PERTARUNGAN WACANA DALAM PEMBERITAAN ANAS
URBANINGRUM VS SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DI
HARIAN KOMPAS
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Arnold Yoshua Lasro Nainggolan
090904027
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika
kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya
bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Arnold Yoshua Lasro Nainggolan
NIM : 090904027
Tanda Tangan :
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Arnold Yoshua Lasro Nainggolan
NIM : 0909004027
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul Skripsi : Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas
Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di
Harian Kompas
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : ( )
Penguji : ( )
Penguji Utama : ( )
Ditetapkan di :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga atas kasih karunia dan penyertaanNya yang tak berkesudahan dalam setiap detik kehidupan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dan menyempurnakan rangkaian laporan penelitian ini tepat pada waktunya, dengan harapan agar penelitian ini berguna dan memberi arti bagi yang membaca baik dari lingkungan akademik maupun masyarakat luas.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada masa penyusuna skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak saya Hasoloan Nainggolan yang ada disurga, terima kasih buat kenangan dan waktu kita yang singkat bersama, semangat dan mimpi bapak akan tetap saya perjuangkan.
2. Ibu saya Lusiana Purba, yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis dalam kondisi apa pun baik senang maupun sedih, demikian juga buat adik-adik penulis yang senantiasa “menyentil” penulis agar segera bangun dari mimpi panjang, Jonathan Hasudungan Nainggolan, Nadya Zipora Nainggolan dan Adolf Jeremy Nainggolan.
3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Potik Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi.
5. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, selaku dosen wali penulis yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan.
6. Bapak Syafuddin Pohan, Ph.d selaku dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan motivasi yang berhaga serta mau meluangkan waktu, tenaga dan kesabaran dalam membantu pengerjaan skripsi ini.
7. Semua dosen di Departemen Ilmu komunikasi dan pegawa administrasi FISIP USU.
8. Untuk Opung saya yang terhebat, M.T Hutabarat, terima kasih buat kasih, kesabaran, nasehat dan pengorbanan yang opung lakukan agar kami
pahopu mu tetap bisa melanjutkan sekolah.
9. Saudara penulis Alzire, kak Frensi Purba, kak Rosmery, Kak Susi, Kak Norasina, kak Damai Purba, Dek Tika dan Dek Meydita yang menjadi saudara penulis yang memberikan semangat dan doa dalam kondisi apa pun.
10.Adik-adik di Soli Deo Gloria, Chandra Fernando Tobing, Sardo Naibaho dan Indra Sianipar terima kasih sudah mau menjadi bagian dari hidup ku. 11.Windo, Paulus, Bang Frydo, Mychael dan Handian, terima kasih sudah
mau menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
13.Tim Edukasi Merdeka (Sailent, Franky Banfatin, Kak Shinta Sinaga, Raja, Brema Ginting, Pispa Rajaguguk dan Kak Evia) yang telah banyak menginspirasi penulis, memberikan semangat yang tak habis-habisnya. 14.TPP 2012 yang tetap setia menanyakan, memotivasi penulis untuk
mengerjakan skripsi dan juga menjadi sahabat dalam doa penulis.
15.Seluruh sahabat penulis dari seluruh stambuk di Ilmu komunikasi, khususnya stambuk 2009 yang saat ini berpencar diseluruh Indonesia, kita tetap satu Komunikasi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini belum mencapai kesempurnaan, karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Medan, September 2014
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
dibawah ini :
Nama : Arnold Yoshua Lasro Nainggolan
NIM : 090904027
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Universitas Sumatera Utara
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eklusif (Non-ekslusive
Royalty-Free Right ) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas vs Susilo Bambang Yudhoyono Di
Harian Kompas
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Medan, 16 September 2014
Yang Menyatakan,
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum VS Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas”. Penelitian fokus pada penelitian analisis isi teks media ada pun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan paradigma kritis. Alasan peneliti memilih topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas vs SBY disajikan dan bagaimana representasi ideologi media dalam teks-teks yang berkaitan dengan konflik ini ditampilkan dalam Harian Kompas.
Berita yang menjadi objek penelitian diambil dari Harian Kompas yang terbit dari tanggal 5 Februari 2013 sampai dengan 17 Januari 2014 yang berjumlah delapan berita. Berita-berita tersebut dianalisis menggunakan metode analisis wacana model Theo van Leeuwen dalam level mikro. Konsep dasar dari Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor ditampilkan didalam pemberitaan. Ada dua pusat perhatian metode ini pertama proses pengeluaran (exclusion) hal ini berhubungan dengan apakah dalam satu berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang digunakan untuk itu. Kedua, proses pemasukan (inclusion) hal ini berhubungan dengan bagaimana masing-masing pihak itu ditampilkan lewat pemberitaan dan strategi apa yang digunakan untuk itu.
Melalui analisis wacana model Theo van Leeuwen peneliti mendapatkan hasil: pertama, dalam pemberitaannya harian Kompas, dalam menyajikan konflik yang terjadi antara SBY vs Anas secara umum berimbang (cover both side) dan seperti tanpa kepentingan. Hal ini terlihat dari pemilihan narasumber, kedua belah pihak yang berkonflik dimuat opininya masing-masing. Kedua, kedua belah pihak juga dalam pemberitaan didukungan dan dimarginalkan masing-masing tergantung kepada isu dimana teks dihadirkan. SBY dimarginalkan ketika isu pengambil alihan Partai Demokrat, juga pada isu rencana Kongres Partai Demokrat yang diwacanakan hanya sebagai sebuah parodi politik dimana pemenangnya sudah ditentukan dari golongan “orang dekat” SBY. Namun SBY dilindungi pada isu pencopotan loyalis Anas dari fraksi dan alat kelengkapan DPR.
Selanjutnya ketiga, Anas dimarginalkan dalam posisinya yang tersandung masalah kasus korupsi, ia diwacanakan membangun citra seolah-olah menjadi korban kekejaman politk di Partai Demokrat. Namun pada isu pengambil alihan Partai Demokrat Anas dilindungi, disini Anas dilindungi dengan mewacanakan posisinya yang masih kuat di Partai Demokrat, juga agar ia diberi kesempatan untuk merekonsiliasi Partai Demokrat.
Kata kunci :
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUl. ………... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ………... ii
LEMBAR PENGESAHAN ……… iii
KATA PENGANTAR ……… iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH……….... vi
ABSTRAK ………... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1
1.2 Fokus Masalah ………. 8
1.3 Pembahasan Masalah ………. 8
1.4 Tujuan Penelitian ………. 9
1.5 Manfaat Penelitian ………... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kritis ... 10
2.2 Media Dilihat dari Paradigma Kritis ... 13
2.3 Ideologi ……… 16
2.4 Hegemoni ………. 18
2.5 Analisis Wacana Kritis ………... 19
2.6 Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen………. 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ………. 27
3.2 Objek Penelitian ………. 28
3.2.1 Deskripsi Harian Kompas……… 30
3.2.2 Visi dan Misi Kompas ……….. 34
3.3 Kerangka Analisis ………. 36
3.4 Teknik Pengumpulan Data ……….... 37
BAB V PEMBAHASAN
4.1 Hasil ……… 38
4.2 Analisis Wacana Berita1 4.2.1 Proses Pengeluaran (Exclusion)…... 42
4.2.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ……….. 44
4.3 Analisis Wacana Berita 2 4.3.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ………... 52
4.3.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ... 53
4.4 Analisis Wacana Berita 3 4.4.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ……….. 60
4.4.2 Proses Pemasukan (Inclusion)... 61
4.5 Analisis Wacana 4 4.5.1 Proses Pengeluaran (Exclusion)………. 68
4.5.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ……….. 70
4.6 Analisis Wacana 5 4.6.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ... 77
4.6.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ... 78
4.7 Analisis Wacana 6 4.7.1 Proses Pengeluaran (Exclusion)……… 82
4.7.2 Proses Pemasukan (Inclusion) ………. 84
4.8 Analisis Wacana 7 4.8.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ……….. 89
4.8.2 Proses Pemasukan (Inclusion)……….. 91
4.9 Analisis Wacana 8 4.9.1 Proses Pengeluaran (Exclusion) ………... 96
4.9.2 Proses Pemasukan (Inclusion)……….. 98
4.10 Pembahasan ... 100
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……… 104
5.2 Saran Penelitian ……… 106
5.2.1 Saran Dalam Kaitan Akademis ………. 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
- Berita yang diteliti - Biodata peneliti
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Kerangka Analisis Wacana Model Theo van Leeuwen) ... 36 Tabel 2: Daftar Objek Penelitian Harian Kompas...38
1. Berita 1 Yudoyono
CemasAnas Urbaningrum Masih Didukung
Tabel 3 : Karakteristik Surat Kabar …... 42
2. Berita 2 SBY Kuasai Penuh Demokrat
Anas Urbaningrum Diminta Fokus Hadapi Kasus Hukum Tabel 4 : Karakteristik Surat Kabar………... 51
3. Berita 3 Partai Politik
Demokrat Dinilai gagal Melembagakan Diri
Tabel 5 : Karakteristik Surat Kabar……... 60
4. Berita 4 Ujian Demokrat baru Dimulai
Anas Urbaningrum Mundur dan Pertanyakan Etika Politik Tabel 6 : Karakteristik Surat Kabar………… ………..68
5. Berita 5 Anas Dipersilahkan bongkar Semua Kasus
Ancaman mundurnya Loyalis Anas Tidak Perlu Dikhawatirkan Tabel 7 : Karakteristik Surat Kabar ………... 77
6. Berita 6 Kongres Bakal Diarahkan
Gede pasek Usulkan SBY jadi Ketua Umum
Tabel 8 : Karakteristik Surat Kabar ………...82
7. Berita 7 Loyalis Anas Dicopot
Yudhoyono Mengetahui dan Menyetujui
Tabel 9 : Karakteristik Surat kabar ………... 89
8. Berita 8 Anas Dijerat Tiga Kasus
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum VS Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas”. Penelitian fokus pada penelitian analisis isi teks media ada pun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan paradigma kritis. Alasan peneliti memilih topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas vs SBY disajikan dan bagaimana representasi ideologi media dalam teks-teks yang berkaitan dengan konflik ini ditampilkan dalam Harian Kompas.
Berita yang menjadi objek penelitian diambil dari Harian Kompas yang terbit dari tanggal 5 Februari 2013 sampai dengan 17 Januari 2014 yang berjumlah delapan berita. Berita-berita tersebut dianalisis menggunakan metode analisis wacana model Theo van Leeuwen dalam level mikro. Konsep dasar dari Theo van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor ditampilkan didalam pemberitaan. Ada dua pusat perhatian metode ini pertama proses pengeluaran (exclusion) hal ini berhubungan dengan apakah dalam satu berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang digunakan untuk itu. Kedua, proses pemasukan (inclusion) hal ini berhubungan dengan bagaimana masing-masing pihak itu ditampilkan lewat pemberitaan dan strategi apa yang digunakan untuk itu.
Melalui analisis wacana model Theo van Leeuwen peneliti mendapatkan hasil: pertama, dalam pemberitaannya harian Kompas, dalam menyajikan konflik yang terjadi antara SBY vs Anas secara umum berimbang (cover both side) dan seperti tanpa kepentingan. Hal ini terlihat dari pemilihan narasumber, kedua belah pihak yang berkonflik dimuat opininya masing-masing. Kedua, kedua belah pihak juga dalam pemberitaan didukungan dan dimarginalkan masing-masing tergantung kepada isu dimana teks dihadirkan. SBY dimarginalkan ketika isu pengambil alihan Partai Demokrat, juga pada isu rencana Kongres Partai Demokrat yang diwacanakan hanya sebagai sebuah parodi politik dimana pemenangnya sudah ditentukan dari golongan “orang dekat” SBY. Namun SBY dilindungi pada isu pencopotan loyalis Anas dari fraksi dan alat kelengkapan DPR.
Selanjutnya ketiga, Anas dimarginalkan dalam posisinya yang tersandung masalah kasus korupsi, ia diwacanakan membangun citra seolah-olah menjadi korban kekejaman politk di Partai Demokrat. Namun pada isu pengambil alihan Partai Demokrat Anas dilindungi, disini Anas dilindungi dengan mewacanakan posisinya yang masih kuat di Partai Demokrat, juga agar ia diberi kesempatan untuk merekonsiliasi Partai Demokrat.
Kata kunci :
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Pemberitaan mengenai konflik yang terjadi antara Anas Urbaningrum
yang merupakan mantan ketua umum partai yang berkuasa saat ini Partai
Demokrat, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan Presiden Republik
Indonesia yang telah menjabat 2 periode ini telah berlangsung hampir genap
setahun. Perang urat saraf ini bukan tanpa sebab, jika kita runut awal mula
“perang bintang ini” bermula dari terbongkarnya skandal Hambalang.
Kasus Hambalang berawal dari KPK yang melakukan penyidikan pada
kasus wisma atlet SEA Games di Jakabaring Palembang, KPK pada saat itu
menangkap Mindo Roslina Manulang seorang Marketing PT Anugerah Nusantara
dan El Idris Manager Pemasaran PT Duta Graha sesaat setelah menyuap
Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. PT Duta Graha
merupakan kontraktor pemenang dalam tender pembangunan wisama atlet dan PT
Anugerah Nusantara merupakan bagian dari Grup Permai.
Di sidang di Pengadilan tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) majelis hakim
menyebut Grup Permai dikendalikan oleh Nazaruddin seorang bendahara umum
Partai Demokrat. Di pengadilan yg sama, Mindo mengungkapkan Anas
Urbaningrum adalah pemimpinnya di PT Anugerah Nusantara pada 2008.
Ketika KPK mulai menyidik kasus suap wisma atlet inilah, Nazaruddin
pada tanggal 23 Mei 2011 kabur ke Singapura, dalam pelariannya, Nazaruddin
mulai menuturkan soal proyek Hambalang, ia mengatakan korupsi di wisma atlet
tak seberapa dibandingkan dengan proyek Hambalang, ia juga menyebutkan
sejumlah kolega satu partainya yang tahu dan terlibat, dari Anas Urbaningrum,
Angelina Sondakh, Mahyudin, Ignatius, hingga Andi Alfian Mallarangeng yang
ketika itu menjabat sebagi Menpora. Hingga pada akhirnya Nazaruddin ditangkap
KPK di Cartagena, Kolumbia, 7 Agustus 2011.
Dalam penyidikannya KPK tak hanya berpegang pada pengakuan
bekerjasama, Dia mengungkapkan bagaimana Grup Permai dan anak
perusahaanya berperan menggiring proyek pemerintah, untuk bisa menggiring
tender mereka mengincar proyek-proyek ketika anggarannya hendak dibahas di
DPR. KPK punya saksi kunci, yaitu Yulinis dan Oktarina Furi staff keuangan
Grup Permai, dua orang ini mempunyai catatan keuangan perusahaan Grup
Permai yang berisi kemana saja uang kas perusahaan mengalir dan digunakan
untuk apa, sejumlah nama penting tercatat dalam buku ini, mulai dari anggota
DPR, pejabat pemerintahan, hingga petinggi Kepolisian. Dari suap wisma atlet
inilah kemudian KPK menyelidiki kasus Hambalang.
