• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Dan Faktor – Faktor Resiko Overactive Bladder Pada Paramedis Perempuan Di Rsup H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Prevalensi Dan Faktor – Faktor Resiko Overactive Bladder Pada Paramedis Perempuan Di Rsup H. Adam Malik Medan"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO

OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS

PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

OLEH :

UJANG RIDWAN PERMANA

PEMBIMBING :

1.

Dr. M. RHIZA Z. TALA, SpOG(K)

2. Dr. BINARWAN HALIM, SpOG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM-5

Pembimbing : Dr. M. Rhiza Z. Tala, SpOG (K)

Dr. Binarwan Halim, SpOG

Penyanggah : Dr. Jenius L. Tobing, SpOG

Dr. Yostoto B. Kaban, SpOG

Dr. Deri Edianto, SpOG (K)

(3)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih

Lagi Maha Penyayang, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat Ridha dan Karunia-Nya

penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia

biasa, saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari

sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat

bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

” PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN ”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk

mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU

Medan.

2. Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K), Kepala Departemen Obstetri dan

Ginekologi FK-USU Medan; Dr. Einil Rizar, SpOG (K), Sekretaris Departemen

Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG (K),

Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan,

Dr. Deri Edianto, SpOG (K), Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri

dan Ginekologi FK-USU Medan; dan juga Prof. Dr. Djaffar Siddik, SpOG (K), Prof.

Dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG

(K), Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K), Prof. Dr. T.M. Hanafiah, SpOG

(K), Prof. Dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K), dan Prof. Dr. Daulat H. Sibuea, SpOG

(K), yang telah bersama-sama berkenan menerima saya untuk mengikuti

(4)

3. Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K), selaku Kepala Sub Divisi Fertilitas

Endokrinologi dan Reproduksi atas kesempatan yang diberikan kepada saya

untuk melakukan penelitian tentang

” PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN ”

4. Dr. M. Rhiza Z. Tala, SpOG (K) dan Dr. Binarwan Halim selaku pembimbing, Dr.

Jenius L. Tobing, SpOG, Dr. Yostoto B. Kaban, SpOG, dan Dr. Deri Edianto,

SpOG (K) selaku penyanggah , yang penuh dengan kesabaran telah

meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan

melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.

5. Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG (K), selaku Bapak Angkat saya selama menjalani

masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan

nasehat-nasehat yang bermanfaat kepada saya dalam menghadapi masa-masa

sulit selama pendidikan.

6. Dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG, selaku pembimbing mini referat FM saya yang berjudul ”KEHAMILAN DENGAN UROLITHIASIS”. Dr. M. Rhiza Z. Tala SpOG (K) pembimbing mini refarat FER saya yang berjudul ” SRESS INKONTINENSIA “. Dr. Deri Edianto SpOG (K) pembimbing mini refarat Onkologi saya yang berjudul “ INDEKS KEGANASAN TUMOR OVARIUM “.

7. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk

membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.

8. Dr. Zulkarnaini Z. Tala, SpOG dan Keluarga besarnya yang telah banyak

memberikan nasihat dan bimbingannya kepada saya selama mengikuti

pendidikan di Bagian Obstetri dan Ginekologi.

9. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan,

yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal

(5)

10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan

sarana untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri

dan Ginekologi.

11. Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU

Dr. Pringadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana untuk

bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.

12. Direktur RS. PTPN II Tembakau Deli, Dr. Sofian Abdul Ilah, SpOG, dan Dr.

Nazaruddin Jaffar, SpOG (K) beserta staf yang telah memberikan kesempatan

dan sarana untuk bekerja selama bertugas di Rumah Sakit tersebut.

13. Direktur RSU BALIGE , beserta staf atas kesempatan kerja dan bantuan moril

dan materil selama saya bertugas di rumah sakit tersebut.

14. Kepala Departemen Patologi Anatomi FK-USU beserta staf, atas kesempatan

dan bimbingan yang telah diberikan selama saya bertugas di Departemen

tersebut.

15. Kepada Abang-Abang dan Kakak Saya,Dr. Adi Putra, SpOG, Dr. Harry C.

Simanjuntak, SpOG, Dr. Cut Adeya Adella, SpOG, Dr. Riza Rivany, SpOG, Dr.

Roy Yustin Simanjutak, SpOG, Dr. Johny Marpaung, SpOG, Dr. Melvin NG.

