• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam Praktik Bulan Safar di Nusantara

BAB III. GAMBARAN UMUM DESA AIR HITAM LAUT DAN

D. Ragam Praktik Bulan Safar di Nusantara

Ritus di bulan safar ini, di Indonesia khususnya sudah banyak dilakukan dibeberapa daerah dan dengan tata cara pelaksanaannya yang berbeda-beda dan penamaan yang berbeda-beda pula. Namun sejauh ini penulis belum menemukan hasil penelitian mengenai ritus Mandi Safar selain di Indonesia. Berikut beberapa macam jenis Ritus Mandi Safar di Indonesia;

1. Rabu Capuk (Riau)

18 Syaikh Abdul Hamid Al-Makki, Kanzun Najah wa-Surur fi Fadhail al-Azminah wa-Shuhur.( Lebanon: Darul Hawi, 2006), hlm. 91-94.

19 Wahab, dkk, Agama dan Kepercayaan Masyarakat Melayu Sungai Jambu Kayong Utara Terhadap Bulan Safar, Jurnal Mudarrisuna, Vol. 10, No. 1, Januari-Maret 2020, hlm. 46-51

Masyarakat Pulau Rupat menamakan hari pelaksanaan mandi safar ini

‘Rabu Capuk’ yang berarti Rabu yang selalu meninggalkan bekas buruk. Di wilayah Rupat Utara khususnya, hal-hal yang dilarang pada hari Rabu Capuk adalah tidak boleh bekerja menangkap ikan, menebang kayu walaupun sekedar memetik daun atau mematahkan ranting. Sebab menurut kepercayaan setempat, orang yang terkena luka kena kapak, ditimpa kayu, terjatuh dan lain sebagainya akan meninggalkan bekas yang buruk.

Adapun ketujuh ayat yang disebut di dalam kitab Tâj al-Mulk terdapat dalam surat QS. Ya>si>n (58), QS. as}- S}a>ffa>t (79), QS. as}- S}a>ffa>t (109), QS. as}- S}a>ffa>t (120), QS. as}- S}a>ffa>t (130), QS. Az-Zumar (73) dan QS. Al-Qadr (5).

Berbeda dengan Surabaya, ritual mandi safar juga dilakukan oleh sebagian masyarakatnya, namun yang ditulis bukanlah enam ayat syifâ atau tujuh ayat yang diawali dengan lafadz salamun, melainkan menuliskan huruf-huruf rajah pada sehelai kertas atau daun kemudian diletakkan ke dalam bak mandi atau gentong air minum atau sumur pada waktu tertentu di bulan Safar.

Kemudian air tersebut digunakan untuk mandi atau air minum. Bagi masyarakat Desa Tanjung Punak Pulau Rupat Utara, Mandi Safar menjadi momen penting dalam setahun sekali, guna memupuk tali persaudaraan (ukhuwwah wathâniyah atau persaudaraan sebangsa dan setanah air) tanpa membedakan suku, ras, dan agama, semua bersama-sama mengikuti dan melaksanakan ritual tersebut. Mandi Safar dalam pandangan mayoritas masyarakat Desa Tanjung Punak, Pulau Rupat Utara adalah tradisi yang patut untuk dilestarikan dan menjadi khas serta wujud kebersamaan masyarakat Desa yang pelaksanaannya bersifat fleksibel, dapat saja dikemas dengan berbagai acara dan kegiatan lain selama tidak merubah esensi atau tiga hal utama dalam kegiatan mandi shafar yakni: pertama, menulis atau menghafal tujuh ayat alquran yang diawali dengan Iafadz salamun, kedua, berniat untuk mandi karena Allah SWT, ketiga, mandi itu sendiri. Prosesi mandi safar

dimulai dengan zikir bersama lalu dilakukan arak-arakan diiringi kompang beserta 8 pasang anak yang merupakan perwakilan masing-masing desa di kecamatan Rupat Utara menuju sumur tua. Sumur tua ini tak jauh dari Pantai Tanjung Lapin. Konon, menurut seorang tokoh masyarakat bernama Ismail Umar, sumur tua itu disebut sumur lapin yang dinilai memiliki keistimewaan tersendiri dan dipercaya sebagai sumur keramat yang tidak pernah kering meskipun kemarau panjang. Selain itu, airnya tidak terasa asin walaupun berada ditepi laut.20

Dolah, selaku pemandu mengawali prosesi dengan berdiri sembari membacakan doa-doa, kemudian menulis ayat di secarik kertas lalu dimasukkan ke dalam ‘pasu’. Pasu adalah sebuah tempayan keramik yang dihias dengan janur berbentuk miniatur gunung, burung dan lainnya.

