• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tips: Mendisiplin Anak Dengan Cinta

Dalam dokumen publikasi e-binaanak (Halaman 80-85)

Disiplin berarti menolong anak untuk belajar mematuhi aturan dan tata tertib dalam kehidupan bersama, entah dalam lingkungan keluarga, masyarakat, atau sekolah. Disiplin sebagai sikap sangat penting agar anak tidak berperilaku semau gue, anak juga belajar untuk mengendalikan diri. Oleh sebab itu, disiplin sering dikonotasikan dengan tindakan 'ketegasan' atau 'hukuman' terhadap pelanggaran yang dilakukan anak. Tak jarang, atas nama kedisiplinan, orangtua atau guru bisa melakukan kekerasan terhadap anak. Bagaimana semestinya mendisiplinkan anak?

Sering terdengar keluhan bahwa anak-anak sekarang sulit didisiplin, cenderung melawan dan berani membantah orangtua atau guru. Tindakan- tindakan kekerasan bukannya mengubah perilaku, malah memperburuk hubungannya dengan anak. di samping itu, ada pendapat agar orangtua lebih bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap anak. Apakah sikap "lembek" dan permisif semacam ini justru tidak akan memperburuk keadaan, membuat anak-anak semakin brutal, dan tidak tahu sopan santun dan aturan? di tengah situasi dilematis begini, agar pendisiplinan dapat efektif, kiat-kiat berikut perlu diperhatikan.

1. Anak harus merasa dicintai.

Kebutuhan dasar setiap anak adalah dicintai dan diterima tanpa syarat. Anak benar-benar merasakan bahwa orangtuanya mencintai dirinya melalui tindakan nyata sehari-hari yang terungkap melalui kata-kata ataupun perbuatan. Ketika kebutuhan dasar ini terpenuhi, anak cenderung berpikir positif dan kooperatif dengan orangtua. Dengan merasa dicintai, anak akan menerima tindakan

pendisiplinan dan hukuman secara positif. Mereka percaya bahwa apa pun yang dilakukan orangtua adalah demi kebaikan dirinya.

Sebaliknya, jika anak merasa tidak dicintai dan tidak diterima, apa pun yang dilakukan orangtua cenderung dinilai secara negatif. Secara naluriah anak pun bereaksi terhadap tindakan pendisiplinan, bisa berupa perlawanan, protes, atau sikap tak acuh. Pendisiplinan tanpa didasari oleh rasa cinta hanya akan

melahirkan kemarahan, kebencian, dan balas dendam dalam diri seorang anak. 2. Tetapkan aturan bersama.

Jika tindakan disiplin menyangkut aturan dan tata tertib, sebaiknya anak sudah mengetahui terlebih dulu risiko yang akan ditanggungnya jika melanggar aturan tersebut. Hukuman yang tiba- tiba, sering dimengerti anak sebagai tindakan yang tidak adil sehingga reaksi pun negatif dan tidak efektif. Misalnya, orangtua

menerapkan aturan agar anak makan malam bersama pukul tujuh di rumah, sedangkan bagi yang tidak bisa harus memberitahu sebelumnya, atau setidaknya menelepon. Bagi yang melanggar, hukumannya adalah "tugas mencuci piring pada hari berikutnya".

Jika aturan ini disepakati bersama, masing-masing anggota keluarga akan berusaha memberikan komitmen dengan senang hati, bagi yang terpaksa

81

melanggar pun hukuman bisa dijalankan tanpa diwarnai amarah dan kebencian. Aturan-aturan yang dibuat dalam keluarga dan disepakati bersama akan menjadi media belajar bagi anak untuk menumbuhkan sikap solidaritas dan tanggung jawab. Orangtua pun tidak harus memaksakan otoritasnya karena aturan dengan sendiri sudah berfungsi sebagai alat pendisiplinan.

3. Anak tahu kesalahan.

Ketika anak melakukan tindakan negatif, ada beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan. Pertama, apakah anak sengaja atau tanpa unsur kesengajaan. Kedua, apakah anak menyadari kesalahannya atau tanpa penyesalan sedikit pun. Tindakan pendisiplinan mutlak perlu dan paling keras diberikan jika anak sengaja dan tidak menyesali perbuatannya. Jika anak sengaja tetapi menyesali perbuatannya, berarti anak mau belajar dari kesalahan.