Barus, SpOG, terima kasih banyak atas segala bimbingan, bantuan, dan

dukungannya yang telah diberikan selama ini.

16. Khususnya kepada Teman-Teman Dr. M. Oky Prabudi, SpOG, Dr. Ronny Ajartha

Tarigan,SpOG,Dr.Aswin,SpOG,Dr.Maria N.Pardede,SpOG.Dr Wahyudi

SpOG,terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan yang diberikan

kepada saya selama ini. Dan kepada tim jaga; Dr. Hayu Lestari Haryono, Dr. Dwi

Faradina, Dr. Edwar, Dr.Made Kumara, Dr. Rizka Heriansyah, terima kasih

banyak atas bantuan, kerjasama, dan kebersamaan kita selama ini.

(6)

Dr. Miranda Diza.Dr Tommy, Dr. Panuturi Gottlieb Sidabutar, Dr. T.M. Rizki, Dr.

Mulda F. Situmorang,Dr. Silvy,Dr. M.Ikhwan, Dr. David Luther Lubis, Dr.Gorga,Dr.

T. Jeffry Abdillah, Dr. Riza Hendrawan Nasution,Dr.M.Yaznil dan teman-teman

lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas

kebersamaan, bantuan, dan dukungannya selama ini.

18. Teman Sejawat, Asisten Ahli, Dokter Muda, Bidan, Paramedis,

karyawan/karyawati, dan pasien-pasien yang telah ikut membantu dan

bekerjasama dengan saya dalam menjalani pendidikan di Departemen Obstetri

dan Ginekologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik - RSU Dr. Pirngadi Medan. Terima

kasih atas kerjasama dan saling pengertian selama ini.

Sembah sujud, hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan

kepada kedua Orang Tua Saya yang terkasih, Alm. Letnan Kolonel Inf. Elan Warlan

dan Siti Hamidah, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta

mendidik saya dengan penuh kasih sayang dari masa kanak-kanak hingga kini.

Kepada adik-adik saya, Marliyanti, Dewi cosalina, Alm. Cecep Junaidi,SH,Asep

Sulaiman,Lilis Haryani serta saudara-saudara ipar saya, Ipda Pol Iwan Kurnianto,

SH, Sugianto, saya ucapkan terima kasih atas dukungan dan doa yang diberikan

kepada saya.

Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan

namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah

banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah-Nya kepada kita semua.

Medan, Maret 2008

(7)

DAFTAR ISI

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH……… 3

1.3. TUJUAN PENELITIAN……….. 3

1.3.1. TUJUAN UMUM PENELITIAN………. 3

1.3.2. TUJUAN KHUSUS PENELITIAN……… 3

1.4. MANFAAT PENELITIAN………... 4

1.5. HIPOTESA PENELITIAN……….. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2.1. ANATOMI FISIOLOGI KANDUNG KEMIH……… 5

2.1.1. KANDUNG KEMIH……… 5

2.1.2. SISTEM PERSARAFAN KANDUNG KEMIH……… 7

2.2. MEKANISME BERKEMIH……… 8

2.3. OVERACTIVE BLADDER……… 11

2.3.1. PATOFISIOLOGI OVERACTIVE BLADDER……… 13

2.3.2. GEJALA OVERACTIVE BLADDER……… 18

2.3.3. FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER……….. 19

2.3.4. DIAGNOSIS OVERACTIVE BLADDER………. 22

2.3.5. TERAPI OVERACTIVE BLADDER……… 26

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………. 31

3.1. RANCANGAN PENELITIAN……….. 31

3.2. TEMPAT DAN WAKTU……… 31

(8)

3.3.1. POPULASI PENELITIAN………. 31

3.3.2. BESAR SAMPEL………... 31

3.3.3. KRITERIA PENERIMAAN……… 32

3.3.4. KRITERIA PENGELUARAN……… 32

3.4. KERANGKA KONSEP PENELITIAN………. 33

3.5. VARIABEL PENELITIAN……….. 34

3.5.1. VARIABEL INDEPENDEN..………... 34

3.5.2. VARIABEL DEPENDEN….. ……… 34

3.6. BAHAN DAN CARA KERJA……… 34

3.7. KERANGKA PENELITIAN………... 36

3.8. BATASAN OPERASIONAL………... 38

3.9. PENGOLAHAN DATA……….. 38

BAB 4 HASIL PENELITIAN………... 39

4.1. KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN FAKTOR RESIKO OAB……….. 39

4.2. PREVALENSI GANGGUAN OAB……….………….. 42

4.3. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT USIA……….…………. 43

4.4. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT RIWAYAT PERSALINAN.. 44

