• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di kalangan para intelektual bidang sosial dan humaniora tanah air, fenomena pakaian bekas sebagaimana berkembang di tengah-tengah masyarakat saat ini sama sekali belum mendapatkan perhatian. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas belum pernah diangkat ke permukaan sebagai objek riset atau kajian ilmiah lain sebagaimana kemudian diwujudkan dalam bentuk artikel ilmiah, paper, skripsi, tesis, atau disertasi. Sebaliknya, di negara-negara barat fenomena pakaian bekas selama dua dekade ke belakang sudah mendapatkan perhatian dari kalangan

Gambar 1

Kampanye ala Pemerintah

12

intelektual ilmu sosial humaniora dalam pelbagai ragam sudut pandang. Untuk keperluan kajian ini selanjutnya akan dibicarakan dua artikel yang melihat persoalan pakaian bekas. Dua artikel yang dimaksudkan bersumber dari dua bahan pustaka yang memiliki relevansi dengan objek penelitian ini. Artikel pertama adalah “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” karangan Angela McRobbie7, dan kedua adalah “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” karangan B. Linne Milgram.8

Dalam artikelnya yang berjudul “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” ini Angela McRobbie melihat fenomena pakaian bekas dan pasar

rombengan sebagaimana dikembangkan oleh para pemudi masyarakat perkotaan Inggris era 1970-1980-an dalam kaitannya dengan pengembangan evolusi budaya anak muda (youth culture). Melalui perspektif sejarah, feminisme, dan subkultur, McRobbie kemudian memusatkan perhatian pada peran yang dimainkan pakaian bekas dan pasar rombengan dalam bidang ekonomi dan budaya. Dalam bidang ekonomi, pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh para pemudi memiliki peran sentralnya dalam mendorong eksistensi infrastruktur kewirausahaan subkultur anak muda melalui sebuah “konsumerisme subversif” (subversive consumerism). “Konsumerisme subversif” mengacu pada proses produksi yang dilakukan para pemudi kota dengan cara memanfaatkan model gaun perempuan lama (klasik) yang secara selektif mereka beli dari penduduk perempuan

7 Angela McRobbie (1994), “Second-Hand Dresses and The Role of the Ragmarket” dalam Angela McRobbie, Postmodernism and Popular Culture, London and New York: Routledge, hlm. 130-148. Untuk versi awal artikel ini, lihat Angela McRobbie (ed.), (1989), Zoot Suits and Second-Hand Dresses: An Anthology of Fashion and Music, Boston: Unwin Hyman, hlm. 23-49.

8 B. Linne Milgram (2005) “Ukay-ukay Chic: Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philppine Cordillera” dalam Alexander Palmer dan Hazel Clark (eds.), OldClothes, New Looks: Second Hand Fashion. Oxford-New York: BERG, hlm. 135-153.

13

setempat dan setelah ditransformasikan atau diubah dalam pelbagai bentuk dan gaya retrodijual kembali kepada para konsumen perempuan secara selektif juga.

Dalam kegiatan ekonomi “kaki lima” ini terselip agenda politik luar biasa besar dan mendasar. Para pemudi itu tengah melancarkan perlawanan terhadap para industrialis garmen dan kapitalis mode Inggris yang banyak melahirkan penderitaan dan krisis terutama kepada kaum perempuan. Mereka juga menyampaikan early warning tentang kemungkinan terjadinya krisis lanjutan yang berakar pada meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat terhadap pakaian baru. Sebuah peristiwa yang tidak hanya akan menyusutkan kantong ekonomi rumah tangga masyarakat perkotaan Inggris yang rata-rata secara menejemen menjadi tanggungan kaum perempuan, tetapi juga akan menguras energi lingkungan, dan hanya akan menguntungkan pihak industrialis dan kapitalis Inggris yang bergerak di bidang garmen dan mode. Kapitalis di bidang garmen dan mode adalah pihak yang dikenal sangat rakus dan sejauh ini memiliki kemampuan di atas rata-rata untuk tetap bertahan hidup dalam situasi dan kondisi apapun.