Dipinggiran tempayan berjalin rapi mayang pinang berajut membentuk lingkaran memenuhi pinggir tempayan. Setelah itu, 8 pasang anak-anak dipersilahkan untuk duduk berbaris di depan 8 buah pasu yang telah dihias dengan pucuk dan mayang kelapa. Air yang sudah dimasukkan kertas tersebut disebut ‘wafa’’Satu persatu tetua adat, pemuka agama dan pemerintah setempat menepuk tepung tawari anak-anak itu, kemudian air wafa’ disiramkan ke tubuh mereka menggunakan centong dari tempurung kelapa. Setelah selesai, warga dipersilahkan mengambil air wafa’. Saat itulah warga saling berlari dan berebut mengambil air doa tersebut. Ada yang membasuh muka, ada yang membasuh rambut, dan ada pula yang membawa botol air mineral kosong untuk diisi air wafa’. Bahkan beberapa masyarakat ada yang menjadikan rajah yang direndam tadi untuk digantung diatas pintu rumah dengan tujuan agar bala bencana dan penyakit tidak masuk ke dalam

20 Muhammad Ashsubli, Ritusl Budaya Mandi Safar “Pendekatan Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah Islam di Indonesia; Studi Kasus di Desa Tanjung Punak Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, Jurnal Bimas Islam Vol.II No.II 2018, hlm. 402-426

rumah. Setelah itu masyarakat melakukan kenduri di sumur. Mereka menikmati ketupat lemak dan makanan-makanan yang mereka bawa bersama-sama. Selesai kenduri itu, masyarakat pergi mandi ke laut secara bersama-sama, setelah itu barulah dibilas dengan air sumur lapin yang sudah dibacakan do’a tadi. Menurut H. Abdullah, Ketua LAM Riau Kecamatan Rupat Utara, hal ini dipercaya mampu membersihkan segala bala bencana dari tubuh seseorang (wawancara H. Abdullah Ketua LAM Riau Kec.Rupat Utara). Suasana menjadi semarak, canda tawa dan segala kebersamaan mengisi prosesi tersebut.

Sekarang acara ini sudah dikelola dan ditaja oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bengkalis. Lebih dari itu, karena ketertarikan Gubernur Riau pada budaya ini, pemerintah daerah bermaksud akan menjadikan budaya mandi safar di Rupat Utara ini sebagai event nasional. Hal ini guna mendukung visi Riau 2020 yang bertemakan Riau, the homeland of Melayu.21

2. Rabu Pungkasan (Lampung)

Ritus tolak balak atau disebut Rebu Pungkasan di Lampung ini dilakukan di pondok pesantren Pesawaran Lampung, menurut hasil penelitian dasar dari pelaksaan tradisi ini merupakan ajaran dari salah satu sufi dan juga mereka merujuk pada firman Allah SWT pada surah al-Qamar ayat 19:





















21 Muhammad Ashsubli, Ritusl Budaya Mandi Safar “Pendekatan Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah Islam di Indonesia; Studi Kasus di Desa Tanjung Punak Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau, Jurnal Bimas Islam Vol.II No.II 2018, hlm. 402-426

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus,22

Kalimat “hari nahas yang terus menerus ini” menurut mereka adalah hari turunnya bala’ atau hari sial dan mereka meuakini bahwa hari nas tersebut turun pada hari Rabu terakhir di penghujung bulan Safar. Hal senada telah dinyatakan oleh Hafizd ad-Din Abi Barakat Abdillah bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafi dalam kitab tafsirnya, bahwa pada hari itu diturunkan angin yang dingin atau suara yang keras, pada hari naas yang mana penderitaan itu akan terus berlanjut menimpa mereka hingga keluarganya dan pada hari Rabu di akhir bulan safar.

Sayyid Quthub mengungkap bahwa ri>hun sharsharin berarti angin yang sangat dingin dan an-nuhas berarti kesialan, anginitu menceraiberaikan,merenggut dan melumat mereka, bagaikan pokok pohon kurma yang tercabut dari tanah.23 Namun penafsiran yang demikian hanya ditemukan pada kitab-kitab tafsir yang bercorak sufistik, mengingat bahwa tradisi Rebo Pungkasan pun merupakan ritus yang bersumber dari seorang ahli sufi.

