• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PERTARUNGAN WACANA DALAM PEMBERITAAN ANAS

URBANINGRUM VS SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DI

HARIAN KOMPAS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Arnold Yoshua Lasro Nainggolan

090904027

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika

kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Arnold Yoshua Lasro Nainggolan

NIM : 090904027

Tanda Tangan :

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Arnold Yoshua Lasro Nainggolan

NIM : 0909004027

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas

Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di

Harian Kompas

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di :

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga atas kasih karunia dan penyertaanNya yang tak berkesudahan dalam setiap detik kehidupan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dan menyempurnakan rangkaian laporan penelitian ini tepat pada waktunya, dengan harapan agar penelitian ini berguna dan memberi arti bagi yang membaca baik dari lingkungan akademik maupun masyarakat luas.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada masa penyusuna skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak saya Hasoloan Nainggolan yang ada disurga, terima kasih buat kenangan dan waktu kita yang singkat bersama, semangat dan mimpi bapak akan tetap saya perjuangkan.

2. Ibu saya Lusiana Purba, yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis dalam kondisi apa pun baik senang maupun sedih, demikian juga buat adik-adik penulis yang senantiasa “menyentil” penulis agar segera bangun dari mimpi panjang, Jonathan Hasudungan Nainggolan, Nadya Zipora Nainggolan dan Adolf Jeremy Nainggolan.

3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Potik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi.

5. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, selaku dosen wali penulis yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan.

6. Bapak Syafuddin Pohan, Ph.d selaku dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan motivasi yang berhaga serta mau meluangkan waktu, tenaga dan kesabaran dalam membantu pengerjaan skripsi ini.

7. Semua dosen di Departemen Ilmu komunikasi dan pegawa administrasi FISIP USU.

8. Untuk Opung saya yang terhebat, M.T Hutabarat, terima kasih buat kasih, kesabaran, nasehat dan pengorbanan yang opung lakukan agar kami

pahopu mu tetap bisa melanjutkan sekolah.

9. Saudara penulis Alzire, kak Frensi Purba, kak Rosmery, Kak Susi, Kak Norasina, kak Damai Purba, Dek Tika dan Dek Meydita yang menjadi saudara penulis yang memberikan semangat dan doa dalam kondisi apa pun.

10.Adik-adik di Soli Deo Gloria, Chandra Fernando Tobing, Sardo Naibaho dan Indra Sianipar terima kasih sudah mau menjadi bagian dari hidup ku. 11.Windo, Paulus, Bang Frydo, Mychael dan Handian, terima kasih sudah

mau menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.

(5)

13.Tim Edukasi Merdeka (Sailent, Franky Banfatin, Kak Shinta Sinaga, Raja, Brema Ginting, Pispa Rajaguguk dan Kak Evia) yang telah banyak menginspirasi penulis, memberikan semangat yang tak habis-habisnya. 14.TPP 2012 yang tetap setia menanyakan, memotivasi penulis untuk

mengerjakan skripsi dan juga menjadi sahabat dalam doa penulis.

15.Seluruh sahabat penulis dari seluruh stambuk di Ilmu komunikasi, khususnya stambuk 2009 yang saat ini berpencar diseluruh Indonesia, kita tetap satu Komunikasi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan, karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, September 2014

Penulis

(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan

dibawah ini :

Nama : Arnold Yoshua Lasro Nainggolan

NIM : 090904027

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Universitas Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eklusif (Non-ekslusive

Royalty-Free Right ) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas vs Susilo Bambang Yudhoyono Di

Harian Kompas

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,

mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai

pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, 16 September 2014

Yang Menyatakan,

(7)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum VS Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas”. Penelitian fokus pada penelitian analisis isi teks media ada pun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan paradigma kritis. Alasan peneliti memilih topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas vs SBY disajikan dan bagaimana representasi ideologi media dalam teks-teks yang berkaitan dengan konflik ini ditampilkan dalam Harian Kompas.

Berita yang menjadi objek penelitian diambil dari Harian Kompas yang terbit dari tanggal 5 Februari 2013 sampai dengan 17 Januari 2014 yang berjumlah delapan berita. Berita-berita tersebut dianalisis menggunakan metode analisis wacana model Theo van Leeuwen dalam level mikro. Konsep dasar dari Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor ditampilkan didalam pemberitaan. Ada dua pusat perhatian metode ini pertama proses pengeluaran (exclusion) hal ini berhubungan dengan apakah dalam satu berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang digunakan untuk itu. Kedua, proses pemasukan (inclusion) hal ini berhubungan dengan bagaimana masing-masing pihak itu ditampilkan lewat pemberitaan dan strategi apa yang digunakan untuk itu.

Melalui analisis wacana model Theo van Leeuwen peneliti mendapatkan hasil: pertama, dalam pemberitaannya harian Kompas, dalam menyajikan konflik yang terjadi antara SBY vs Anas secara umum berimbang (cover both side) dan seperti tanpa kepentingan. Hal ini terlihat dari pemilihan narasumber, kedua belah pihak yang berkonflik dimuat opininya masing-masing. Kedua, kedua belah pihak juga dalam pemberitaan didukungan dan dimarginalkan masing-masing tergantung kepada isu dimana teks dihadirkan. SBY dimarginalkan ketika isu pengambil alihan Partai Demokrat, juga pada isu rencana Kongres Partai Demokrat yang diwacanakan hanya sebagai sebuah parodi politik dimana pemenangnya sudah ditentukan dari golongan “orang dekat” SBY. Namun SBY dilindungi pada isu pencopotan loyalis Anas dari fraksi dan alat kelengkapan DPR.

Selanjutnya ketiga, Anas dimarginalkan dalam posisinya yang tersandung masalah kasus korupsi, ia diwacanakan membangun citra seolah-olah menjadi korban kekejaman politk di Partai Demokrat. Namun pada isu pengambil alihan Partai Demokrat Anas dilindungi, disini Anas dilindungi dengan mewacanakan posisinya yang masih kuat di Partai Demokrat, juga agar ia diberi kesempatan untuk merekonsiliasi Partai Demokrat.

Kata kunci :

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUl. ………... i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ………... ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

KATA PENGANTAR ……… iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH……….... vi

ABSTRAK ………... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ………. 8

1.3 Pembahasan Masalah ………. 8

1.4 Tujuan Penelitian ………. 9

1.5 Manfaat Penelitian ………... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kritis ... 10

2.2 Media Dilihat dari Paradigma Kritis ... 13

2.3 Ideologi ……… 16

2.4 Hegemoni ………. 18

2.5 Analisis Wacana Kritis ………... 19

2.6 Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen………. 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ………. 27

3.2 Objek Penelitian ………. 28

3.2.1 Deskripsi Harian Kompas……… 30

3.2.2 Visi dan Misi Kompas ……….. 34

3.3 Kerangka Analisis ………. 36

3.4 Teknik Pengumpulan Data ……….... 37

(9)

BAB V PEMBAHASAN

4.1 Hasil ……… 38

4.2 Analisis Wacana Berita1 4.2.1 Proses Pengeluaran (Exclusion)…... 42

4.2.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ……….. 44

4.3 Analisis Wacana Berita 2 4.3.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ………... 52

4.3.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ... 53

4.4 Analisis Wacana Berita 3 4.4.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ……….. 60

4.4.2 Proses Pemasukan (Inclusion)... 61

4.5 Analisis Wacana 4 4.5.1 Proses Pengeluaran (Exclusion)………. 68

4.5.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ……….. 70

4.6 Analisis Wacana 5 4.6.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ... 77

4.6.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ... 78

4.7 Analisis Wacana 6 4.7.1 Proses Pengeluaran (Exclusion)……… 82

4.7.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ………. 84

4.8 Analisis Wacana 7 4.8.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ……….. 89

4.8.2 Proses Pemasukan (Inclusion)……….. 91

4.9 Analisis Wacana 8 4.9.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ………... 96

4.9.2 Proses Pemasukan (Inclusion)……….. 98

4.10 Pembahasan ... 100

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……… 104

5.2 Saran Penelitian ……… 106

5.2.1 Saran Dalam Kaitan Akademis ………. 107

(10)