Hambalang adalah sebuah daerah Di Hambalang, Bogor, Jawa Barat,
disana menurut rencanannya akan didirikan Sport Center, semacam Pusat
Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional yang ide pendiriannya
sudah ada sejak jaman Menteri Pemuda dan Olahraga Adiyaksa Dault, namun
pembangunan proyek itu terkendala dari tahun 2003, karena tidak adanya
sertifikat tanah seluas 5000 hektar. Saat Menpora dijabat oleh Andi Alfian
Mallarangeng, proyek Hambalang terealisasi. (sumber : http://kompas.com)
Anggaran awal pembangunan adalah Rp 125 Miliar namun dalam
perjalanannya membengkak menjadi Rp 2,5 Triliun, menurut Nazaruddin, Anas
yang pada waktu itu merupakan Ketua Fraksi Demokrat di DPR turut terlibat
dalam proyek dengan melakukan serangkaian pertemuan yang dihadiri oleh
Kepala Badan Pertanahan (BPN) Joyo Winoto terkait sertifikat tanah Hambalang.
Hal ini juga diakui oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat
Ignatius Mulyono, diduga Anas Urbaningrum bersama M.Nazaruddin, Angelina
Sondakh, dan teman dekat Anas, Mahfud Suroso, mengatur pemenangan tender
proyek Hambalang sehingga memenangkan PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya
dengan sistem kerja sama operasi, kedua Perusahaan BUMN ini kemudian
menunjuk 17 perusaahan lain sebagai subkontraktor proyek, salah satunya adalah
PT Dutasari Citralaras yang memperoleh pekerjan senilai Rp 63 Miliar,
perusaahan ini dipimpin oleh Mahfud Suroso dan di Komisarisi oleh Athiyyah
Laila istri Anas.
Selain itu pengembangan dari KPK, PT Adhi Karya menggelontorkan dan
proyek Hambalang. Sebagian uang tersebut Rp 6,925 miliar berasal dari PT
Wijaya Karya, dari total uang Rp 14,601 Miliar itu, sebagian diberikan kepada
Anas Rp 2,221 miliar untuk membantu pencalonannya sebagai Ketua unum dalam
kongres Partai Demokrat tahun 2010, dan sebagian lainnya dibagikan kepada
anggota DPR lainnya. Dalam persidangan Nazaruddin terungkap bahwa anas juga
menerima Toyota Harrier dan Toyota Alphard (Sumber: Khaerudin. 11 Januari
2014. Perjalanan panjang Anas. Kompas,).
Hingga pada jumat tanggal 22 Februri 2013 Anas Urbaningrum resmi
dijadikan tersangka kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dan proyek-proyek
lainnya, dan sehari setelahnya Sabtu 23 Februari 2013 Anas resmi menyatakan
pengunduran dirinya sebagai Ketua umum Partai Demokrat. Setelah mangkir dari
2 kali pemanggilan pemerikasaan 10 Februari 2014 kasus ini memasuki babak
baru dengan ditahannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka di tahanan KPK.
Dalam Perjalanan kasus ini kita “dibumbui” oleh petarungan wacana oleh
Anas dan SBY, saat itu sekitar awal bulan Februari 2013 Saiful Mudjani Reaserch
and Consulting mencatat berdasarkan hasil survey yang dilakukan tingkat
keterpilihan atau elektabilitas Partai Demokrat menyentuh angka 8,3 persen, hal
ini terjadi karena pemberitaan yang marak tentang kasus korupsi yang diduga
dilakukan oknum-oknum dari partai Demokrat termasuk Anas Urbaningrum yang
pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PD. Sejumlah politisi Demokrat
menyampaikan sinyal agar Anas mundur agar elektabilitas partai tidak terus
menurun dan meminta Yudhoyono turun tangan, maka pada hari Jumat tanggal 8
Februari 2013 melalui rapat tertutup di Cikeas, Bogor, Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih Partai Demokrat
melalui Majelis Tinggi, sehingga seluruh mekanisme partai harus melalui Majelis
Tinggi yang dipimpin oleh Yudhoyono, juga ia menyatakan melalui konfrensi
press yang diadakan setelah rapat, agar Anas Urbaningrum fokus menghadapi
kasus hukum yang ditangani KPK (Sumber : SBY kuasai penuh Demokrat. 9
Februari 2013. Kompas)
Menarik untuk disimak melalui pernyataan Yudhoyono ini adalah pada
saat itu Anas Urbaningrum tidak memiliki status hukum apapun di KPK, palu
pernyataan SBY ini, apakah opini-opini yang berkembang di media yang
menyebabkan Yudhoyono menyatakan hal ini, ataukah Yudhoyono mengetahui
yang tidak diketahui orang lain dan mengapa harus orang Presiden yang harus
turun tangan langsung menyelesaikan konflik partainya, apakah pengaruh Anas
begitu kuat di Demokrat, tidak ada yang tahu. Ditempat terpisah Anas menyatakan
soal turunnya elektabilitas Demokrat, Anas meminta jangan mencari kambing
hitam.
Babak kedua dalam konflik ini terjadi tepat sehari setelah SBY mengambil
alih Partai Demokrat, Sabtu 9 Februari 2013 Draf Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) KPK bocor di media, draf ini berisi surat perintah penyidikan Anas
Urbaningrum terkait kasus Hambalang, yang menarik adalah surat penyidikan ini
bocor tepat sehari setelah Yudhoyono miminta Anas fokus kepada kasus
hukumnya, dokumen itu ibarat mengkonfirmasi isu penetapan Anas Urbningrum
sebagai tersangka, hingga pada akhirnya tanggal 22 Februari 2013 Anas
Urbaningrum resmi dijadikan tersangka oleh KPK. Dalam konfrensi press yang
digelar sehari setelah penetapannya menjadi tersangka Anas Urbaningrum
menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, ia
menambahkan, “Hari ini saya nyatakan, ini baru sebuah awal dari
langkah-langkah besar. Hari ini saya nyatakan bahwa ini baru halaman pertama. Masih
banyak halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Ini bukan
tutup buku, tetapi pembukaan buku halaman pertama.” Sebuah Stetment yang
sarat makna dan penuh muatan politis (Sumber: Anas Urbaningrum Mundur dan
Pertanyakan Etika Politik Partai. 24 Februari 2013. Kompas)
Secara tersirat Penulis berpendapat peryataan ini mengindikasikan
perlawanan, juga tantangan dan acaman terhadap Partai Demokrat terkhusus
kepada pak SBY, saat itu media mewacanakan Anas akan buka-bukaan soal kasus
korupsi yang ada ditubuh partainya dan kasus korupsi yang melibatkan
orang-orang besar di Negeri ini, jika kita runut dari belakang alasan ini bukan tanpa
sebab, Anas yang waktu itu merupakan seorang anggota komisioner KPU di tahun
2004 yang memenangkan SBY sebagai Presiden, kemudian SBY merekrut Anas
untuk bergabung menjadi kader Partai Demokrat, di Demokrat karier Anas gilang
mempunyai kartu truf atau info yang sangat rahasia tentang SBY, tentang
kasus-kasus korupsi dan skandal yang terjadi di Republik ini seperti kasus-kasus Century,
Hambalang dan lain-lain.
Setelah sempat menghilang dari media pada bulan September tepatnya
tanggal 15 September 2013 Anas Urbaningrum mendirikan PPI (Persatuan
Pergerakan Indonesia), menurut juru bicara PPI Ma'mun Murod Al Barbasy, PPI
didirikan sebagai gerkan tandingan dari sebuah sistem yang dirasakan semakin
diskriminatif, baik dalam hal hukum, politik dan lainnya, maka PPI akan melawan
melalui konteks itu menurutnya. Pendirian PPI ini ditanggapi serius oleh Partai
Demokrat dengan mencopot Gede Pasek Suardika dari Ketua Komisi III DPR dan
Saan Mustopa Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR, mereka adalah loyalis
Anas yang datang menghadiri deklarasi PPI di rumah Anas, pencopotan ini
menurut rumornya adalah bentuk ketidaksukaan Partai Demokrat terhadap PPI
dan terhadap Anas, tapi Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan
mengatakan, pencopotan Gede Pasek Suardika dan Saan Mustopa merupakan
bentuk penerapan disiplin partai, ia juga menambahkan pencopotan itu telah
disetujui oleh Ketua Umun Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Media
saat itu mewacanakan kejanggalan dalam pencopotan kedua loyalis Anas ini,
mengapa pencopotan terjadi setelah deklarasi PPI, apakah ini sebagai bentuk
ancaman dari SBY kepada siapa saja anggota Partai Demokrat yang pro Anas,
apakah dengan mendirikan PPI, Anas, ingin kasusnya menjadi perlawanan Politik
dan bukan perlawanan Hukum (Sumber: Loyalis Anas Dicopot. 19 September
2014. Kompas)
Babak baru pada “perang Bintang” ini terjadi pada Jumat kramat 10
Januari 2014 dengan resmi ditahannya Anas Urbaningrum di Rumah Tahanan
Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Gedung KPK, setelah 2 kali mangkir dari
pemanggilan pemerikasaan KPK akirnya Anas datang ke KPK pukul 13:35 dan
setalah 4 jam pemerikasaan Anas keluar dari Gedung KPK mengenakan rompi
orange bertuliskan tahanan KPK, sebelum masuk kedalam mobil tahanan Anas
mengatakan “Di atas segalanya, saya berterima kasih yang besar kepada Pak SBY.
Mudah-mudahan peristiwa ini punya arti, punya makna, dan jadi hadiah Tahun
peryataan Anas ini dapat dimaknai sebagai kode perlawan dan ancaman terhadap
Pak SBY, apakah benar Anas mempunyai kart truf yang dapat membongkar
semua kasus korupsi dan skandal dan bahkan dapat melibatkan orang besar di
Republik ini seperti Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
Media adalah medan diskusi publik si mana masing-masing kelompok
sosial saling bertarung, saling menyajikan perspektif untuk memberikan makna
dalam suatu persoalan, tetapi media itu sendiri bukanlah saluran/entitas yang
bebas, namun media adalah alat dari kelompok dominan untuk menyebarluaskan
gagasannya, mengontrol kelompok lain, kelompok dominan memiliki akses untuk
mempengaruhi dan memaknai sebuah peristiwa berdasarkan pandangan mereka
dalam hal ini kelompok dominan bukan saja menanfaatkan media untuk
memapankan kekuasaannya tetapi mereka juga memarjinalkan atau meminggirkan
posisi kelompok yang tidak dominan (Eriyanto 2001: 48).
Media bukanlah entitas yang netral tempat berbagai kepentingan dan
pemaknaan dari berbagai kelompok mendapatkan perlakukan yang sama, media
adalah instrumen ideologi, suatu sumber kekuasaan yang hegemonistik, ia
mempertahankan kekuasaan kelompok dominan melalui seperangkat alat
kebahasaan (ideologi), dalam hal ini media menjadi subjek yang mengkonstruksi
realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri kepada masyarakat,
sehingga realitas yang ditampilkan adalah realitas yang semu dan telah terdistorsi,
hal ini terjadi karena adanya tekanan dari kekuatan yang mendominasi struktur
ruang redaksi sebuah media dan adanya kekuatan ideologi yang akhirnya
memaksa media tersebut memaknai, memahami dan memposisikan dirinya atas
realitas yang ada di sekelilingnya. Satu peristiwa tunggal pun akan sangat berbeda
pemberitaan dan isinya antar media yang satu dan media yang lainnya, baik itu
dari titik perhatian yang berbeda dan pemilihan kata yang berbeda dan lain
sebagainya, sungguh hal sangat menyadarkan kita tentang bagaimana berita yang
kita baca, kita dengar dan kita lihat setiap hari itu telah melalui proses konstruksi.
Selain itu media juga dapat menjadi sumber legitimasi, di mana lewat
media mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaan agar tampak absah,
benar dan agar masyarakat memandang bahwa suatu kondisi memang seharusnya
yang terus-menerus yang diantaranya dilakukan lewat pemberitaan, sehingga
khayalak tanpa sadar telah terbentuk kesadarannya tanpa paksa, hal ini lah yang
dimaksudkan Althusser sebagai Ideological state aparatus, mempertahankan
kekuasaan melalui cara yang persuasif dengan menggunakan ideologi sebagi
senjatanya, sehingga berita tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bias dan
telah terdistorsi namun ideologilah yang menentukan bagaimana fakta itu
dipahami, fakta mana yang diambil dan fakta mana yang dibuang oleh redaksi,
dan hal ini adalah konsekuensi dari ideologi (Eriyanto 2001:107).
Dengan mengambil kasus Anas vs SBY inilah menjadi menarik untuk
diteliti bagaimana media membangun opini dan keberpihahakannya, bagaimana
media merepresentasikan realitas yang ada dalam kasus ini, karena seperti yang
kita tahu bahasa dan wacana dalam konteks ini selain dari bentuk pendefinisian
dari realitas, ia juga adalah sebuah arena pertarungan sosial dalam
memperebutkan dan memperjuangkan makna yang pada akhirnya dipandang
benar dan lebih dapat diterima dan bagaimana institusi yang dalam hal ini adalah
media massa menjelaskan peristiwa tersebut kepada masyarakat. Penelitian ini
menfokuskan pada penyajian teks, seperti apa teks-teks yang disajikan, bagaimana
media menyajikan fakta yang ditemukan dilapangan menjadi sebuah berita yang
terdiri dari beberapa teks dan bagaimana representasi ideologi yang ditrampilkan
media dalam teks-teks yang di produksi, media yang dipilih oleh peneliti adalah
koran kompas yang membuat pemberitaan konflik Anas dan SBY.
Harian kompas dipilih sebagai subjek penelitian karena Kompas
merupakan koran Nasional yang telah mapan secara ekonomi dan memiliki
pembaca yang tersebar luas di Nusantara, belum lagi Koran Kompas termasuk
media yang profesional, idealis dan memiliki oplah yang besar pula. Pisau bedah
analisis yang peneliti gunakan adalah analisis wacana model Theo van Leeuwen
pada level mikro, karena teori ini memusatkan bahasa sebagai pencerminan dari
ideologi, sehingga dengan mempelajari bahasa yang tercermin dalam teks,
ideologi dapat terbongkar. Titik perhatian van Leeuwen terutama didasarkan pada
bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial digambarkan dalam teks. Apakah ada
teks. Penggambaran itu sendiri mencerminkan bagaimana pertarungan sosial yang
terjadi.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti
mengajukan perumusan masalah sebagi berikut:
“Bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas vs SBY disajikan dan
bagaimana representasi ideologi media dalam teks-teks yang berkaitan dengan
konflik ini ditampilkan dalam Harian Kompas?”
1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar
penelitian lebih fokus terhadap permasalahan yang sedang diteliti, maka perlu
dibuat pembatasan permasalahan sebagai berikut :
1. Penelitan hanya dilakukan dalam Harian Kompas.
2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai konflik yang
terjadi antara Anas Urbaningrum dan Susilo Bambang Yudhoyono.
3. Penelitian dilakukan pada Harian Kompas yang terbit 5 Februari 2013- 17
Januari 2014.