Adapun prosesnya yaitu dengan sholat tolak balak, dan pembacaan surah Ya>sin dan pembacaan ayat salamun sebanyak 313 kali. Adapun manfaatnya diantara lain tidak berbeda dengan daerah lain adalah untuk meminta penjagaan dan keselamatan dari malapetaka dan juga kemenangan.24

22 Al-Qur’an dan Terjemah, Qs. Al-Qalam 19.

23 Sayyid Quthub, Terjemah Kitab Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, (Jawa Barat: Gema Insani, 2000), Vol. XI, hlm. 102.

24 Leni Safitri, Makna Ayat-Ayat AL-Quran Pada Tradisi Rabu Pungkasan Di Pondok Pesantren Al-Hidayat di Desa Gerning Kecamatan Tigeneneng Kabupatan Pesawaran Lampung, Skripsi UIN Raden Intan Lampung, 2020.

3. Rabu Abeh/Tulak Balak (Aceh)

Rabu abeh merupakan tradisi yang ada pada masyarakat Aceh yang sudah ada sejak dulu masa pra Islam. Tradisi Rabu Abeh ini identik dengan tradisi untuk menolak bala. Rabu Abeh ini di kalangan masyarakat Aceh identik dengan bulan yang cuacanya panas, bulan banyaknya penyakit seperti batuk, demam, dan penyakit lainnya.

Bagi masyarakat gampong Geunteng Barat tradisi Rabu Abeh merupakan tradisi yang harus selalu dilaksanakan setiap tahunnya.

Tradisi ini dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Pelaksanaan tradisi ini menjadi simbol bagi masyarakat gampong Geunteng Barat untuk menolak bala.

Tradisi Rabu Abeh dilaksanakan disepanjang pinggir laut gampong tersebut dikarenakan daerah ini merupakan daerah pesisir dan dikelilingi oleh laut. Kegiatan tradisi Rabu abeh ini merupakan tradisi yang berisifat individu, karena setiap keluarga akan memasak khanduri masing-masing sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga, baru kemudian untuk pelaksanaan puncaknya dilaksanakan secara bersama-bersama di titik tertentu. Untuk pelaksanaannya sendiri tradisi ini telah banyak termodifikasi oleh berkembangnya zaman. Tradisi Rabu Abeh dipimpin oleh Teungku Imum Meunasah yang merupakan salah satu pimpinan Dayah di Gampong Geunteng Barat. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tradisi ini kini banyak percampuran nilai-nilai Islam.

Pelaksanaannya acara ini diawali dengan menyembelih binatang yang dibawa di pinggir pantai dan mengambil darah binatang tersebut untuk dijadikan alen. Alen pada tradisi ini berbeda dengan alen yang ada di tradisi khanduri laot. Namun, saat ini pelaksanaan alen tersebut sudah berkurang karena mendapat arahan dari pemimpin kegiatan ini bahwa itu merupakan perbuatan yang mengandung syirik. Saat ini, masih ada juga orang yang

melaksanakan alen, namun dilakukan secara individu, dan ada juga yang melaksanakannya hanya sebagai syarat dengan meletakkannya pada batas air laut.

Setelah itu memasak bersama di sepanjang pantai, kemudian setelah selesai maka berkumpul semua pada titik yang telah ditentukan yakni Kuala Lhok Geunteng. Di tempat itu nantinya akan dilaksanakan do’a bersama agar di tolak bala dan marabahaya oleh Allah SWT. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Setelah seluruh rangkaian acara selesai baru kemudian seluruh masyarakat melaksanakan mandi Safar di laut. Mandi ini diyakini untuk menghilangkan segala penyakit, serta tidak ada batas waktu dalam prosesi ini. biasanya warga ada yang mandi hingga petang dan ada juga warga yang hanya melaksanakan sebagai syarat telah melaksanakan.25

4. Arba’ Mustakmir (Kalimantan Selatan)

Dalam upacara ritual Mandi Safar yang perlu dikedepankan adalah aspek "tradisi dan budayanya" bukan aspek ritual keagamaannya. Sebab jika Mandi Safar dianggap sebagai ritual keagamaan yang ditandai misalnya dengan niat yang percaya pada yang gaib terhadap Mandi Safar, menuliskan ayat-ayat tertentu pada daun, maka hal tersebut dikhawatirkan akan melahirkan pemahaman di kalangan masyarakat bahwa Mandi Safar atau ayat tersebut yang menyembuhkan, menyelamatkan, dan menghindarkan orang dari segala macam bala dan bencana.

