• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBULAN DI CIKASUNGKA Hodari

Dalam dokumen MENABUR BAKTI MENEBAR KARYA (Halaman 129-138)

pulalah yang akan datang, Begitu juga sebaliknya”

SEBULAN DI CIKASUNGKA Hodari

KKN, Sebuah Tanda Tanya

Desa Cikasungka, 25 Juli. Saat adzan Maghrib, sebuah mobil Xenia putih tiba di halaman rumah bertembok warna biru, berderet layaknya kompleks perumahan: rumah kepala dusun tiga, blok E, RW 07, Perumahan Taman Adiyasa. Saya dan teman-teman mengantarkan barang perlengkapan tidur, memasak, dan lain-lain. Besok kami sudah harus aktif menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) kampus di desa itu.

Mulanya, KKN bagi saya adalah sebuah bentuk pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Konkrit nya bisa berupa apa saja. Intinya adalah memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM), turut mencerdaskan bangsa, demikian bahasa Pembukaan UUD’45.

Saya pikir, mahasiswa tepat untuk urusan macam ini. Mereka, idealnya, banyak menguasai ragam teori dan wawasan. Di kampus, kalau boleh saya persempit, sejatinya itulah yang mereka pelajari: teori dan wawasan.

Konkrit nya, membaca buku, kuliah, diskusi, dan menulis. Selebihnya adalah tambahan dan kalau boleh meminjam istilah fiqh, itu sunah. Atau, kebutuhan sekunder, dalam bahasa ekonomi.

Jadi, mahasiswa dengan kata lain adalah ahli teori yang berwawasan luas. Tentu, rasional bila saya tegaskan bahwa mencerdaskan bangsa ala mahasiswa adalah mengaplikasikan teori dan turut membuka “kran” wawasan. Namun pertanyaannya adalah bagaimana. Di sinilah letak masalah terbesar yang saya hadapi selama KKN. Gambaran saya tentang mahasiswa dan KKN selama ini, kalau boleh dikata, “buyar” begitu saja. Apa yang saya bayangkan betul-betul berbeda dengan praktik di lapangan.

Kita pasti sadar, dalam rangka mengabdi dalam hal ini KKN, mahasiswa tak berangkat dari “ruang kosong”. Tiap seorang di antara mereka berasal dari kandang studi masing-masing. Tentu, keahliannya pun berbeda satu sama lain dan sudah punya bekal. Dalam hal ini, menurut saya, UIN Jakarta sudah tepat membuat strategi: setiap anggota kelompok diambil dari prodi-prodi yang berbeda. Dapat dibayangkan, satu sama lain saling membantu. Tentu, sesuai keahlian studi masing-masing.

106 | Menabur BAKTI Menebar KARYA

Mahasiswa yang berasal dari prodi Perbandingan Agama, misalnya, melakukan penelitian seputar keberagamaan masyarakat sekitar atau bila dirasa terlalu berat, cukup melakukan penyuluhan paham keagamaan yang nirkekerasan. Semua itu jelas goal-nya: resolusi konflik beragama.

Tak dapat di pungkiri, di daerah Jawa Barat dan Banten, sebagai daerah di mana peserta KKN disebar, pertumbuhan paham konservatisme keberagamaan dan radikalisasi tindakan masih tumbuh sumbur. Di sini, saya tak dapat menyajikan data ilmiahnya. Namun, kita ingat peristiwa Cikeusik.

Di sisi lain, di tempat saya bertugas, saya mendapati masyarakat di sana mengalami dereligisasi: perampokan di mana-mana, begal, dan maraknya narkoba. Ini, saya kira, berbahaya. Di sini agama, sebagai moral dan tata nilai, menjadi penting. Dari itu, saya dan beberapa teman sering melakukan sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan informal untuk, setidaknya, meminimalisir. Terutama di kalangan anak muda, walaupun itu sulit dan tak mungkin menggunakan alat-alat perekam, seperti kamera, dll. Tentu karena beberapa alasan.

Untuk kasus-kasus seperti tadi, saya kira para kandidat sarjana ahli Perbandingan Agama, sangat dibutuhkan. Tentu lebih sempurna bila dibantu teman-teman dari Psikologi, misalnya, untuk mengatasi problem-problem kejiwaan. Begitu juga dengan prodi-prodi lain. Namun, di lapangan, saya dan teman-teman selalu merasa belum puas: agenda yang kami lakukan belum sepenuhnya berjalan secara menggembirakan. Ada tiga faktor. Pertama, arogansi masyarakat. Kedua, tradisi mahasiswa, dan ketiga, kekaburan makna “pengabdian”.