4.5. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT PARITAS……….…………. 46

4.6. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT INDEKS MASSA TUBUH.. 47

4.7. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT MENOPAUSE….…………. 48

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………... 49

(9)

DAFTAR SINGKATAN

ACH : ACETIL CHOLINE

AMP : ADENOSINE MONO PHOSPHATASE

ATP : ADENOSINE TRI PHOSPHATASE

EMG : ELECTRO MYO GRAM

ICS : INTERNATIONAL CONTINENCE SOCIETY

IMT : INDEKS MASSA TUBUH

M / m : MUSKARINIK

OAB : OVERACTIVE BLADDER

(10)

DAFTAR GAMBAR

HAL

GAMBAR 1. ANATOMI ORGAN PELVIS WANITA 4

GAMBAR 2. ANATOMI KANDUNG KEMIH 5

GAMBAR 3. SISTEM PERSARAFAN KANDUNG KEMIH 7

GAMBAR 4. FASE PENGISIAN DAN PENGOSONGAN KANDUNG KEMIH 8

GAMBAR 5. PROSES TERJADINYA MIKSI 10

GAMBAR 6.

MEKANISME PERSARAFAN EFFEREN SECARA OTONOM

DALAM PROSES KONTRAKSI DAN PENGISIAN KANDUNG

KEMIH

13

GAMBAR 7. MEKANISME PERSARAFAN SENSORIS PADA KANDUNG

(11)

DAFTAR TABEL

HAL

TABEL 1. SEBARAN KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN

FAKTOR RESIKO 33

TABEL 2. PREVALENSI GANGGUAN OAB 34

TABEL 3. PENGARUH USIA TERHADAP OAB 34

TABEL 4. PENGARUH RIWAYAT PERSALINAN TERHADAP OAB 35

TABEL 5. PENGARUH PARITAS TERHADAP OAB 36

TABEL 6. PENGARUH INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP OAB 37

(12)

ABSTRAK

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan overactive bladder di kalangan paramedis

perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. Adam Malik Medan.

Rancangan Penelitian : Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif untuk menilai penderita Overactive Bladder secara klinik dengan rancangan potong

lintang (cross sectional). Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai

Desember 2007 dengan populasi paramedis wanita yang bekerja di RSHAM yang

memenuhi kriteria penerimaan dan kriteria pengeluaran. Sampel diambil secara

random sampling. Responden diberikan kuesioner, pemeriksaan fisik dan daftar

harian berkemih untuk menegakkan diagnosa overactive bladder. Dilakukan

penilaian terhadap faktor resiko seperti usia, paritas, cara persalinan, menopause,

obesitas dan riwayat histerektomi.

Analisa Statistik : Seluruh data penelitian ini dicatat pada formulir penelitian yang meliputi data hasil anamnesis, hasil pemeriksan fisik dan hasil laboratorium. Data

diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai tujuan penelitian. Dilakukan

uji statistik Chi-square dan regresi logistik dengan menggunakan perangkat SPSS

(Statistic Package for Social Science) versi 15.

Hasil : Pada penelitian dengan 100 orang responden didapatkan usia terbanyak adalah pada kelompok usia < 40 tahun yaitu sebanyak 53 orang (53%), riwayat

persalinan terbanyak adalah persalinan spontan sebanyak 73 orang (73%).

Sebanyak 78 orang (78%) adalah multipara, 12 orang (12%) adalah primipara dan

sebanyak 10 orang (10%) adalah nullipara. Terdapat 93 orang (93%) yang belum

menopause. Dari seluruh responden, didapatkan sebanyak 60 orang (60%) yang

mempunyai IMT 18,5 – 24,9 ( normal ), 31 orang (31%) yang mempunyai IMT 25-

29,9 ( overweight ), dan 9 orang (9%) yang mempunyai IMT ≥ 30 ( obese ). Dari

penelitian ini, tidak didapatkan satu orang pun yang mempunyai IMT < 18,5 ( kurus ).

