• Tidak ada hasil yang ditemukan

SMK Al-Asy’ari Kwanyar Bangkalan

Dalam dokumen MENYELAMATKAN MASA DEPAN GENERASI EMAS B (Halaman 105-115)

Tujuh puluh satu (71) tahun Indonesia menapaki usianya, mungkinkah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sanggup melampaui usianya yang ke 100 tahun? Demikian, pertanyaan Sukanto dalam bukunya Prahara Bumi Jawa (2007). Ia merepresentasikan, angka 100 tahun untuk memprediksi usia NKRI, bukan mengandai-andai atau sebuah angka yang kebetulan semata. Secara rasional, 100 tahun adalah satu abad, sebuah umur yang sangat krusial untuk sebuah bangsa dan peradaban. Uni Soviet yang dibangun lewat Revolusi Bolsevik 1917 yang seakan demikian kokoh dan kuat pun, harus berakhir terpecah-pecah menjadi beberapa negara kecil,demikian juga dengan Yugoslavia. Persoalannya siapa yang dapat memberi jaminan bahwa NKRI yang megah dan prestisius ini akan tetap berjaya di usianya yang keseratus sekian?

Fakta sejarah menyatakan Sriwijaya yang disebut-sebut Kerajaan Nusantara I, dan Majapahit, sebagai Kerajaan Nusantara II tak sanggup melampaui usianya yang keseratus lebih. Padahal Kerajaan Majapahit semasa Tri Buwana Tunggadewi, lewat Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada, sedemikian hegemonik menguasai kepulauan Nusantara, bahkan juga Asia Tenggara. Sebelum abad 20, Tan Malaka (2002), menyebut Filipina sebagai bagian Indonesia Selatan. Selain itu, ada banyak fakta dan jejak-jejak historis pengaruh Majapahit yang ditinggalkan di Asia Tenggara, seperti Filipina, Birma, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Demikian pula, kerajaan-kerajaan setelahnya, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, semua tidak sanggup melampaui usianya yang ke seratus (Sukanto, 38-39: 2007).

Rekam jejak, menunjukkan bahwa bangsa ini memang bangsa yang besar, dengan keanekaragaman ras, suku, agama, budaya, serta bahasa. Keragaman ini tentu tidak cukup dengan melihat burung garuda

mencengkram tulisan Bhineka Tunggal Ika. Melainkan melalui perjalanan panjang dalam mengenyahkan keogoisan dan primordialisme. Indonesia 29 tahun lagi mencapai angka keseratus?Tak ada pilihan untuk menjawab pertanyaan tersebut, kecuali cara berbangsa dan bernegara kita adalah dengan terus membangun kesadaran kolektif: kesadaran melanjutkan segala bentuk perjuangan, kesadaran menjaga nilai-nilai moralitas anak bangsa, merancang ide-ide kemajuan melawan persaingan global, serta tetap mempertahankan empat pilar kebangsan: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai harga mati.

Simbol-simbol kenegaraan serta Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sejatinya memang sudah tertanam sejak bangsa ini berdiri, akhir- akhir ini terus diuji keberadaan dan kekuatannya. Mewaspadai adanya sekelompok orang sebagai pemecah belah kedaulatan bangsa haruslah diantisipasi sedini mungkin. Tidak pandang bulu darimana asal-muasal serta latar belakangnya tetap harus ditindak tegas di atas Bumi Pertiwi yang menganut faham ‘hukum’ di atas panglima.

Teknologi dan Seks: Ancaman Berat Anak Cucu Bangsa

Sabang hingga Merauke adalah bukti betapa luas dan majemuk bangsa ini. Jika mengumpulkan semua peristiwa dalam satu hari, satu berita, butuh ribuan halaman untuk memuatnya. Di satu sisi, kehadiran teknologi sangat berperan aktif untuk membentuk wacana positif. Di sisi lain teknologi menjadi evaluasi tersendiri buat kita semua.Di tahun 2015 Telkom Indonesia merilis pengguna internet di tanah air yaitu sebanyak 85.956.163. Dari 505,5 juta pengguna internet, 40% dari total penduduk ASEAN adalah pengguna internet. Indonesia memiliki jumlah pengguna internet terbanyak,angka ini sangat fantastis. Tidak heran, bila kemudian negeri ini menjadi sasaran empuk pemilik industri teknologi.