Dalam bidang budaya, fenomena pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh kaum muda itu dalam perkembangan kemudian ikut memainkan peran signifikan dalam memberikan peluang dan menawarkan mode pakaian bekas kepada kaum muda untuk berpartisipasi dalam dunia fesyen. Proposal sebagaimana ditawarkan lewat pengembangan mode pakaian bekas dan pasar rombengan ini dimaksudkan sebagai counter culture para wirausahawan sekolah seni dan para disainer yang sejauh ini telah mengurangi “kemurnian” dan “autentisitas” subkultur. Pakaian bekas dan pasar rombengan sebagaimana dilakukan oleh para pemudi perkotaan Inggris ini merupakan pasar politik yang

14

sangat khas dan hanya mungkin berkembang dalam basis budaya popular dan dikerjakan lewat strategi menjaga proses evolusi subkultur anak muda.

Dalam artikel yang berjudul “Ukay-ukay Chic! Tales of Second Hand Clothing Fashion and trade in the Philippine Cordillera”, B. Layne Milgram mengangkat fenomena pakaian bekas atau “Ukay-ukay” (istilah populer masyarakat Pinoy sebagaimana diadopsi dari Bahasa Tagalog yang berpadanan kata dengan kosa kata Bahasa Jawa “Ngebut-ngebutke”, atau “mengibas-ngibaskan” dalam Bahasa Indonesia) sebagaimana dikembangkan lewat perdagangan yang berkembang sedemikian banyak di Kabupaten Ifugao, Provinsi Cordillera, Filipina Utara. Sementara arah yang dituju dari penelitian itu adalah merumuskan kaitan konsumsi pakaian bekas dengan proses pembentukan pasar lokal dan praktik berpakaian di kalangan masyarakat di provinsi Cordillera. Dari latar belakang semacam itu melalui pendekatan ekonomi perdagangan dan budaya, Layne kemudian mengembangkan informasi tambahan ke dalam bidang lain yakni sosial dan ekonomi.

Dalam bidang sosial-ekonomi ia merunut secara khusus perubahan yang dialami oleh masyarakat Kabupaten Ifugao berkenaan dengan mata pencaharian (livelihood) mereka sebelum dan sesudah maraknya perdagangan pakaian bekas “Ukay-ukay” di tempat itu. Menurut catatannya, selama kurun waktu 1998-2002 secara gradual telah terjadi pergeseran dalam lapangan hidup masyarakat Ifugai. Sebelum perdagangan “Ukay-ukay” marak di Ifugao tahun 1998, masyarakat perbukitan ini mengandalkan kehidupannya sebagai petani tanaman industri khususnya buah-buahan dan tebu. Perubahan iklim yang tidak menentu dan menghantam kehidupan petani sebagaimana ditandai dengan rendahnya

15

produktivitas pertanian, ditambah dengan krisis ekonomi menjadikan mereka kehilangan pendapatan. Hal itu karena hasil buminya tidak bisa diserap di pasar dan perusahaan yang biasa menampungnya. Depreviasi mata uang nasional Filipina (peso) terhadap dollar Amerika menjadikan kedua sumber pertukaran itu mengalami kesulitan serius karena biaya operasional selama krisis mengalami pembengkakan melampui perhitungan ekonomis.

Dari latar belakang di atas sejumlah petani Kabupaten Ifugao pun kemudian mencoba peruntungan sebagai pedagang di luar provinsi. Awalnya mereka menjadi pedagang buah di pasar tradisional di Provinsi Cebu (daerah pelabuhan). Pada saat yang sama ratusan kontainer pakaian bekas di Pelabuhan Cebu yang merupakan bagian dari bantuan kemanusiaan asing berkenaan dengan bencana alam angin topan, banjir dan gunung meletus yang melanda beberapa daerah di Filipina kemudian menginspirasi mereka masuk dalam perdagangan pakaian bekas dalam beragam level, mulai dari pengepul hingga pengecer. Langkah para petani Ifugao itu membuahkan hasil. Pada awal usaha sebagian dagangan mereka kirim ke Ifugao untuk “diujicobakan” sebagai pasar lokal di sana. Kurang dari satu tahun mereka tidak saja berhasil menjadikan Kabupaten Ifugao dan Provinsi Cordillera sebagai pusat “Ukay-ukay” tetapi menjadikan dirinya sebagai orang pertama dalam perdagangan “Ukay-ukay” di Filipina.