4. Penelitian dilakukan untuk melihat bagaimana teks-teks pertarungan
wacana antara Anas vs SBY disajikan di Harian Kompas dan bagaimana
representasi ideologi yang ditampilkan media dalam teks-teks yang
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melihat bagaimana teks-teks pertarungan wacana antara Anas
Urbaningrum Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono
disajikan di Harian Kompas
2. Untuk melihat bagaimana representasi ideologi yang ditampilkan Harian
Kompas dalam teks-teks yang berkaitan dengan konflik ini.
1.5 Manfaat penelitian
Manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau
menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan
dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama
mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta
menambah wawasan peneliti secara khusus mengenai analisis teks berita
menggunakan analisis wacana.
3. Secara praktis, diharapkan penelitian ini menjadi masukan dan memotivasi
siapa saja yang tertarik pada penelitian yang dikaitkan dengan isi media
dan masyarakat, memberikan masukan kepada bidang yang bergerak
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kritis
Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran sekolah Frankfrut.
Ketika itu di Jerman tengah terjadi proses propaganda besar-besaran Hitler. Media
dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media dijadikan alat dari
pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi saranan pemerintah mengobarkan
semangat perang, berangkat dari sana ternyata media bukalah entitas yang netral,
tetapi bisa dikuasai oleh kelompok yang dominan. Dari pemikiran sekolah
Frankfrut inilah lahir pemikiran paradigma kritis. Pernyataan utama dari
paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam
masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Menurut Sindhunata (Eriyanto
2001:24), teori kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme
lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut,
malah secara alamiah pula jadi diluar kesadarannya ia harus menyesuaikan
dengan masyarakat yang dikuasai modal. Kondisi berita saat ini dengan akumulasi
modal besar-besaran menyatakan bahwa berita itu objektif, tapi melalui
paradigma kritis pertanyaan yang diajukan pertama kali itu adalah objektivitas itu
sendiri. Semua kategori harus dipertanyakan, karena bisa menjadi alat kelompok
dominan untuk memapankan kekuasaan dan dominasinya didalam masyarakat.
Menurut Horkheimer (Eriyanto 2001:24), teori kritis haruslah memberi
kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat yang irasional menjadi
masyarakat yang rasional, tori kritis yakini mampu menjadi teori emasipatoris
karena sifat dasar dari teori kritis yang selalu curiga dan mempertanyakan dengan
kritis dengan masyakat. Paradigma ini berasal dari Marx teorinya yang kritis
terhadap ekonomi jamannya, Marx menyatakan dalam sistem kapitalisme, orang
tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa,
mengasingkan manusia, baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang lain. Marx
melihat dalam masyarakat kapitalisme jamannya dimana sekelompok kecil
masyarakat pemilik modal telah memperbudak sekelompok besar masyarakat
kelas bawah melalui kekuatan modal dan kepemilikan hak pribadinya. (Franz
1999: 95)
Dalam pemikiran sekolah Frankfrut, media hanya dimiliki dan didominasi
oleh kelompok dominan dalam masyarakat dan menjadi sarana untuk meneguhkan
kelompok dominan sekaligus memarjinalkan dan meminggirkan kelompok
minoritas. Karena media dikuasai oleh kelompok yang dominan, realitas yang
sebenarnya telah terdistorsi dan palsu, Oleh karena itu, penelitian media dalam
perspektif ini terutama diarahkan untuk membongkar kenyataan palsu yang telah
diselewengkan dan dipalsukan tersebut oleh kelompok dominan untuk
kepentingannya.
Pemikiran Madzhab Frankfurt ini dikembangkan oleh Stuart Hall
(Eriyanto 2001:25) ia mengkritik kecendrungan studi media yang tidak
menempatkan ideologi sebagai bagian yang penting, Hall menggunakan berbagai
teori dari Saussure, Levi Strauss, Bathes Lacan, Althusser dan Gramsci untuk
menjelaskan bagaimana peran media dalam meresapkan ideologi tersebut, dalam
tulisannya ia berusaha menjelaskan bagaimana ideologi meresap dalam teks,
mengkonstruksi pembentukkan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Ia bergerak
dari teori struktural Althusser dan mengadopsi teori hegemoni untuk menjelaskan
bagaimana teks dapat membentuk ideologi dan bisa menjadi lahan studi bagi
analisis kritis
Sejak tahun 1960-an, studi media didominasi oleh pendekatan behavioris,
terutama di Amerika. Dalam penelitian ini media diandaikan memiliki kekuatan
yang besar, akan tetapi tidak dipandang secara serius karena masyarakat dilihat
sebagai pluralis, terdiri dari berbagai kelompok-kelompok yang berbeda
kepentingannya, pluralitas itulah yang akan ditampilkan dalam media dan
beragam kepentingan itu akan mencapai titik ekuilibrium dalam bentuk konsensus
dengan sendirinya jika dibiarkan alami dan tidak melalui paksaan. Hall mengkritik
hal ini dengan memasukkan teori mengenai normal dan penyimpangan (Eriyanto,
definisi diskriminatif dan menyimpang dari masyarakat atau partisipasi kelompok
lain sebagai kondisi yang ilmiah. Dan bagaimana definisi menyimpang ini
diterapkan untuk orang miskin, buruh, petani, kelompok minoritas, atau kulit
hitam. Terjadinya konsensus antara yang normal dan yang menyimpang tersebut
menurut Hall, bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah tetapi didefinisikan secara
sosial.
Oleh karena itu, konsensus dibentuk melalui praktik sosial, politik, disiplin
legal dan bagaimana kekuasaan, otoritas itu ditempatkan, jadi menurut Hall,
konsensus itu terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi
sosial dan legitimasi. Media dipandang tidaklah refleksi dari konsensus, tetapi
media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan
melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi
tindakan lain.Pembentukkan “definisi tentang situasi” tesebut adalah suatu proses
yang harus dianalisis, karena melalui pendefinisian itulah media bekerja, sehingga
realitas disini tidak lagi dianggap sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil dari
pandangan tertentu dari pembentukkan realitas, medialah menjadi kunci utama
pertarungan kekusaan tersebut, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan
dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh
khayalak. Konstruksi realitas lewat media, menempatkan masalah representasi
menjadi isu utama dalam penelitian kritis.
Dalam pembentukkan realitas tersebut ada 2 titik perhatian Hall (Eriyanto
2001:24). Pertama, bahasa. Bukan sebagai sistem penandaan seperti pandangan
kaum strukturalis, bahasa disini dianggap sebagai arena pertarungan sosial dan
bentuk pendefinisian realitas. Jadi kenapa si A harus kita tafsirkan seperti ini
bukan seperti itu, dikarenakan lewat pertarungan sosial dalam memperebutkan
dan memperjungakan makna, pada akhirnya penafsiran atau pemaknaan tertentu
yang menang dan lebih diterima, lebih dari itu penafsiran dan pemaknaan lainnya
dianggap tidak benar dan meyimpang.
Kedua, politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam
membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Titik perhatian disini
adalah peran media dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan
menjadi bidang dimana pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat, ia
melekat dalam produksi sosial, produksi media dan sistem budaya. Sehingga efek
dari ideologi dalam media itu menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi
tersebut tampak seperti nyata, natural dan benar dan kita sebagai anggota dari
komunitas tersebut hanya tinggal menerima (taken for granted) dalam
pengetahuan mereka.
