Tesis
PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO
OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS
PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
OLEH :
UJANG RIDWAN PERMANA
PEMBIMBING :
1.
Dr. M. RHIZA Z. TALA, SpOG(K)
2. Dr. BINARWAN HALIM, SpOG
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM-5
Pembimbing : Dr. M. Rhiza Z. Tala, SpOG (K)
Dr. Binarwan Halim, SpOG
Penyanggah : Dr. Jenius L. Tobing, SpOG
Dr. Yostoto B. Kaban, SpOG
Dr. Deri Edianto, SpOG (K)
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
Lagi Maha Penyayang, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat Ridha dan Karunia-Nya
penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia
biasa, saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari
sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat
bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
” PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN ”
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU
Medan.
2. Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K), Kepala Departemen Obstetri dan
Ginekologi FK-USU Medan; Dr. Einil Rizar, SpOG (K), Sekretaris Departemen
Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG (K),
Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan,
Dr. Deri Edianto, SpOG (K), Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri
dan Ginekologi FK-USU Medan; dan juga Prof. Dr. Djaffar Siddik, SpOG (K), Prof.
Dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG
(K), Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K), Prof. Dr. T.M. Hanafiah, SpOG
(K), Prof. Dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K), dan Prof. Dr. Daulat H. Sibuea, SpOG
(K), yang telah bersama-sama berkenan menerima saya untuk mengikuti
3. Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K), selaku Kepala Sub Divisi Fertilitas
Endokrinologi dan Reproduksi atas kesempatan yang diberikan kepada saya
untuk melakukan penelitian tentang
” PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN ”
4. Dr. M. Rhiza Z. Tala, SpOG (K) dan Dr. Binarwan Halim selaku pembimbing, Dr.
Jenius L. Tobing, SpOG, Dr. Yostoto B. Kaban, SpOG, dan Dr. Deri Edianto,
SpOG (K) selaku penyanggah , yang penuh dengan kesabaran telah
meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan
melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.
5. Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG (K), selaku Bapak Angkat saya selama menjalani
masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan
nasehat-nasehat yang bermanfaat kepada saya dalam menghadapi masa-masa
sulit selama pendidikan.
6. Dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG, selaku pembimbing mini referat FM saya yang berjudul ”KEHAMILAN DENGAN UROLITHIASIS”. Dr. M. Rhiza Z. Tala SpOG (K) pembimbing mini refarat FER saya yang berjudul ” SRESS INKONTINENSIA “. Dr. Deri Edianto SpOG (K) pembimbing mini refarat Onkologi saya yang berjudul “ INDEKS KEGANASAN TUMOR OVARIUM “.
7. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk
membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.
8. Dr. Zulkarnaini Z. Tala, SpOG dan Keluarga besarnya yang telah banyak
memberikan nasihat dan bimbingannya kepada saya selama mengikuti
pendidikan di Bagian Obstetri dan Ginekologi.
9. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan,
yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal
10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan
sarana untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri
dan Ginekologi.
11. Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU
Dr. Pringadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana untuk
bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
12. Direktur RS. PTPN II Tembakau Deli, Dr. Sofian Abdul Ilah, SpOG, dan Dr.
Nazaruddin Jaffar, SpOG (K) beserta staf yang telah memberikan kesempatan
dan sarana untuk bekerja selama bertugas di Rumah Sakit tersebut.
13. Direktur RSU BALIGE , beserta staf atas kesempatan kerja dan bantuan moril
dan materil selama saya bertugas di rumah sakit tersebut.
14. Kepala Departemen Patologi Anatomi FK-USU beserta staf, atas kesempatan
dan bimbingan yang telah diberikan selama saya bertugas di Departemen
tersebut.
15. Kepada Abang-Abang dan Kakak Saya,Dr. Adi Putra, SpOG, Dr. Harry C.
Simanjuntak, SpOG, Dr. Cut Adeya Adella, SpOG, Dr. Riza Rivany, SpOG, Dr.
Roy Yustin Simanjutak, SpOG, Dr. Johny Marpaung, SpOG, Dr. Melvin NG.
Barus, SpOG, terima kasih banyak atas segala bimbingan, bantuan, dan
dukungannya yang telah diberikan selama ini.
16. Khususnya kepada Teman-Teman Dr. M. Oky Prabudi, SpOG, Dr. Ronny Ajartha
Tarigan,SpOG,Dr.Aswin,SpOG,Dr.Maria N.Pardede,SpOG.Dr Wahyudi
SpOG,terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan yang diberikan
kepada saya selama ini. Dan kepada tim jaga; Dr. Hayu Lestari Haryono, Dr. Dwi
Faradina, Dr. Edwar, Dr.Made Kumara, Dr. Rizka Heriansyah, terima kasih
banyak atas bantuan, kerjasama, dan kebersamaan kita selama ini.
Dr. Miranda Diza.Dr Tommy, Dr. Panuturi Gottlieb Sidabutar, Dr. T.M. Rizki, Dr.
Mulda F. Situmorang,Dr. Silvy,Dr. M.Ikhwan, Dr. David Luther Lubis, Dr.Gorga,Dr.
T. Jeffry Abdillah, Dr. Riza Hendrawan Nasution,Dr.M.Yaznil dan teman-teman
lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas
kebersamaan, bantuan, dan dukungannya selama ini.
18. Teman Sejawat, Asisten Ahli, Dokter Muda, Bidan, Paramedis,
karyawan/karyawati, dan pasien-pasien yang telah ikut membantu dan
bekerjasama dengan saya dalam menjalani pendidikan di Departemen Obstetri
dan Ginekologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik - RSU Dr. Pirngadi Medan. Terima
kasih atas kerjasama dan saling pengertian selama ini.
Sembah sujud, hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan
kepada kedua Orang Tua Saya yang terkasih, Alm. Letnan Kolonel Inf. Elan Warlan
dan Siti Hamidah, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta
mendidik saya dengan penuh kasih sayang dari masa kanak-kanak hingga kini.
Kepada adik-adik saya, Marliyanti, Dewi cosalina, Alm. Cecep Junaidi,SH,Asep
Sulaiman,Lilis Haryani serta saudara-saudara ipar saya, Ipda Pol Iwan Kurnianto,
SH, Sugianto, saya ucapkan terima kasih atas dukungan dan doa yang diberikan
kepada saya.
Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan
namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah
banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah-Nya kepada kita semua.
Medan, Maret 2008
DAFTAR ISI
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH……… 3
1.3. TUJUAN PENELITIAN……….. 3
1.3.1. TUJUAN UMUM PENELITIAN………. 3
1.3.2. TUJUAN KHUSUS PENELITIAN……… 3
1.4. MANFAAT PENELITIAN………... 4
1.5. HIPOTESA PENELITIAN……….. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5
2.1. ANATOMI FISIOLOGI KANDUNG KEMIH……… 5
2.1.1. KANDUNG KEMIH……… 5
2.1.2. SISTEM PERSARAFAN KANDUNG KEMIH……… 7
2.2. MEKANISME BERKEMIH……… 8
2.3. OVERACTIVE BLADDER……… 11
2.3.1. PATOFISIOLOGI OVERACTIVE BLADDER……… 13
2.3.2. GEJALA OVERACTIVE BLADDER……… 18
2.3.3. FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER……….. 19
2.3.4. DIAGNOSIS OVERACTIVE BLADDER………. 22
2.3.5. TERAPI OVERACTIVE BLADDER……… 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………. 31
3.1. RANCANGAN PENELITIAN……….. 31
3.2. TEMPAT DAN WAKTU……… 31
3.3.1. POPULASI PENELITIAN………. 31
3.3.2. BESAR SAMPEL………... 31
3.3.3. KRITERIA PENERIMAAN……… 32
3.3.4. KRITERIA PENGELUARAN……… 32
3.4. KERANGKA KONSEP PENELITIAN………. 33
3.5. VARIABEL PENELITIAN……….. 34
3.5.1. VARIABEL INDEPENDEN..………... 34
3.5.2. VARIABEL DEPENDEN….. ……… 34
3.6. BAHAN DAN CARA KERJA……… 34
3.7. KERANGKA PENELITIAN………... 36
3.8. BATASAN OPERASIONAL………... 38
3.9. PENGOLAHAN DATA……….. 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN………... 39
4.1. KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN FAKTOR RESIKO OAB……….. 39
4.2. PREVALENSI GANGGUAN OAB……….………….. 42
4.3. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT USIA……….…………. 43
4.4. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT RIWAYAT PERSALINAN.. 44
4.5. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT PARITAS……….…………. 46
4.6. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT INDEKS MASSA TUBUH.. 47
4.7. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT MENOPAUSE….…………. 48
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………... 49
DAFTAR SINGKATAN
ACH : ACETIL CHOLINE
AMP : ADENOSINE MONO PHOSPHATASE
ATP : ADENOSINE TRI PHOSPHATASE
EMG : ELECTRO MYO GRAM
ICS : INTERNATIONAL CONTINENCE SOCIETY
IMT : INDEKS MASSA TUBUH
M / m : MUSKARINIK
OAB : OVERACTIVE BLADDER
DAFTAR GAMBAR
HAL
GAMBAR 1. ANATOMI ORGAN PELVIS WANITA 4
GAMBAR 2. ANATOMI KANDUNG KEMIH 5
GAMBAR 3. SISTEM PERSARAFAN KANDUNG KEMIH 7
GAMBAR 4. FASE PENGISIAN DAN PENGOSONGAN KANDUNG KEMIH 8
GAMBAR 5. PROSES TERJADINYA MIKSI 10
GAMBAR 6.
MEKANISME PERSARAFAN EFFEREN SECARA OTONOM
DALAM PROSES KONTRAKSI DAN PENGISIAN KANDUNG
KEMIH
13
GAMBAR 7. MEKANISME PERSARAFAN SENSORIS PADA KANDUNG
DAFTAR TABEL
HAL
TABEL 1. SEBARAN KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN
FAKTOR RESIKO 33
TABEL 2. PREVALENSI GANGGUAN OAB 34
TABEL 3. PENGARUH USIA TERHADAP OAB 34
TABEL 4. PENGARUH RIWAYAT PERSALINAN TERHADAP OAB 35
TABEL 5. PENGARUH PARITAS TERHADAP OAB 36
TABEL 6. PENGARUH INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP OAB 37
ABSTRAK
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan overactive bladder di kalangan paramedis
perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. Adam Malik Medan.
Rancangan Penelitian : Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif untuk menilai penderita Overactive Bladder secara klinik dengan rancangan potong
lintang (cross sectional). Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai
Desember 2007 dengan populasi paramedis wanita yang bekerja di RSHAM yang
memenuhi kriteria penerimaan dan kriteria pengeluaran. Sampel diambil secara
random sampling. Responden diberikan kuesioner, pemeriksaan fisik dan daftar
harian berkemih untuk menegakkan diagnosa overactive bladder. Dilakukan
penilaian terhadap faktor resiko seperti usia, paritas, cara persalinan, menopause,
obesitas dan riwayat histerektomi.
Analisa Statistik : Seluruh data penelitian ini dicatat pada formulir penelitian yang meliputi data hasil anamnesis, hasil pemeriksan fisik dan hasil laboratorium. Data
diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai tujuan penelitian. Dilakukan
uji statistik Chi-square dan regresi logistik dengan menggunakan perangkat SPSS
(Statistic Package for Social Science) versi 15.
Hasil : Pada penelitian dengan 100 orang responden didapatkan usia terbanyak adalah pada kelompok usia < 40 tahun yaitu sebanyak 53 orang (53%), riwayat
persalinan terbanyak adalah persalinan spontan sebanyak 73 orang (73%).
Sebanyak 78 orang (78%) adalah multipara, 12 orang (12%) adalah primipara dan
sebanyak 10 orang (10%) adalah nullipara. Terdapat 93 orang (93%) yang belum
menopause. Dari seluruh responden, didapatkan sebanyak 60 orang (60%) yang
mempunyai IMT 18,5 – 24,9 ( normal ), 31 orang (31%) yang mempunyai IMT 25-
29,9 ( overweight ), dan 9 orang (9%) yang mempunyai IMT ≥ 30 ( obese ). Dari
penelitian ini, tidak didapatkan satu orang pun yang mempunyai IMT < 18,5 ( kurus ).
Sehingga kelompok ini tidak diikutsertakan dalam analisa statistik. Dan didapatkan
100 responden (100%) tidak mempunyai riwayat operasi histerektomi. Dengan
demikian hubungan riwayat histerektomi dan gangguan OAB tidak dapat dianalisa
secara statistik.
Didapatkan prevalensi OAB sebanyak 18 orang (18%) dengan kelompok usia 40 –
terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok riwayat persalinan ekstrasi vakum
didapatkan rasio prevalens sebesar 36. Secara uji Chi-square tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian OAB. Didapatkan
hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan terjadinya OAB
(p<0,05). pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan 15 orang
(37,5%) yang menderita OAB, dan pada kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus)
dijumpai 3 orang (5%) yang menderita OAB. Pada uji statistik, didapatkan hubungan
yang bermakna antara indeks masssa tubuh dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada
kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan rasio prevalens sebesar
11,4, dimana pada kelompok ini resiko terjadinya OAB 11,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Terdapat hubungan
yang bermakna antara menopause dengan kejadian OAB (p<0,05). Menopause
mempunyai resiko untuk terjadinya gangguan OAB sebesar 7,5 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak menopause.
KESIMPULAN : Prevalensi penderita OAB pada paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK MEDAN adalah 18% (18 orang).
Terdapat hubungan yang bermakna antara usia,persalinan,IMT,menopause dengan
terjadinya OAB. Persalinan dengan vakum mempunyai resiko 36 kali lebih besar
terjadinya OAB dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan. IMT ≥ 25
(overweight dan obese) mempunyai resiko 11,4 kali lebih besar untuk terjadinya OAB
dibandingkan IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Wanita menopause beresiko 7 kali
lebih besar terjadinya OAB dibandingkan yang belum menopause. Tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara paritas dengan terjadinya OAB.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Overactive Bladder (OAB) adalah suatu simtom kompleks yang mencakup urgensi
untuk berkemih dengan atau tanpa urge incontinence, frekuensi berkemih (keinginan
untuk berkemih sebanyak 8 kali atau lebih dalam periode 24 jam), dan nokturia
(bangun untuk berkemih sebanyak 2 atau lebih pada malam hari). The International
Continence Society mendefenisikan OAB sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari
urgensi, frekwensi, nokturia, yang dapat disertai dengan atau tanpa urge
inkontinensia. 1,2
Angka kejadian secara umum dari overactive bladder ini ditemukan sekitar 20%
hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin dan dengan pemeriksaan urodinamik
penderita inkontinensia urin ditemukan sekitar 24,4% dimana angka ini terus
meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Prevalensi OAB di Eropa dari 16.776
responden yang berusia diatas 40 tahun adalah sebesar 16% pada pria dan 17%
pada wanita. Prevalensinya adalah 3% pada pria yang berusia 40-44 tahun, 9%
pada wanita yang berusia 40-44 tahun, 42% pada pria berusia 75 tahun atau lebih
dan 31% pada wanita berusia 75 tahun atau lebih. Data prevalensi yang sama juga
dilaporkan di Amerika Serikat. Sedangkan angka insidensi OAB diestimasikan
10-15% pada pria dan wanita yang berusia 10-50 tahun, meningkat 35% pada yang
Jakarta pada tahun 2002 didapatkan prevalensi OAB sebesar 21,2% (dimana
sebanyak 45,5% adalah wanita dan 54,4%nya pria).1,2,3,4,5,6,7,8,9
Selain usia, yang menjadi faktor resiko terjadinya gangguan overactive bladder
(OAB) adalah paritas, cara persalinan, menopause, obesitas, dan adanya riwayat
operasi histerektomi atau operasi ginekologi sebelumnya.10
Gejala dari OAB adalah mencakup frekuensi berkemih sebanyak 8 kali atau lebih
dalam 1 hari atau 2 kali atau lebih pada malam hari; urgensi berkemih yang terjadi
secara tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk segera berkemih; urge incontinence
yakni ketidak-mampuan untuk menahan keinginan berkemih. Gejala – gejala
tersebut dapat mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti gangguan
aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, masalah psikologis (depresi), gangguan
pola tidur, dan masalah seksual yang semuanya itu merupakan gangguan terhadap
kualitas hidup seseorang. Overactive bladder (OAB) merupakan suatu keadaan yang
dapat diobati dan tidak mematikan. Umumnya pengobatan OAB dilakukan secara
konservatif dan tindakan operatif hanya dilakukan bila pengobatan konservatif
tersebut gagal. Dengan pengobatan tersebut diharapkan kualitas hidup penderita
OAB dapat ditingkatkan.1,2,3,4,6,7,8,9,10,11
OAB merupakan gangguan berkemih yang sangat mengganggu dimana gangguan
ini dapat juga dialami oleh sebagian paramedis perempuan. Hingga saat ini belum
ada data mengenai prevalensi OAB di Indonesia, maka kami ingin mengetahui
prevalensi dan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya OAB pada
paramedis perempuan di lingkungan tempat kami bertugas yaitu di RSUP H.ADAM
untuk kepentingan pengobatan maupun pelayanan tetapi juga untuk kepentingan
penelitian selanjutnya.
1.2. Identifikasi Masalah
Dengan latar belakang tersebut diatas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai
berikut :
1. Berapa besar prevalensi OAB di kalangan paramedis perempuan yang
bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.
2. Overactive Bladder mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti
gangguan aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, masalah psikologis
(depresi), gangguan pola tidur, dan masalah seksual yang semuanya itu
merupakan gangguan terhadap kualitas hidup seseorang.
3. Bila paramedis perempuan mengalami Overactie Bladder, maka hal ini dapat
mengganggu kinerja yang pada akhirnya menurunkan pelayanan terhadap
pasien.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Penelitian
1. Mengetahui prevalensi OAB di kalangan paramedis perempuan yang
bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.
2. Mengetahui faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan OAB di
kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H.
ADAM MALIK Medan.
Mengetahui prevalensi dan sebaran gangguan OAB menurut beberapa faktor
resiko yang berhubungan dengan kejadian OAB seperti usia, paritas, cara
persalinan, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat operasi
histerektomi di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan
RSUP H. ADAM MALIK Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dasar untuk penelitian OAB
selanjutnya misalnya penelitian mengenai epidemiologi lainnya, mengenai
penatalaksanaan OAB atau mengenai kualitas hidup penderita OAB.
1.5. Hipotesa Penelitian
Adanya hubungan antara usia, paritas, cara persalinan, status menopause,
indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat histerektomi dengan kejadian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi fisiologi kandung kemih
2.1.1. Kandung kemih
Kandung kemih adalah suatu kantong yang berada pada regio pelvik. Ketika dalam
keadaan kosong, ia terletak dibelakang simfisis pubis dan bila penuh akan keluar
hingga melewati simfisis pubis dan sangat mudah untuk diraba. Ia dapat dengan
mudah bergerak, kecuali pada dasarnya karena ia berhubungan langsung dengan
uretra. Bagian dasar kandung kemih dibentuk oleh otot fibro-elastik yang berbentuk
segitiga yang dikenal dengan trigone. Trigone dari kandung kemih ini mengandung
serabut saraf sensorik yang bentuknya seperti segitiga terbalik. Bagian dasar dari
segitiga ini terhubung ke ureter dari ginjal kanan dan ginjal kiri.8,12,13
Gambar 2. Anatomi kandung kemih12
Dinding kandung kemih terdiri dari 3 lapis : lapisan mukosa, lapisan otot dan lapisan
lemak. Pada bagian tengah, lapisan muskular dibentuk oleh otot polos yang disebut
detrusor. Detrusor akan meregang ketika kandung kemih diisi oleh urin dan
kemudian berkontraksi untuk mengeluarkan urin tersebut. Otot polos tidak dibawah
pengaruh kontrol volunter, namun ia berkontraksi akibat respon dari refleks-refleks
tertentu. 12,13
Fungsi kandung kemih adalah untuk mengisi, menyimpan dan kemudian
mengosongkan urin melalui uretra, Menjelang fase pengisian, otot detrusor
mengalami relaksasi untuk mengakomodasikan peningkatan volume. Normalnya
kandung kemih dapat menampung urin sebanyak 360-480 cc, yang kemudian
disebut sebagai kapasitas fungsional dari kandung kemih. Kedudukan kandung
kemih dipertahankan oleh kelompok otot – otot levator ani terutama otot
2.1.2. Sistem Persarafan Kandung Kemih
Fungsi dari sistem urinaria bagian bawah adalah bergantung dari fungsi sistem
persarafan dari otak. Sistem persarafan dibagi menjadi sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat mencakup otak dan medulla spinalis. Sistem
saraf tepi mencakup saraf autonomik dan somatik. Sistem saraf autonomik tidak
dibawah kontrol kesadaran dan disebut sistem saraf involunter.1,12,13,15,16,17
Sistem saraf involunter mencakup sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem
saraf simpatis mengatur pengisian kandung kemih melalui (1) merelaksasi otot
kandung kemih sehingga dapat diisi oleh urin, dan (2) mengkontraksikan sfingter
uretra internal dalam mencegah urin memasuki uretra. Sistem saraf parasimpatis
menimbulkan keinginan untuk berkemih atau pengosongan kandung kemih melalui
(1) stimulasi otot kandung kemih untuk berkontraksi sehingga menyebabkan sensasi
berkemih dan (2) merelaksasikan sfingter uretra internal yang menyebabkan urin
memasuki uretra. 1,12,13,15,16,17
Sistem saraf somatik mengirim signal ke sfingter uretra eksternal untuk mencegah
kebocoran urin atau untuk berelaksasi sehingga urin dapat keluar. 1,12,13,15,16,17
Fungsi sistem persarafan bergantung pada pelepasan zat kimiawi yang kita kenal
dengan neurotransmitter. Zat yang paling penting mempengaruhi kandung kemih
adalah asetilkolin (ACH). Ketika ACH dilepaskan is akan menyebabkan otot-otot
kandung kemih mengalami kontraksi. Pelepasan zat kimiawi ini mengatur respon dari
Gambar 3. Sistem persarafan kandung kemih12
2.2. Mekanisme berkemih
Dalam keadaan normal, kandung kemih dan uretra berhubungan secara simultan
dalam penyimpanan dan pengeluaran urin. Selama penyimpanan, leher kandung
kemih dan uretra proksimal menutup, dan tekanan intra uretral berkisar antara 20-50
cmH2O. Sementara itu otot detrusor berelaksasi sehingga tekanan dalam kandung
kemih (intravesikal) tetap rendah (5-10 H2O).12
Mekanisme berkemih, terdiri dari 2 fase yaitu fase pengisian dan fase
Gambar 4. Fase pengisian dan pengosongan kandung kemih12
1. Fase pengisian (Filling Phase)
Untuk mempertahankan kontinensia urin, tekanan intra uretra selamanya
harus melebihi tekanan intravesika kecuali pada saat miksi (void). Selama
masa pengisian, ternyata hanya terjadi sedikit peningkatan tekanan
intravesika, hal ini disebabkan oleh kelenturan dinding vesika dan mekanisme
neural yang diaktifkan pada saat pengisian vesika urinaria. Mekanisme neural
ini termasuk refleks simpatetik spinal yang mengaktifkan reseptor pada
vesika urinaria dan menghambat aktifitas parasimpatis. Selama masa
pengisian vesika urinaria tidak ada aktivitas kontraktil involunter pada
detrusor.
Tekanan normal intravesika maksimal adalah 50 cm H2O sedangkan tekanan
Selama pengisian vesika urinaria, tekanan uretra perlahan meningkat,
mekanismenya belum jelas tapi EMG (electromyogram) dari pelvis
menunjukkan peningkatan aktivitas pada saat pengisian vesika urinaria, yang
cenderung ke arah peningkatan aktifitas otot lurik spinchter. Refleks simpatis
juga meningkatkan stimulasi reseptor pada otot polos uretra dan
meningkatkan konstriksi uretra pada saat pengisian vesika urinaria.
2. Fase miksi (Voiding Phase)
Selama fase miksi terdapat penurunan aktifitas EMG dan penurunan tekanan
uretra yang mendahului kontraksi detrusor. Terjadi peningkatan intravesika
selama peningkatan sensasi distensi untuk miksi. Pusat miksi terletak pada
batang otak, dan pengosongan vesika urinaria yang terkoordinasi bergantung
pada jalur syaraf ascending maupun descending yang utuh. Refleks simpatis
dihambat, aktifitas efferen somatik pada otot lurik spinchter dihambat, dan
aktifitas parasimpatis pada detrusor ditingkatkan. Semua ini menghasilkan
kontraksi yang terkoordinasi dari otot detrusor bersamaan dengan penurunan
resistensi yang melibatkan otot lurik dan polos uretra. Terjadi penurunan leher
vesika urinaria dan terjadi aliran urin. Ketika miksi berakhir secara volunter,
dasar panggul berkontraksi untuk meninggikan leher vesika urinaria ke arah
Gambar.5 Proses terjadinya miksi12
2.3. Overactive Bladder
Tipe inkontinensia urinaria yang paling sering dijumpai pada usia lanjut adalah OAB,
dimana proses keluarnya urin secara involunter yang terjadi secara mendadak dan
keinginan yang kuat untuk berkemih.12
Overactive bladder (OAB) adalah suatu sindroma klinik yang merupakan salah satu
bentuk dari kelainan overactive detrusor. Overactive detrusor adalah suatu keadaan
dimana terjadi aktivitas atau kontraksi kandung kemih yang berlebihan, yang
berdasarkan etiologinya dapat dibagi atas 2 jenis yaitu overactive detrusor
Detrusor hypereflexia merupakan kontraksi detrusor yang involunter akibat gangguan
neurologi, seperti lesi suprapontine (penyakit serebrovaskular, parkinson’s disease,
Alzheimer’s) atau lesi spinal seperti multiple sclerosis, cervical atau lumbar stenosis.
Sedangkan detrusor instability adalah suatu keadaan dimana terjadi aktifitas atau
kontraksi kandung kemih yang berlebihan yang bukan disebabkan kelainan atau
gangguan neurologi, dan penyebabnya sering tidak diketahui sehingga sering
disebut overactive detrusor idiopatik. Overactive detrusor idiopatik inilah yang saat ini
lebih dikenal dengan overactive bladder (OAB) dimana tidak terbukti adanya infeksi
atau keadaan patologi lainnya yang menyebabkan timbulnya keluhan inkontinensia
ini. The International Continence Society (ICS) tahun 2002 mendefinisikan overactive
bladder (OAB) sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari urgensi, frekuensi, nokturia
yang dapat disertai dengan atau tanpa urge inkontinensia.20
Pada dasarnya etiologi Overactive Bladder adalah gangguan atau kerusakan pada
susunan saraf yang ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang belum
diketahui sebabnya sampai saat ini (idiopatik).Overactive Bladder dapat diakibatkan
oleh adanya gangguan pada neurotransmitter, reseptor ataupun pada otot polos
kandung kemih (detrusor) itu sendiri. Selama fase pengisian, kandung kemih
dihambat oleh stimulasi saraf simpatis dan normalnya saraf parasimpatis disupresi.
Norepinefrin dilepaskan dari sistem saraf simpatis, meningkatkan compliance
kandung kemih melalui mediator -adrenoreceptor (reseptor subtipe 3) yang
menyebabkan relaksasi otot kandung kemih. Tetapi bila terdapat gangguan pada
pelepasan neurotransmiter atau reseptor,maka akan terjadi gangguan pada fase
pengisian urin tersebut. Menurut beberapa ahli, etiologi Overactive Bladder juga
meliputi perubahan otot polos kandung kemih itu sendiri. Elbadwi dkk menggunakan
lanjut yang memiliki gangguan berkemih berdasarkan pemeriksaan urodinamik.
Hasilnya adalah ditemukan ‘dysjunction pattern” pada penderita overactive bladder
(OAB).Sedangkan kondisi psikosomatik sebagai etiologi Overactive Bladder telah
lama diketahui, dimana pasien memiliki tingkat distres dan ansietas yang tinggi. Sulit
untuk menetapkan apakah kondisi ini merupakan penyebab atau akibat dari
Overactive Bladder. 1,12,13,15,16,17,20
2.3.1. Patofisiologi Overactive Bladder
Proses miksi melibatkan cortex cerebri,pons, medulla spinalis, sistem saraf tepi
otonom dan somatik serta inervasi saraf afferen dari traktus urinaria bagian bawah
dan komponen anatomi dari traktus urinaria bagian bawah itu sendiri. Kelainan dari
salah satu dari struktur ini dapat menyebabkan OAB. Simtom dari OAB biasanya
berhubungan dengan kontraksi involunter dari otot destrusor. Aktivitas yang
berlebihan dari otot destrusor dapat menyebabkan urge inkontinensia, bergantung
respon dari sfingter.1
Terjadinya overactive bladder (OAB) disebabkan adanya kontraksi yang berlebihan
dari otot detrusor secara involunter selama fase pengisian, yang menyebabkan
adanya urgensi ataupun urge inkontinensia, tergantung pada respon dari otot
sfingter. Aktifitas yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor otot itu sendiri. Tes
urodinamik memperlihatkan bahwa separuh dari penderita usia lanjut dengan
kontraksi otot detrusor yang berlebihan dapat mengosongkan sepertiga isi kandung
Otot detrusor kandung kemih mengandung reseptor kolinergik, reseptor muskarinik
dan reseptor adrenergik dan . Berdasarkan distribusi reseptor otonom, secara
teoritis muskarinik agonist efektif untuk meningkatkan kontraksi otot polos dan
pengosongan kandung kemih. -adrenergic agonist efektif meningkatkan tonus
uretra dan mengurangi inkontinensia sedangkan -adrenergic agonist efektif dalam
meningkatkan kapasitas kandung kemih. Sebaliknya antagonis muskarinik efektif
dalam mengurangi hiperaktivitas kandung kemih dan antagonis efektif dalam
mengurangi tekanan uretra.1
Secara farmakologis reseptor muskarinik telah dikenali sebagai M1, M2, M3, M4 dan
M5. Secara umum reseptor M1 terutama terdapat dalam ganglion dan glandula
sekretoris, reseptor M2, terdapat dalam miokardium dan otot polos, reseptor M3
terdapat dalam otot polos dan glandula sekretoris. Reseptor M4 dan M5 terdapat
dalam berbagai sel di tubuh. Berdasarkan distribusi tersebut, reseptor utama yang
terdapat pada kandung kemih adalah reseptor M2 (60-80%) dan M3 (20-40%). Tehnik
kloning molekuler telah mengenal subtipe tambahan reseptor muskarinik lain yaitu
m1, m2, m3, m4, dan m5 dimana lokasi dan spesifitasnya berhubungan dengan
Gambar 6. Mekanisme persarafan efferen secara otonom dalam proses kontraksi
dan pengisian kandung kemih 1
Reseptor kandung kemih dan uretra terhadap stimulasi reseptor diperantarai oleh
kegiatan sistim “massenger” yang spesifik. Aktivitas reseptor m1, m3 dan m5 akan
merangsang fosfolipase C dan akan menyebabkan pecahnya fosfatidil inositol
polifosfat menjadi inositol polifosfat. Inositol-1,4,5-trifosfat (IP3) yang merupakan
salah satu produk hidrolisis akan menyebabkan pelepasan kalsium intraseluler dari
retikulum endoplasma dan mengakibatkan kontraksi otot polos. Diasil gliserol
merupakan produk hidrolisis lain yang akan mengaktivasi kalsium – protein kinase
yang mengakibatkan terjadinya fosforilasi. Stimulasi reseptor m2 dan m4 tidak lepas
mengakibatkan penghambat adenilsiklase dan penurunan siklik AMP intraseluler,
aktivasi potassium channel dan menghambat voltase yang tergantung pada calcium
channel. Stimulasi reseptor 2 seperti halnya terhadap reseptor M2, mengaktivasi
protein G1 dan menyebabkan inhibisi adenilsiklase. Sebaliknya stimulasi reseptor 1
tidak berefek pada siklik AMP, tetapi menstimulasi hidrolisis fosfatidil inositol
polifosfat (seperti halnya pada reseptor M1 dan M3). Aktivasi reseptor adrenergik
menghasilkan stimulasi adenil siklase dan peningkatan siklik AMP dari ATP.
Peningkatan siklik AMP yang mengaktivasi siklik AMP – protein kinase menyebabkan
terjadinya fosforilasi. Fosforilasi akan mengaktivasi atau menginaktivasi protein
spesifik, tergantung respon karakteristik organ target. Berdasarkan basis-intraseluler,
kontraksi detrusor, seperti umumnya semua otot polos tergantung pada interaksi
aktin dan miosin melalui fosforilase rantai ringan miosin.1
Asetilkolin yang berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada otot detrusor
merupakan neurotransmiter saraf perifer utama yang bertanggung jawab atas
kontraksi kandung kemih. Diantara kelima subtipe muskarinik yaitu M1 dan M5, pada
manusia secara klinis peranan M3 tampaknya yang paling relevan. Asetikolin
berinteraksi dengan reseptor M3 mengawali suatu kaskade yang menghasilkan
kontraksi otot polos. Data dari hasil penelitian yang dilakukan pada kandung kemih
tikus memperlihatkan bahwa reseptor M2 kemungkinan juga dapat memfasilitasi
kontraksi kandung kemih.1
Serabut saraf sensoris A delta yang bermielin mengakibatkan distensi kandung
kemih secara pasif dan kontraksi kandung kemih secara aktif.. Serabut saraf C
dikenali pada aferen, termasuk reseptor vanilloid, yang diaktivasi oleh capsaicin dan
mungkin oleh endogenous anandamide; reseptor purinergic (P2X); reseptor
neurokinin, yang beraksi terhadap substansi P dan neurokinin A; dan reseptor –
reseptor growth factor . Substansi lain termasuk nitric oxide, calcitonin gene-related
protein, dan brain-derived neurotropic factor juga mempunyai peran penting dalam
modulasi sensor aferen pada otot detrusor manusia.12 Pemahaman yang lebih baik
terhadap pengaruh atau peranan yang kompleks dari bermacam – macam
neurotransmiter diatas dan substansi lain yang merupakan derivat dari ureopitelium,
sel otot detrusor, serabut saraf aferen sendiri hendaknya memberikan suatu target
terapi yang spesifik dan terbaru sebagai medikamentosa untuk keadaan Overactive
Bladder.1
Gambar 7. Mekanisme persarafan sensoris pada kandung kemih.1
2.3.2. Gejala Overactive Bladder
Gejala klinis gangguan Overactive Bladder meliputi 1,2,20,21,22,24,25,26,27,28,29
1. Urgensi
Keinginan kuat dan tiba – tiba untuk berkemih sehingga penderita tidak memiliki
cukup waktu untuk pergi ke toilet untuk berkemih
2. Frekuensi
Penderita dapat berkemih lebih dari 8 kali dalam 24 jam
3. Nokturia
Pada malam hari penderita akan lebih sering bangun lebih dari satu kali untuk
2.3.3. Faktor Resiko Overactive Bladder10,20,22,30
Menurut kepustakaan yang merupakan faktor resiko OAB antara lain adalah
a. Usia
b. Paritas
c. Cara persalinan
d. Indeks Massa Tubuh
e. Menopause
f. Riwayat operasi histerektomi.
Dari hasil penelitian OAB pada wanita di Asia (meliputi 11 negara Asia, yaitu
Thailand, Philipina, Taiwan, India, Pakistan, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia,
Indonesia, Singapura, dan Cina) dilaporkan bahwa usia lanjut, riwayat sering
melahirkan dan riwayat keluarga menderita OAB sering dihubungkan dengan
peningkatan kejadian gangguan OAB.
a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia wanita sangat berhubungan erat
dengan inkontinensia urin.Inkontinensia urin merupakan hal yang lazim ditemui
pada wanita usia lanjut, maka sering dianggap normal dan merupakan hal yang
tidak terlepaskan pada wanita tua. Prevalensinya meningkat secara progresif
terhadap umur. Inkontionensia seharusnya dianggap normal dengan
pertambahan usia, dimana terjadi perubahan pada struktur kandung kemih dan
struktur pelvic yang disebabkan oleh pertambahan usia yang kemudian
b. Paritas
Persalinan dapat merubah elastisitas dasar panggul sebagai konsekuensi dari
melemah dan meregangnya otot-otot serta jaringan ikat selama persalinan
berlangsung. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat laserasi spontan atau
episiotomi. Akibat dari kejadian ini, akan mengakibatkan gangguan kontraksi
pada otot sfingter uretra dan kandung kemih.
c. Indeks Massa Tubuh
Dari penelitian yang dilakukan oleh Parazzini, Chiaffarino, Lavezzari dan
Giambanco (2003) menemukan bahwa resiko inkontinensia urin meningkat
dihubungkan dengan peningkatan massa indeks tubuh. Banyak penelitian
melaporkan adanya hubungan antara peningkatan berat badan atau peningkatan
massa indeks tubuh dengan inkontinensia. Menurut Doran dkk, 2001, setiap
kilogram menambah tekanan terhadap kandung kemih, dimana hal ini menjadi
kontribusi terhadap kejadian inkontinensia urin. Akibat obesitas dapat
menyebabkan peregangan kronik dan melemahkan otot-otot dasar panggul, saraf
serta struktur lainnya di dasar panggul. Hal ini menyebabkan inkontinensia urin.
Obesitas merupakan faktor resiko independen terhadap kejadian inkontinensia
urin. Kehilangan berat badan yang berlebihan secara signifikan menurunkan
kejadian inkontinensia urin pada wanita obese. Namun, obesitas masih menjadi
d. Cara Persalinan
Menurut Rubin (2003), wanita yang menjalani operasi sesar akan lebih sedikit
menderita inkontinensia urin dibandingkan dengan wanita yang melahirkan
secara normal.
Proses kelahiran dapat mempengaruhi elastisitas pada rongga panggul dimana
terjadi pereganggan otot-otot dan jaringan sewaktu melahirkan. Akibat
peregangan tersebut dapat merusak saraf pudendal , saraf pelvik, otot serta
jaringan pelvik sekitarnya yang dapat mempengaruhi kemampuan meregang dari
sphincter uretra untuk berkontraksi dalam merespon peningkatan tekanan intra
abdominal. (Morkved, Schei dan Asmund 2003; Viktrup & Lose 2001; Rubin,
2003).
e. Histerektomi
Dalam pemantauan secara sistematik terhadap bukti yang ada, penelitian
menunjukkan bahwa histerektomi berhubungan dengan inkontinensia urin (Brown
et al., 2000).Dilaporkan seorang wanita yang mengalami inkontinensia urin
segera setelah histerektomi. Inkontinensia urin pasca histerektomi dapat
disebabkan oleh kerusakan saraf sewaktu menjalani prosedur dan gangguan
muskulofasial pada vesika urinaria di sekeliling dinding pelvik (Hunskaar et al.,
2000)
f. Menopause
Gangguan berkemih sering dijumpai pada wanita menopause. Perubahan atrofi (
menopause dapat menjadi kontribusi dalam peningkatan kejadian inkontinensia
urin. Dengan menurunnya kadar estrogen, maka otot-otot detrusor kandung
kemih menjadi lebih mudah berkontraksi.
2.3.4. Diagnosis Overactive Bladder
Diagnosis OAB dapat dibuat berdasarkan.8,12,16,20,30,31,32,33
1. Anamnesa, meliputi :
- Mengeksplorasi adanya gejala berupa urgensi, frekuensi & nokturia
- Gejala lain yang menyertai seperti stress inkontinensia dan prolaps organ pelvis.
- Mengetahui adanya riwayat histerektomi (abdominal maupun vaginal). - Mengetahui ada atau tidaknya penggunaan obat – obatan.
- Pola dari intake cairan penderita yang menggunakan catatan harian berkemih selama 3 hingga 7 hari.
- Jumlah pembalut/diapers yang digunakan. - Terapi sebelumnya dan keberhasilannya.
Dimana anamnesa ini terangkum dalam kuesioner standar yang dikeluarkan oleh
ICS (Internatonal Continence Society), yang memiliki sensitifitas 80% dan
spesifitas 75%.
2. Pemeriksaan fisik, meliputi :
Pemeriksaan dilakukan dengan rectal touche untuk menilai kontraksi sfingter
ani. Bila sfingter ani tidak dapat berkontraksi, kemungkinan terdapat kelainan
neurologi S2, 3, 4.
- Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi adanya massa atau
pengumpulan cairan.
- Pemeriksaan ginekologi. - Tes batuk (tes valsava).
3. Pemeriksaan urin.
Urinalisa dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematuria, glukosuria, piuria,
dan bakteriuria.
4. Daftar harian berkemih
Dibuat untuk mengetahui frekuensi berkemih, volume urin yang dikeluarkan,
adanya nokturia atau tidak, dan adanya keinginan berkemih. Lamanya
pencatatan daftar harian berkemih ini belum ada keseragaman, tetapi Abrams
dkk menganjurkan untuk melakukan pencatatan selama 7 hari.17 Belakangan ini
para ahli menganjurkan pencatatan daftar harian berkemih selama 3 hingga 5
hari saja karena dianggap sudah cukup menggambarkan pola Overactive
Contoh Daftar Harian Berkemih2,20,34,35
Kartu catatan buang air kecil hari ke- Tanggal :
5. Pemeriksaan urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan baku emas untuk
mendiagnosis Overactive Bladder. Evaluasi urodinamik terdiri dari cystometri,
urethral pressure profilometry dan video urodynamic. Wanita yang didiagnosa
secara klinis melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan daftar harian berkemih
memiliki nilai akurasi diagnosis 75-80 %. Tes urodinamik akan dilakukan bila
diagnosis masih diragukan, terapi yang diberikan tidak memperlihatkan hasil yang
baik atau bila ada rencana terapi operatif.
Perlu diingat bahwa gejala – gejala yang ditemukan pada OAB dapat juga ditemukan
pada jenis inkontinensia urin terutama pada stres inkontinensia urin (SIU) tipe
campuran sehingga anamnesis yang teliti perlu dilakukan, karena pengobatan antara
OAB dan SIU sangat berbeda. Secara klinis perbedaan gejalanya dapat dilihat pada
tabel 1 di bawah ini.
Perbedaan overactive bladder (OAB) dengan stres inkontinensia urin (SIU). 36
Gejala OAB SIU
1. Urgensi + -
2. Frekuensi berkemih (≥ 8x) + -
3.Keluarnya urin berhubungan dengan
aktifitas (batuk, bersin)
- +
4. Jumlah urin yang keluar > banyak Sedikit
5. Berkemih malam hari (nokturia) ≥ 2 kali Jarang
2.3.5. Terapi Overactive Bladder
Sekitar 15% saja dari penderita OAB yang datang berobat oleh karena berbagai
alasan. Sebagian besar penderita menganggap bawah keluhan atau gangguan
berkemih tersebut adalah hal yang wajar yang dialami oleh orang usia lanjut. Alasan
lain yang juga membuat mereka enggan datang berobat adalah karena rasa
malu.Penderita OAB biasanya mengatasi masalah tersebut dengan cara sering
berkemih, mencari dan menghafal lokasi – lokasi kamar kecil, membatasi minum,
menggunakan pakaian yang berwarna gelap, serta menggunakan bantalan atau
pembalut.12
Ada 2 macam pilihan terapi diberikan pada penderita OAB yaitu 12
1. Konservatif
2. Operatif
Terapi Konservatif
1. Farmakoterapi.
Beberapa obat – obatan yang dapat digunakan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih antara lain dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Belakangan ini obat
yang banyak digunakan adalah tolterodine tartrate (antimuscarinic agent) karena
dianggap lebih baik dibandingkan oxybutynin (nonselective antimuscarinic agent),
khususnya dalam hubungannya dengan frekuensi dan keparahan dari efek samping
Medikamentosa untuk Overactive Bladder.37,38,39,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49,50,51,52,53,54,55
antikolinergik + antimuskarinik
Tablet (5,10mg), sirup
Oxybutinin patch (Oxytrol)
antikolinergik + antimuskarinik
Transdermal patch
Solifenacin (Vesicare) Tablet (5mg,10mg) 5-10mg per hari
Darifenacin (enablex)
Tablet (1,2mg) , kapsul
Imipramin (Toframil)
antidepresan trisiklik
Tablet (10,25,50mg) 10-25mg, 3 kali
sehari
Botulinum toxin (BOTOX®, Dysport®) Vial (100 IU, 500 IU) 200-300 IU
transuretral
(disuntikkan pada
10-50 tempat)
2. Terapi perubahan perilaku.
Mencakup pengaturan asupan cairan, pembatasan konsumsi makanan dan
minuman yang mengandung kafein dan bladder training.Bladder drill atau bladder
training merupakan salah satu modifikasi perilaku yang dapat dilakukan dalam
menangani Overactive Bladder, baik dengan atau tanpa kombinasi terapi
farmakologis. Tetapi biasanya pemberian pengobatan dan latihan dilakukan
bersamaan. 3,6,7 Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan tehnik distraksi atau tehnik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6
hingga 7 kali perhari atau 3 hingga 4 jam sekali dan dilakukan minimal selama 6
minggu.10,56
3. Akupunktur
Dengan menggunakan jarum akupunktur ditempatkan secara bilateral pada kedua
betis bagian dalam, lipatan lutut bagian luar dan punggung belakang serta pada
pertengahan perut bagian bawah. Kemudian jarum tersebut diputar searah jarum
jam, sehingga penderita merasakan sensasi panas dan sensasi meregang,
kemudian jarum dipertahankan selama 20 menit. Hal ini diulangi setiap minggu
4. Stimulasi elektrik (electrostimulation) 5,10,11
Dengan menggunakan suatu alat yang kecil dimasukkan ke dalam vagina, melalui
gelombang elektrik yang dihantarkan menyebabkan otot-otot pelvik berkontraksi.
5. Mempergunakan inkontinens pads (diaper)
Diharapkan penderita menggunakan pembalut ketika ingin beraktivitas luar.10,58
6. Latihan otot dasar panggul (kegal exercise)10,11,12
Bayangkan bila anda ingin flatus dan bayangkan seolah-olah anda menahan agar
tidak terjadi flatus. Akan terasa otot dasar panggul bergerak sedangkan otot dan
paha tidak bergerak,kulit sekitar anus berkontraksi dan seolah-olah anus masuk
kedalam.
Terapi operatif
Terapi operatif untuk mengatasi keadaan OAB antara lain :8,10,11,12,59,60,61,62
1. Sacral nerve stimulation
Prinsip dari tindakan ini adalah dengan menghantarkan stimulasi elektrik sehingga
dapat menginhibisi refleks pada kandung kemih.Alat ini diimplankan secara
permanen pada serabut saraf S3. Pada awalnya penderita menjalani evaluasi
serabut saraf perkutaneus, dimana jarum dimasukkan melalui foramen sacral
dibawah anastesi lokal. Alat ini kemudian terhubungkan dengan stimulator eksternal.
2. Diversi urin
Metode ini bertujuan untuk mengalihkan drainase urin dari uretra. Hal ini dilakukan
dengan cara mengalihkan ureter ke segmen ileum yang kemudian dibuat stoma
permanen ke kulit.Urin yang terkumpul dialirkan ke kantong urin yang berada di kulit.
3. Detrusor myectomy
Metode ini bertujuan untuk memperbaiki fungsi kapasitas kandung kemih dengan
cara meng-eksisi otot kandung kemih dari fundus kandung kemih sehingga
meninggalkan divertikel yang lebar secara permanen.Kemudian omentum mayor
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif untuk menilai penderita
Overactive Bladder secara klinik dengan rancangan potong lintang (cross sectional).
3.2. Tempat dan Waktu
1. Tempat penelitian dilakukan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.
2. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai bulan Desember 2007.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah paramedis perempuan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.
3.3.2 Besar Sampel
Untuk memperkirakan jumlah kasus penderita Overactive Bladder di lingkungan
RSUP H. ADAM MALIK Medan, besarnya sampel didapat dengan rumus :
n = Z 2PQ
d2
Prevalensi = 40% P = 0,40
Q = 1 – P = 1 – 0,40 = 0,60
Penyimpangan = d = 10% = 0,1
984
untuk memudahkan sampel dibulatkan menjadi 100.
Tehnik pengambilan sampel adalah simple random sampling.
Populasi sampel berdasarkan atas catatan dari bagian kepegawaian RSHAM Medan
lalu dipilih secara komputerisasi
3.3.3 Kriteria Penerimaan
1. Paramedis perempuan di RS. H. ADAM MALIK Medan.
2. Tidak menderita gangguan neurologi maupun diabetes
3. Tidak dalam keadaan hamil
4. Tidak dalam terapi overactive bladder
3.3.4 Kriteria Pengeluaran
1. Terdapat kelainan organ ginekologi.
2. Ada riwayat operasi kandung kemih
3. Tidak bersedia mengikuti penelitian.
3.4. Kerangka Konsep Penelitian
Overactive Bladder (OAB)
Menopause Cara
Persalinan
BMI Paritas
Riwayat Histerektomi Usia
Kualitas hidup penderita OAB
Penatalaksanaan OAB
Diteliti
3.5. Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini meliputi:
a. Usia
b. Paritas
c. Cara persalinan
d. Indeks massa tubuh
e. Menopause
f. Riwayat histerektomi
3.5.2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Overactive bladder (OAB)
3.6. Bahan dan Cara Kerja
1. Paramedis perempuan yang bekerja di RSUP H. ADAM MALIK Medan yang
memenuhi kriteria, yang dipilih secara acak diberikan lembaran kuesioner
yang terdiri dari beberapa pertanyaan dan dilakukan pengukuran tinggi dan
berat badan untuk menentukan besarnya nilai indeks massa tubuh (IMT)
responden tersebut.
2. Bagi responden yang menunjukkan gejala – gejala Overactive Bladder
berdasarkan hasil kuesioner dilakukan pemeriksaan urinalisa untuk
menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih maupun glukosuria.
3. Kemudian diberikan lembaran daftar harian kemih (DHB) selama 7 hari untuk
membuktikan adanya gejala atau pola Overactive Bladder kepada responden
4. Setelah hari ketujuh, dilakukan pemeriksaan urinalisa ulangan.
5. Responden yang terbukti mengalami gangguan Overactive Bladder
selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan adanya kelainan
organ.
3.7. KERANGKA PENELITIAN
NORMAL TIDAK NORMAL
DAFTAR HARIAN BERKEMIH
(SELAMA 7 HARI) ISK, GLUKOSURIA
PEMERIKSAAN FISIK
DALAM BATAS
NORMAL TERDAPAT KELAINAN NEUROLOGIS ATAU KELAINAN ANATOMIS YANG LAIN
OVERACTIVE DETRUSOR
IDIOPATIK
(OAB) a.l. : OVERACTIVE DETRUSOR
3.8. Batasan Operasional
1. OAB adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan adanya gejala berupa
urgensi, frekwensi, nokturia, dengan atau tanpa urge inkontinensia dimana
tidak ditemukan adanya kelainan patologis maupun infeksi saluran kemih.
2. OAB merupakan salah satu bentuk dari overactive detrusor yang
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
3. Penegakan diagnosa OAB dilakukan dengan anamnesa yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang cermat dan pemeriksaan penunjang seperti urinalisa
serta pengisian lembar daftar harian berkemih (DHB).
4. Daftar harian berkemih (DHB) merupakan alat konfirmasi pola gangguan OAB
yang diisi selama 7 hari oleh seseorang yang mempunyai keluhan gangguan
berkemih.
5. Urgensi adalah dimana penderita mempunyai keinginan yang sangat kuat
untuk berkemih, yang datangnya secara tiba – tiba dan sulit untuk ditahan.
6. Frekuensi berkemih penderita OAB adalah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam dan pada malam hari (nokturia) sebanyak 2 kali atau lebih.
7. Urge inkontinensia adalah adanya dorongan yang sangat kuat untuk berkemih
dan penderita tidak dapat menahannya sehingga kadang –kadang sebelum
sampai ke toilet urin sudah keluar lebih dulu.
8. Faktor yang berhubungan dengan timbulnya gangguan OAB antara lain
adalah usia, paritas, cara persalinan, menopause, indeks massa tubuh, dan
riwayat operasi histerektomi (total abdominal histerektomi dan subtotal
9. Nulipara adalah seseorang yang belum pernah melahirkan, primipara adalah
bila pernah melahirkan satu kali, multipara adalah bila riwayat melahirkan
lebih dari satu kali.
10. Menopause adalah berhentinya haid secara menetap setelah satu tahun
11. Indeks massa tubuh (IMT) adalah perbandingan antara berat badan dalam
kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Berat badan normal
adalah bila IMT antara 18,5 – 24,9; berat kurang (kurus) bila IMT < 18,5 ;
berat badan lebih (overweight) bila IMT 25 – 29,9; sedangkan obesitas bila
IMT ≥ 30.
3.9. Pengolahan Data
Seluruh data penelitian ini dicatat pada formulir penelitian yang meliputi data hasil
anamnesis, hasil pemeriksan fisik dan hasil laboratorium. Data yang telah teruji
keabsahannya ini diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai tujuan
penelitian. Uji statistik Chi-square dan regresi logistik dengan menggunakan
perangkat SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 15 dengan tingkat
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu tiga bulan yaitu berlangsung sejak bulan
Oktober hingga Desember 2007. Didapatkan 100 orang responden atau subyek
penelitian, yang memenuhi kriteria penerimaan, yang terdiri dari paramedis
perempuan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.
4.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan faktor resiko OAB
Karakteristik responden atau subyek penelitian OAB dapat dilihat pada tabel 1 .
Karakteristik subyek tersebut adalah variabel yang merupakan faktor risiko atau
faktor yang berhubungan dengan kejadian OAB yaitu antara lain kelompok usia,
riwayat persalinan, paritas, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan
riwayat operasi histerektomi.
Pada penelitian dengan 100 orang responden ini didapatkan usia terbanyak adalah
pada kelompok usia dibawah 40 tahun yaitu sebanyak 53 orang (53%).
Sebagian besar responden pada penelitian OAB ini mempunyai riwayat persalinan
spontan yaitu sebanyak 73 orang (73%). Yang melahirkan secara seksio sesarea
adalah sebanyak 12 orang (12%).Persalinan dengan ekstraksi vacum sebanyak 5
orang (5%). Hanya 10 orang (10%) responden yang belum pernah melahirkan.
Sebanyak 78 orang (78%) adalah multipara dan responden primipara sebanyak 12
Dari 100 responden penelitian ini terdapat 93 orang (93%) yang belum menopause.
Hanya 7 orang (7%) yang mengalami menopause.
Dari seluruh responden, didapatkan sebanyak 60 orang (60%) yang mempunyai IMT
18,5 – 24,9 ( normal ), 31 orang (31%) yang mempunyai IMT 25 – 29,9 (overweight ),
dan 9 orang (9%) yang mempunyai IMT ≥ 30 ( obese ) Dari penelitian ini, tidak
didapatkan satu orang pun yang mempunyai IMT < 18,5 ( kurus ). Untuk selanjutnya
pada analisis regresi logistik, IMT ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu,
kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus) dan kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan
obese)
Pada penelitian ini, didapatkan 100 responden (100%) tidak mempunyai riwayat
operasi histerektomi. Dengan demikian hubungan riwayat histerektomi dan
Tabel 1. Sebaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan faktor resiko
Indeks massa tubuh (IMT)
4.2. Prevalensi gangguan OAB
Tabel 2. Prevalensi gangguan OAB
OAB n %
Positif
Negatif
18
82
18
82
Sampel penelitian adalah petugas paramedis yang bekerja di lingkungan RSHAM
yang dipilih secara acak dan didapatkan jumlah sampel atau responden sebanyak
100 orang. Penegakan diagnosis OAB dilakukan dengan anamnesa(angket standart
ICS), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan urinalisa serta pengisian daftar harian
berkemih (DHB) selama 7 hari. Didapatkan sebanyak 18 orang yang menderita OAB
(18%).
Angka kejadian secara umum dari overactive bladder ini ditemukan sekitar 20%
hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin. Prevalensi OAB pada wanita di Eropa
4.3. Sebaran gangguan OAB menurut usia
Tabel 3. Pengaruh usia terhadap OAB
OAB
Pada tabel 3 diatas, kelompok usia 40 – 49 tahun paling banyak mengalami
gangguan OAB, yaitu 9 orang (22,5%). kelompok usia < 40 tahun, lima orang (9,4%)
diantaranya menderita OAB. Sedangkan pada kelompok 50 – 55 tahun yang
menderita OAB sebanyak 4 orang (57,2%). Secara statistik terdapat hubungan yang
bermakna antara pengaruh usia terhadap kejadian OAB (p<0,05). Rasio prevalen
kelompok usia 50 – 55 tahun sebesar 12,8, artinya pada kelompok usia ini resiko
untuk terjadinya OAB sebesar 12,8 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok
usia < 40 tahun.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor usia berhubungan erat dengan
inkontinensia urin. DuBeau dkk (2003) melaporkan bahwa resiko OAB meningkat
dengan bertambahnya usia dengan nilai OR 1,3. Louw (2003) mendapatkan bahwa
usia yang makin lanjut, semakin tinggi resiko terjadinya OAB, dengan OR 1,59 pada
Pada penelitian ini, kelompok usia 50 – 55 tahun yang mengalami gangguan OAB
lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok usia 40 – 49 tahun. Hal ini disebabkan
karena jumlah responden pada kelompok usia 50 – 55 tahun jauh lebih sedikit.
4.4. Sebaran gangguan OAB menurut riwayat persalinan
Tabel 4. Pengaruh riwayat persalinan terhadap OAB
OAB
Pada tabel 4. diatas didapatkan riwayat persalinan spontan paling banyak menderita
OAB sebanyak 11 orang (16,4%), riwayat ekstraksi vakum yang menderita OAB
sebanyak 4 orang (80%) , riwayat seksio sesarea yang menderita OAB sebanyak 2
orang (11,1%), dan pada kelompok belum pernah melahirkan yang menderita OAB
sebanyak 1 orang (10%). Dengan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna
antara riwayat persalinan dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok riwayat
persalinan ekstrasi vakum didapatkan rasio prevalens sebesar 36. Artinya persalinan
dengan ekstraksi vakum, mempunyai resiko terjadinya OAB sebesar 36 kali lebih
Millard (2001) menyatakan bahwa wanita yang mempunyai riwayat persalinan
pervaginam mempunyai resiko mengalami gangguan berkemih sebesar 2,5 kali lipat
dibandingkan wanita yang tidak pernah mengalami persalinan.65
Louw (2004) melaporkan bahwa partus pervaginam mempunyai resiko yang lebih
besar (OR=1) untuk terjadinya OAB dibandingkan dengan seksio sesarea
(OR=0,2).64
Pada penelitian ini, resiko untuk terjadinya OAB pada persalinan seksio sesarea (RP
= 1,768) lebih besar dibandingkan dengan persalinan spontan (RP = 1,125), dimana
seharusnya persalinan spontan memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita
OAB dibanding seksio sesarea. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini indikasi
4.5. Sebaran gangguan OAB menurut paritas
Tabel 5. Pengaruh paritas terhadap OAB
OAB
Pada tabel 5, didapatkan multipara 15 orang (19,2%) yang mengalami
OAB.Primipara 2 orang ( 16,7 % ) yang mengalami OAB dan Nullipara 1 orang ( 10
% ) yang mengalami OAB. Secara uji Chi-square tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara paritas dengan kejadian OAB.