Prospek dan keberlanjutan perdagangan “Ukay-ukay” ke depan diperkirakan masih sangat besar dan panjang. Hal ini berkaitan dengan The Global Trade of Second Hand Clothing Charter sebagaimana diteken mendiang presiden Cory Aquino pada 1986. Paiagam kerjasama itu pada intinya mengizinkan eksportir Barat (Amerika/Eropa) memegang kendali dan jalur ekspor pakaian bekas Amerika dan

16

Eropa ke Filipina lewat lembaga karitatif gereja dan swasta. Menghadapi kekuatan besar yang tidak mungkin dibendung, sejumlah perusahaan pakaian nasional memilih banting stir menjadi perusahaan retail produk pakaian luar negeri dengan membidik segmen kelas menengah yang minded dengan pakaian baru dan merk luar. Ujung akhir catatan Lynne adalah bahwa dari arus perdagangan pakaian bekas masyarakat Ifugao, Cordillera, dan Filipina secara keseluruhan menjadi salah satu konsumen mode asing yang paling besar di Asia. Implikasinya praktik berpakaian masyarakat Ifugao, Cordillera, dan Filipina secara keseluruhan menjadi sangat akrab dengan mode dan citarasa Amerika, Eropa, dan negara-negara eksportir pakaian bekas lainnya.

Karena titik pijak pengamatan atau sudut pandang kajian yang beragam, tidak ada catatan khusus bisa disampaikan sebagai tinjauan, melainkan catatan umum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Pertama, secara mengejutkan fenomena pakaian bekas tidak hanya khas terjadi di Indonesia, melainkan telah menjadi gejala global. Selama lebih dari tiga dasawarsa abad XX-XXI pakaian bekas telah menjadi fenomena sosial kemasyarakatan di pelbagai negara di dunia. Di luar dugaan fenomena pakaian bekas sejauh ini berkait berkelindan dengan pesoalan ekonomi, politik, dan budaya. Pakaian bekas tidak juga hadir ke permukaan sebagai bagian dari problem yang saat ini banyak diperhitungkan orang terutama dari kalangan enviromentalis dunia, yakni sampah. Dua, secara teoretis menunjukkan dengan jelas bahwa fenomena pakaian bekas sebagaimana berkembang di pelbagai negara termasuk Indonesia memiliki kontribusi yang luar biasa dalam ikut menentuan arah dan pembentukan masyarakat dalam pelbagai dimensi.

17

Akhirnya, dari tinjauan pustaka di atas penelitian ini dijalankan bukan karena keberadaan tinjauan sejenis dengan sasaran dan pendekatan yang sama sebagaimana dilakukan oleh penelitia sebelumnya, terutama yang ada di Indonesia. Akan tetapi penelitian ini justru dilakukan semata-mata karena semangat untuk mencoba memulai sebuah kajian dalam arah dan pendekatan yang belum pernah dituju atau disasar oleh peneliti atau akademisi lain. Usaha kecil yang belum mendapatkan perhatian dari masyarakat peneliti dan akademisi ilmu sosial humaniora semacam itulah yang coba ditawarkan dari penelitian ini. Sebuah usaha sederhana yang secara kebetulan sama sekali belum pernah mendapatkan perhatian orang. Dalam pengertian bahwa fenomena pakaian bekas di Indonesia belum pernah diangkat orang sebagai sasaran penelitian sebagaimana kemudian diketengahkan dalam bentuk artikel pada jurnal ilmiah, paper atau kertas kerja seminar, skripsi, tesis, maupun disertasi.

Akhirnya, ambisi untuk mendekati fenomena sepele dan sangat lokal di satu sisi, dan tuntutan untuk menarasikannya secara “akademis” di sisi lain, rupa-rupanya bukan merupakan aktivitas yang sepi dari masalah. Dua kutub yang dalam praktik seolah-olah justru meleset manakala dicoba untuk dijembatani. Di tengah-tengah upaya itu dipastikan akan ada banyak “jeglongan” (jebakan) yang secara teoretis siap dan akan menghambat atau memengaruhi keberhasilan penelitian ini. Hambatan itu terutama bersumber pada keterbatasan kemampuan intelektual penulis di satu sisi, dan keterbatasan teori yang “siap pakai” di sisi lain. Meskipun begitu, satu optimisme senantiasa dibangun, bahwa justru karena kajian ini merupakan kajian mula, kalaulah harus “kejeglong” (terperosok), maka apa yang sangat diharapkan adalah bahwa usaha ini tidak akan “kejeglong” secara keseluruhan.