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

- Berita yang diteliti - Biodata peneliti

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Kerangka Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen) ... 36 Tabel 2: Daftar Objek Penelitian Harian Kompas...38

1. Berita 1 Yudoyono

CemasAnas Urbaningrum Masih Didukung

Tabel 3 : Karakteristik Surat Kabar …... 42

2. Berita 2 SBY Kuasai Penuh Demokrat

Anas Urbaningrum Diminta Fokus Hadapi Kasus Hukum Tabel 4 : Karakteristik Surat Kabar………... 51

3. Berita 3 Partai Politik

Demokrat Dinilai gagal Melembagakan Diri

Tabel 5 : Karakteristik Surat Kabar……... 60

4. Berita 4 Ujian Demokrat baru Dimulai

Anas Urbaningrum Mundur dan Pertanyakan Etika Politik Tabel 6 : Karakteristik Surat Kabar………… ………..68

5. Berita 5 Anas Dipersilahkan bongkar Semua Kasus

Ancaman mundurnya Loyalis Anas Tidak Perlu Dikhawatirkan Tabel 7 : Karakteristik Surat Kabar ………... 77

6. Berita 6 Kongres Bakal Diarahkan

Gede pasek Usulkan SBY jadi Ketua Umum

Tabel 8 : Karakteristik Surat Kabar ………...82

7. Berita 7 Loyalis Anas Dicopot

Yudhoyono Mengetahui dan Menyetujui

Tabel 9 : Karakteristik Surat kabar ………... 89

8. Berita 8 Anas Dijerat Tiga Kasus

(12)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum VS Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas”. Penelitian fokus pada penelitian analisis isi teks media ada pun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan paradigma kritis. Alasan peneliti memilih topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas vs SBY disajikan dan bagaimana representasi ideologi media dalam teks-teks yang berkaitan dengan konflik ini ditampilkan dalam Harian Kompas.

Berita yang menjadi objek penelitian diambil dari Harian Kompas yang terbit dari tanggal 5 Februari 2013 sampai dengan 17 Januari 2014 yang berjumlah delapan berita. Berita-berita tersebut dianalisis menggunakan metode analisis wacana model Theo van Leeuwen dalam level mikro. Konsep dasar dari Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor ditampilkan didalam pemberitaan. Ada dua pusat perhatian metode ini pertama proses pengeluaran (exclusion) hal ini berhubungan dengan apakah dalam satu berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang digunakan untuk itu. Kedua, proses pemasukan (inclusion) hal ini berhubungan dengan bagaimana masing-masing pihak itu ditampilkan lewat pemberitaan dan strategi apa yang digunakan untuk itu.

Melalui analisis wacana model Theo van Leeuwen peneliti mendapatkan hasil: pertama, dalam pemberitaannya harian Kompas, dalam menyajikan konflik yang terjadi antara SBY vs Anas secara umum berimbang (cover both side) dan seperti tanpa kepentingan. Hal ini terlihat dari pemilihan narasumber, kedua belah pihak yang berkonflik dimuat opininya masing-masing. Kedua, kedua belah pihak juga dalam pemberitaan didukungan dan dimarginalkan masing-masing tergantung kepada isu dimana teks dihadirkan. SBY dimarginalkan ketika isu pengambil alihan Partai Demokrat, juga pada isu rencana Kongres Partai Demokrat yang diwacanakan hanya sebagai sebuah parodi politik dimana pemenangnya sudah ditentukan dari golongan “orang dekat” SBY. Namun SBY dilindungi pada isu pencopotan loyalis Anas dari fraksi dan alat kelengkapan DPR.

Selanjutnya ketiga, Anas dimarginalkan dalam posisinya yang tersandung masalah kasus korupsi, ia diwacanakan membangun citra seolah-olah menjadi korban kekejaman politk di Partai Demokrat. Namun pada isu pengambil alihan Partai Demokrat Anas dilindungi, disini Anas dilindungi dengan mewacanakan posisinya yang masih kuat di Partai Demokrat, juga agar ia diberi kesempatan untuk merekonsiliasi Partai Demokrat.

Kata kunci :

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Pemberitaan mengenai konflik yang terjadi antara Anas Urbaningrum

yang merupakan mantan ketua umum partai yang berkuasa saat ini Partai

Demokrat, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Presiden Republik

Indonesia yang telah menjabat 2 periode ini telah berlangsung hampir genap

setahun. Perang urat saraf ini bukan tanpa sebab, jika kita runut awal mula

“perang bintang ini” bermula dari terbongkarnya skandal Hambalang.

Kasus Hambalang berawal dari KPK yang melakukan penyidikan pada

kasus wisma atlet SEA Games di Jakabaring Palembang, KPK pada saat itu

menangkap Mindo Roslina Manulang seorang Marketing PT Anugerah Nusantara

dan El Idris Manager Pemasaran PT Duta Graha sesaat setelah menyuap

Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. PT Duta Graha

merupakan kontraktor pemenang dalam tender pembangunan wisama atlet dan PT

Anugerah Nusantara merupakan bagian dari Grup Permai.

Di sidang di Pengadilan tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) majelis hakim

menyebut Grup Permai dikendalikan oleh Nazaruddin seorang bendahara umum

Partai Demokrat. Di pengadilan yg sama, Mindo mengungkapkan Anas

Urbaningrum adalah pemimpinnya di PT Anugerah Nusantara pada 2008.

Ketika KPK mulai menyidik kasus suap wisma atlet inilah, Nazaruddin

pada tanggal 23 Mei 2011 kabur ke Singapura, dalam pelariannya, Nazaruddin

mulai menuturkan soal proyek Hambalang, ia mengatakan korupsi di wisma atlet

tak seberapa dibandingkan dengan proyek Hambalang, ia juga menyebutkan

sejumlah kolega satu partainya yang tahu dan terlibat, dari Anas Urbaningrum,

Angelina Sondakh, Mahyudin, Ignatius, hingga Andi Alfian Mallarangeng yang

ketika itu menjabat sebagi Menpora. Hingga pada akhirnya Nazaruddin ditangkap

KPK di Cartagena, Kolumbia, 7 Agustus 2011.

Dalam penyidikannya KPK tak hanya berpegang pada pengakuan

(14)

bekerjasama, Dia mengungkapkan bagaimana Grup Permai dan anak

perusahaanya berperan menggiring proyek pemerintah, untuk bisa menggiring

tender mereka mengincar proyek-proyek ketika anggarannya hendak dibahas di

DPR. KPK punya saksi kunci, yaitu Yulinis dan Oktarina Furi staff keuangan

Grup Permai, dua orang ini mempunyai catatan keuangan perusahaan Grup

Permai yang berisi kemana saja uang kas perusahaan mengalir dan digunakan

untuk apa, sejumlah nama penting tercatat dalam buku ini, mulai dari anggota

DPR, pejabat pemerintahan, hingga petinggi Kepolisian. Dari suap wisma atlet

inilah kemudian KPK menyelidiki kasus Hambalang.

Hambalang adalah sebuah daerah Di Hambalang, Bogor, Jawa Barat,

disana menurut rencanannya akan didirikan Sport Center, semacam Pusat

Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional yang ide pendiriannya

sudah ada sejak jaman Menteri Pemuda dan Olahraga Adiyaksa Dault, namun

pembangunan proyek itu terkendala dari tahun 2003, karena tidak adanya

sertifikat tanah seluas 5000 hektar. Saat Menpora dijabat oleh Andi Alfian

Mallarangeng, proyek Hambalang terealisasi. (sumber : http://kompas.com)

Anggaran awal pembangunan adalah Rp 125 Miliar namun dalam

perjalanannya membengkak menjadi Rp 2,5 Triliun, menurut Nazaruddin, Anas

yang pada waktu itu merupakan Ketua Fraksi Demokrat di DPR turut terlibat

dalam proyek dengan melakukan serangkaian pertemuan yang dihadiri oleh

Kepala Badan Pertanahan (BPN) Joyo Winoto terkait sertifikat tanah Hambalang.