Sehingga kelompok ini tidak diikutsertakan dalam analisa statistik. Dan didapatkan

100 responden (100%) tidak mempunyai riwayat operasi histerektomi. Dengan

demikian hubungan riwayat histerektomi dan gangguan OAB tidak dapat dianalisa

secara statistik.

Didapatkan prevalensi OAB sebanyak 18 orang (18%) dengan kelompok usia 40 –

(13)

terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok riwayat persalinan ekstrasi vakum

didapatkan rasio prevalens sebesar 36. Secara uji Chi-square tidak didapatkan

hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian OAB. Didapatkan

hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan terjadinya OAB

(p<0,05). pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan 15 orang

(37,5%) yang menderita OAB, dan pada kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus)

dijumpai 3 orang (5%) yang menderita OAB. Pada uji statistik, didapatkan hubungan

yang bermakna antara indeks masssa tubuh dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada

kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan rasio prevalens sebesar

11,4, dimana pada kelompok ini resiko terjadinya OAB 11,4 kali lebih besar

dibandingkan dengan kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Terdapat hubungan

yang bermakna antara menopause dengan kejadian OAB (p<0,05). Menopause

mempunyai resiko untuk terjadinya gangguan OAB sebesar 7,5 kali lebih besar

dibandingkan dengan yang tidak menopause.

KESIMPULAN : Prevalensi penderita OAB pada paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK MEDAN adalah 18% (18 orang).

Terdapat hubungan yang bermakna antara usia,persalinan,IMT,menopause dengan

terjadinya OAB. Persalinan dengan vakum mempunyai resiko 36 kali lebih besar

terjadinya OAB dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan. IMT ≥ 25

(overweight dan obese) mempunyai resiko 11,4 kali lebih besar untuk terjadinya OAB

dibandingkan IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Wanita menopause beresiko 7 kali

lebih besar terjadinya OAB dibandingkan yang belum menopause. Tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara paritas dengan terjadinya OAB.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Overactive Bladder (OAB) adalah suatu simtom kompleks yang mencakup urgensi

untuk berkemih dengan atau tanpa urge incontinence, frekuensi berkemih (keinginan

untuk berkemih sebanyak 8 kali atau lebih dalam periode 24 jam), dan nokturia

(bangun untuk berkemih sebanyak 2 atau lebih pada malam hari). The International

Continence Society mendefenisikan OAB sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari

urgensi, frekwensi, nokturia, yang dapat disertai dengan atau tanpa urge

inkontinensia. 1,2

Angka kejadian secara umum dari overactive bladder ini ditemukan sekitar 20%

hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin dan dengan pemeriksaan urodinamik

penderita inkontinensia urin ditemukan sekitar 24,4% dimana angka ini terus

meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Prevalensi OAB di Eropa dari 16.776

responden yang berusia diatas 40 tahun adalah sebesar 16% pada pria dan 17%

pada wanita. Prevalensinya adalah 3% pada pria yang berusia 40-44 tahun, 9%

pada wanita yang berusia 40-44 tahun, 42% pada pria berusia 75 tahun atau lebih

dan 31% pada wanita berusia 75 tahun atau lebih. Data prevalensi yang sama juga

dilaporkan di Amerika Serikat. Sedangkan angka insidensi OAB diestimasikan

10-15% pada pria dan wanita yang berusia 10-50 tahun, meningkat 35% pada yang

(15)

Jakarta pada tahun 2002 didapatkan prevalensi OAB sebesar 21,2% (dimana

sebanyak 45,5% adalah wanita dan 54,4%nya pria).1,2,3,4,5,6,7,8,9

Selain usia, yang menjadi faktor resiko terjadinya gangguan overactive bladder

(OAB) adalah paritas, cara persalinan, menopause, obesitas, dan adanya riwayat

operasi histerektomi atau operasi ginekologi sebelumnya.10

Gejala dari OAB adalah mencakup frekuensi berkemih sebanyak 8 kali atau lebih

dalam 1 hari atau 2 kali atau lebih pada malam hari; urgensi berkemih yang terjadi

secara tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk segera berkemih; urge incontinence

yakni ketidak-mampuan untuk menahan keinginan berkemih. Gejala – gejala

tersebut dapat mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti gangguan

aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, masalah psikologis (depresi), gangguan

pola tidur, dan masalah seksual yang semuanya itu merupakan gangguan terhadap

kualitas hidup seseorang. Overactive bladder (OAB) merupakan suatu keadaan yang

dapat diobati dan tidak mematikan. Umumnya pengobatan OAB dilakukan secara

konservatif dan tindakan operatif hanya dilakukan bila pengobatan konservatif

tersebut gagal. Dengan pengobatan tersebut diharapkan kualitas hidup penderita

OAB dapat ditingkatkan.1,2,3,4,6,7,8,9,10,11

OAB merupakan gangguan berkemih yang sangat mengganggu dimana gangguan

ini dapat juga dialami oleh sebagian paramedis perempuan. Hingga saat ini belum

ada data mengenai prevalensi OAB di Indonesia, maka kami ingin mengetahui

prevalensi dan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya OAB pada

paramedis perempuan di lingkungan tempat kami bertugas yaitu di RSUP H.ADAM

(16)

untuk kepentingan pengobatan maupun pelayanan tetapi juga untuk kepentingan

penelitian selanjutnya.

1.2. Identifikasi Masalah

Dengan latar belakang tersebut diatas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai

berikut :

1. Berapa besar prevalensi OAB di kalangan paramedis perempuan yang

bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.

2. Overactive Bladder mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti

gangguan aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, masalah psikologis

(depresi), gangguan pola tidur, dan masalah seksual yang semuanya itu

merupakan gangguan terhadap kualitas hidup seseorang.

3. Bila paramedis perempuan mengalami Overactie Bladder, maka hal ini dapat

mengganggu kinerja yang pada akhirnya menurunkan pelayanan terhadap

pasien.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum Penelitian

1. Mengetahui prevalensi OAB di kalangan paramedis perempuan yang

bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.

2. Mengetahui faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan OAB di

kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H.

ADAM MALIK Medan.

(17)

Mengetahui prevalensi dan sebaran gangguan OAB menurut beberapa faktor

resiko yang berhubungan dengan kejadian OAB seperti usia, paritas, cara

persalinan, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat operasi

histerektomi di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan

RSUP H. ADAM MALIK Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dasar untuk penelitian OAB

selanjutnya misalnya penelitian mengenai epidemiologi lainnya, mengenai

penatalaksanaan OAB atau mengenai kualitas hidup penderita OAB.

1.5. Hipotesa Penelitian

Adanya hubungan antara usia, paritas, cara persalinan, status menopause,

indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat histerektomi dengan kejadian

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi fisiologi kandung kemih

2.1.1. Kandung kemih

Kandung kemih adalah suatu kantong yang berada pada regio pelvik. Ketika dalam

keadaan kosong, ia terletak dibelakang simfisis pubis dan bila penuh akan keluar

hingga melewati simfisis pubis dan sangat mudah untuk diraba. Ia dapat dengan

mudah bergerak, kecuali pada dasarnya karena ia berhubungan langsung dengan

uretra. Bagian dasar kandung kemih dibentuk oleh otot fibro-elastik yang berbentuk

segitiga yang dikenal dengan trigone. Trigone dari kandung kemih ini mengandung

serabut saraf sensorik yang bentuknya seperti segitiga terbalik. Bagian dasar dari

segitiga ini terhubung ke ureter dari ginjal kanan dan ginjal kiri.8,12,13

(19)

Gambar 2. Anatomi kandung kemih12

Dinding kandung kemih terdiri dari 3 lapis : lapisan mukosa, lapisan otot dan lapisan

lemak. Pada bagian tengah, lapisan muskular dibentuk oleh otot polos yang disebut

detrusor. Detrusor akan meregang ketika kandung kemih diisi oleh urin dan

kemudian berkontraksi untuk mengeluarkan urin tersebut. Otot polos tidak dibawah

pengaruh kontrol volunter, namun ia berkontraksi akibat respon dari refleks-refleks

tertentu. 12,13

Fungsi kandung kemih adalah untuk mengisi, menyimpan dan kemudian

mengosongkan urin melalui uretra, Menjelang fase pengisian, otot detrusor

mengalami relaksasi untuk mengakomodasikan peningkatan volume. Normalnya

kandung kemih dapat menampung urin sebanyak 360-480 cc, yang kemudian

disebut sebagai kapasitas fungsional dari kandung kemih. Kedudukan kandung

kemih dipertahankan oleh kelompok otot – otot levator ani terutama otot

(20)