Hal tersebut berdasarkan hasil dari pemahaman masing-masing oleh masyarakat setempat. Akan tetapi, jika masyarakat mempercayai ayat-ayat

25 Asifa Usyifaini, Relasi Islam dan Tradisi Lokal pada Kelompok Nelayan, (Studi Tentnag Khanduri dan Rabu Abeh di Gampong Geunteng Barat Kecamtan Batee Kabupaten

Pidie Provinsi Aceh), Skripsi UMY,

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/31668/L.%20NASKAH%20PUBLI KASI.pdf?sequence=12&isAllowed=y diakses pada tanggal 17 Oktober 2020

Al-Qur’an sebagai penyembuh dari penyakit dan mencegah terjadinya na’as atau bala, maka hal tersebut sebagai bentuk memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Beberapa amalan yang umumnya dibaca oleh masyarakat Banjar pada hari Arba Mustamir itu adalah: Syahadatain ( 3x ), Astaghfirullah ( 300x ), Ayatul Kursi (7x), Surah Al Fil (7x).

Namun pada komunitas kecil, ada amalan-amalan khusus selain yang tersebut di atas, seperti yang terjadi di desa Matang Ginalon Pandawan Kab.

HST, masyarakatnya mengamalkan doa/ tasbih Nabi Yunus sebanyak 2375x.



doa/tasbih Nabi Yunus ini dianggap mampu memberikan keselamatan dan rasa aman dari bala’, bencana, dan kesusahan selama setahun. Dengan berpegang pada keutamaan tersebut, Busu Syarkawi mengajarkan amalan tersebut untuk dibaca di bulan Shafar, khususnya di hari Arba Mustamir yang waktunya dari terbenamnya matahari hari Selasa hingga terbitnya matahari Kamis pagi. Diduga beliau bahwa diantara waktu tersebutlah, bala-bala akan diturunkan. Diharapkan dengan membaca doa/tasbih tersebut, Allah akan menjauhkan hamba-Nya dari segala bala, bencana, dan kesusahan yang ada sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Yunus dari perut ikan paus yang menelannya.26

5. Mandi Safar (Sulawesi)

Faktor yang mendasari sebagian masyarakat di Desa Momo mempercayai dan melaksanakan tradisi mandi pada hari Rabu terakhir bulan

26 Wardatun Nadhiroh, Amalan di Hari Arba’ Mustamir Bulan Safar (Tradisi Membaca Doa Nabi Yunus La Ilaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu min al-Zhalimin 2375 kali pada Masyarakat Matang Ginalon Pandawan), Jurnal Syahadah, Vol. IV, No. 2, Oktober 2016, hlm. 1-17

safar diyakini oleh masyarakat pada sebuah dalil yang diajarkan oleh seorang alim ’Ulama dari Makassar yang bernama Daeng Patippe sehingga menjadi sugesti masyarakat dari tindakan atau perilaku, tradisi tersebut diwariskan turun temurun hingga sekarang dan adapun tujuan masyarakat melaksanakan ini agar memperoleh keselamatan dan terhindar dari kesialan.

Proses pelaksanaan tradisi ritual mandi safar, tersebut diawali dengan menuliskan enam kata salamun dalam Al-Qur’an, kemudian coho, selanjutnya merendamkan diri di air yang sudah di letakkan ayat yang sudah di jadikan jimat, selanjutnya prosesi siram menyiram, dilanjutkan denan pembacaan syukuran selamatan untuk menolak bala, dan yang terakhir dengan makan bersama-sama. Dalam tradisi ritual mandi safar ada beberapa potongan ayat-ayat dan surah dalam Al-Qur’an digunakan dalam tradisi tersebut dan dibagi dalam dua ritual diantaranya adalah: Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai jimata dalam mandi safar diantaranya adalah: 6 ayat salamun QS. Ya>si>n (58), QS. as}- S}a>ffa>t (79), QS. as}- S}a>ffa>t (109), QS. as}- S}a>ffa>t (120), QS. as}- S}a>ffa>t (130) dan QS. Al-Qadr (5). Dan Ayat-ayat yang digunakan dalam proses syukuran adalah: 1. QS: al-Ikhla>s, 2. QS: al-Falaq|, 3.

QS: an-Na>s, 4. QS: al-Fa>tihah, 5. QS: al-Baqarah: Ayat: 1-7 kemudian Ayat:

163, ayat 255 dan terakhir 284-286.