Hal ini juga diakui oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat

Ignatius Mulyono, diduga Anas Urbaningrum bersama M.Nazaruddin, Angelina

Sondakh, dan teman dekat Anas, Mahfud Suroso, mengatur pemenangan tender

proyek Hambalang sehingga memenangkan PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya

dengan sistem kerja sama operasi, kedua Perusahaan BUMN ini kemudian

menunjuk 17 perusaahan lain sebagai subkontraktor proyek, salah satunya adalah

PT Dutasari Citralaras yang memperoleh pekerjan senilai Rp 63 Miliar,

perusaahan ini dipimpin oleh Mahfud Suroso dan di Komisarisi oleh Athiyyah

Laila istri Anas.

Selain itu pengembangan dari KPK, PT Adhi Karya menggelontorkan dan

(15)

proyek Hambalang. Sebagian uang tersebut Rp 6,925 miliar berasal dari PT

Wijaya Karya, dari total uang Rp 14,601 Miliar itu, sebagian diberikan kepada

Anas Rp 2,221 miliar untuk membantu pencalonannya sebagai Ketua unum dalam

kongres Partai Demokrat tahun 2010, dan sebagian lainnya dibagikan kepada

anggota DPR lainnya. Dalam persidangan Nazaruddin terungkap bahwa anas juga

menerima Toyota Harrier dan Toyota Alphard (Sumber: Khaerudin. 11 Januari

2014. Perjalanan panjang Anas. Kompas,).

Hingga pada jumat tanggal 22 Februri 2013 Anas Urbaningrum resmi

dijadikan tersangka kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dan proyek-proyek

lainnya, dan sehari setelahnya Sabtu 23 Februari 2013 Anas resmi menyatakan

pengunduran dirinya sebagai Ketua umum Partai Demokrat. Setelah mangkir dari

2 kali pemanggilan pemerikasaan 10 Februari 2014 kasus ini memasuki babak

baru dengan ditahannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka di tahanan KPK.

Dalam Perjalanan kasus ini kita “dibumbui” oleh petarungan wacana oleh

Anas dan SBY, saat itu sekitar awal bulan Februari 2013 Saiful Mudjani Reaserch

and Consulting mencatat berdasarkan hasil survey yang dilakukan tingkat

keterpilihan atau elektabilitas Partai Demokrat menyentuh angka 8,3 persen, hal

ini terjadi karena pemberitaan yang marak tentang kasus korupsi yang diduga

dilakukan oknum-oknum dari partai Demokrat termasuk Anas Urbaningrum yang

pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PD. Sejumlah politisi Demokrat

menyampaikan sinyal agar Anas mundur agar elektabilitas partai tidak terus

menurun dan meminta Yudhoyono turun tangan, maka pada hari Jumat tanggal 8

Februari 2013 melalui rapat tertutup di Cikeas, Bogor, Ketua Dewan Pembina

Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih Partai Demokrat

melalui Majelis Tinggi, sehingga seluruh mekanisme partai harus melalui Majelis

Tinggi yang dipimpin oleh Yudhoyono, juga ia menyatakan melalui konfrensi

press yang diadakan setelah rapat, agar Anas Urbaningrum fokus menghadapi

kasus hukum yang ditangani KPK (Sumber : SBY kuasai penuh Demokrat. 9

Februari 2013. Kompas)

Menarik untuk disimak melalui pernyataan Yudhoyono ini adalah pada

saat itu Anas Urbaningrum tidak memiliki status hukum apapun di KPK, palu

(16)

pernyataan SBY ini, apakah opini-opini yang berkembang di media yang

menyebabkan Yudhoyono menyatakan hal ini, ataukah Yudhoyono mengetahui

yang tidak diketahui orang lain dan mengapa harus orang Presiden yang harus

turun tangan langsung menyelesaikan konflik partainya, apakah pengaruh Anas

begitu kuat di Demokrat, tidak ada yang tahu. Ditempat terpisah Anas menyatakan

soal turunnya elektabilitas Demokrat, Anas meminta jangan mencari kambing

hitam.

Babak kedua dalam konflik ini terjadi tepat sehari setelah SBY mengambil

alih Partai Demokrat, Sabtu 9 Februari 2013 Draf Surat Perintah Penyidikan

(Sprindik) KPK bocor di media, draf ini berisi surat perintah penyidikan Anas

Urbaningrum terkait kasus Hambalang, yang menarik adalah surat penyidikan ini

bocor tepat sehari setelah Yudhoyono miminta Anas fokus kepada kasus

hukumnya, dokumen itu ibarat mengkonfirmasi isu penetapan Anas Urbningrum

sebagai tersangka, hingga pada akhirnya tanggal 22 Februari 2013 Anas

Urbaningrum resmi dijadikan tersangka oleh KPK. Dalam konfrensi press yang

digelar sehari setelah penetapannya menjadi tersangka Anas Urbaningrum

menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, ia

menambahkan, “Hari ini saya nyatakan, ini baru sebuah awal dari

langkah-langkah besar. Hari ini saya nyatakan bahwa ini baru halaman pertama. Masih

banyak halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Ini bukan

tutup buku, tetapi pembukaan buku halaman pertama.” Sebuah Stetment yang

sarat makna dan penuh muatan politis (Sumber: Anas Urbaningrum Mundur dan

Pertanyakan Etika Politik Partai. 24 Februari 2013. Kompas)

Secara tersirat Penulis berpendapat peryataan ini mengindikasikan

perlawanan, juga tantangan dan acaman terhadap Partai Demokrat terkhusus

kepada pak SBY, saat itu media mewacanakan Anas akan buka-bukaan soal kasus

korupsi yang ada ditubuh partainya dan kasus korupsi yang melibatkan

orang-orang besar di Negeri ini, jika kita runut dari belakang alasan ini bukan tanpa

sebab, Anas yang waktu itu merupakan seorang anggota komisioner KPU di tahun

2004 yang memenangkan SBY sebagai Presiden, kemudian SBY merekrut Anas

untuk bergabung menjadi kader Partai Demokrat, di Demokrat karier Anas gilang

(17)

mempunyai kartu truf atau info yang sangat rahasia tentang SBY, tentang

kasus-kasus korupsi dan skandal yang terjadi di Republik ini seperti kasus-kasus Century,

Hambalang dan lain-lain.