2.1.2. Sistem Persarafan Kandung Kemih

Fungsi dari sistem urinaria bagian bawah adalah bergantung dari fungsi sistem

persarafan dari otak. Sistem persarafan dibagi menjadi sistem saraf pusat dan

sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat mencakup otak dan medulla spinalis. Sistem

saraf tepi mencakup saraf autonomik dan somatik. Sistem saraf autonomik tidak

dibawah kontrol kesadaran dan disebut sistem saraf involunter.1,12,13,15,16,17

Sistem saraf involunter mencakup sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem

saraf simpatis mengatur pengisian kandung kemih melalui (1) merelaksasi otot

kandung kemih sehingga dapat diisi oleh urin, dan (2) mengkontraksikan sfingter

uretra internal dalam mencegah urin memasuki uretra. Sistem saraf parasimpatis

menimbulkan keinginan untuk berkemih atau pengosongan kandung kemih melalui

(1) stimulasi otot kandung kemih untuk berkontraksi sehingga menyebabkan sensasi

berkemih dan (2) merelaksasikan sfingter uretra internal yang menyebabkan urin

memasuki uretra. 1,12,13,15,16,17

Sistem saraf somatik mengirim signal ke sfingter uretra eksternal untuk mencegah

kebocoran urin atau untuk berelaksasi sehingga urin dapat keluar. 1,12,13,15,16,17

Fungsi sistem persarafan bergantung pada pelepasan zat kimiawi yang kita kenal

dengan neurotransmitter. Zat yang paling penting mempengaruhi kandung kemih

adalah asetilkolin (ACH). Ketika ACH dilepaskan is akan menyebabkan otot-otot

kandung kemih mengalami kontraksi. Pelepasan zat kimiawi ini mengatur respon dari

(21)

Gambar 3. Sistem persarafan kandung kemih12

2.2. Mekanisme berkemih

Dalam keadaan normal, kandung kemih dan uretra berhubungan secara simultan

dalam penyimpanan dan pengeluaran urin. Selama penyimpanan, leher kandung

kemih dan uretra proksimal menutup, dan tekanan intra uretral berkisar antara 20-50

cmH2O. Sementara itu otot detrusor berelaksasi sehingga tekanan dalam kandung

kemih (intravesikal) tetap rendah (5-10 H2O).12

Mekanisme berkemih, terdiri dari 2 fase yaitu fase pengisian dan fase

(22)

Gambar 4. Fase pengisian dan pengosongan kandung kemih12

1. Fase pengisian (Filling Phase)

Untuk mempertahankan kontinensia urin, tekanan intra uretra selamanya

harus melebihi tekanan intravesika kecuali pada saat miksi (void). Selama

masa pengisian, ternyata hanya terjadi sedikit peningkatan tekanan

intravesika, hal ini disebabkan oleh kelenturan dinding vesika dan mekanisme

neural yang diaktifkan pada saat pengisian vesika urinaria. Mekanisme neural

ini termasuk refleks simpatetik spinal yang mengaktifkan reseptor pada

vesika urinaria dan menghambat aktifitas parasimpatis. Selama masa

pengisian vesika urinaria tidak ada aktivitas kontraktil involunter pada

detrusor.

Tekanan normal intravesika maksimal adalah 50 cm H2O sedangkan tekanan

(23)

Selama pengisian vesika urinaria, tekanan uretra perlahan meningkat,

mekanismenya belum jelas tapi EMG (electromyogram) dari pelvis

menunjukkan peningkatan aktivitas pada saat pengisian vesika urinaria, yang

cenderung ke arah peningkatan aktifitas otot lurik spinchter. Refleks simpatis

juga meningkatkan stimulasi reseptor pada otot polos uretra dan

meningkatkan konstriksi uretra pada saat pengisian vesika urinaria.