Di kemudian hari, pendisiplinan yang terlalu keras justru tidak mendidik karena anak merasa tidak dihargai. Jika anak tidak sengaja, dan menyesali

perbuatannya, maka yang paling bijak adalah tindakan memaafkan karena pada prinsipnya anak tidak bersalah. Dalam kasus-kasus seperti ini, orangtua benar-benar harus berlaku bijaksana agar tindakan pendisiplinan memiliki nilai edukatif yang mampu mengubah perilaku anak ke arah yang lebih positif.

4. Bukan amarah dan emosi.

Tak jarang tindakan pendisiplinan didorong oleh rasa marah dan suasana emosional karena harga diri dan kewibawaan orangtua terasa dirongrong, atau frustrasi menghadapi perlawanan anak. Jika hal ini yang terjadi, tindakan pendisiplinan tentu tidak efektif, bahkan bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Orangtua terlebih dulu perlu introspeksi, apakah masih dikuasai emosi dan amarah, dan apakah tindakan Anda masih rasional, semata-mata demi

kepentingan dan kebaikan anak atau tidak.

Tunjukkan atau katakan bahwa Anda tetap menghormati dan mencintai pribadi anak, Anda hanya tidak menyetujui perbuatannya. Cara ini akan mengurangi resistensi anak dan memotivasi untuk membangun sikap positif. Tidak ada kesan bagi orangtua untuk melakukan pembalasan terhadap kesalahan anak, justru sebaliknya timbulnya kesan dalam diri anak bahwa Anda terpaksa

melakukannya. Dengan cara demikian, tindakan pendisiplinan sebagai koreksi atas perbuatan anak.

5. Harga perubahan.

Sering timbul kesan dalam diri anak bahwa orangtua bisanya hanya melihat kekurangan dan kurang bisa menghargai hal yang positif. Ketika anak melakukan tindak negatif, baru orangtua bereaksi, tetapi ketika anak menunjukkan perilaku positif, tak ada penghargaan apa pun. Penggunaan kata "selalu" atau "tidak pernah" membuat anak merasa tak dihargai, misalnya "Kamu selalu malas!" atau "kamu tidak pernah nurut sama orangtua!". Apakah selamanya si anak malas dan tak pernah barang sekali pun menuruti perintah?

82

Perlakuan orangtua yang "negative thinking" akan menimbulkan reaksi yang negatif pula. Karena itu, hargailah setiap perubahan positif sekecil apa pun karena pada dasarnya setiap orang butuh dihargai dan diakui. Berhentilah membuat daftar kekurangan anak, dan mulai mencatat kelebihan-kelebihannya kendati belum seperti yang Anda harapan. Pujian dan kata-kata pendukung disertai sentuhan fisik tetap merupakan stimulus yang efektif bagi anak. 6. Lihat keunikan pribadi.

Tak ada manusia yang sama persis. Karenanya, setiap pribadi adalah unik, tiada duanya. Kelemahan tindakan pendisiplinan adalah sifatnya yang seragam

sehingga tidak memandang keunikan pribadi. Bagi si A cukup diberi peringatan keras perilakunya bisa dikendalikan, namun si B mungkin dengan pukulan pun belum mempan. Bagi seseorang, hukuman tertentu benar-benar menakutkan, namun bagi yang lain hukuman yang sama justru menjadi hiburan. Maka, orangtua harus bijak dalam memilih tindakan pendisiplinan yang tepat untuk masing-masing anak sesuai dengan keunikan pribadinya.

Tindakan pendisiplinan tetap harus dipahami dalam konteks pendidikan -- mengubah perilaku dan membentuk kebiasaan positif pada diri anak. Dengan menghargai keunikan pribadi anak, orangtua sebenarnya sudah menyentuh kebutuhan emosional anak. Misalnya, kepada anak yang memiliki kepekaan perasaan, orangtua cukup berbicara dengan lembut namun tegas. Sebaliknya, kepada anak yang memiliki pembawaan suka membantah dan kritis, orangtua perlu berkata tegas dan memberi alasan yang jelas.

7. Dari sudut anak.

Orangtua tak bisa membuat ukuran penilaiannya sendiri sebagai orang dewasa untuk menghadapi anak yang berperilaku buruk. Anak umur dua tahun yang egois adalah normal karena ia sedang belajar otonomi sehingga tak perlu dimarahi atau dianggap sebagai tidak memiliki rasa sosial. Anak remaja yang cenderung menentang pun bukan berarti sedang melawan orangtua, dalam dirinya sedang berlangsung proses identifikasi diri, ingin diakui sebagai pribadi yang independen.

