range dari keluarga Owa Jawa tersebut. Persaingan antara primata Owa, Surili, dan Lutung merupakan persaingan dalam hal mencari makan. Ke-tiga satwa tersebut secara pakan memiliki tumpang tindih yaitu daun, buah, dan biji-bjijan. Selain pakan primata, Owa memilki strata tertinngi dalam primata sehingga dominansi Owa terhadap Surili dan Lutung membuat Surili dan Lutung tidak di temukan di daerah Owa Jawa transek 1. Persaingan terjadi di karena hal tersebut merupakan strategi menjaga populasi dari spesies tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah populasi antara lain ketersediaan pakan, kondisi habitat, keberadaan predator dan aktivitas manusia [4].

Kepadatan kelompok di daerah Gunung Dewata yaitu Lutung sebesar 0.1 kel/ha dan kepadatan populasi Lutung sebesar 0.6-1.2 ind/ha. Jumlah Lutung paling banyak terdapat pada transek T4, sedangkan pada transek T5 tidak ditemukan lutung maupun Surili. Surili tidak di temukan di blok ini disebabkan kelompok Lutung yang cukup besar sehingga membuat daerah tersebut di dominasi oleh Lutung Jawa.

Penelitian tentang kepadatan Surili dan Lutung di beberapa tempat sudah dilakukan. Hutan Kawah putih memiliki kepadatan populasi Presbytis comata sebesar 2,5 ind/ha, di brussel 2,9 ind/ha dan di cimanggu 1,25 ind/ha,di situ patengan 3,5 ind/ha dan di daerah kamojang 1-1,1 ind/ha [7]. Lalu di Gunung Selamet daerah Gunung tukung kepadatan Surili sebesar 0,81 ind/ha [8].

Gambar 2. Kepadatan Individu Surili di beberapa tempat

Dari gambar 2. dapat terlihat kepadatan Surili di beberapa daerah. Pada tahun 1994 memiliki kepadatan 3,5 ind/ ha paling tinggi di daerah patengan, dan di CA Gunung tilu hanya sebesar 0.2-0.67 ind/ha dengan luas potensial habitat Surili sebesar 15 ha. Setiap kawasan hampir mempunyai ketinggian yang berbeda-beda, Patengan ±1.719 m, Gn Halimun Salak ±1.600-1.700 m, Gunung Tukung 500-600m, dan Gunung Tilu 1.50-2.434 m. Daerah dataran rendah, kepadatanya antara 0,4-2,1 ind/ha, ketinggian 1600-1800 mdpl kepadatanya populasinya sekitar 3,5 ind/ha [7]. Berdasarkan Gambar 2, Patengan memiliki ketinggian ±1.719m, menunjukkan kepadataan yang cocok sebesar 3,5 ind/ha. Pada CA Gunung tilu memiliki ketinggian 1.150 m - 2.434 m dan hanya masih terisi sebesar 0.2-0.67 ind/ha. Melihat potensi kawasan berdasarkan ketinggian CA Gunung tilu masih meiliki kepadatan yang tidak terlalu padat.

150

Selain ketinggian, ruang pengembaraan juga menjadi salah satu faktor kepadatan populasi. Luas wilayah yang besar maka ruang pengembaraan semakin luas, namun apabila kepadatan populasi pada daerah yang besar padat, maka ruang pengembaraan akan lebih kecil dibandingkan dengan kepadatan populasi pada daerah yang kecil dan ruang pengembaraannya luas dengan jumlah individu yang sama. Berdasarkan Gambar 2 pada setiap blok di CA gunung tilu memiliki kepadatan yang cukup rendah. Kondisi vegetasi di kedua tempat tersebut memiliki struktur vegetasi yang rapat sehingga memudahkan hewan arboreal untuk mengembara. Kepadatan populasi yang kecil dapat di indikasikan bahwa ruang pengembaraan dari setiap kelompok di CA Gunung Tilu masi sangat besar.