18 E. Kerangka Konseptual (Teoretik)

Sebagaimana disebutkan di awal tulisan, penelitian ini menempatkan fenomena pakaian bekas dalam tiga dimensi: ekonomi (perubahan nilai), psikologi (pemenuhan kebutuhan) dan budaya (pemaknaan kolektif). Terkait dengan tiga perspektif tersebut, sebagai alat bantu penelitian ini selanjutnya memergunakan sejumlah konsep dan (atau) teori sebagaimana lazim dikembangkan oleh para teoretisi dalam kajian budaya (cultural studies). Kerangka konseptual atau teori yang dimaksudkan selanjutnya diuraikan dalam paparan-paparan berikut.

E.1. Teori Masyarakat Konsumen dan Teori Konsumsi Jean Budrillard

Sebagai bakcground penelitian ini dalam batas-batas tertentu akan memergunakan teori masyarakat konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Jean Baudrillard dalam The Consumer Society. Preposisi “dalam batas-batas tertentu” mengacu pada “kompatibilitas” teoretik. Artinya, ada hal penting dari teori masyarakat konsumen yang ternyata tidak bisa diterapkan secara langsung untuk menganalisis permasalahan sebagaimana diintensikan dari kajian ini. Secara singkat bisa dijelaskan bahwa dari keseluruhan gagasannya -- mulai dari teori objek, teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda, hingga teori masyarakat konsumen – Baudrillard sama sekali tidak memertimbangkan persoalan pakaian bekas (atau barang bekas pada umumnya). Seluruh teori tentang masyarakat konsumen berangkat dari asumsi bahwa konsumsi sebagaimana berlangsung dalam masyarakat modern identik dengan konsumsi atas barang dan nilai kebaruan. Dengan kata lain

19

identitas kebaruan suatu barang dipahami sejajar dengan kebaruan konsumsi modernitas itu sendiri.

Meskipun secara formal kajian ini dikembangkan berdasarkan pada teori masyarakat konsumen, karena di dalam buku itu Baudrillard sendiri lebih banyak mengaplikasikan gagasan teoretik sebelumnya yakni teori objek9 dan teori konsumsi atau teori ekonomi politik tanda10, maka pemakaian konsep kunci (key concepts) seperti objek konsumsi (consumption object), bentuk komoditas (commodity form),

dan nilai tanda (sign function) sebagaimana termaktub dalam kedua buku yang belakangan disebut menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Konsep-konsep tersebut sudah barang pasti tidak akan ditempatkan dalam posisi yang sama atau sejajar dengan teori pertama disebut, melainkan hanya semacam penghubung atau bersifat melengkapi. Dengan demikian, kajian ini selanjutnya akan menggunakan teori masyarakat konsumen disertai dengan konsep-konsep kunci atas gagasan Jean Baudrillard sebagaimana ia utarakan dalam kedua buku sebelumnya.

Menelusuri gagasan Baudrillard tentang masyarakat konsumen akan mengantarkan kita pada pengakuannya tentang kekuatan komoditas dalam mempengaruhi arah dan proses pembentukan masyarakat (social formation).11

Sebuah gagasan yang merepresentasikan milestone intelektual Baudrillard yang bergerak dari bidang kajian budaya ke sosiologi konsumsi, sebelum pada akhirnya bergerak lagi ke post-modernisme. Fungsi formatif sosial komoditas lewat konsumsi

9 Jean Baudrillard (1996),The Sistem of Objectsdalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard:

Selected Writings, Stanford: California University Press,hlm. 10-28.

10 Jean Baudrillard (1981), For a Critique of the Political Economy of the Sign, terj. Charles Levin, USA: Tellos Press Ltd. Juga, Jean Baudrillard, “For a Critique of the Political Economy of the Sign,”

dalam Mark Poster, (ed.), (1988), Op. cit., hlm. 57-07.

11 Madan Sarup (1993), An Introductory Guide to Post-Structuralism and Posmodernism, 2nd Edition, Athens: The University of Georgia Press, hlm. 276-280.

20

merupakan pintu masuk yang dipergunakan Baudrillard, mengikuti jejak seniornya Louis Althusser, untuk mempersoalkan hal fundamental di dalam kapitalisme yang hampir selalu berjaya dan sulit sekali dipatahkan dalam mempengaruhi gerak dan kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Melalui sudut pandang konsumsi Baudrillard melihat aspek multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau bentuk-bentuk komoditas dan implikasinya secara psikologis, sosial, dan kultural.