Data ini, bagian dari panduan kehidupan global yang patut dikhawatirkan. Ketika semua peristiwa terpublikasi dengan mudah, murah, dan lumrah. Peristiwa besar dimungkinkan menjadi biasa-biasa saja karena jangkauan mata kita terlalu sering menjumpainya di berbagai media. Begitu pun sebaliknya.Sebagaimana diberitakan (Jawa Pos, 17/11/ 2016). Kasus di SDN Karang Kadawung 01, Kecamatan Mulbulsari Jember. Gara-gara gaduh dan keluyuran di kelas, tiga siswi kelas IV mengaku dihukum dengan disuruh menelan lem glukol oleh gurunya ketika

81

Indonesia Darurat (Teknologi, Seks, Pendidikan dan Matinya Akal Kritis)

pelajaran bahasa Inggris berlangsung. Atas perbuatannya, guru tersebut dilaporkan orangtua kepada pihak berwajib.

Tidak hanya di Jember, kejadian serupa juga terjadi di Situbondo dan lebih memilukan. Di media cetak yang sama, di hari yang sama, diberitakan dugaan kasus pencabulan oknum guru di sebuah sekolah dasar negeri di Kecamatan Arjasa Situbondo.Empat siswi menjadi korban predator seksual,pelaku adalah guru Matematika. Dua ribu hingga dua belas ribu rupiah dibagikan pada korban sebagai pemulus kekejian nafsunya. Selain itu, korban juga diancam akan disembelih bila tidak mau mengikuti ajakannya. Korban-korban itu miris bila disebutkan yang terdiri dari kelas IV (1 siswi), kelas III (2 siswi), terakhir paling kecil, paling tragis kelas I.

Di Sumenep, kisah bejat terbongkar pada 30 Oktober 2016 dan terpublikasi pada tanggal 17/11/2016 di Radar Madura (Jawa Pos Group),“SembilanTahunCabuliAnakTiri”. Kasus itu terbongkar setelah ibu kandung korban curiga anaknya disiram dengan bumbu rujak oleh pelaku dan pulang larut malam saat menonton hiburan pada acara Hari Jadi Kabupaten. Dalam tekanan dan kekerasan seksual yang cukup lama, pelaku kali pertama menggagahi anak tirinya ketika masih sekolah dasar dan belum menstruasi. Saat itu,rumah sedang sepi,istri bekerja sebagai buruh cuci di tetangga. Nafsu hewaninya berlanjut hingga terakhir dilakukan 24 Oktober 2016.

Dari ribuan kasus yang hampir sama dengan peristiwa di atas, baik yang terpublikasi maupun tidak terpublikasi dan dari kata ‘perlu’ harus ditingkatkan menjadi kata ‘wajib’, sudah selayaknya perlu mendapatkan refleksi secara bersama. Pelaku kekerasan fisik dan seksual justru berada di lingkungan keluarga, sekolah, dan berasal orang-orang terdekat merupakan sebuahkenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Ketidakberdayaan para korban yang notabene anak-anak, telah menambah deretan daftar bahwa moral bangsa berada dalam stadium akhir.

Menyejajarkan manusia dengan hewan, tentu banyak kalangan yang tidak akan sependapat. Kondisi ini semata-mata bukan mengkategorikan semua manusia demikian adanya. Akan tetapi mengacu pada pelaku yang seharusnya menjadi pelindung, justru sebagai penghancur masa depan anak. Dalam kejadian tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memulihkan trauma para korban. Dunia anak-anak adalah

keceriaan, bermain, dan berinteraksi pada skala dimana mereka memperoleh kebahagiaan pada dunianya. Status mereka seharusnya berada dalam kasih sayang orang-orang terdekat. Diharapkan dengan memahami prinsip tersebut, kelak merka akan menjadi harapan dan tumpuan bangsa.