Setelah sempat menghilang dari media pada bulan September tepatnya

tanggal 15 September 2013 Anas Urbaningrum mendirikan PPI (Persatuan

Pergerakan Indonesia), menurut juru bicara PPI Ma'mun Murod Al Barbasy, PPI

didirikan sebagai gerkan tandingan dari sebuah sistem yang dirasakan semakin

diskriminatif, baik dalam hal hukum, politik dan lainnya, maka PPI akan melawan

melalui konteks itu menurutnya. Pendirian PPI ini ditanggapi serius oleh Partai

Demokrat dengan mencopot Gede Pasek Suardika dari Ketua Komisi III DPR dan

Saan Mustopa Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, mereka adalah loyalis

Anas yang datang menghadiri deklarasi PPI di rumah Anas, pencopotan ini

menurut rumornya adalah bentuk ketidaksukaan Partai Demokrat terhadap PPI

dan terhadap Anas, tapi Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan

mengatakan, pencopotan Gede Pasek Suardika dan Saan Mustopa merupakan

bentuk penerapan disiplin partai, ia juga menambahkan pencopotan itu telah

disetujui oleh Ketua Umun Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Media

saat itu mewacanakan kejanggalan dalam pencopotan kedua loyalis Anas ini,

mengapa pencopotan terjadi setelah deklarasi PPI, apakah ini sebagai bentuk

ancaman dari SBY kepada siapa saja anggota Partai Demokrat yang pro Anas,

apakah dengan mendirikan PPI, Anas, ingin kasusnya menjadi perlawanan Politik

dan bukan perlawanan Hukum (Sumber: Loyalis Anas Dicopot. 19 September

2014. Kompas)

Babak baru pada “perang Bintang” ini terjadi pada Jumat kramat 10

Januari 2014 dengan resmi ditahannya Anas Urbaningrum di Rumah Tahanan

Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Gedung KPK, setelah 2 kali mangkir dari

pemanggilan pemerikasaan KPK akirnya Anas datang ke KPK pukul 13:35 dan

setalah 4 jam pemerikasaan Anas keluar dari Gedung KPK mengenakan rompi

orange bertuliskan tahanan KPK, sebelum masuk kedalam mobil tahanan Anas

mengatakan “Di atas segalanya, saya berterima kasih yang besar kepada Pak SBY.

Mudah-mudahan peristiwa ini punya arti, punya makna, dan jadi hadiah Tahun

(18)

peryataan Anas ini dapat dimaknai sebagai kode perlawan dan ancaman terhadap

Pak SBY, apakah benar Anas mempunyai kart truf yang dapat membongkar

semua kasus korupsi dan skandal dan bahkan dapat melibatkan orang besar di

Republik ini seperti Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.

Media adalah medan diskusi publik si mana masing-masing kelompok

sosial saling bertarung, saling menyajikan perspektif untuk memberikan makna

dalam suatu persoalan, tetapi media itu sendiri bukanlah saluran/entitas yang

bebas, namun media adalah alat dari kelompok dominan untuk menyebarluaskan

gagasannya, mengontrol kelompok lain, kelompok dominan memiliki akses untuk

mempengaruhi dan memaknai sebuah peristiwa berdasarkan pandangan mereka

dalam hal ini kelompok dominan bukan saja menanfaatkan media untuk

memapankan kekuasaannya tetapi mereka juga memarjinalkan atau meminggirkan

posisi kelompok yang tidak dominan (Eriyanto 2001: 48).

Media bukanlah entitas yang netral tempat berbagai kepentingan dan

pemaknaan dari berbagai kelompok mendapatkan perlakukan yang sama, media

adalah instrumen ideologi, suatu sumber kekuasaan yang hegemonistik, ia

mempertahankan kekuasaan kelompok dominan melalui seperangkat alat

kebahasaan (ideologi), dalam hal ini media menjadi subjek yang mengkonstruksi

realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri kepada masyarakat,

sehingga realitas yang ditampilkan adalah realitas yang semu dan telah terdistorsi,

hal ini terjadi karena adanya tekanan dari kekuatan yang mendominasi struktur

ruang redaksi sebuah media dan adanya kekuatan ideologi yang akhirnya

memaksa media tersebut memaknai, memahami dan memposisikan dirinya atas

realitas yang ada di sekelilingnya. Satu peristiwa tunggal pun akan sangat berbeda

pemberitaan dan isinya antar media yang satu dan media yang lainnya, baik itu

dari titik perhatian yang berbeda dan pemilihan kata yang berbeda dan lain

sebagainya, sungguh hal sangat menyadarkan kita tentang bagaimana berita yang

kita baca, kita dengar dan kita lihat setiap hari itu telah melalui proses konstruksi.

Selain itu media juga dapat menjadi sumber legitimasi, di mana lewat

media mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaan agar tampak absah,

benar dan agar masyarakat memandang bahwa suatu kondisi memang seharusnya

(19)

yang terus-menerus yang diantaranya dilakukan lewat pemberitaan, sehingga

khayalak tanpa sadar telah terbentuk kesadarannya tanpa paksa, hal ini lah yang

dimaksudkan Althusser sebagai Ideological state aparatus, mempertahankan

kekuasaan melalui cara yang persuasif dengan menggunakan ideologi sebagi

senjatanya, sehingga berita tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bias dan

telah terdistorsi namun ideologilah yang menentukan bagaimana fakta itu

dipahami, fakta mana yang diambil dan fakta mana yang dibuang oleh redaksi,

dan hal ini adalah konsekuensi dari ideologi (Eriyanto 2001:107).

Dengan mengambil kasus Anas vs SBY inilah menjadi menarik untuk

diteliti bagaimana media membangun opini dan keberpihahakannya, bagaimana

media merepresentasikan realitas yang ada dalam kasus ini, karena seperti yang

kita tahu bahasa dan wacana dalam konteks ini selain dari bentuk pendefinisian

dari realitas, ia juga adalah sebuah arena pertarungan sosial dalam

memperebutkan dan memperjuangkan makna yang pada akhirnya dipandang

benar dan lebih dapat diterima dan bagaimana institusi yang dalam hal ini adalah

media massa menjelaskan peristiwa tersebut kepada masyarakat. Penelitian ini

menfokuskan pada penyajian teks, seperti apa teks-teks yang disajikan, bagaimana

media menyajikan fakta yang ditemukan dilapangan menjadi sebuah berita yang

terdiri dari beberapa teks dan bagaimana representasi ideologi yang ditrampilkan

media dalam teks-teks yang di produksi, media yang dipilih oleh peneliti adalah

koran kompas yang membuat pemberitaan konflik Anas dan SBY.

Harian kompas dipilih sebagai subjek penelitian karena Kompas

merupakan koran Nasional yang telah mapan secara ekonomi dan memiliki

pembaca yang tersebar luas di Nusantara, belum lagi Koran Kompas termasuk

media yang profesional, idealis dan memiliki oplah yang besar pula. Pisau bedah

analisis yang peneliti gunakan adalah analisis wacana model Theo van Leeuwen

pada level mikro, karena teori ini memusatkan bahasa sebagai pencerminan dari

ideologi, sehingga dengan mempelajari bahasa yang tercermin dalam teks,

ideologi dapat terbongkar. Titik perhatian van Leeuwen terutama didasarkan pada

bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial digambarkan dalam teks. Apakah ada

(20)

teks. Penggambaran itu sendiri mencerminkan bagaimana pertarungan sosial yang

terjadi.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti

mengajukan perumusan masalah sebagi berikut:

“Bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas vs SBY disajikan dan

bagaimana representasi ideologi media dalam teks-teks yang berkaitan dengan

konflik ini ditampilkan dalam Harian Kompas?”

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar

penelitian lebih fokus terhadap permasalahan yang sedang diteliti, maka perlu

dibuat pembatasan permasalahan sebagai berikut :

1. Penelitan hanya dilakukan dalam Harian Kompas.

2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai konflik yang

terjadi antara Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono.

3. Penelitian dilakukan pada Harian Kompas yang terbit 5 Februari 2013- 17

Januari 2014.

4. Penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana teks-teks pertarungan

wacana antara Anas vs SBY disajikan di Harian Kompas dan bagaimana

representasi ideologi yang ditampilkan media dalam teks-teks yang

(21)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk melihat bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas

Urbaningrum Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono

disajikan di Harian Kompas

2. Untuk melihat bagaimana representasi ideologi yang ditampilkan Harian

Kompas dalam teks-teks yang berkaitan dengan konflik ini.

1.5 Manfaat penelitian

Manfaat penelitian adalah sebagai berikut :

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau

menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan

dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama

mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta

menambah wawasan peneliti secara khusus mengenai analisis teks berita

menggunakan analisis wacana.

3. Secara praktis, diharapkan penelitian ini menjadi masukan dan memotivasi

siapa saja yang tertarik pada penelitian yang dikaitkan dengan isi media

dan masyarakat, memberikan masukan kepada bidang yang bergerak

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kritis

Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran sekolah Frankfrut.