Masyarakat memang harus dihormati, dan saya kira, kami sudah melakukannya. Berbagai pendekatan sudah kami lakukan. Namun, ketika pihak kami memberikan satu masukan saja, di mata mereka, kami adalah anak kecil dan pengetahuannya di bawah mereka. Di sini terdapat jarak antara kami dan mereka, tentu secara prinsip dan tidak secara emosional. Walaupun kami mampu bersosialisasi baik dengan mereka, pesan-pesan kami susah tersampaikan. Karena kami di mata mereka tak punya “kesan”: bukan siapa-siapa.

Selain itu, ada tradisi yang kurang saya sepakati. Setiap KKN, kisahnya selalu begini: nyangkul, ngecat tembok, membuat gapura, dan bersih-bersih tong sampah dan selokan. Kita mahasiswa atau apa ?

Sepenggal Kisah Pengabdian Kami Di Cikasungka | 107 Saya akui, semua itu adalah pekerjaan bagus dan positif. Namun, pertanyaan saya adalah apakah kami ikut KKN, jauh-jauh dari kampus, hanya untuk bersihin tong sampah. Di antara kita, semua, tanpa kecuali, saya yakin, pasti bisa menjawabnya. Namun, entah kenapa selalu saja tradisinya demikian. Sampai-sampai untuk melakukan pendobrakan saja, kami ketakutan.

Terakhir, kaburnya makna “pengabdian”. Bagaimana tidak, kalau hanya membersihkan tong sampah, lalu makna pengabdian dari seorang mahasiswa itu apa. Buat apa menjadi mahasiswa kalau hanya cara mengabdinya seperti itu. Saya kira ada yang salah di sini. Namun, saya tak dapat membahas lebih jauh soal bagaimana mengabdi yang ideal itu. Ini bukan hanya tugas saya. Ini tugas bersama.

Bagi saya, sebulan bukan waktu yang sebentar. Dan, tak pantas mahasiswa menyia-nyiakannya. Apalagi lantaran hanya dikarenakan tradisi yang sudah jumud.

Persaudaraan dan Korsa

Suatu hari, dua teman saya sedang cek-cok. Ada satu hal yang diperdebatkan dan tak berujung. Sebagai senior di antara yang lain, saya dipanggil untuk mengatasinya.

Saya kumpulkan semua teman-teman, dan duduk di antara mereka. Saya sampaikan “dalam perantauan kita tak punya siapa-siapa kecuali teman. Ya, teman-teman ini. Sekarang kita berada di daerah orang. Sebelumnya, kita tak pernah tahu sikap mereka, dan saya dengar juga di sini rawan narkoba dan begal. Lalu kita akan meminta pertolongan kepada siapa kalau bukan kepada teman-teman sendiri.”

Kita tak akan menyadari, apa yang saya katakan tadi penting bila kita tak pernah berada dalam posisi terancam. Lalu saya lanjutnya sembari mencontohkan kehidupan para prajurit. “Dalam dunia militer, kita mengenal istilah korsa. Ia adalah prinsip pertemanan bahkan persaudaraan di atas harga sebuah nyata. Kamu bayangkan nyawa. Siapa yang tak mencintai nyawanya. Tapi, demi sebuah persahabatan, kita rela menggadai nyawa kita sendiri. Sebenarnya ini dilakukan juga demi keselamatan bersama. Bila di antara kita saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain, kita akan selamat. Tapi kalau bertengkar, saya gak tahu apa yang akan terjadi.”

108 | Menabur BAKTI Menebar KARYA

Setelah saya menjelaskan panjang lebar soal pentingnya persahabatan, mereka semua mengangguk-anggukan kepala, seolah paham apa yang baru saya sampaikan. Dari sejak itu, kami hidup damai dan selalu bersama. Kami mengerjakan proker bersama. Sampai-sampai kami tak pernah berjalan walau sendiri, terlepas itu proker siapa.

Saya punya banyak proker pribadi, sebagaimana saya tulis dalam laporan mingguan. Namun teman-teman tak pernah meninggalkan saya begitu saya. Begitu juga sebaliknya. Kami selalu hidup bersama. Di sana kami menciptakan pola hidup “komunisme” sebagaimana yang Karl Marx bayangkan. Mungkin itu berlebihan. Tapi kalau sehari saja, bersama kami. Akan tahu betapa kami sangat kompak.

Setiap lelah setelah bekerja, kami istirahat. Bila bosan di kosan, kami berangkat bersama jalan-jalan ke tempat-tempat wisata terdekat. Selalu demikian setiap hari. Dari itu kami tak pernah merasa lelah bekerja. Kami malah sangat terhibur.