Hording dkk (1986) menyatakan bahwa paritas tidak berhubungan dengan
terjadinya inkontinensia urin pada wanita dengan usia 45 tahun. Burgio dkk (1991)
mendapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara paritas dengan
kejadian OAB.66,67
Namun, Millard (2001) menyebutkan bahwa paritas dapat mempengaruhi terjadinya
gangguan OAB secara signifikan. Goldberg (2003) mendapatkan wanita multipara
mempunyai resiko 1,46 kali untuk terjadi inkontinensia urin dibandingkan dengan
4.6 Sebaran gangguan OAB menurut indeks massa tubuh
Tabel 6. Pengaruh indeks massa tubuh terhadap OAB
OAB
orang (37,5%) yang menderita OAB, dan pada kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan
kurus) dijumpai 3 orang (5%) yang menderita OAB. Pada uji statistik, didapatkan
hubungan yang bermakna antara indeks masssa tubuh dengan terjadinya OAB
(p<0,05). Pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan rasio
prevalens sebesar 11,4, dimana pada kelompok ini resiko terjadinya OAB 11,4 kali
lebih besar dibandingkan dengan kelompok IMT ≤ 24,9(normal dan kurus).
DuBeau dkk (2003) menyatakan bahwa prevalensi OAB meningkat dengan
meningkatnya indeks massa tubuh, dengan nilai OR 1,5. Salvig dkk (1999)
mendapatkan bahwa IMT > 35 mempunyai resiko OAB dengan nilai OR 2,5. Dywer
dkk (1988) melaporkan bahwa obesitas secara signifikan berhubungan dengan
4.7 Sebaran gangguan OAB menurut menopause
Tabel 7. Pengaruh menopause terhadap OAB
OAB
Pada tabel 7. diatas, dari 7 orang yang menopause, 4 diantaranya (57,1%)
mengalami gangguan OAB. Dari uji statistik, terdapat hubungan yang bermakna
antara menopause dengan kejadian OAB (p<0,05). Menopause mempunyai resiko
untuk terjadinya gangguan OAB sebesar 7,5 kali lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak menopause.
Rekers dkk (1992) melaporkan wanita menopause mengalami OAB lebih banyak
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Prevalensi penderita OAB pada paramedis perempuan yang bekerja di
lingkungan RSUP H. ADAM MALIK adalah 18% (18 orang).
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia,persalinan,IMT,menopause
dengan terjadinya OAB.
3. Semakin tua umur seorang wanita semakin besar resiko terjadinya OAB,
persalinan dengan vakum mempunyai resiko 36 kali lebih besar terjadinya
OAB dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan. IMT ≥ 25
(overweight dan obese) mempunyai resiko 11,4 kali lebih besar untuk
terjadinya OAB dibandingkan IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Wanita
menopause beresiko 7 kali lebih besar terjadinya OAB dibandingkan yang
belum menopause.
4. Tidak terdapat yang bermakna antara paritas dengan terjadinya OAB.
SARAN
1. Sebaiknya disediakan alat untuk pemeriksaan urodinamik di poliklinik
uroginekologi RSHAM.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan OAB yang
efektif serta bagaimana kualitas hidup penderita OAB.
3. Bagi wanita overweight dan obese disarankan untuk mengurangi berat badan
hingga indeks massa tubuh mencapai normoweight untuk mengurangi resiko
KEPUSTAKAAN
1. Ouslander JG. Management of Overactive Bladder. The New England Journal
of Medicine 350, Massachuchet Medical Society, 2004 : 786-99.
2. Junizaf. Overactive baldder. Dalam makalah yang disampaikan pada
Simposiun “Uroginekologi” acara KOGI XI pada tanggal 3 Juli 2000, di The
Grand Bali Beach Hotel, Denpasar – Bali.
3. Wagg A, Cohen M. Medical therapy for the overactive bladder in the elderly.
Age and Ageing 31, British Geriatrics Society, 2002 : 241-46.
4. Irwin DE, Milsom I, Kopp Z, Abrams P, Cardozo L. Impact of overactive
bladder symptoms on employment, social interactions and emotional well –
being in six European countries. BJU International 97, 2005 : 96 – 100.
5. Van Der Pal F, et al. Implant-Driven Tibial Nerve Stimulation in the Treatment
of Refractory Overactive Bladder Syndrome: 12-Month Follow-up.
Neuromodulation, Vol.9, Number 2. International Neuromodulation Society,
2006 : 163 – 71.
6. Patel AK, Patterson JM, Chapple CR. The emerging role of intravesical
botulinum toxin therapy in idiopathic detrusor overactivity. International Journal
Clin Prac 60, Suppl. 151, Blackwell Publishing Ltd, December 2006 : 27 – 32.
7. Kirby M, et al. Overactive bladder : the importance of new guidance.
International Journal Clin Pract 60, Blackwell Publishing Ltd, October 2006 :
8. Rackley R, et al. Incontinence, Urinary : Surgical Therapies. Available at :
http://www.emedicine.com/med/topic3084.htm
9. Rackley R, et al. Incontinence, Urinary : Nonsurgical Therapies. Available at :
http://www.emedicine.com/med/topic3085.htm
10. Welsh A. Urinary incontinence, the management of urinary incontinence in
women.RCOG Press, London, 2006 : 46 – 124.
11. Treatments for Urinary Incontinence in Women. Available at :
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/treatmentsuiwomen/index.htm
12. Newman DK. Program of Excellence in Extended Care, Understanding
Bladder Conditions. Diagnostic Ultrasound Corporation, 2006 : 59 – 81.
13. Maneefee SA et al. Incontinence, Proplapse, and Disorders of the Pelvic
Floor. Novak’s Gynecology, 13th ed, Lippincott William & Wilkins,
Philadelphia-USA 2002 : 645 – 702.
14. Cunningham FG. Williams Obstetrics 21st Edition.
15. Andersson KE. New roles for muscarinic receptors in the pathophysiology of
lower urinary tract symptoms. BJU International 86, Suppl.2, 2000 : 36 – 43.
16. Rackley R, et al. Neurogenic Bladder. Available at :
http://www.emedicine.com/med/topic3176.htm
17. Messelink EJ. The overactive bladder and the role of the pelvic floor muscles.
BJU International 83, Suppl.2, 1999 : 31-35.
18. The Overactive Bladder. OAB Info. Available at :
19. Gillespie JI. The autonomous bladder : a view of the origin of bladder
overactivity and sensory urge. BJU International 93, 2004 : 478 – 83.
20. University of Texas at Austin, School of Nursing, Family Nurse Practitioner
Program. Recommendations For Management of Stress and Urge Urinary
Incontinence in Women. May, 2002.
21. Drake NL, et al. Nocturnal polyuria in women with overactive bladder
symptoms and nocturia. American Journal of Obstetrics and Gynecology 192,
Elsevier Inc., 2005 : 1682 – 6.
22. Overactive Bladder – Urgency / urge incontinence. The American
Urogynecologic Society. Available at :
http://www.augs.org/i4a/pages/index.cfm?pageid=207
23. Mansfield KJ, et al. Lower Urinary Tract : Molecular characterization of M2 and
M3 muscarinic receptor expression in bladder from women with refractory
idiopathic detrusor overactivity. BJU International 99, 2007 : 1433 – 38.
24. Van Der Pal F, et al. Percutaneous tibial nerve stimulation in the treatment of
refractory overactive bladder syndrome : is maintenance treatment
necessary?. BJU International 97, 2006 : 547 – 50.
25. Kelleher CJ, et al. Improved quality of life in patients with overactive bladder
symptoms treated with solifenacin. BJU International 95, 2005 : 81-5.
26. Fingerman JS, Finkelstein LH. The Overactive Bladder in Multiple Sclerosis.