• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.2. Agropolitan dalam Membangun Perdesaan

2.2.2. Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan

Berdasarkan permasalahan pembangunan perdesaan yang terjadi, pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan wilayah perdesaan. Kawasan agropolitan disini diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan.

Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat permukiman nasional dan sistem permukiman pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Model agribisnis dan konsep pengembangan kawasan agropolitan dapat di lihat seperti Gambar 3 dan 4.

Produksi Tanaman Komoditas Unggulan Peternakan (Komoditas Unggulan) Bahan Organik Kotoran - Komoditas Unggulan segar - Produk Olahan (Industri Kecil/RT) Pasar Sub Terminal Agribisnis - Perikanan (Pembenihan & Pembesaran)

Keterangan:

Penghasil Bahan Baku Pengumpul Bahan Baku Sentra Produksi

Kota Kecil/Pusat Regional Kota Sedang/Besar (outlet) Jalan & Dukungan Sapras Batas Kws Lindung, budidaya, dll Batas Kws Agropolitan

PASAR/GLOBAL

DPP DPP

DPP

DPP : Desa Pusat Pertumbuhan

Gambar 4. Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan (Deptan, 2002)

Kawasan agropolitan harus terintegrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya karena setiap daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lainnya, baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, maupun ditingkat nasional (antar propinsi) yang dicirikan oleh adanya sarana dan prasarana seperti sarana jalan yang memadai yang menghubungkan diantara daerah tersebut, sehingga hubungan antar pusat-pusat agropolitan dapat berjalan dengan lancar. Keterkaitan pusat agropolitan antar daerah/kawasan dapat dijelaskan seperti Gambar 5. Jalan Propinsi Jalan Kabupaten Jalan Lokal Jalan Propinsi Jalan Kabupaten Jalan Lokal Jalan Nasional

Kawasan 1 Kawasan 2

Keterangan :

Pusat Kegiatan Nasional Pusat Kegiatan Wilayah Pusat Kegiatan Lokal Pusat Agropolitan

Gambar 5. Keterkaitan Pusat Agropolitan dengan Sistem Pusat Nasional, Propinsi dan Kabupaten

Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki cirip-ciri : (1) Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis); (2) sebagian besar kegiatan di kawasan agropolitan didominasi oleh kegiatan pertanian (agribisnis), termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan; (3) hubungan antara kota dan daerah hinterland/daerah sekitar bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil, dan penampungan (pemasaran) hasil pertanian; dan (4) kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota (Deptan, 2004a).

Menurut Ernalia et al, (2004) dan Deptan (2004a), Suatu wilayah dapat menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan berikut : a. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk

mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian), kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti pembuatan produk olahan, produk makanan ringan/kripik, dodol, dll) sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dll) dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil, agrowisata).

b. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis yaitu :

(1) Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosessing hasil pertanian sebelum dipasarkan.

(2) Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis.

(3) Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, assosiasi) yang harus berfungsi pula sebagai Sentra Pembelajaran dan Pengembangan Agribisnis (SPPA). Kelembagaan Petani disamping sebagai pusat pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani disekitarnya merupakan inti plasma dalam usaha agribisnis.

(4) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KKA) yakni dengan sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efesien dan menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontrakan/petani maju, tokoh, masyarakat dll.

(5) Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis, untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan.

(6) Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian (agribisnis) yang lebih efesien.

c. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain.

d. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/mayarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan swalayan dan lain-lain.

e. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumber daya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharomisan hubungan kota dan desa terjamin.

Berdasarkan persyaratan di atas, bila kawasan agropolitan merupakan suatu sistem, maka sistem tersebut terdiri dari subsistem sumber daya manusia pertanian dan komoditas unggulan, subsistem sarana dan prasarana agribisnis, sarana dan prasarana umum, prasarana kesejahteraan sosial, dan subsistem kelestarian lingkungan.

Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui :

1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisiensi;

2. Penguatan kelembagaan petani;

3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa);

4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi;

Selanjutnya Departemen Kimpraswil pada tahun 2002 (Dep. PU, 2005) menjabarkan delapan tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan.

2. Mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan.

3. Meningkatkan keterkaitan desa dan kota (rural-urban linkages).

4. Mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaam yang berkeadilan. 5. Mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan.

6. Mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota. 7. Memberi peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan. 8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Untuk mencapai sasaran dan tujuan pengembangan kawasan agropolitan tersebut di atas, maka beberapa strategi pengembangan kawasan agropolitan yang dapat dilakukan (Soenarno, 2003) antara lain :

1. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/propinsi. Penyusunan dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif. Master plan disusun dalam jangka panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan stimultan. Dalam program jangka pendek setidaknya terdapat out line plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana pembiayaan.

2. Penetapan lokasi agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi, untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan), antara lain: potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, iklim usaha, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten.

3. Sosialisasi program agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di pusat maupun di daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi.

Sementara itu, Departemen Pertanian pada tahun 2002 (Dep. PU, 2005) menyusun indikator keberhasilan program agropolitan berdasarkan dua pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Dampak.

a. Pendapatan masyarakat dan pendapatan petani meningkat minimal 5 % di kawasan agropolitan (di kota dan desa-desa lokasi program agropolitan).

b. Produktivitas lahan meningkat minimal 5 % di lokasi program

c. Investasi masyarakat (petani, swasta, BUMN) meningkat minimal 10 % 2. Pendekatan Output

a. 80 % dari kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi, kelompok usaha) di kawasan agropolitan yang dibina mampu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan lingkungan.

b. Terjadinya partisipasi masyarakat dalam menyusun program/rencana tahunan.

c. Terbentuknya jaringan bisnis petani.

d. Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang profesional yang dilihat dari frekuensi pertemuan yang berkualitas dan multidisiplin.

e. 80 % dari kontak tani maju terpilih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya.