• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.3. Wilayah Perbatasan

2.3.1. Paradigma Pengembangan Wilayah Perbatasan.

Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik berbatasan darat (kontinen) seperti Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan

Timor Leste, maupun berbatasan laut (maritim) di sepuluh negara seperti India, Malaysia, Singapura, hailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (Bappenas, 2005a)

Pembangunan wilayah perbatasan selama ini belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan wilayah perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir, dan tertinggal seperti wilayah perbatasan masih belum diprioritaskan.

Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan di masa lampau, menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membawa implikasi terhadap kondisi wilayah perbatasan saat ini yang terisolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Hal ini terjadi karena sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas keamanan, serta konflik dengan negara tetangga dan pemberontakan di dalam negeri. Beberapa isu dan permasalahan pengelolaan wilayah perbatasan (Bappenas, 2004) antara lain :

1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan tertinggal dan terisolir

2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan wilayah perbatasan

3. Adanya paradigma wilayah perbatasan sebagai halaman belakang 4. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga 5. sarana dan prasarana umum masih minim

6. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera

7. Terisolasinya wilayah perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju wilayah perbatasan

8. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia

Melihat permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka paradigma tersebut perlu dirubah yang mengarah pada percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Paradigma baru pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ”inward looking” menjadi ”outward looking” sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga melalui

pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan

(security approach).

Dalam peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2006, telah menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah, dengan program-program sebagai berikut (Bappenas, 2005a) :

1. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan , pulau-pulau kecil terisolir, melalui kegiatan (a) pengarusutamaan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigasi dan transportasi, (b) penerapan kewajiban layanan publik dan perintisan untuk transportasi, dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi serta listrik perdesaan.

2. Pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan negara.

3. Peningkatan keamanan dan kelancaran lalulintas orang dan barang di wilayah perbatasan.

4. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang secara administrasi terletak di wilayah perbatasan negara.

2.3.2. Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat

Propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia Timur, memiliki panjang garis perbatasan sekitar 966 km melintasi 113 desa dalam 15 kecamatan dan di 5 kabupaten masing-masing Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu dengan luas wilayah perbatasan Kalimantan Barat sekitar 25.197 km2 dan luas seluruh kecamatan yang dilintasi garis perbatasan adalah 2.519.744 hektar (Bappenas, 2005a). Peta wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia seperti pada Gambar 6.

Dari lima kabupaten tersebut, tercatat sebanyak 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dan 32 kampung di Sarawak dan disepakati 16 desa di Kalimantan Barat dan 10 kampung di Sarawak sebagai Pos Lintas Batas (PLB). Pada tanggal 25 Februari 1991 telah diresmikan Entikong sebagai Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) atau dikenal Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI), menyusul disepakati melalui SOSEK MALINDO

Nangau Badau di Kapuas Hulu pada tanggal 17 Desember 1998 dan Aruk di Sambas pada tanggal 12 Mei 2005 sebagai PPLB/TPI.

Gambar 6. Peta Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat Dengan Sarawak, Malaysia Timur

Sesuai kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo, sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara bertahap di beberapa wilayah perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Bangkayang. Namun demikian, masyarakat di sekitar perbatasan sudah menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau kekerabatan. Pos-pos keamanan dan pertahanan yang tersedia disepanjang jalur tradisional tersebut masih sangat terbatas, demikinan pula dengan kegiatan patroli keamanan yang masih menghadapi kendalah berupa minimnya sarana dan prasarana transportasi (Bappenas 2004).