Sebagian masyarakat Desa Momo Sulawesi meyakini bahwa bulan Safar dianggap sebagai bulan yang penuh dengan kesialan sehingga diadakan banyak acara ritual untuk menolak bala, maka dengan mandi safar inilah diyakini akan terhindar jika dilakukan dengan sungguh-sungguh memohon ampun kepada Allah swt.27

27 Ade Trial Ramadaniputra, Motif Pelastarian Budaya Mandi Safar Masyarakat Desa Momo Kecamatan Mamosaloto Kabupaten Morowali Utara Provinsi Sulawesi Tengah (Studi Living Qur’an), Volume 01, Number 1, Juli 2019, hlm. 77-110.

6. Rebo Wekasan (Kudus, Jawa Tengah)

Sebagian yang lain menyebutnya dengan istilah Rebo Pungkasan, Rebo berarti hari Rabu dan kata Pungkasan yang berarti akhir. Istilah ini mudah dimengerti. sebab Rebo Wekasan berarti hari Rabu yang terakhir dari bulan Sapar atau Shofar, bulan kedua dari penanggalan hijriyyah. Selain itu ada juga sebagian masyarakat yang menyebutnya dengan Istilah Rebo Kasan.

Istilah Rebo Kasan sendiri dipahami dalam pengertian yang berbeda-beda.

Sebagian memaknai Rebo Kasan sama dengan Rebo Wekasan, karena istilah kasan adalah penggalan dari kata wekasan. Sebagian yang lain mengartikan Rebo kasan sama dengan Rebo Pungkasan, karena kata kasan adalah penggalan dari pungkasan. Tradisi tersebut telah berlangsung cukup lama, yakni pada saat Sayid Ali Idrus datang ke Desa Jepang untuk berdakwah menyampaikan ajaran Islam. Sejak awal penyelenggarannya, tradisi Rebo Wekasan dipusatkan di Masjid Wali al-Makmur yang dibangun oleh seorang waliyullah. Beberapa rangkaian kegiatan tradisi Rebo Wekasan, diantaranya:

Tahtiman al-Quran bil-Ghoib, Kegiatan ini tahtiman al-Quran bil-ghoib 30 juz dengan hafalan oleh seorang hafidz al-Quran dan diikuti oleh warga desa Jepang yang bertindak sebagai mustami’in untuk nyemak Al-Quran (mendengar dan menyimak bacaan Al-Qur’an).

Kemudian Kirab Banyu Salamun, Prosesi kirab banyu salamun mengarak gunungan hasil bumi dan berbentuk miniatur. Kirab juga menampilkan dua kendil dari tanah liat sebagai simbol untuk menampung air keselamatan.Menurut Mastur, kirab banyu salamun merupakan perwujudan rasa syukur kepada Allah swt atas segala nikmat yang telah diberikan kepada masyarakat. Prosesi kirab diikuti oleh warga setempat baik perempuan maupun laki-laki, tua ataupun muda. Kirab berakhir di halaman masjid Wali dan dilanjutkan dengan ritual doa yang dipimpin oleh ulama setempat.

Selesai dibacakan doa, ratusan warga yang memadati kompleks Masjid Wali

Al Makmur, berebut mendapatkan gunungan yang terbuat dari makanan tradisional. Dan Pembagian Banyu Salamun pada Puncak Tradisi Rebo Wekasan yang dilaksanakan ba’da maghrib dengan ditandai pembagian banyu salamun. Namun demikian sejak sore ratusan warga masyarakat, baik yang berasal dari Desa Jepang maupun berbagai daerah di luar desa, telah berkumpul berkumpul di depan gerbang padureksan masjid kuno itu untuk menunggu pembagian banyu salamun. Mereka dengan sukarela mengantri dan berharap memperoleh sebanyak-banyaknya banyu salamun.

Setelah sholat Maghrib, salah seorang tokoh ulama memimpin ritual doa pembacaan doa diatas menjadi sangat penting karena diyakini ritual doa tersebut menjadikan banyu salamun menjadi lebih berkhasiat. Selanjutnya setelah doa selesai dibaca, dilakukan pembagian banyu salamun yang diambil dari sumur peninggalan Sunan Kudus. Banyak warga masyarakat yang berusaha memperolehnya. Tidak sekedar untuk diminum pada saat itu, tetapi juga berusaha memperoleh sebanyak-banyak untuk persediaan.28

7. Rebo Wekasan (Jember, Jawa Timur)

Jember juga menyebutkan tradisi dengan penamaan Rebo Wekasan.