2. Fase miksi (Voiding Phase)

Selama fase miksi terdapat penurunan aktifitas EMG dan penurunan tekanan

uretra yang mendahului kontraksi detrusor. Terjadi peningkatan intravesika

selama peningkatan sensasi distensi untuk miksi. Pusat miksi terletak pada

batang otak, dan pengosongan vesika urinaria yang terkoordinasi bergantung

pada jalur syaraf ascending maupun descending yang utuh. Refleks simpatis

dihambat, aktifitas efferen somatik pada otot lurik spinchter dihambat, dan

aktifitas parasimpatis pada detrusor ditingkatkan. Semua ini menghasilkan

kontraksi yang terkoordinasi dari otot detrusor bersamaan dengan penurunan

resistensi yang melibatkan otot lurik dan polos uretra. Terjadi penurunan leher

vesika urinaria dan terjadi aliran urin. Ketika miksi berakhir secara volunter,

dasar panggul berkontraksi untuk meninggikan leher vesika urinaria ke arah

(24)

Gambar.5 Proses terjadinya miksi12

2.3. Overactive Bladder

Tipe inkontinensia urinaria yang paling sering dijumpai pada usia lanjut adalah OAB,

dimana proses keluarnya urin secara involunter yang terjadi secara mendadak dan

keinginan yang kuat untuk berkemih.12

Overactive bladder (OAB) adalah suatu sindroma klinik yang merupakan salah satu

bentuk dari kelainan overactive detrusor. Overactive detrusor adalah suatu keadaan

dimana terjadi aktivitas atau kontraksi kandung kemih yang berlebihan, yang

berdasarkan etiologinya dapat dibagi atas 2 jenis yaitu overactive detrusor

(25)

Detrusor hypereflexia merupakan kontraksi detrusor yang involunter akibat gangguan

neurologi, seperti lesi suprapontine (penyakit serebrovaskular, parkinson’s disease,

Alzheimer’s) atau lesi spinal seperti multiple sclerosis, cervical atau lumbar stenosis.

Sedangkan detrusor instability adalah suatu keadaan dimana terjadi aktifitas atau

kontraksi kandung kemih yang berlebihan yang bukan disebabkan kelainan atau

gangguan neurologi, dan penyebabnya sering tidak diketahui sehingga sering

disebut overactive detrusor idiopatik. Overactive detrusor idiopatik inilah yang saat ini

lebih dikenal dengan overactive bladder (OAB) dimana tidak terbukti adanya infeksi

atau keadaan patologi lainnya yang menyebabkan timbulnya keluhan inkontinensia

ini. The International Continence Society (ICS) tahun 2002 mendefinisikan overactive

bladder (OAB) sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari urgensi, frekuensi, nokturia

yang dapat disertai dengan atau tanpa urge inkontinensia.20

Pada dasarnya etiologi Overactive Bladder adalah gangguan atau kerusakan pada

susunan saraf yang ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang belum

diketahui sebabnya sampai saat ini (idiopatik).Overactive Bladder dapat diakibatkan

oleh adanya gangguan pada neurotransmitter, reseptor ataupun pada otot polos

kandung kemih (detrusor) itu sendiri. Selama fase pengisian, kandung kemih

dihambat oleh stimulasi saraf simpatis dan normalnya saraf parasimpatis disupresi.

Norepinefrin dilepaskan dari sistem saraf simpatis, meningkatkan compliance

kandung kemih melalui mediator -adrenoreceptor (reseptor subtipe 3) yang

menyebabkan relaksasi otot kandung kemih. Tetapi bila terdapat gangguan pada

pelepasan neurotransmiter atau reseptor,maka akan terjadi gangguan pada fase

pengisian urin tersebut. Menurut beberapa ahli, etiologi Overactive Bladder juga

meliputi perubahan otot polos kandung kemih itu sendiri. Elbadwi dkk menggunakan

(26)

lanjut yang memiliki gangguan berkemih berdasarkan pemeriksaan urodinamik.

Hasilnya adalah ditemukan ‘dysjunction pattern” pada penderita overactive bladder

(OAB).Sedangkan kondisi psikosomatik sebagai etiologi Overactive Bladder telah

lama diketahui, dimana pasien memiliki tingkat distres dan ansietas yang tinggi. Sulit

untuk menetapkan apakah kondisi ini merupakan penyebab atau akibat dari

Overactive Bladder. 1,12,13,15,16,17,20

2.3.1. Patofisiologi Overactive Bladder

Proses miksi melibatkan cortex cerebri,pons, medulla spinalis, sistem saraf tepi

otonom dan somatik serta inervasi saraf afferen dari traktus urinaria bagian bawah

dan komponen anatomi dari traktus urinaria bagian bawah itu sendiri. Kelainan dari