Melalui teori masyarakat konsumen Jean Baudrillard menggambarkan pelbagai trend atau kecenderungan yang muncul dalam masyarakat kontemporer yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh kekuatan pasar. Masyarakat konsumen oleh Jean Baudrillard diilustrasikan sebagai sebuah masyarakat yang di dalamnya mengalami “general hysteria” – sebuah suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, mengondisikan, dan menggiring anggota-anggotanya untuk secara terus menerus mengkonsumsi (ubiquiotus) alih-alih memproduksi dan memfetishkan kenikmatan (satisfaction) pelbagai barang dan jasa sebagaimana direproduksi secara terus menerus oleh pasar dalam skala yang bersifat massif dan massal.12 Barang dan jasa sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini diproduksi pertama-tama bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk -- meminjam istilah Karl Marx – mereproduksi sarana-sarana produksi, sebagaimana ditandai dengan penciptaan pelbagai bentuk kebutuhan baru.13

Berkenaan dengan kajian ini, teori masyarakat konsumen akan dipakai untuk menggambarkan trend atau kecenderungan umum sebagaimana berkembang luas dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Yogyakarta kontemporer. Sebuah situasi

12 Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Op. cit, hlm. 45. 13 M. Gottdiener (1995), Postmodern Semiotics. Material Culture and the Forms of Posmodern Life. London: Blackwell.

21

yang mengerangkai, menggerakkan, dan menghabituasi kebiasaan hidup masyarakat Yogyakarta kontemporer dalam melahirkan pelbagai kode, norma, peraturan dan hukum, atau ekspektasi social mereka bersama objek-objek konsumsi. Sebuah sistem bahasa sebagaimana kemudian berkembang luas dan tertancap dalam keyakinan masyarakat pada umumnya. Sebuah kekuatan yang memiliki andeel

(peran) sangat besar atau signifikan dalam menstrukturkan persepsi, sikap dan tindakan masyarakat baik secara individual maupun kolektif; terutama berkenaan dengan cara mereka memaknai dan berhubungan dengan komoditas lewat pemenuhan kebutuhan atau konsumsi.

Terkait erat dengan persoalan masyarakat konsumen adalah komodifikasi -- proses perubahan nilai sebuah objek konsumsi atau bentuk komoditas lewat proses produksi. Proses itu menempatkan objek konsumsi atau bentuk komoditas memiliki nilai fungsi (sign function). Dalam pengertian ini suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang di lempar ke pasar selain memiliki kegunaan (function) dan nilai tukar, juga memiliki nilai tanda (sign). Dengan demikian proses komodifikasi atau produksi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas pada dasarnya selain dimaksudkan untuk menaikkan nilai guna dan nilai tukar, juga untuk menaikkan nilai tanda. Dalam konteks konsumsi setiap objek konsumsi atau bentuk komoditas digunakan tidak saja karena nilai fungsional (nilai guna) dan nilai tukarnya, melainkan juga karena nilai tandanya. Implikasinya, saat seseorang mengkonsumsi suatu objek konsumsi atau bentuk komoditas tertentu, ia tidak tidak saja mengkonsumsi nilai guna dan nilai tukar, tetapi juga nila tanda. Nilai tanda ini memiliki peran yang cukup penting, karena ia akan dipergunakan untuk menjawab

22

kebutuhan dasar para konsumen atau pembeli pakaian bekas akan prestige. yang bisa dicukupi dengan hal-hal bermakna.

E.2. Teori Identitas dan Subjek Jacques Lacan

Kerangka konseptual kedua yang akan dipergunakan dalam kajian ini adalah teori identitas atau teori subjek sebagaimana dikemukakan oleh Jacques Emile Lacan lewat teori Tahap Cermin (mirrror stage theory).14 Dalam konteks penelitian ini teori tahap cermin Lacanian berfaedah untuk melihat proses identifikasi atau pembentukan ego dan subjektivitas yang dialami oleh para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam kaitannya dengan aktivitas konsumsi mereka terhadap pakaian bekas. Melalui teori tahap cermin analisis tidak hanya terbatas pada fenomena kemanusiaan yang berada di permukaan, tetapi dimungkinkan masuk hingga level terdalam dan sejauh ini banyak terabaikan saat kita melihat persoalan manusia. Dengan kata lain melalui teori ini dimungkinkan menguak dan memahami struktur internal atau struktur psikis, kejiwaan, atau mental para pengguna pakaian bekas.