Karena itu, orangtua mesti melihat secara positif setiap bentuk perlawanan yang dilakukan anak, bukan sebagai ungkapan "Aku berani sama kamu" sehingga perlu dihantam dan dijinakkan, melainkan sebagai dambaan hatinya yang terdalam, "Cintailah aku, terimalah aku, dan hargailah aku!" Dengan demikian, orangtua pun terdorong untuk melakukan tindakan cinta, kendati dalam bentuk pendisiplinan.

Bahan diedit dari sumber:

Alamat URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/5/16/k1.html Penulis : Paul Subiyanto

83

Tips 2: Mendisiplin Murid Dengan Kasih

Dalam sebuah kelas sangat dibutuhkan sebuah ketegasan untuk mendisiplin murid. Seorang guru yang tidak tegas dapat diabaikan oleh murid-muridnya. Tegas di sini bukan berarti kasar, keras, mengomel, dan lain-lain. Ketegasan yang dimaksud adalah ketegasan yang berlandaskan kasih agar pendisiplinan yang kita berikan bukannya menjadi trauma bagi dia, tetapi menjadi satu pelajaran berharga dalam kehidupannya. Berikut ini beberapa saran pendisiplinan dengan kasih yang dapat diterapkan seorang guru, jika terdapat beberapa orang anak yang "sulit diatur" dalam kelasnya.

1. Berjalanlah di belakang murid yang sedang bercakap-cakap.

Letakkan tangan di bahunya, dan bimbing murid tersebut untuk duduk di kursi yang lain. Ini merupakan cara yang paling efektif tanpa harus menghentikan pelajaran.

2. Cobalah untuk diam.

Berhentilah berbicara secara tiba-tiba di tengah pelajaran, dan tunggulah sampai murid ikut diam. Murid-murid akan merasakan mengapa Anda tiba-tiba diam. Kemudian, lanjutkanlah perkataan Anda tanpa berkomentar. Bila cara ini saja tidak cukup, lihatlah jam tangan Anda dan hitunglah berapa lama waktu yang dihabiskan oleh murid yang membuat masalah itu. Murid tersebut harus

"membayar utang waktu" kepada Anda, yaitu harus tinggal di kelas selama waktu yang telah Anda hitung, sementara murid-murid yang lain ke luar kelas untuk aktivitas ketrampilan, istirahat, atau makan dan minum.

3. Berusahalah untuk melakukan kontak mata.

Gelengan kepala yang pelan, sedikit mengernyit, gerakan pelan jari telunjuk, semua merupakan petunjuk nonverbal bahwa ada kelakuan murid yang mengganggu.

4. Pusatkan perhatian pada murid yang berkelakuan baik dan berilah pujian.

Hal ini juga akan mengingatkan murid-murid yang lain, bahwa mereka tidak akan mendapat perhatian guru jika berperilaku negatif.

5. Berusahalah untuk bertanya kepada murid.

Tanyakanlah kepada murid yang berkelakuan tidak baik apakah ada yang bisa dibantu. Ini akan memberi Anda kesempatan untuk mendekatinya, memperbaiki kesalahan pada buku-bukunya, dan mendorongnya untuk melakukan hal yang positif.

6. Berusahalah untuk menurunkan volume suara Anda.

Jangan pernah meninggikannya supaya murid-murid melakukan usaha ekstra untuk dapat mendengar Anda, dan tidak bercakap-cakap atau membuat kegaduhan.

7. Sadarilah bila seorang murid terus-menerus berkelakuan buruk.

Bila seorang murid terus-menerus berkelakuan buruk, acapkali itu merupakan tanda bahwa anak itu memiliki kebutuhan yang mendalam, biasanya kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang. Dengan memenuhi kebutuhan emosional utama murid tersebut (kasih, pengakuan, rasa dimiliki, hara diri, tujuan, kontribusi positif), Anda akan mengurangi keinginannya untuk mengganggu kelas.

84

Bahan diedit dari sumber:

Judul Buku : 100 Ide Efektif untuk Menerapkan Disiplin pada Anak Didik Judul Artikel Asli: Teknik Intervensi yang Spesifik

Penulis : Sharon R. Berry, Ph.D.

Penerbit : Gloria Graffa, Yogyakarta, 2004 Halaman : 33 - 38

85

Dalam dokumen publikasi e-binaanak (Halaman 80-85)