Dua sumber praktik dalam ritus di Desa Sukerono, sumber pertama adalah berasal dari sespuh masyarakat Desa Sukoreno (Ju’ Uwi) yaitu dengan membuat air jimat dan dibagikan kepada masyarakat untuk diminum dan sumber kedua adalah praktik dari pak Asy’ari dan para santrinya. Praktik kedua ini merujuk pada kitab Tajwid Madura yang merupakan rujukan penting menganai ritus Rebo Wekasan yang dilaksanakan di Desa Sukerono saat ini.

28 Muhammad Dzhofir, Agama dan Tradisi Lokal (studi atas Pemaknaan Tradisi rebo Wekasan di desa Jepang Kudus), Jurnal IJTIMAIYA, Vol. 1, No. 1, Juli-Desember 2017, hlm. 113-127.

Dalam kedua praktik tersebut terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan. Ayat yang terdapat dalam shalat talak bala’ adalah surat al-Kausar, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas. Sedangkan yang terdapat di dalam jimat adalah potongan-potongan ayat dari beberapa surat yaitu, surat Yasin ayat 58, surat al-Shaffat ayat 79-80, surat al-Ra’d ayat 24 dan surat Al-Qadr ayat 5. Jimat yang telah ditulis, kemudian dileburkan di dalam air untuk diminum.

Jika dilihat dari fungsi dan makna yang terkandung dalam penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam ritus Rebo Wekasan adalah sebagai penolak bala’, sebagai perantara agar terhindar dari segalah musibah dan merupakan sebuah tradisi leluhur dan setiap ayatnya ini memiliki khasiat tersendiri.29

8. Rebo Kasan (Garut, Jawa Barat)

Adapun ritus Rebo Kasan di Garut ini dilakukan dengan cara melakukan: (a) persiapan, artinya sebelum tradisi dimulai biasanya sudah mempersiapkan air dalam teko atau kompan serta berbagai makanan yang kemudian akan mereka simpan di masjid untuk didoakan. Setelah itu tepat setelah salat subuh para ibu memulai tradisi dengan saling berbagi makanan sedangkan para bapak dan anak laki-laki bersiap ke masjid.

Sebelum pukul 06.00 WIB marbot masjid mengumumkan kepada para bapak untuk segera ke masjid karena perayaan Rebo Kasan akan segera dimulai; (b) pembukaan, setelah tepat pukul 06.00 WIB para bapak dan anak laki-laki sudah berkumpul di masjid untuk mengikuti perayaan Rebo Kasan yang dipimpin oleh seorang ustaz di sana. Pembukaan perayaan

29 Umi Nuriyatur Rohmah, Penggunaan Ayat-ayat al-Qur’an dalam Ritual Rebo Wekasan (Studi Living Qur’an di Desa Sukoreno Kec. Kalisat Kab. Jember), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

dimulai dengan memberikan pengarahan atau dakwah singkat sekitar tujuh menit mengenai asal mulai tradisi Rebo Kasan.

Tujuan perayaan Rebo Kasan, sampai pada bagaimana pelaksanaan salat Tolak Bala. Hal ini, penting untuk dijelaskan sebelumnya, karena tradisi ini merupakan tradisi tahunan dan dikhawatirkan para bapak lupa dan bahkan ada peserta tradisi yang baru pertama kali mengikuti perayaan tersebut; (c) Salat Tolak Bala, setelah pembukaan, barulah para bapak melaksanakan salat Tolak Bala tanpa berjamaah, yaitu sebanyak dua rakaat, yang dalam setiap rakaatnya membaca Surat al-Fa>tihah sekali, Surat al-Kaut}sar 15 kali, Surat al-Ikhla>s lima kali, Surat al-Falaq sekali, Surat an-Na>s sekali; (d) Pembacaan Doa dan selawat, selanjutnya dalam perayaan Rebo Kasan para bapak melaksanakan beberapa runtutan doa, mulai dari pembacaan surat al-Fa>tihah, Surat al-Kaut}sar, surat al-Ikhla>s, doa untuk yang telah meninggal dunia (tawasul) atau disebut juga pemberian hadiah, dan selawat Nabi; (e) Penutup, setelah berbagai ritus mereka lakukan selanjutnya pemimpin perayaan yaitu seorang ustaz menutup perayaan tersebut dengan doa dan pengharapan yang baik di hari itu.30

9. Rebo Kasan (Banten, Jawa Barat)

9. Rebo Kasan (Banten, Jawa Barat)