Desa Cikasungka, Moralitas dan Amoralitas

Di sana, masyarakatnya secara etiket sopan. Bahkan secara etika sekalipun. Ada saja di antara mereka yang peduli satu sama lain. Namun kepedulian di sana sangat minim. Kita lihat cara mereka bermasyarakat hampir menyerupai Jakarta, individualis. Padahal mereka tergolong kampung.

Hal itu diperparah oleh maraknya kejahatan, mulai dari penyebaran narkoba hingga begal. Di sana, berdasarkan informasi yang saya dapatkan, banyak sekali kejahatan-kejahatan semacam itu. Belum lagi soal Taman Adiyasa, suatu masalah yang saya kira terumit selain kejahatan di atas. Status pembangunan perumahan itu tak jelas ujungnya. Dari tahun 1990 sampai sekarang tak ada perkembangan. Bangunan dibiarkan rusak dan tek berpenghuni begitu saja. Pihak pengembang angkat tangan pun Pemda. Saya sempat beberapa kali mengikuti rapat ini. Namun kami sadar, ini bukan wilayah kami. Terlalu rumit dan beresiko.

Kami melakukan apa yang kami bisa. Di RW 07, keberagamaan masyarakat di situ ada beberapa yang cuku religius, bila ukurannya adalah sering ke masjid. Setiap Maghrib, masjid lumayan terisi. Anak-anak mengaji di sana. Dari awal kedatangan, kami membantu mengajar hingga sehari sebelum hari penutupan.

Sepenggal Kisah Pengabdian Kami Di Cikasungka | 109 Saya memegang pelajaran tajwid dan langgam. Bagi saya, walaupun generasi tuanya sudah tak dapat diharapkan, bahkan mungkin remajanya, tapi paling tidak anak-anak. Kami mendidik sebaik mungkin. Di sana, ada pula pelajaran akhlak saya selipkan: bagaimana menjadi penerus bangsa yang baik dan religius.

Namanya anak-anak selalu antusias. Tapi tak tahu, apakah kesan sebulan dapat berbekas melawan tradisi rekayasa yang sehari-hari menggempurnya.

Seandainya Orang Sana

Saya berpikir, seandainya saya merupakan penduduk Cikasungka, ada empat hal yang akan saya lakukan, sebagai bentuk pengabdian dan perubahan.

Saya akan membangun Taman Baca. Ini sudah saya dan teman-teman kerjakan, meski bukan penduduk asli. Namun, masih jauh dari standar. Ingin saya, Taman baca yang saya buat menjadi fasilitas belajar yang lengkap dan nyaman, untuk segala kalangan.

Ini penting karena, membaca merupakan usaha untuk membuka “jendela” wawasan. Tentu, berdampak pada pola hidup. Catatan terbaru bahwa tingkat membaca masyarakat Indonesia peringkat terakhir se-Asia. Mengecewakan.

Mengutip pernyataan Najwa Shihab bahwa membaca menentukan masa depan suatu bangsa. Tesis ini dibenarkan di seluruh dunia. Dengan begitu, kesimpulan apa yang akan kita ambil bila bangsa kita sekarang seperti ini.

Tindakan saya jelas dan konkrit. Membaca, titik. Bagaimana pun, anak-anak, remaja, orang tua, semua kalangan pantas untuk membuka mata mereka lalu “mendaratkannya” pada huruf-huruf di lembar-lembar kertas: buku.

Saya sangat tertarik bila melihat seseorang gemar membaca. Bukan karena gengsi atau kelas sosial, sebagaimana dinyatakan Jurgen Hubermas. Tapi karena proses semacam itu sesuai dengan anjuran Islam, iqra’.

Suatu ketika, saya jalan-jalan ke Bookfair di ICE, Bumi Serpong Damai. Seperti pengunjung lainnya, saya menyisir tumpukan-tumpukan buku. Di tengah-tengah “petualangan” saya mencari buku yang menurut saya menarik, saya mendapati kejadian luar biasa, setidaknya menurut saya.

110 | Menabur BAKTI Menebar KARYA

Di depan saya, ada seorang kakek tua, saya kira umurnya di atas tujuh puluhan. Sepertinya dia keturunan Tionghoa. Matanya sipit dan kulitnya putih. Dia mengenakan kaos berkerah dan celana jeans. Saya ingat betul itu. Di lehernya, dia hiasi dengan kalung emas, sepertinya.

Lalu, apa yang menarik dari kejadian itu? Si kakek tua itu membawa keranjang belanjaan. Dia memilih buku-buku yang sedang dipamerkan di situ lalu dimasukkan di keranjangnya. Saya lihat, dia sudah mengumpulkan lebih dari Lima buku. Semua rata-rata, saya lihat, novel berbahasa Inggris.

Awalnya saya kira buat anak atau cucunya. Ternyata tidak. Dia beli untuk dia baca, katanya setelah saya tanyakan. Sebelum membelinya, terlebih dulu dia membuka buku lalu membaca selintas: proses memilah dan memilih.

Di pikiran saya langsung terlintas, itu seorang kakek-kakek, lalu bagaimana dengan anak muda?

Dari itu saya bersikukuh untuk membangun Taman Baca. Seseorang tak terbiasa membaca lantaran tradisi, saya kira begitu. Pertama, yang harus kita bangun adalah tradisi. Taman Baca merupakan salah satu usaha membentuk tradisi semacam itu.

Komunitas Pemuda

Selain membuat Taman Baca, saya ingin mengembangkan kualitas pemuda. Di setiap daerah atau bahkan RT, selalu ada kemunitas pemuda. Mereka biasa berkumpul dan membentuk jaringan.

Namun terkadang, relasi yang mereka bangun sia-sia, untuk tak mengatakan kadang-kadang merugi. Ada yang main kartu bahkan judi. Atau, main motor tanpa kejelasan dan legalitas kepolisian. Semua itu adalah aktivitas yang tak berguna. Bilamana relasi pemuda bentuknya demikian, lalu bagaimana nasib bangsa suatu hari nanti. Jelas, ini merupakan tantangan baru dan cukup berat bagi saya.

Rencana saya, ubahlah komunitas-komunitas semacam itu, baik secara reformis maupun revolutif. Dengan cara apapun. Yang terpenting adalah berubah.

Namun, di Cikasungka, lagi-lagi saya dan teman-teman gagal dalam hal ini. Saya akui itu. Pemuda di sana, berdasarkan ujaran pihak aparatus desa, susah dikendalikan dan berbahaya. Dari pada kenapa-kenapa, lebih baik, mengerjakan yang lain.

Jujur, saya tetap penasaran sama yang namanya pemuda. Dari dulu, sejak masih di kampung, saya selalu menjumpai pemuda identik semacam

Sepenggal Kisah Pengabdian Kami Di Cikasungka | 111 itu. Padahal, sebenarnya ada beberapa di antara mereka yang tergabung dalam komunitas-komunitas yang positif.

Di sini saya kira kecerdasaran strategi diperlukan. Menaklukkan anak muda. Di bayangan saya begini. Anak muda biarkan maunya apa, kita turuti. Namun pelan-pelan pengaruhi cara berpikirnya dan saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan perubahan. Saya akui ini bukanlah pekerjaan mudah.

Pengajian Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu

Tak lama, saya mendapat kabar terbaru tentang Habibie, mantan presiden ketiga dan intelektual Muslim yang cukup populer. Dia menyatakan bahwa, penting pengembangan peradaban di mulai dari masjid.

Bagi dia, masjid adalah tempat berkumpulnya semua orang Islam. Di sana kesempatan silaturrahmi sangat luas. Bila digunakan semaksimal mungkin tentu bermanfaat sekali. Dia menginginkan, peradaban dimulai dari sana.

Saya membayangkan di masjid ada pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu. Temanya dibuat semenarik mungkin dan tak jadul. Di sana, pembahasannyalah yang menjadi inti bukan acaranya. Artinya substansial bukan aksidental.

Pelajaran-pelajaran moralitas, kebangsaan, keberislaman, dan kemajuan perlu disampaikan. Guru-guru yang diambilnya juga bukan sekadar guru yang paham cara berwudu dan shalat. Tidak. Saya ingin melibatkan para guru yang ahli di bidang keislaman, sesuai bidang disiplin masing-masing.

Artinya, masyarakat kita buat manja. Pengetahuan mereka yang semua hanya berkutat di lingkaran taharah harus beranjak lebih jauh turut menyikapi, korupsi, misalnya, kesenjangan ekonomi, patriotisme yang menurut, apatisme beragama, dan lain-lain.

Di sekitar kita, masih banyak orang-orang lemah, dan kita lihat pengajian-pengajian mingguan juga semakin ramai. Tetapi kenapa tak ada tindak lanjut. Yang ngaji tetap bermobil dan yang lemah tetap di kolong jembatan. Inikah yang disebut iman? Imam Khomaini menyatakan dengan tegas, tidak. Ini bukan sekadar pendapatnya. Imam Ali, dan Nabiyullah Muhammad Saw pun pernah menyampaikan sebelumnya.