Tabel 1. Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

(Sumber: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2014)

Rincian tabel di atas merupakan kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak di KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam kurun waktu 4 tahun (2011-2014). Kekerasan seksual (pemerkosaan, sodomi, pencabulan, pedofilia) mencapai angka tertinggi dengan jumlah 2286 di bawah klaster keluarga dan pengasuhan alternatif dengan jumlah 2432.Dalam banyak hal, kondisi ini diperparah dengan tayangan- tayangan kurang mendidik. Celaka sekali ketika gambaran media massa, terutama TV, setiap hari mengumbar kata-kata indah, tawa, dan tangis yang menghibur dan menghipnotis, tetapi pada realitasnya masyarakat disuguhi oleh gambaran kejahatan dan kekerasan yang semarak. Bukan hanya pesimisme yang muncul, tapi seolah-olah masyarakat ditambahkan

83

Indonesia Darurat (Teknologi, Seks, Pendidikan dan Matinya Akal Kritis)

pemahaman dalam perasaannya bahwa ternyata hidup ini bagai “sinetron” atau “drama”, penuh kepura-puraan, sedangkan tangis dan tawa hanyalah alat untuk membungkus kepentingan nafsu jahat yang ada (Soyomukti, 67-68: 2008).

Pendidikan: Dunia Kasih Sayang Kenapa Harus Melahirkan Kekerasan?

Periode awal abad ke-20 merupakan periode cukup penting dalam sejarah Indonesia. Fondasi Indonesia sebagai negara bangsa mulai dibangun pada periode ini. Kesadaran kebangsaan itu tidak serta-merta muncul, namun melalui proses. Pendidikan merupakan media penting dalam proses pembentukan kesadaran itu.Secara perlahan kebijakan kolonialisme Belanda lebih “manusiawi”, ketika mereka memperkenalkan kebijakan etis. Di bidang pendidikan, mulai ada peluang rakyat pribumi untuk terlibat dalam proses pendidikan model barat.Di samping itu,mereka mulai bisa mengakses layanan kesehatan lebih berkualitas. Dua bidang itu, kesehatan dan pendidikan, awalnya dilaksanakan oleh pemerintah dan organisasi keagamaan (Budi, 177: 2010).

Dari kolonial ke reformasi, kurun waktu panjang ini sudah melompati fase hidup dan mati. Kini, branding pendidikan kita seperti mengalami depresi sebagai dampak politik citra pemangku kebijakan. Setiap pergantian kabinet kementrian pendidikan, kurikulum pun main bongkar pasang. Alhasil setiap lembaga sekolah kocar-kacir menentukan pilihan kurikulum mana yang akan diterapkan di sekolah masing-masing sesuai keadaan demi suatu capaian? Kondisi demikian seperti hidup di jalan yang buntu. Ketika semua lini saling menghimpit dan terhimpit. Mengembalikan citra pendidikan yang telah tercoreng ditengah karut- marut sistem pendidikan nasional, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Demontrasi guru menuntut kenaikan gaji, hingga tuntutan mengenai status guru honorer dan swasta terhadap pengangkatan calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih perlu kepastian. Jika di internal pendidik tumpul, maka bagaimana nasib anak didik?

Pendidikan yang baik setelah rumah (keluarga) adalah sekolah, kemudian lingkungan masyarakat sebagai lahan dimana benih-benih pengalaman, pengetahuan, dan keilmuan diterapkan. Bagaimana ketika menyaksikan tawuran antar pelajar bergejolak dimana-mana? narkoba sudah menjadi hal biasa? free sex bukan hal tabu lagi? dan semua itu sebagai sebuah suguhan yang menghipnotis. Pelajar kini sangat dekat

dengan dunia kekerasan, yang jelas-jelas bertolak belakang dengan dunia mereka sendiri, yakni dunia pendidikan dan keilmuan. Pendidikan adalah sebuah dunia yang terlahir dari rahim kasih sayang. Seorang ibu akan mengasuh dan mendidik anaknya disebabkan naluri kasih sayang yang dimilikinya. Jadi, kekerasan pelajar ini menyisakan sebuah pertanyaan besar: mengapa dunia kasih sayang kini malah melahirkan kekerasan (Munir, 01: 2009).