Ketika itu di Jerman tengah terjadi proses propaganda besar-besaran Hitler. Media

dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media dijadikan alat dari

pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi saranan pemerintah mengobarkan

semangat perang, berangkat dari sana ternyata media bukalah entitas yang netral,

tetapi bisa dikuasai oleh kelompok yang dominan. Dari pemikiran sekolah

Frankfrut inilah lahir pemikiran paradigma kritis. Pernyataan utama dari

paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam

masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Menurut Sindhunata (Eriyanto

2001:24), teori kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme

lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan

masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut,

malah secara alamiah pula jadi diluar kesadarannya ia harus menyesuaikan

dengan masyarakat yang dikuasai modal. Kondisi berita saat ini dengan akumulasi

modal besar-besaran menyatakan bahwa berita itu objektif, tapi melalui

paradigma kritis pertanyaan yang diajukan pertama kali itu adalah objektivitas itu

sendiri. Semua kategori harus dipertanyakan, karena bisa menjadi alat kelompok

dominan untuk memapankan kekuasaan dan dominasinya didalam masyarakat.

Menurut Horkheimer (Eriyanto 2001:24), teori kritis haruslah memberi

kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat yang irasional menjadi

masyarakat yang rasional, tori kritis yakini mampu menjadi teori emasipatoris

karena sifat dasar dari teori kritis yang selalu curiga dan mempertanyakan dengan

kritis dengan masyakat. Paradigma ini berasal dari Marx teorinya yang kritis

terhadap ekonomi jamannya, Marx menyatakan dalam sistem kapitalisme, orang

tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa,

(23)

mengasingkan manusia, baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang lain. Marx

melihat dalam masyarakat kapitalisme jamannya dimana sekelompok kecil

masyarakat pemilik modal telah memperbudak sekelompok besar masyarakat

kelas bawah melalui kekuatan modal dan kepemilikan hak pribadinya. (Franz

1999: 95)

Dalam pemikiran sekolah Frankfrut, media hanya dimiliki dan didominasi

oleh kelompok dominan dalam masyarakat dan menjadi sarana untuk meneguhkan

kelompok dominan sekaligus memarjinalkan dan meminggirkan kelompok

minoritas. Karena media dikuasai oleh kelompok yang dominan, realitas yang

sebenarnya telah terdistorsi dan palsu, Oleh karena itu, penelitian media dalam

perspektif ini terutama diarahkan untuk membongkar kenyataan palsu yang telah

diselewengkan dan dipalsukan tersebut oleh kelompok dominan untuk

kepentingannya.

Pemikiran Madzhab Frankfurt ini dikembangkan oleh Stuart Hall

(Eriyanto 2001:25) ia mengkritik kecendrungan studi media yang tidak

menempatkan ideologi sebagai bagian yang penting, Hall menggunakan berbagai

teori dari Saussure, Levi Strauss, Bathes Lacan, Althusser dan Gramsci untuk

menjelaskan bagaimana peran media dalam meresapkan ideologi tersebut, dalam

tulisannya ia berusaha menjelaskan bagaimana ideologi meresap dalam teks,

mengkonstruksi pembentukkan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Ia bergerak

dari teori struktural Althusser dan mengadopsi teori hegemoni untuk menjelaskan

bagaimana teks dapat membentuk ideologi dan bisa menjadi lahan studi bagi

analisis kritis

Sejak tahun 1960-an, studi media didominasi oleh pendekatan behavioris,

terutama di Amerika. Dalam penelitian ini media diandaikan memiliki kekuatan

yang besar, akan tetapi tidak dipandang secara serius karena masyarakat dilihat

sebagai pluralis, terdiri dari berbagai kelompok-kelompok yang berbeda

kepentingannya, pluralitas itulah yang akan ditampilkan dalam media dan

beragam kepentingan itu akan mencapai titik ekuilibrium dalam bentuk konsensus

dengan sendirinya jika dibiarkan alami dan tidak melalui paksaan. Hall mengkritik

hal ini dengan memasukkan teori mengenai normal dan penyimpangan (Eriyanto,

(24)

definisi diskriminatif dan menyimpang dari masyarakat atau partisipasi kelompok

lain sebagai kondisi yang ilmiah. Dan bagaimana definisi menyimpang ini

diterapkan untuk orang miskin, buruh, petani, kelompok minoritas, atau kulit

hitam. Terjadinya konsensus antara yang normal dan yang menyimpang tersebut

menurut Hall, bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah tetapi didefinisikan secara

sosial.

Oleh karena itu, konsensus dibentuk melalui praktik sosial, politik, disiplin

legal dan bagaimana kekuasaan, otoritas itu ditempatkan, jadi menurut Hall,

konsensus itu terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi

sosial dan legitimasi. Media dipandang tidaklah refleksi dari konsensus, tetapi

media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan

melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi

tindakan lain.Pembentukkan “definisi tentang situasi” tesebut adalah suatu proses

yang harus dianalisis, karena melalui pendefinisian itulah media bekerja, sehingga

realitas disini tidak lagi dianggap sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil dari

pandangan tertentu dari pembentukkan realitas, medialah menjadi kunci utama

pertarungan kekusaan tersebut, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan

dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh

khayalak. Konstruksi realitas lewat media, menempatkan masalah representasi

menjadi isu utama dalam penelitian kritis.

Dalam pembentukkan realitas tersebut ada 2 titik perhatian Hall (Eriyanto

2001:24). Pertama, bahasa. Bukan sebagai sistem penandaan seperti pandangan

kaum strukturalis, bahasa disini dianggap sebagai arena pertarungan sosial dan

bentuk pendefinisian realitas. Jadi kenapa si A harus kita tafsirkan seperti ini

bukan seperti itu, dikarenakan lewat pertarungan sosial dalam memperebutkan

dan memperjungakan makna, pada akhirnya penafsiran atau pemaknaan tertentu

yang menang dan lebih diterima, lebih dari itu penafsiran dan pemaknaan lainnya

dianggap tidak benar dan meyimpang.

Kedua, politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam

membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Titik perhatian disini

adalah peran media dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan

(25)

menjadi bidang dimana pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat, ia

melekat dalam produksi sosial, produksi media dan sistem budaya. Sehingga efek

dari ideologi dalam media itu menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi

tersebut tampak seperti nyata, natural dan benar dan kita sebagai anggota dari

komunitas tersebut hanya tinggal menerima (taken for granted) dalam

pengetahuan mereka.

2.2 Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis

Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri terhadap berita yang

bersumber darimana berita itu bersumber, bagaimana berita tersebut diproduksi

dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam keseluruhan

proses produksi berita yaitu (Eriyanto 2001:31) :

1. Fakta

Bagi kaum kritis, realitas merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk

oleh proses kekuatan sosial,politik dan ekonomi. Oleh karena itu,

mengharapkan realitas apa adanya tidaklah mungkin, karena sudah

tercelup oleh kelompok ekonomi dan poltik, Mengutip Stuart Hall

(Eriyanto 2001:31), realitas tidak secara sederhana dilihat sebagai 1 set

fakta. Tetapi hasil dari ideologi dan pandangan tertentu. Definisi mengenai

realitas ini diproduksi secara terus-menerus melalui praktik bahasa yang

dalam hal ini selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif realitas

yang hendak ditampilkan. Implikasinya adalah suatu persolan atau

peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna

integral, tunggal dan intrisik. Makna yang muncul hanyalah makna yang

ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam konteks ini adalah sebuah

produksi sosial, hasil sebuah praktik. Bahasa dan simbolisasi adalah

perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna.

Bagi kaum kritis berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara

berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan

(26)

menyatakan bahwa fakta adalah yang sebenarnya yang dapat diliput oleh

wartawan, berita bagi kaum ini adalah refleksi dan pencerminan dari

realitas atau miror of reality sehingga harus mencerminkan realitas yang

hendak diberitakan. Hal ini disanggah oleh pandangan kritis yang

menyatakan bahwa realitas yang hadir didepan wartawan sesungguhnya

adalah realitas yang telah terdistorsi. Realitas itu telah disaring dan

disuarakan oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat, Realitas pada

dasarnya adalah pertarungan antara berbagai kelompok untuk menonjolkan

basis penafsiran masing-masing. Sehingga realitas yang dihasilkan

bukanlah realitas yang alamiah, tetapi sudah melalui proses pemaknaan

kelompok yang dominan dan konstruksi tersebut ditentukan oleh

bagaimana kekuatan yang dominan memberi pengaruh yang besar dalam

fakta yang hadir di tengah khalayak bagi kepentingan mereka (kelompok

dominan)

2. Posisi Media

Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok

dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan, membantu

kelompok dominan menyebarluaskan gagasannya, mengontrol kelompok

lain dan membentuk konsensus antar anggota komunitas. Lewat medialah,

ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan

(Eriyanto 2001:36). Media bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek

yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan

pemihakkanya. Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai

wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada

dalam masyarakat. Disini, media bukan sarana yang netral yang

menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa

adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan

tampil dalam pemberitaan.

Titik penting memahami media menurut paradigma kritis adalah

bagaimana media melakukan politik pemaknaan, menurut Stuart Hall

(27)

sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi

sosial, suatu praktik, menurutnya media massa pada dasarnya tidak

mereproduksi, melaikan menentukan (to define) realitas melalui

pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat

dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan

sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Media

di sini dipandang sebagai perang antar kelas. Ia adalah media diskusi

publik di mana masing-masing kelompok sosial tersebut saling bertarung,

saling menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap

suatu persoalan. Setiap pihak menggunakan logika, penafsiran, dan bahasa

tertentu agar pandangannya lebih diterima oleh publik. Dalam pandangan

kritis, pada akhirnya kelompok yang dominanlah yang menguasai

pembicaraan dan menentukan wacana.

3. Posisi Wartawan

Paradigma krtis melihat wartawan dalam menghasilkan berita tidak

mungkin mengesampingkan atau menghilangkan aspek etika, moral dan

nilai-nilai tertentu, Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya,

apa yang dia lihat. Moral dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu

kelompok atau nilai tertentu adalah bagian yang integral yang tidak dapat

terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan

disini bukanlah pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipasi

dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena

fungsinya tersebut wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas,

tetapi membentuk realitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Ini

karena wartawan dipandang bukanlah subjek yang netral dan otonom.

Sebaliknya, wartawan adalah bagian dari anggota suatu kelompok

(28)

4. Hasil Liputan

Kaum pluralis menyatakan andaikata ada standar yang baku itu

sering kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral

dan objektif. Peliputan yang berimbang ini artinya menampilkan

pandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak

diberitakan. Akan tetapi paradigma kritis menyangkal itu semua,

persoalannya bukannya pada bagimana baik-buruknya laporan itu, tapi

apakah laporan itu memiliki bias atau tidak. Artinya kalau ada wartawan

yang menulis berita dari satu sisi, mewawancarai hanya satu pihak,

memasukkan banyak opini pribadi, bukan lagi masalah benar atau salah,

tapi semuanya itu bagian dari kerangka ideologi wartawan itu. Wartawan

adalah bagian dari kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan

kelompok yang dominan bahkan wartawan cendrung memilih apa yang

ingin dia lihat dan menulis apa yang ingin dia tulis. Ketika melihat suatu

peristiwa dan menulis sesuatu, wartawan bahkan tidak bisa menghindari

diri dari stereotipe, melihat dengan sikap dan pandangan personalnya.

Oleh karena itu perhatian penelitian harus diarahkan untuk mencari

ideologi wartawan tersebut dan bagaimana ideologi itu dipraktikkan untuk

memarjinalkan kelompok lain lewat berita.

2.3 Ideologi

Dalam pengertian yang paling umum dan yang paling lunak, ideologi

adalah pikiran yang terorganisasi, yakni nilai, orientasi dan kecendrungan yang

saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perpektif yang diungkapkan

melalui komunikasi (Lull, 1995:1). Ideologi juga menjadi konsep yang sentral

dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan dan

lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi

tertentu. Teori-teori menyatakan bahwa ideologi dibentuk oleh kelompok yang

dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.

Salah satu cara yang digunakan adalah membuat kesadaran kepada khalayak

(29)

dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium melalui dimana kelompok yang

dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi

kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar

(Eriyanto 2001:13).

Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada

kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang mendominasi menganggap

hal tersebut sebagai kewajaran dan kebenaran. Disini menurut Van Djik, dapat

menjelaskan fenomena apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana

kelompok yang dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak

dominan melalui kampanye disinformasi (seperti agama tertentu yang

meyebabkan suatu kerusuhan, orang kulit hitam selalu bertindak kriminal) melalui

kontrol media, dan sebagainya, sehingga kita menganggap suatu yang wajar kalau

kita melihat film dimana digambarkan penjahatnya adalah orang kulit hitam atau

orang cina yang terlibat mafia obat-obat terlarang. Inilah contoh bagaimana

ideologi itu bekerja, yang membuat kita tidak sadar untuk mempertanyakan

penggambaran seperti itu. Oleh Karena itu, ideologi selalu berpretensi untuk

melanggengkan status quo, menggambarkan kelompok dominan lebih bagus

daripada kelompok yang minoritas.dan meskipun struktur hubungan tersebut

berlansung timpang dan tidak dominan, namun kita tidak pernah

mempertanyakannya dalam (Eriyanto 2001:31)

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Alhusser.

Ideologi atau level suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang

dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi.

Althusser mengatakanmengatakan ada 2 dimensi hakiki negara: Represif (Represif

State Apparatus/RSA) dan ideologi (Ideological State Aparatus/ISA). Kedua

dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas, yang satu

dengan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi.

Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni

melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. RSA

pada mulanya bersifat menindas, penindasan yang dilakukan ini selanjutnya diberi

arti ideologis (seolah-olah bernilai dan sah). ISA bersifat sebaliknya RSA bersifat

(30)

saling berintegrasi dalam rangka fungsi represif negara. RSA mengamankan

kondisi politik yang diciptakan oleh ISA dengan tindak manipulasi kesadaran

warga masyarakat. Justru karena RSA terhadap situasi politik yang diciptakan

oleh ISA ini, ISA menyusun suatu kerangka legitimasi yang akan mengabsahkan

tindakan RSA tersebut hingga masyarakat tidak akan melawan tindakkan

memaksa RSA, bahkan diterima sebagai kebenaran. Dalam konsepsi ideologi ini,

media ditempatkan Althusser sebagai Ideological State Apparatus, bagaimana

mempertahankan kekuasaan melalui seperangkat alat kebahasaan.

2.4 Hegemoni

Konsep hegemoni dipopulerkan ahlih filsafat politik terkemukan Italia,

Antonia Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak

hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi

juag kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa

untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara

produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan

pelestarian “kepatuhan aktif” dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh

kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik.

Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang

dijalankan untuk mepertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para

korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam

pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang

disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan

pengalaman tentang kenyataan.

Hegemoni bekerja melalui dua saluran yaitu ideologi dan budaya. Melalui

hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan

dapat ditularkan. Akan tetapi hal ini sangat berbeda dengan manipulasi dan

indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, orang menerima sebagai suatu

kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemonik itu menyatu tersebar dalam praktik

kehidupan, persepsi dan pandangan dunia sebagai sesuatu yang dilakukan dan

(31)

Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu

kelompok terhadap kelompok lain. Salah satu kekuatan hegemoni adalah

bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang

dianggap benar. Dalam proses produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang

halus, sehingga apa yang diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran,

memang begitulah adanya, logis dan bernalar (common sense) dan semua orang

menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan (Eriyanto

2001:105). Maka dari itu perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan

ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah

satunya kunci adalah nalar atau common sense ini, jika ide atau gagasan dari

kelompok dominan/berkuasa telah diterima sebagai sesuatu yang common sense

dan tidak didasarkan pada kelas sosial, kemudian ideologi itu diterima, maka

hegemoni telah terjadi.

2.5 Analisis Wacana Kritis

Dalam analisis wacana kritis, wacana di sini tidak dipahami semata

sebagai studi bahasa. Pada akhirnya memang analisis wacana memang

menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di

sini berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa

dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tepai

juga dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan

praktik tertentu, yang termasuk didalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto 2001:7)

Menurut Fairclough dan Wodak (1997, 258), analisis wacana kritis

melihat wacana sebagai bentuk praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai

praktik sosial menyebabkan hubungan dialektis, di antara peristiwa diskursif

tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik

wacana dalam hal ini bisa menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan

mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial,

laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas, kelompok minoritas melalui dimana

(32)

Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor yang penting, yakni

bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi

didalam masyarakat. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui

bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya

masing-masing (Fairclough & Wodak 1997). Karakteristik penting analisis

wacana menurt Teun A, Van Djik, Fairclogh dan Wodak. (Eriyanto 2001:7) :

1. Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action).

Dangan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagi bentuk

interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruangan tertutup,

konsekuensi dari hal ini adalah bahwa, wacana dipandang sebagai sesuatu

yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,

menyangga, bereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai

sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu yang

diluar kendali.atau diekspresikan diluar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana memperhatikan konteks wacana, seperti latar,

situasi, peristiwa dan kondisi, wacana dipandang sebagai sesuatu yang

diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut

Guy Cook analisis wacana memeriksa konteks komunikasi: siapa yang

mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan

situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari

perkembangan komunikasi; dan hubungan dengan masing-masing pihak.

Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan

mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipasi dalam bahasa, situasi

dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan

sebagainya. Wacana disini dimaknai sebagai teks dan konteks

bersama-sama (Eriyanto 2001:9).

Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks

(33)

dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi gambran

spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa disini,

memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks dan

tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipasi, interteks, situasi dan

sebagainya.

3. Historis

Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan

menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita

melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang

Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh

kalau kita bisa memberikan konteks historis dimana teks itu diciptakan.

Bagaimana situasi sosial dan politik pada saat itu. Oleh karena itu, kita

perlu mempertimbangkan mengapa wacana yang berkembang atau yang

dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti (Eriyanto,

2001:11)

4. Kekuasaan

Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau

apa pun, tidak dipandangsebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral

tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah

satu kunci hubungan antara wacana dengan kekuasaan. Analisis wacana

kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja

tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik,

ekonomi dan budaya tertentu.

Kekuasaan itu dalam hubungan dalam hubungannya dengan

wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol, Satu

orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana.

Kontrol disini tidaklah harus dalam bentuk fisik dan langsung tapi juga

kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut

bisa bermacam-macam. Bisa berupa kontrol atas konteks yang secara

(34)

siapa pula yang hanya bisa mendengar dan mengiyakan. Selain konteks,

kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur

wacana. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan bukan hanya

menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak

tetapi juga bagaimana ia harus ditampilkan. Ini misalnya dapat dilihat dari

penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu (Eriyanto, 2001:12).

2.6 Analisis Wacana Model Theo Van Leeuwen

Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk

mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan

posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih

memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa, Van Leeuwen menjelaskan

bahwa ideologi dan kekuasaan itu tercermin lewat teks (Eriyanto, 2001:346) dan

bahasa itu adalah pencerminan dari ideologi, sehingga dengan mepelajari bahasa

yang tercermin dalam teks, ideologi dapat dibongkar. Titik perhatian Van leeuwen

terutama didasarkan pada bagaimana penggambaran peristiwa dan aktor-aktor

ditanpilkan dengan cara yang tertentu lewat teks media. Penggambaran itu

mencerminkan bagaimana pertarungan sosial itu terjadi. Masing-masing

kelompok saling menonjolkan basis penafsirannya sendiri dan memunculkan

bahasanya sendiri.

Di sini, ada kaitan antara wacana dan kekuasaan. Kekuasaan bukan hanya

bekerja melalui jalur-jalur formal atau hukum, tetapi juga melalui serangkaian

wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok lain sebagai yang

tidak benar dan buruk. Salah satu agen dalam pendefinisian itu adalah media.

Lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan, media secara tidak langsung

membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.

Wacana yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi sesuatu hal atau

kelompok dan mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain (Eriyanto,

(35)

Analisis Van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak

dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada

dua pusat perhatian:

A. Exclusion

Pertama, proses pengeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks berita ada

kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan dan strategi wacana apa

yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini akan, secara tidak langsung bisa

mengubah pemahaman khayalak akan suatu isu dan melegitimasi posisi

pemahaman tertentu. Berikut adalah strategi bagaimana suatu kelompok atau

seorang individu itu dikeluarkan dalam pembicaraan (Eriyanto, 2001;174-190).

1. Pasivasi

Pada dasarnya ini adalah proses bagaimana satu kelompok atau

aktor tertentu tidak dilibatkan dalam suatu pembicaraan atau wacana.

Menurut van Leeuwen, kita perlu mengkritisi bagaimana masing-masing

kelompok itu ditampilkan dalam teks, apakah ada pihak atau aktor yang

dengan strategi wacana tertentu hilang dalam teks. Salah satu cara klasik

untuk mengetahui hal ini adalah dengan membuat kalimat dalam bentuk

pasif.

2. Nomalisasi

Strategi ini berhubungan dengan mengubah kata kerja (verba)

menjadi kata benda (nomina). Umumnya dilakukan dengan memberikan

imbuhan “pe-an,” hal ini dilakukan karena ada hubungannya dengan

kalimat yang berbentuk aktif. Dalam struktur kalimat yang berbentuk aktif,

selalu membutuhkan subjek. Kalimat aktif juga selau berbentuk kata kerja

yang menunjukkan pada apa yang dilakukan (proses) oleh subjek.

Sebaliknya kata benda tidak membutuhkan subjek, karena ia bisa hadir

mandiri dalam kalimat. Nomalisasi tidak membutuhkan subjek, karena

nominalisasi pada dasarnya adalah proses mengubah kata kerja yang

(36)

3. Penggantian anak kalimat

Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan memakai anak

kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

B. Inclusion

Proses pemasukkan (inclusion) adalah kalau suatu kelompok atau aktor

ditampilkan didalam media dengan menggunakan strategi wacana. Dengan

memakai kata, kalimat, informasi, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu,

cara berbicara tertentu yang direpresentasikan dalam teks. Berikut adalah strategi

bagaimana suatu kelompok atau seorang individu itu dimasukan dalam

pembicaraan (Eriyanto, 2001;174-190).

1. Deferensiasi-Indiferensiasi

Ini merupakan strategi wacana bagaimana suatu kelompok

disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang

dipandang lebih dominan atau lebih bagus. Satu peristiwa atau aktor sosial

bisa ditampilkan dalam teks secara mendiri, sebagi suatu peristiwa yang

unik atau khas, tetapi bisa juga dibuat kontras dengan menampilkan

peristiwa atau aktor lain dalam teks. Hadirnya (inclusion) peristiwa atau

kelompok lain selain yang diberitakan itu, menurut van Leeuwen, bisa

menjadi pertanda baik bagaimana suatu peristiwa direpresentasikan

didalam teks. Penghadiran kelompok atau peristiwa lain secara tidak

langsung ingin menujukkan bahwa kelompok itu tidak lebih bagus

dibandingkan dengan kelompok lain.