112 | Menabur BAKTI Menebar KARYA

Di sini letak implementasi konkrit yang saya bicarakan dari tadi: memberdayakan anak-anak yatim. Yatim bukan status sosial yang dikehendaki dan dapat dipilih. Ia adalah kemelekatan dan status keterlemparan, kalau meminjam istilah Martin Heidegger. Siapa pun tak ada yang tahu, akan menjadi yatim atau tidak. Jadi, menurut saya, adalah penghinaan terhadap mereka bila menganggapnya kelompok lemah dan dibiarkan atau tidak dibiarkan namun hanya “dijual” statusnya.

Status yatim bukan komoditas. Dengan bermodal belas kasih dan konsep dhu’afa’ lalu status yatim dibuat sebagai barang dagangan yang laku keras. Tidak, yatim bukan seharusnya diperdayakan dengan cara-cara semacam itu.

Saya lihat, banyak panti-panti asuhan. Di dalamnya menampung yatim piatu. Namun, saya perhatikan tak ada aktivitas peradaban. Hanya menyerupai hotel gratisan. Inikah yang disebut memberdayakan. Saya kira tidak.

Untuk memberdayakan mereka, kita memerlukan keahlian dan keseriusan. Yatim selalu mempunyai kedudukan khusus dalam Islam. Kalau kita merujuk pada kisah, satu-satunya anak manusia yang dijadikan anak angkat Nabi adalah seorang yatim. Ini bukti, kekhususan itu.

Kalau mereka adalah sejenis kelompok masyarakat yang perlu dikhususkan bukan malah dianggap lemah, atau direndahkan, kita mestinya memberikan segala sesuatu milik kita secara khusus. Bila kita punya ilmu, bagilah dengan mereka. Bila kita punya harta, bagilah dengan mereka. Tentu, secara khusus. Kita pasti paham, apa makna khusus.

Di dalam panti, seharusnya ada pendidikan khusus. Kalau anak-anak orang kaya mendapatkan fasilitas kursus dan fasilitas pendidikan secara khusus, mereka juga pantas mendapatkan semua itu. Ini tanggung jawa kita semua.

Saya membayangkan begini.

Pagi-pagi, sebelum Subuh, tentu bagi yang Muslim, untuk yang non saya ceritakan nanti, mereka sudah bangun. Mereka menunaikan shalat tahajud. Subuh berjamaah. Lalu sebentar dzikiran. Setelah itu, sekitar jam enam lari pagi sampai setengah tujuh. Siap-siap berangkat sekolah.

Sekolah yang pantas mereka dapatkan pun bukan sekolah sembarangan. Di mana, di suatu Kota ada sekolah favorit, di sanalah mereka belajar. Buatlah mereka berada di sana.

Sepenggal Kisah Pengabdian Kami Di Cikasungka | 113 Ini bukan soal kecerdasan, tapi status. Kecerdasan dapat dibentuk. Pintar dan tidaknya seseorang dapat dipola dan diciptakan. Tapi status keyatiman, tak ada pilihan kecuali tunduk pada takdir. Dari itu, saya membela mereka mati-matian.

Sehabis sekolah, mereka kembali belajar di asrama sampai Maghrib. Belajarnya beragam, yang jelas bagaimana si anak senang dan bermanfaat. Misal, seperti kurus karate, bulu tangkis, atau lain-lain. Katakan ekstra kurikuler.

Malamnya mereka kembali beraktivitas membaca. Mereka dianjurkan ke perpustakaan. Di sana, mereka wajib meresum buku-buku yang tersedia. Terbayang, kalau memang benar itu kenyataan, akan menjadi seperti apa itu anak yatim.

Inilah maksud saya kekhususan itu. Tapi penjelasan di atas hanya merupakan contoh, bisa berubah sesuai kebutuhan.

Bilamana di dunia ini kita mengenal Hari Buruh Internasional, kita mestinya juga mengenal Hari Anak Yatim Internasional. Dalam Islam, tradisi semacam ini sudah ada, namun terlupakan, mengalami kebanalan, dan sengaja di benturkan dengan salah satu sekte sehingga terjadi konflik dan kebencian. Tradisi itu kita kenal dengan istilah ’asyura.

114 | Menabur BAKTI Menebar KARYA

“Pengalaman yang paling penting ketika

Dalam dokumen MENABUR BAKTI MENEBAR KARYA (Halaman 129-138)