Secara topografi, wilayah perbatasan Kalimantan Barat sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 200 meter dpl. Hanya sebagian kecil saja yang merupakan dataran tinggi, yakni di sekitar gunung Niut di Bengkayang dan gunung Lawit di Kapuas Hulu. Kondisi topografi ini berpengaruh terhadap persebaran penduduk beserta aktivitasnya di mana persebaran penduduk lebih banyak terdapat di dataran rendah. Dilihat dari tekstur tanahnya, sebagian besar merupakan jenis tanah Podsolik Merah Kuning

(PMK) sekitar 10,5 juta hektar dan Organosol Grey Humus (OGH) sekitar dua juta hektar (Bappenas 2005b)

Kegiatan ekonomi masyarakat perbatasan lebih banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian yang merupakan tulang punggung perekonomian masyarakat sehingga banyak tenaga kerja yang diserap disektor ini. Sekitar 40 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten-kabupaten disumbangkan oleh sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Pertanian tanaman pangan, pada tahun 2002 didominasi oleh produksi padi yang berasal dari Kabupaten Sambas, sedangkan tanaman palawija lebih didominasi oleh Kabupaten Bengkayang dengan tanaman jagung sebesar 31,87 persen. Perkebunan kelapa sawit disumbangkan oleh Kabupaten Sanggau sebesar 49,80 persen, sedangkan karet dan kakao lebih terkonsentrasi di Kabupaten Sintang (Bappenas, 2005b). Dilihat dari kondisi kependudukan dan sosial budaya masyarakat, jumlah penduduk di Kalimantan Barat pada tahun 2002 berjumlah 3,9 juta jiwa dengan persebaran penduduk yang tidak merata. Umumnya mereka menempati daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungan besar, sedangn di wilayah kabupaten sepanjang perbatasan hanya dihuni oleh sekitar 176.365 jiwa. Hal ini menyebabkan masyarakat diwilayah ini sulit tersentuh oleh program-program pembangunan khususnya yang berkaitan dengan pengembangan SDM.

Sarana dan prasarana menjadi hal penting dalam menunjang pembangunan wilayah Kalimantan Barat, seperti tersedianya jaringan jalan, jembatan, transportasi antar nodal infrastruktur pasar dan perbankan, pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, irigasi, telekomunikasi dan sarana lainnya. Terbatasnya sarana dan prasarana di wilayah perbatasan Kalimantan Barat menyebabkan wilayah ini memiliki aksesibiltas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, maka kesenjangan infrastrukturnya semakin jelas. Di Malaysia aksesibilitas antar wilayah telah cukup baik, dimana jalan sudah di hot mix hingga ke kampung-kampung di wilayah perbatasan Malaysia. Fasilitas sosial dan umum serta transportasi dan telekomunikasi yang lebih baik. Berbagai kendala infrastruktur wilayah perbatasan Kalimantan Barat menyebabkan kebutuhan biaya yang sangat mahal untuk mendatangi wilayah perbatasan tersebut. Jika hal ini dibiarkan akan lebih menambah ketimpangan pembangunan dan ketertinggalan ekonomi di wilayah ini.

Melihat kondisi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih terpencil dan terisolasi, Pemerintah Propinsi kalimantan Barat dalam hal ini Dinas Pertanian menginventarisir tiga permasalahan pokok yang dialami Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat (Diperta Kalbar, 2005), antara lain :

1. Keterbatsan infrastruktur terutama prasarana jalan yang menyebabkan akses masyarakat perbatasan menjadi terbatas, sehingga orientasi kegiatan sosial ekonomi masyarakat di daerah perbatasan lebih banyak ke negara Malaysia (Sarawak) karena kedekatan dan kemudahan meskipun hanya dengan jalan setapak.

2. Belum tersusunnya penataan ruang perbatasan di mana sebagian besar ruang wilayah perbatasan adalah kawasan hutan sehingga kegiatan yang dapat dikembangkan umumnya dalam lingkup kegiatan kehutanan seperti HPH dan HTI yang kurang diminati dan melibatkan masyarakat, sementara kegiatan primer lainnya seperti perkebunan tidak tersedia peruntukan yang memadai. Demikian pula kegiatan ekonomi sekunder lainnya, praktis tidak berkembang

3. Penanganan pembangunan daerah perbatasan yang berorientasi pada pelaksanaan otonomi daerah, telah memunculkan penafsiran yang berbeda dan cenderung mengarah pada pengkotakan dalam propinsi. Sementara daerah perbatasan merupakan satu kesatuan kawasan yang memerlukan penanganan secara terpadu.