Deferensiasi dalam wujudnya sering kali menimbulkan prasangka

tertentu, terutama dengan membuat membuat garis batas antara pihak

“kita” dan pihak “mereka,” kita baik sementara mereka buruk, hal ini

menunjukkan bagaimana strategi wacana tertentu satu kelompok yang

(37)

2. Objektivasi-Abstraksi

Elemen wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah

informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial dtampilkan dengan

memberi petunjuk yang konkret ataukah yang ditampilkan adalah abstrak.

3. Nominasi-Kategorisai

Dalam suatu pemberitaan mengenai aktor (sesorang/kelompok)

atau mengenai suatu permasalahan, sering kali terjadi pilihan apakah aktor

tersebut ditampilkan apa adanya ataukah yang disebut adalah kategori dari

aktor sosial tersebut. Kategori ini bisa macam-macam yang menunjukkan

ciri penting dari seseorang: bisa berupa agama, status,bentuk fisik dan

sebagainya.

4. Nominasi-Identifikasi

Strategi wacana ini hampir mirip dengan kategorisasi, yakni

bagaimana suatu kelompok, peristiwa atau tindakkan tertentu

didefinisikan. Bedanya dalam indentifikasi, proses pendefinisian itu

dilakukan dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua

proposisi, dimana proposisi kedua adalah penjelas atau keterangan dari

proposisi pertama. Umumnya dihubungkan dengan kata hubung seperti

yang, di mana. Proposisi kedua ini dalam kalimat posisinya sebenarnya

murni sebagai penjelas siapa orang itu atau apa tindakan atau peristiwa itu.

Akan tetapi sering kali pemberian penjelas ini mensugestikan makna

tertentu karena umumnya berupa penilaian atas seseorang, kelompok, atau

tindakkan tertentu,

5. Determinasi-Indeterminasi

Dalam pemberitaan sering kali aktor atau peristiwa disebutkan

secara jelas, tetapi sering kali juga tidak jelas (anomin). Anonimitas ini

bisa jadi karena wartawan belum mendapakan bukti yang cukup untuk

menulis, sehingga lebih aman untuk menulis anomin. Dengan membentuk

(38)

tidak spesifik. Efek generalisasi ini makin besar kalau, miasalnya, anonim

yang dipakai dalam bentuk plural seperti banyak orang, sebagaian orang,

dan sebagainya.

6. Asimilasi-Individualisasi

Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor

sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak.

Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial

yang spesifik yang disebut dalam berita tetapi komunitas atau kelompok

sosial di mana seseorang tersebut berada.

7. Asosiasi-Disosiasi

Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor

atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah ia dihubungkan dengan

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode dalam penelitian dimaksudkan adalah bagaimana si penelti

menggambarkan tata cara pengumpulan data yang diperlukan serta analisis data.

Untuk membongkar isi media, baik itu media cetak maupun media elektronik

metode penelitian analisis isi (content analisys) merupakan metode yang sangat

efisien untuk digunakan. Sebagaimana penelitian sosial lain, analisis isi juga

terbagi dalam dua aliran metodologi, yaitu kuantatif dan kualitatif. Dalam tradisi

penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana

apa yang terjadi pada penelitian kuantitatif, karena sebelum hasil-hasil penelitian

kualitatif memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan, tahapan penelitian

kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, yang mana seorang

peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta dan

fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan, kemudian

menganalisisnya (Bungin, 2008:6).

Penelitian ini menggunakan aliran metodologi kualitatif menggunakan

paradigma kritis. Melalui metode kualitatif akan dilakukan analisis untuk

memahami isi media dan mampu menghubungkannya dengan konteks

sosial/realitas yang terjadi. Penelitian kualitatif melihat pesan-pesan media

sebagai sekumpulan simbol dan lambang representasi kultural atau budaya dalam

konteks masyarat.Dalam studi ini peneliti perlu memperhatikan konteks yaitu

situasi sosial seputar teks yang akan diteliti, sehingga peneliti dapat memahami

kealamiahan dan maksna cultural dari teks yang akan diteliti. Dalam hal ini,

ideologi dari institusi ataupun organisasi media yang menjadi objek penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian analisis

wacana model Theo van Leeuwen. Theo Van Leeuwen memperkenalkan model

analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau

(40)

kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa,

Van Leeuwen menjelaskan bahwa ideologi dan kekuasaan itu tercermin lewat dan

bahasa itu adalah pencerminan dari ideologi, sehingga dengan mempelajari bahasa

yang tercermin dalam teks, ideologi dapat dibongkar. Ada dua pusat perhatian

model ini. Pertama, proses pengeluaran (exclusion) dan kedua proses pemasukkan

(inclusion), melalui strateginya melalui prosesnya secara tidak langsung bisa

mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi

pemahaman tertentu, dengan memakai kata, kalimat, informasi atau susunan

bentuk kalimat tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks

(Eriyanto, 2001:172-173)

3.2 Objek Penelitian

Perjalanan kasus ini sudah hampir memasuki usia setahun, dimulai dari

awal Februari 2013 mengenai menurunnya elektabilitas Partai Demokrat,

pengambil alihan Partai Demokrat, bocornya SPRINDIK KPK (Surat Perintah

Penyidikan), penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka, hingga

pengunduran diri Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Setelah setelah itu

di bulan September Kompas mengangkat berita dicopotnya loyalis Anas dari

DPR, hingga pada awal bulan Januari tahun 2014 ini mengenai penahanan Anas

sebagai tersangka.

Terdapat 26 berita yang Kompas angkat mengenai kasus ini, pemberitaan

ini selalu dimuat di rubik “politik dan hukum”. Khusus untuk penelitian ini, yang

akan dianalisis adalah delapan berita yang telah peneliti teliti menggunakan

meode Critical moment, yaiu memilih objek pemberitaan berdasarkan kejadian

atau peristiwa penting terkait pemberitaan Anas vs SBY.

Objek dalam penelitian ini adalah Harian Kompas. Harian kompas dipilih

menjadi objek penelitian karena Harian Kompas adalah salah satu media yang

dikenal profesional dan netral dalam pemberitaan. Harian Kompas juga

merupakan surat kabar yang unggul dalam pemberitaan di skala nasional.

Karenannya kompas dibaca oleh kalangan menengah keatas. Kompas sangat

Gambar

TINGKAT Tabel 4.1 YANG INGIN DILIHAT
TABEL 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis substitusi yang paling menonjol atau dominan digunakan dalam wacana narasi ekspositoris pada harian Kompas adalah substitusi nominal, sedangkan penggunaan substitusi verbal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media khususnya harian Kompas mengkonstruksi pemberitaan tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi

3.1.3 Pendayagunaan Struktur Sintaksis Wacana Kesejahteraan Rakyat dalam Tajuk Rencana Harian Kompas Pendayagunaan struktur sintaksis tajuk rencana harian kompas tentang

Sedangkan unit analisis fungsi kepemimpinan dan penanganan konflik digunakan untuk mengukur penggambaran citra politik SBY sebagai pemimpin yang efektif dalam kasus

yang terlibat dalam situasi konflik tertentu dan dipandang tepat

Apakah dalam suatu penyelesaian konflik, seorang pemimpin benar-benar menjadi penentu arah satu-satunya, atau ada pihak- pihak lain yang ikut menentukan arah penyelesaian konflik

Pada berita, Harian Jawa Pos menggunakan elemen grafis yang menampilkan gambar-gambar dari peristiwa yang berhubungan dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Anas

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pendayagunaan struktur tematik, skematik, sintaksis, dan stilistik wacana kesejahteraan rakyat dalam tajuk rencana harian Kompas.. Jenis