2.2 Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis
Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri terhadap berita yang
bersumber darimana berita itu bersumber, bagaimana berita tersebut diproduksi
dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam keseluruhan
proses produksi berita yaitu (Eriyanto 2001:31) :
1. Fakta
Bagi kaum kritis, realitas merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk
oleh proses kekuatan sosial,politik dan ekonomi. Oleh karena itu,
mengharapkan realitas apa adanya tidaklah mungkin, karena sudah
tercelup oleh kelompok ekonomi dan poltik, Mengutip Stuart Hall
(Eriyanto 2001:31), realitas tidak secara sederhana dilihat sebagai 1 set
fakta. Tetapi hasil dari ideologi dan pandangan tertentu. Definisi mengenai
realitas ini diproduksi secara terus-menerus melalui praktik bahasa yang
dalam hal ini selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif realitas
yang hendak ditampilkan. Implikasinya adalah suatu persolan atau
peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna
integral, tunggal dan intrisik. Makna yang muncul hanyalah makna yang
ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam konteks ini adalah sebuah
produksi sosial, hasil sebuah praktik. Bahasa dan simbolisasi adalah
perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna.
Bagi kaum kritis berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara
berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan
menyatakan bahwa fakta adalah yang sebenarnya yang dapat diliput oleh
wartawan, berita bagi kaum ini adalah refleksi dan pencerminan dari
realitas atau miror of reality sehingga harus mencerminkan realitas yang
hendak diberitakan. Hal ini disanggah oleh pandangan kritis yang
menyatakan bahwa realitas yang hadir didepan wartawan sesungguhnya
adalah realitas yang telah terdistorsi. Realitas itu telah disaring dan
disuarakan oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat, Realitas pada
dasarnya adalah pertarungan antara berbagai kelompok untuk menonjolkan
basis penafsiran masing-masing. Sehingga realitas yang dihasilkan
bukanlah realitas yang alamiah, tetapi sudah melalui proses pemaknaan
kelompok yang dominan dan konstruksi tersebut ditentukan oleh
bagaimana kekuatan yang dominan memberi pengaruh yang besar dalam
fakta yang hadir di tengah khalayak bagi kepentingan mereka (kelompok
dominan)
2. Posisi Media
Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok
dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan, membantu
kelompok dominan menyebarluaskan gagasannya, mengontrol kelompok
lain dan membentuk konsensus antar anggota komunitas. Lewat medialah,
ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan
(Eriyanto 2001:36). Media bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek
yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan
pemihakkanya. Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai
wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada
dalam masyarakat. Disini, media bukan sarana yang netral yang
menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa
adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan
tampil dalam pemberitaan.
Titik penting memahami media menurut paradigma kritis adalah
bagaimana media melakukan politik pemaknaan, menurut Stuart Hall
sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi
sosial, suatu praktik, menurutnya media massa pada dasarnya tidak
mereproduksi, melaikan menentukan (to define) realitas melalui
pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat
dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan
sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Media
di sini dipandang sebagai perang antar kelas. Ia adalah media diskusi
publik di mana masing-masing kelompok sosial tersebut saling bertarung,
saling menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap
suatu persoalan. Setiap pihak menggunakan logika, penafsiran, dan bahasa
tertentu agar pandangannya lebih diterima oleh publik. Dalam pandangan
kritis, pada akhirnya kelompok yang dominanlah yang menguasai
pembicaraan dan menentukan wacana.
3. Posisi Wartawan
Paradigma krtis melihat wartawan dalam menghasilkan berita tidak
mungkin mengesampingkan atau menghilangkan aspek etika, moral dan
nilai-nilai tertentu, Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya,
apa yang dia lihat. Moral dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu
kelompok atau nilai tertentu adalah bagian yang integral yang tidak dapat
terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan
disini bukanlah pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipasi
dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena
fungsinya tersebut wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas,
tetapi membentuk realitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Ini
karena wartawan dipandang bukanlah subjek yang netral dan otonom.
Sebaliknya, wartawan adalah bagian dari anggota suatu kelompok
4. Hasil Liputan
Kaum pluralis menyatakan andaikata ada standar yang baku itu
sering kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral
dan objektif. Peliputan yang berimbang ini artinya menampilkan
pandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak
diberitakan. Akan tetapi paradigma kritis menyangkal itu semua,
persoalannya bukannya pada bagimana baik-buruknya laporan itu, tapi
apakah laporan itu memiliki bias atau tidak. Artinya kalau ada wartawan
yang menulis berita dari satu sisi, mewawancarai hanya satu pihak,
memasukkan banyak opini pribadi, bukan lagi masalah benar atau salah,
tapi semuanya itu bagian dari kerangka ideologi wartawan itu. Wartawan
adalah bagian dari kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan
kelompok yang dominan bahkan wartawan cendrung memilih apa yang
ingin dia lihat dan menulis apa yang ingin dia tulis. Ketika melihat suatu
peristiwa dan menulis sesuatu, wartawan bahkan tidak bisa menghindari
diri dari stereotipe, melihat dengan sikap dan pandangan personalnya.
Oleh karena itu perhatian penelitian harus diarahkan untuk mencari
ideologi wartawan tersebut dan bagaimana ideologi itu dipraktikkan untuk
memarjinalkan kelompok lain lewat berita.
2.3 Ideologi
Dalam pengertian yang paling umum dan yang paling lunak, ideologi
adalah pikiran yang terorganisasi, yakni nilai, orientasi dan kecendrungan yang
saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perpektif yang diungkapkan
melalui komunikasi (Lull, 1995:1). Ideologi juga menjadi konsep yang sentral
dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan dan
lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Teori-teori menyatakan bahwa ideologi dibentuk oleh kelompok yang
dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.
Salah satu cara yang digunakan adalah membuat kesadaran kepada khalayak
dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium melalui dimana kelompok yang
dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi
kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar
(Eriyanto 2001:13).
Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada
kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang mendominasi menganggap
hal tersebut sebagai kewajaran dan kebenaran. Disini menurut Van Djik, dapat
menjelaskan fenomena apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana
kelompok yang dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak
dominan melalui kampanye disinformasi (seperti agama tertentu yang
meyebabkan suatu kerusuhan, orang kulit hitam selalu bertindak kriminal) melalui
kontrol media, dan sebagainya, sehingga kita menganggap suatu yang wajar kalau
kita melihat film dimana digambarkan penjahatnya adalah orang kulit hitam atau
orang cina yang terlibat mafia obat-obat terlarang. Inilah contoh bagaimana
ideologi itu bekerja, yang membuat kita tidak sadar untuk mempertanyakan
penggambaran seperti itu. Oleh Karena itu, ideologi selalu berpretensi untuk
melanggengkan status quo, menggambarkan kelompok dominan lebih bagus
daripada kelompok yang minoritas.dan meskipun struktur hubungan tersebut
berlansung timpang dan tidak dominan, namun kita tidak pernah
mempertanyakannya dalam (Eriyanto 2001:31)
Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Alhusser.
Ideologi atau level suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang
dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi.
Althusser mengatakanmengatakan ada 2 dimensi hakiki negara: Represif (Represif
State Apparatus/RSA) dan ideologi (Ideological State Aparatus/ISA). Kedua
dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas, yang satu
dengan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi.
Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni
melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. RSA
pada mulanya bersifat menindas, penindasan yang dilakukan ini selanjutnya diberi
arti ideologis (seolah-olah bernilai dan sah). ISA bersifat sebaliknya RSA bersifat
saling berintegrasi dalam rangka fungsi represif negara. RSA mengamankan
kondisi politik yang diciptakan oleh ISA dengan tindak manipulasi kesadaran
warga masyarakat. Justru karena RSA terhadap situasi politik yang diciptakan
oleh ISA ini, ISA menyusun suatu kerangka legitimasi yang akan mengabsahkan
tindakan RSA tersebut hingga masyarakat tidak akan melawan tindakkan
memaksa RSA, bahkan diterima sebagai kebenaran. Dalam konsepsi ideologi ini,
media ditempatkan Althusser sebagai Ideological State Apparatus, bagaimana
mempertahankan kekuasaan melalui seperangkat alat kebahasaan.