Pada CA Gunung Tilu memiliki ketersedian pakan yang cukup karena masih diperoleh ±90 jenis vegetasi tingkat pohon, yang sebagian besar disusun oleh suku Fagaceae dan suku Moraceae [5]. Daerah yang memiliki persediaan pakan yang banyak namun situasi dan kondisi tidak memungkinkan surili untuk mempertahankan hidupnya maka dapat diperkirakan kerapatan populasi surili akan sangat rendah. Keadaan hutan yang terpisah-pisah juga dapat mempengaruhi kerapatan populasi [9]. Pada CA Gunung Tilu untuk mengakses makanan cukup mudah karena masi padatnya vegetasi sehingga ruang gerak dari Surili tidak terganggu. Kepadatan Surili di daerah CA gunung tilu tidak terlalu padat kemungkinan besar di karenakan faktor perburuan, karena di temuka shelter pemburu di daerah pengamatan.

Untung Kepadatan lutung di dapatkan perbandingan dari Tn Gn Halimun salak pada tahun 2006 sebesar 0,03 ind/ha [4]. Kemudian di TN Gn Gede Pangrango daerah Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) di dapatkan 1,02 ind/ha [10].

Gambar 3. Kepadatan Individu Lutung di beberapa tempat

Kepadatan Tertiggi ada di daerah CA Gn Tilu Blok dewata sebesar 0.6-1.2 ind/ha bila di banding dengan tempat lain yang tersaji pada Gambar 3. Hasil pengamatan di tiga jalur PPKAB adalah 18 individu dengan kepadatan 1,02 ind/ha. Dengan demikian, populasi Lutung Jawa di kawasan PPKAB tidak terlalu padat [10]. Hal yang sama dengan CA Gn Tilu blok dewata dan Blok K11 tidak terlalu padat. Potensial Habitat di Blok Dewata adalah sebesar 10 ha dan blok K11 25 ha tetapi di blok K11 sudah ada Surili dan Owa Jawa maka jelas akan ada persaingan penggunaan ruang dan persaingan pakan apabila di daerah blok K11. Berbeda dengan Blok Dewata yang memiliki kepadatan Lutung yang cukup tinggi banding dengan TN Halimun, CA Gunung Tilu dan TN Gn Gede.

Lutung Jawa tersebar dari hutan dataran rendah sampai dataran tinggi, baik di hutan primer maupun sekunder, dapat beradaptasi dengan daerah perkebunan dan hutan bakau [1]. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan Lutung Jawa salah satunya ialah potensi gangguan dari predator dan manusia. Di daerah CA Gunung Tilu, gangguan manusia adalah pemburu dan pekerjaan di kebun teh. Selain itu, gangguan predator adalah elang dan macan.

151

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih kepada seluruh staff Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, Aspinal Foundation Ciwidey, dan Tim Survei , Rahmat, Zam-zam, Reski, dan Gemi .

Daftar Pustaka

[1] Supriatna, J. dan E. Hendras W. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

[2] ProFauna, 2014. Ayo Rayakan Hari Primata Indonesia!. http://www.profauna.net/id [3] IUCN. 2014. IUCN Red List of Threatened Species. International Union for Conservation

of Nature (IUCN), Species Survival Commission (SSC), Gland, Switzerland and Cambridge, UK. www.iucnredlist.org.

[4] Basalamah F, Zulfa A, Suprobowati D, Asriana D, Susilowati, Anggraeni A, Nurul R. 2010. Status Populasi Satwa Primata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat. Jurnal Primatologi Indonesia, 7(2):55-59 [5] Sartika. 2008. Analisis Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch AUDEBERT, 1798) di

Resort Mandala, Cagar Alam Gunung Tilu, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam As-Syafi‘iyah, Jakarta.

[6] Xristyandri, E.1996. Populasi, Pemyebaran, dan Habitat Surili ( Prebysitis Comata Desmarest 1822) di Hutan Gunung Patuha Ciwidey, Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Biologi. FMIPA-UNPAD

[7] Gumarya, K.J. 1989. Ecology, Behavior and Sociality of Thomas Leaf Monkey in North Sumatra. Comp. primat. Monogr. 2:53-170.

[8] Setiawan, A. 2010. Javan Surili : A Survey Population and Distribution in Mt. Slamet Central Java, Indonesia. IPB

[9] Ruchiyat, Y.1983. Socio-ecological Study of Presbytis aygula in West Java. Primates, 24 (3): 344-359.

[10] Tania, N. 2014 Estimasi Kepadatan Populasi Lutung Jawa (Trachypithecus auratus, Napier and Napier 1967) di Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol.UNJ.

152 EK-19

Tumbuhan Obat di Sekitar Sadengan dan Triangulasi