Lewat teori Tahap Cermin Lacan mengemukakan dua hal pokok terkait dengan persoalan subjek: penemuan Ego (identitas) dan kekuatan yang berbicara dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu (speaking subject, subjek ketidaksadaran) melalui bahasa (wacana). Melalui teori Tahap Cermin tersebut, Jacques Lacan merumuskan proses pembentukan subjek manusia ke dalam tiga tahap atau fase, yakni: Pra-Cermin, Cermin, dan Pasca-Cermin. Terkait erat dengan

14 Jacques Lacan (2006), “The Mirror Stage as Formative of the I Function and Revealed in Psychoanalytic Experience,” dalam Ecrits, terj. Bruce Fink, N.Y.-London: W.W. Norton & Company Inc., hlm. 75-81.

23

ketiga fase atau tahap pembentukan subjek tersebut Lacan mengemukakan enam elemen penting yang dominan mewarnai setiap tahapan. Elemen yang dimaksudkan adalah: gairah hidup (desire), persepsi (kemampuan untuk mengenali diri sendiri), identifikasi (penyamaan atau idealisasi), hubungan subjek dengan wacana, serta hubungan subjek dan dunia luar -- baik dalam pengertian Innenwelt (dunia kecil) maupun Umwelt (dunia besar).15

Berdasarkan hipotesisnya tentang adanya Tahap Cermin, Lacan selanjutnya merumuskan adanya proses penemuan Ego (identitas) seseorang berjalan dalam tiga tahap: Pra-Cermin, Cermin dan Pasca-Cermin. Tahap Pra-cermin (yang dialami seorang anak saat berumur 0-6 bulan) sang anak sepenuhnya tenggelam dalam kondisi kepenuhan dan kenikmatan primordial, yakni menjadi satu dengan ibunya. Berkaitan dengan persepsi, penemuan diri Sang Anak masih bersifat proprioseptif (proprioceptive) – yakni berjalan sesuai dengan rangsangan yang berasal dari sumber bio-fisik sang anak sendiri.16 Dalam situasi dan kondisi ini Sang Anak masih mengeksplorasi persepsi sensoris (censory perception) yang bersumber pada bio- fisiknya. Demikian halnya gambar (images) tentang dirinya yang ia terima dari ibunya mengalir begitu saja tanpa berhasil ia kendalikan. Persatuan primordial dengan ibunya juga ditandai dengan belum adanya identitas diri, karena diri Sang Anak masih dalam keadaan terfragmentasi. Berkaitan dengan bahasa, ia sudah menerimanya namun belum bisa menggunakannya.

Pada Tahap Cermin (yang dialami seorang anak pada usia6-18 bulan) Sang Anak menemukan ke-diri-annya (self) dalam image ibu atau sosok lain yang

15 Loc. Cit., hlm. 78.

16 John M. Verhaar (1989), “Aku Yang Semu: Jacques Lacan”, dalam John M. Verhaar, Identitas

Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, hlm. 57.

24

berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Dengan kata lain ke-diri-an Sang Anak bersifat imajiner. Berkenaan dengan persepsi, dikarenakan pengenalan diri Sang Anak masih terfragmentasi, maka ia belum bisa membedakan mana self ibunya dan mana self-nya sendiri. Pengalaman menyolok pada fase ini adalah munculnya perasaan bangga (narsistik) saat untuk kali pertama seorang anak menemukan dirinya (sejajar dengan konsep Aha Erlebnis sebagaimana dikemukakan oleh Wolgang Kohler).17 Dikarenakan diri yang ditemukan masih bercampur baur dengan

diri ibunya, ia mengalami misrecognition atau miscognition – salah kenal. Berkaitan dengan bahasa, pada tahap ini Sang Anak mulai belajar menggunakan bahasa, tetapi belum mengetahui maksudnya.

Pada Tahap Pasca-Cermin kesatuan primordial yang dinikmati seorang anak terhadap ibunya mulai retak. Retaknya hubungan antara anak dan ibu berkaitan dengan kehadiran sosok Sang Ayah (Name-of-the-Father) yang merupakan metafor pelbagai hukum dan aturan sosial dan budaya yang muncul sebagai akibat penggunaan bahasa dalam masyarakat. Pengalaman paling mencolok pada tahap ini terletak pada pengalaman Sang Anak saat mulai menggunakan bahasa. Dalam hal ini pengalaman ke-aku-an Sang Anak tidak lagi dibangun berdasarkan pada images,