Perilaku Seks Bebas dan Matinya Akal Kritis

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI menerbitkan hasil survei reproduksi remaja kurun waktu 1998-1999. Hasil penelitian yang dilakukan di 20 Kabupaten pada 4 buah provinsi yang mencakup: Jawa Timur (Ngawi, Jombang, Sampang, Pamekasan, dan Trenggalek). Jawa Tengah (Brebes, Cilacap, Jepara, Pemalang, dan Rembang). Jawa Barat (Indramayu dan Bandung). Lampung (Lampung Barat, Selatan, Utara, dan Tengah, serta Bandar Lampung). Penelitian tersebut melibatkan 8000 orang responden dan hasilnya sekitar 2,9% pernah melakukan seks pranikah atau hubungan seksual, sekitar 34,9% responden laki-laki dan 31,2% reponden perempuan mempunyai teman yang pernah melakukan hubungan seks pranikah. Tahun 1990, Soetjipto dari Fakultas Psikologi UGM melaporkan bahwa 90% remaja Bali pernah melakukan hubungan seks pranikah (Wijayanto, 35-36: 2003).

Hasil survei lama ini sengaja diorbitkan kembali bukan untuk pengingat semata, tetapi juga sebagai tolak ukur saat ini, apakah angka data ini menjadi berkurang atau kian meningkat? Di tahun 2007 jawabannya sangat mencengangkan. Data itu datang dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) yang merilis hasil survei di 12 kota besar di Indonesia, dimana 62,7% remaja yang duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) pernah berhubungan intim, dan 21,2% siswi SMA (Sekolah Menengah Atas) pernah menggugurkan kandungannya (Kompasiana, 2010). Survei di tahun 2016 semoga hasilnya tidak lebih mencengangkan?

Di sisi lain, dari hasil survei ini bisa digunakan untuk melihat dan memahami merosotnya kemanusiaan kita. Bagaimana ‘manusia modern’ terjebak pada akumulatif peradaban ‘instan’. Manusia sebagai konsumen pengkonsumsi ‘pemuas diri’. Kemudian lahir dan berkembang manusia- manusia pencari hasrat ‘keinginan’ bukan lagi ‘kebutuhan’. Pakaian

85

Indonesia Darurat (Teknologi, Seks, Pendidikan dan Matinya Akal Kritis)

bukan urusan sandang lagi, tapi sudah berubah menjadi gaya hidup (lifestyle). Hp bermetamorfosis dari komunikasi menjadi tempat berekspresi. Makan bukan lagi penopang perut lapar, tapi sudah urusan menuruti selera lidah.

Hukum kausalitas pun berlaku dalam hal ini,kaum kapitalis tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Menurut Fromm (1988) pada dasarnya gagasan untuk mengonsumsi barang-barang yang lebih baik dimaksudkan untuk memberi kebahagian yang lebih dan hidup yang lebih memuaskan. Tetapi, konsumsi telah menjadi tujuan itu sendiri. Pertambahan kebutuhan yang terus-menerus memaksa manusia untuk memenuhinya. Dengan munculnya benda-benda komoditas, tampillah dunia-dunia benda asing yang memperbudak manusia. Melalui teror iklan yang menciptakan kebutuhan-kebutuhan semu (palsu), mengonsumsi pada hakikatnya merupakan kepuasan fantasi yang dirangsang secara artifisial, suatu bentuk fantasi yang teralienasi dari diri manusia yang konkret.

Jika fenomena sosial yang sedang terjadi saat ini sebagai akibat dari genjatan masif kaum kapitalis untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin, maka Indonesia berada dalam zona merah. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat cenderung konsumtif daripada kreatif. Situasi ini membuat hamparan generasi didominasi kesepian akal kritis.