2.4 Hegemoni
Konsep hegemoni dipopulerkan ahlih filsafat politik terkemukan Italia,
Antonia Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak
hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi
juag kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa
untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara
produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan
pelestarian “kepatuhan aktif” dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh
kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik.
Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang
dijalankan untuk mepertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para
korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam
pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang
disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan
pengalaman tentang kenyataan.
Hegemoni bekerja melalui dua saluran yaitu ideologi dan budaya. Melalui
hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan
dapat ditularkan. Akan tetapi hal ini sangat berbeda dengan manipulasi dan
indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, orang menerima sebagai suatu
kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemonik itu menyatu tersebar dalam praktik
kehidupan, persepsi dan pandangan dunia sebagai sesuatu yang dilakukan dan
Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu
kelompok terhadap kelompok lain. Salah satu kekuatan hegemoni adalah
bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang
dianggap benar. Dalam proses produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang
halus, sehingga apa yang diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran,
memang begitulah adanya, logis dan bernalar (common sense) dan semua orang
menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan (Eriyanto
2001:105). Maka dari itu perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan
ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah
satunya kunci adalah nalar atau common sense ini, jika ide atau gagasan dari
kelompok dominan/berkuasa telah diterima sebagai sesuatu yang common sense
dan tidak didasarkan pada kelas sosial, kemudian ideologi itu diterima, maka
hegemoni telah terjadi.
2.5 Analisis Wacana Kritis
Dalam analisis wacana kritis, wacana di sini tidak dipahami semata
sebagai studi bahasa. Pada akhirnya memang analisis wacana memang
menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di
sini berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa
dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tepai
juga dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu, yang termasuk didalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto 2001:7)
Menurut Fairclough dan Wodak (1997, 258), analisis wacana kritis
melihat wacana sebagai bentuk praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai
praktik sosial menyebabkan hubungan dialektis, di antara peristiwa diskursif
tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik
wacana dalam hal ini bisa menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan
mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial,
laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas, kelompok minoritas melalui dimana
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor yang penting, yakni
bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi
didalam masyarakat. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui
bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya
masing-masing (Fairclough & Wodak 1997). Karakteristik penting analisis
wacana menurt Teun A, Van Djik, Fairclogh dan Wodak. (Eriyanto 2001:7) :
1. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action).
Dangan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagi bentuk
interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruangan tertutup,
konsekuensi dari hal ini adalah bahwa, wacana dipandang sebagai sesuatu
yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,
menyangga, bereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai
sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu yang
diluar kendali.atau diekspresikan diluar kesadaran.
2. Konteks
Analisis wacana memperhatikan konteks wacana, seperti latar,
situasi, peristiwa dan kondisi, wacana dipandang sebagai sesuatu yang
diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut
Guy Cook analisis wacana memeriksa konteks komunikasi: siapa yang
mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari
perkembangan komunikasi; dan hubungan dengan masing-masing pihak.
Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipasi dalam bahasa, situasi
dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan
sebagainya. Wacana disini dimaknai sebagai teks dan konteks
bersama-sama (Eriyanto 2001:9).
Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks
dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi gambran
spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa disini,
memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks dan
tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipasi, interteks, situasi dan
sebagainya.
3. Historis
Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan
menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita
melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang
Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh
kalau kita bisa memberikan konteks historis dimana teks itu diciptakan.
Bagaimana situasi sosial dan politik pada saat itu. Oleh karena itu, kita
perlu mempertimbangkan mengapa wacana yang berkembang atau yang
dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti (Eriyanto,
2001:11)
4. Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau
apa pun, tidak dipandangsebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral
tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah
satu kunci hubungan antara wacana dengan kekuasaan. Analisis wacana
kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja
tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik,
ekonomi dan budaya tertentu.
Kekuasaan itu dalam hubungan dalam hubungannya dengan
wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol, Satu
orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana.
Kontrol disini tidaklah harus dalam bentuk fisik dan langsung tapi juga
kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut
bisa bermacam-macam. Bisa berupa kontrol atas konteks yang secara
siapa pula yang hanya bisa mendengar dan mengiyakan. Selain konteks,
kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur
wacana. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan bukan hanya
menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak
tetapi juga bagaimana ia harus ditampilkan. Ini misalnya dapat dilihat dari
penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu (Eriyanto, 2001:12).
2.6 Analisis Wacana Model Theo Van Leeuwen
Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk
mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan
posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih
memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa, Van Leeuwen menjelaskan
bahwa ideologi dan kekuasaan itu tercermin lewat teks (Eriyanto, 2001:346) dan
bahasa itu adalah pencerminan dari ideologi, sehingga dengan mepelajari bahasa
yang tercermin dalam teks, ideologi dapat dibongkar. Titik perhatian Van leeuwen
terutama didasarkan pada bagaimana penggambaran peristiwa dan aktor-aktor
ditanpilkan dengan cara yang tertentu lewat teks media. Penggambaran itu
mencerminkan bagaimana pertarungan sosial itu terjadi. Masing-masing
kelompok saling menonjolkan basis penafsirannya sendiri dan memunculkan
bahasanya sendiri.
Di sini, ada kaitan antara wacana dan kekuasaan. Kekuasaan bukan hanya
bekerja melalui jalur-jalur formal atau hukum, tetapi juga melalui serangkaian
wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok lain sebagai yang
tidak benar dan buruk. Salah satu agen dalam pendefinisian itu adalah media.
Lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan, media secara tidak langsung
membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.
Wacana yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi sesuatu hal atau
kelompok dan mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain (Eriyanto,
Analisis Van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak
dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada
dua pusat perhatian:
A. Exclusion
Pertama, proses pengeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks berita ada
kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan dan strategi wacana apa
yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini akan, secara tidak langsung bisa
mengubah pemahaman khayalak akan suatu isu dan melegitimasi posisi
pemahaman tertentu. Berikut adalah strategi bagaimana suatu kelompok atau
seorang individu itu dikeluarkan dalam pembicaraan (Eriyanto, 2001;174-190).
1. Pasivasi
Pada dasarnya ini adalah proses bagaimana satu kelompok atau
aktor tertentu tidak dilibatkan dalam suatu pembicaraan atau wacana.
Menurut van Leeuwen, kita perlu mengkritisi bagaimana masing-masing
kelompok itu ditampilkan dalam teks, apakah ada pihak atau aktor yang
dengan strategi wacana tertentu hilang dalam teks. Salah satu cara klasik
untuk mengetahui hal ini adalah dengan membuat kalimat dalam bentuk
pasif.
2. Nomalisasi
Strategi ini berhubungan dengan mengubah kata kerja (verba)
menjadi kata benda (nomina). Umumnya dilakukan dengan memberikan
imbuhan “pe-an,” hal ini dilakukan karena ada hubungannya dengan
kalimat yang berbentuk aktif. Dalam struktur kalimat yang berbentuk aktif,
selalu membutuhkan subjek. Kalimat aktif juga selau berbentuk kata kerja
yang menunjukkan pada apa yang dilakukan (proses) oleh subjek.
Sebaliknya kata benda tidak membutuhkan subjek, karena ia bisa hadir
mandiri dalam kalimat. Nomalisasi tidak membutuhkan subjek, karena
nominalisasi pada dasarnya adalah proses mengubah kata kerja yang
3. Penggantian anak kalimat
Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan memakai anak
kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.