Krisis Identitas dan Resolusi Situasi Kekinian

Tak ada asap, bila tak ada api,tak ada kenakalan, bila tak ada penyebab. Robohnya sendi-sendi generasi, disebabkan oleh faktor inter- nal dan eksternal. Faktorinternal meliputi krisis identitas,keinginan untuk diakui ditengah-tengah golongan sebagai perwujudan eksistensi identitas peran pada dirinya sangat besar. Jika tak terarah, maka akan terjadi kontrol diri yang lemah. Berbagai cara dapat ditempuh, tanpa pertimbangan apapun. Faktoreeksternal datang dari keluarga,kurangnya kasih sayang orang tua/keluarga yang disebabkan perceraian menjadi penyebabnya. Tidak adanya pengawasan orang tua membuat anak lebih leluasa melakukan hal-hal semaunya. Selain keluarga, faktor eksternal dikarenakan pergaulan sesama teman dan lingkungan setempat.Jika kedua-duanya merupakan lingkaran positif, maka buahnya tentu mani,tetapi jika negatif, buahnya tentu akan terasa pahit.

Selain faktor internal dan eksternal, pemicu lain diantaranya adanya reaksi frustasi diri. Perasaan yang terpendam, serupa hobi/bakat, cinta, dan adanya sebuah peristiwa yang menimpa diri sendiri atau orang- orang terdekat. Tekanan luar biasa itu akan mengganggu pola pikir dan intelegensia.Terakhir, dasar-dasar agama yang kurang tertanam. Seiring tuntutan zaman, tuntutan memecahkan persoalan, sebenarnya sudah ada dalam setiap agama manapun. Resolusi jihad tidaklah relevan bila digunakan untuk berperang seperti yang pernah terjadi di masa kolonial. Bentuk perang sekarang, Sri Mangkunegara IV menjelaskan tentang

Narapati: julukan bagi seorang penguasa, bagi seorang raja. Namun, yang dikuasainya apa? Bukan sesuatu di luar dirinya,yang dikuasainya adalah dirinya sendiri. Nara berarti manusia,Pati berarti raja,penguasa, atau pengendali, maka yang dimaksudkan adalah pengendalian diri (Jatmiko, 2005: 107).

Pengendalian diri diharapkan dapat meredam segala wujud peradaban. Peradaban modernisasi yang secara perlahan-lahan menggiring semua pola pikir anak manusia untuk mengikutinya. Baik-buruk merupakan hasil akhir reaksi mahluk hidup (manusia) terhadap semua kebudayaan yang pada dasarnya lahir untuk kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Budi, Langgeng Sulistyo, Kota-kota di jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalan Sosial. Yogyakarta: Ombak, 2010.

Fromm, Erich. 1998. Manusia Bagi Dirinya. Jakarta: Akademika.

Jatmiko, Adityo. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wedhatama. Yogyakarta: Pura Pustaka.

Jawa Pos. 17 Oktober 2016.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia: Bidang Data Informasi dan Pengaduan, 2015.

Kompasiana atau http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak- lagi perawan_550057e2a33311376f510bc4,1 Desember 2010.

Malaka, Tan. 2002. Dari Penjara Ke Penjara. Jakarta: Teplok Press.

Munir, Abdullah. 2009. Spritual Teaching: Agar Guru Senantiasa Mencintai Pekerjaan dan Anak Didiknya. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Otto, Sukanto. 2007. Prahara Bumi Jawa: Sejarah Bencana Jatuh-Bangunnya

87

Indonesia Darurat (Teknologi, Seks, Pendidikan dan Matinya Akal Kritis)

Radar Madura (Jawa Pos Group), 17 Oktober 2016.

Soyomukti, Nurani. 2008. Dari Demontrasi Hingga Seks Bebas: Mahasiswa Di Era Kapitalisme dan Hedonisme. Jogjakarta: Garasi.

Wijayanto, Iip. 2003. Sex In Kost: Realitas dan Moralitas Seks Kaum “Terpelajar. Yogyakarta: Tinta.

89

Dalam dokumen MENYELAMATKAN MASA DEPAN GENERASI EMAS B (Halaman 105-115)