B. Inclusion
Proses pemasukkan (inclusion) adalah kalau suatu kelompok atau aktor
ditampilkan didalam media dengan menggunakan strategi wacana. Dengan
memakai kata, kalimat, informasi, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu,
cara berbicara tertentu yang direpresentasikan dalam teks. Berikut adalah strategi
bagaimana suatu kelompok atau seorang individu itu dimasukan dalam
pembicaraan (Eriyanto, 2001;174-190).
1. Deferensiasi-Indiferensiasi
Ini merupakan strategi wacana bagaimana suatu kelompok
disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang
dipandang lebih dominan atau lebih bagus. Satu peristiwa atau aktor sosial
bisa ditampilkan dalam teks secara mendiri, sebagi suatu peristiwa yang
unik atau khas, tetapi bisa juga dibuat kontras dengan menampilkan
peristiwa atau aktor lain dalam teks. Hadirnya (inclusion) peristiwa atau
kelompok lain selain yang diberitakan itu, menurut van Leeuwen, bisa
menjadi pertanda baik bagaimana suatu peristiwa direpresentasikan
didalam teks. Penghadiran kelompok atau peristiwa lain secara tidak
langsung ingin menujukkan bahwa kelompok itu tidak lebih bagus
dibandingkan dengan kelompok lain.
Deferensiasi dalam wujudnya sering kali menimbulkan prasangka
tertentu, terutama dengan membuat membuat garis batas antara pihak
“kita” dan pihak “mereka,” kita baik sementara mereka buruk, hal ini
menunjukkan bagaimana strategi wacana tertentu satu kelompok yang
2. Objektivasi-Abstraksi
Elemen wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah
informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial dtampilkan dengan
memberi petunjuk yang konkret ataukah yang ditampilkan adalah abstrak.
3. Nominasi-Kategorisai
Dalam suatu pemberitaan mengenai aktor (sesorang/kelompok)
atau mengenai suatu permasalahan, sering kali terjadi pilihan apakah aktor
tersebut ditampilkan apa adanya ataukah yang disebut adalah kategori dari
aktor sosial tersebut. Kategori ini bisa macam-macam yang menunjukkan
ciri penting dari seseorang: bisa berupa agama, status,bentuk fisik dan
sebagainya.
4. Nominasi-Identifikasi
Strategi wacana ini hampir mirip dengan kategorisasi, yakni
bagaimana suatu kelompok, peristiwa atau tindakkan tertentu
didefinisikan. Bedanya dalam indentifikasi, proses pendefinisian itu
dilakukan dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua
proposisi, dimana proposisi kedua adalah penjelas atau keterangan dari
proposisi pertama. Umumnya dihubungkan dengan kata hubung seperti
yang, di mana. Proposisi kedua ini dalam kalimat posisinya sebenarnya
murni sebagai penjelas siapa orang itu atau apa tindakan atau peristiwa itu.
Akan tetapi sering kali pemberian penjelas ini mensugestikan makna
tertentu karena umumnya berupa penilaian atas seseorang, kelompok, atau
tindakkan tertentu,
5. Determinasi-Indeterminasi
Dalam pemberitaan sering kali aktor atau peristiwa disebutkan
secara jelas, tetapi sering kali juga tidak jelas (anomin). Anonimitas ini
bisa jadi karena wartawan belum mendapakan bukti yang cukup untuk
menulis, sehingga lebih aman untuk menulis anomin. Dengan membentuk
tidak spesifik. Efek generalisasi ini makin besar kalau, miasalnya, anonim
yang dipakai dalam bentuk plural seperti banyak orang, sebagaian orang,
dan sebagainya.
6. Asimilasi-Individualisasi
Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor
sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak.
Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial
yang spesifik yang disebut dalam berita tetapi komunitas atau kelompok
sosial di mana seseorang tersebut berada.
7. Asosiasi-Disosiasi
Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor
atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah ia dihubungkan dengan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode dalam penelitian dimaksudkan adalah bagaimana si penelti
menggambarkan tata cara pengumpulan data yang diperlukan serta analisis data.
Untuk membongkar isi media, baik itu media cetak maupun media elektronik
metode penelitian analisis isi (content analisys) merupakan metode yang sangat
efisien untuk digunakan. Sebagaimana penelitian sosial lain, analisis isi juga
terbagi dalam dua aliran metodologi, yaitu kuantatif dan kualitatif. Dalam tradisi
penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana
apa yang terjadi pada penelitian kuantitatif, karena sebelum hasil-hasil penelitian
kualitatif memberi sumbangan kepada ilmu pengetahuan, tahapan penelitian
kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, yang mana seorang
peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta dan
fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan di lapangan, kemudian
menganalisisnya (Bungin, 2008:6).
Penelitian ini menggunakan aliran metodologi kualitatif menggunakan
paradigma kritis. Melalui metode kualitatif akan dilakukan analisis untuk
memahami isi media dan mampu menghubungkannya dengan konteks
sosial/realitas yang terjadi. Penelitian kualitatif melihat pesan-pesan media
sebagai sekumpulan simbol dan lambang representasi kultural atau budaya dalam
konteks masyarat.Dalam studi ini peneliti perlu memperhatikan konteks yaitu
situasi sosial seputar teks yang akan diteliti, sehingga peneliti dapat memahami
kealamiahan dan maksna cultural dari teks yang akan diteliti. Dalam hal ini,
ideologi dari institusi ataupun organisasi media yang menjadi objek penelitian.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian analisis
wacana model Theo van Leeuwen. Theo Van Leeuwen memperkenalkan model
analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau
kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa,
Van Leeuwen menjelaskan bahwa ideologi dan kekuasaan itu tercermin lewat dan
bahasa itu adalah pencerminan dari ideologi, sehingga dengan mempelajari bahasa
yang tercermin dalam teks, ideologi dapat dibongkar. Ada dua pusat perhatian
model ini. Pertama, proses pengeluaran (exclusion) dan kedua proses pemasukkan
(inclusion), melalui strateginya melalui prosesnya secara tidak langsung bisa
mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi
pemahaman tertentu, dengan memakai kata, kalimat, informasi atau susunan
bentuk kalimat tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks
(Eriyanto, 2001:172-173)
3.2 Objek Penelitian
Perjalanan kasus ini sudah hampir memasuki usia setahun, dimulai dari
awal Februari 2013 mengenai menurunnya elektabilitas Partai Demokrat,
pengambil alihan Partai Demokrat, bocornya SPRINDIK KPK (Surat Perintah
Penyidikan), penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka, hingga
pengunduran diri Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Setelah setelah itu
di bulan September Kompas mengangkat berita dicopotnya loyalis Anas dari
DPR, hingga pada awal bulan Januari tahun 2014 ini mengenai penahanan Anas
sebagai tersangka.
Terdapat 26 berita yang Kompas angkat mengenai kasus ini, pemberitaan
ini selalu dimuat di rubik “politik dan hukum”. Khusus untuk penelitian ini, yang
akan dianalisis adalah delapan berita yang telah peneliti teliti menggunakan
meode Critical moment, yaiu memilih objek pemberitaan berdasarkan kejadian
atau peristiwa penting terkait pemberitaan Anas vs SBY.
Objek dalam penelitian ini adalah Harian Kompas. Harian kompas dipilih
menjadi objek penelitian karena Harian Kompas adalah salah satu media yang
dikenal profesional dan netral dalam pemberitaan. Harian Kompas juga
merupakan surat kabar yang unggul dalam pemberitaan di skala nasional.
Karenannya kompas dibaca oleh kalangan menengah keatas. Kompas sangat