salah satu dari struktur ini dapat menyebabkan OAB. Simtom dari OAB biasanya

berhubungan dengan kontraksi involunter dari otot destrusor. Aktivitas yang

berlebihan dari otot destrusor dapat menyebabkan urge inkontinensia, bergantung

respon dari sfingter.1

Terjadinya overactive bladder (OAB) disebabkan adanya kontraksi yang berlebihan

dari otot detrusor secara involunter selama fase pengisian, yang menyebabkan

adanya urgensi ataupun urge inkontinensia, tergantung pada respon dari otot

sfingter. Aktifitas yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor otot itu sendiri. Tes

urodinamik memperlihatkan bahwa separuh dari penderita usia lanjut dengan

kontraksi otot detrusor yang berlebihan dapat mengosongkan sepertiga isi kandung

(27)

Otot detrusor kandung kemih mengandung reseptor kolinergik, reseptor muskarinik

dan reseptor adrenergik dan . Berdasarkan distribusi reseptor otonom, secara

teoritis muskarinik agonist efektif untuk meningkatkan kontraksi otot polos dan

pengosongan kandung kemih. -adrenergic agonist efektif meningkatkan tonus

uretra dan mengurangi inkontinensia sedangkan -adrenergic agonist efektif dalam

meningkatkan kapasitas kandung kemih. Sebaliknya antagonis muskarinik efektif

dalam mengurangi hiperaktivitas kandung kemih dan antagonis efektif dalam

mengurangi tekanan uretra.1

Secara farmakologis reseptor muskarinik telah dikenali sebagai M1, M2, M3, M4 dan

M5. Secara umum reseptor M1 terutama terdapat dalam ganglion dan glandula

sekretoris, reseptor M2, terdapat dalam miokardium dan otot polos, reseptor M3

terdapat dalam otot polos dan glandula sekretoris. Reseptor M4 dan M5 terdapat

dalam berbagai sel di tubuh. Berdasarkan distribusi tersebut, reseptor utama yang

terdapat pada kandung kemih adalah reseptor M2 (60-80%) dan M3 (20-40%). Tehnik

kloning molekuler telah mengenal subtipe tambahan reseptor muskarinik lain yaitu

m1, m2, m3, m4, dan m5 dimana lokasi dan spesifitasnya berhubungan dengan

(28)

Gambar 6. Mekanisme persarafan efferen secara otonom dalam proses kontraksi

dan pengisian kandung kemih 1

Reseptor kandung kemih dan uretra terhadap stimulasi reseptor diperantarai oleh

kegiatan sistim “massenger” yang spesifik. Aktivitas reseptor m1, m3 dan m5 akan

merangsang fosfolipase C dan akan menyebabkan pecahnya fosfatidil inositol

polifosfat menjadi inositol polifosfat. Inositol-1,4,5-trifosfat (IP3) yang merupakan

salah satu produk hidrolisis akan menyebabkan pelepasan kalsium intraseluler dari

retikulum endoplasma dan mengakibatkan kontraksi otot polos. Diasil gliserol

merupakan produk hidrolisis lain yang akan mengaktivasi kalsium – protein kinase

yang mengakibatkan terjadinya fosforilasi. Stimulasi reseptor m2 dan m4 tidak lepas

(29)

mengakibatkan penghambat adenilsiklase dan penurunan siklik AMP intraseluler,

aktivasi potassium channel dan menghambat voltase yang tergantung pada calcium

channel. Stimulasi reseptor 2 seperti halnya terhadap reseptor M2, mengaktivasi

protein G1 dan menyebabkan inhibisi adenilsiklase. Sebaliknya stimulasi reseptor 1

tidak berefek pada siklik AMP, tetapi menstimulasi hidrolisis fosfatidil inositol

polifosfat (seperti halnya pada reseptor M1 dan M3). Aktivasi reseptor adrenergik

menghasilkan stimulasi adenil siklase dan peningkatan siklik AMP dari ATP.

Peningkatan siklik AMP yang mengaktivasi siklik AMP – protein kinase menyebabkan

terjadinya fosforilasi. Fosforilasi akan mengaktivasi atau menginaktivasi protein

spesifik, tergantung respon karakteristik organ target. Berdasarkan basis-intraseluler,

kontraksi detrusor, seperti umumnya semua otot polos tergantung pada interaksi

aktin dan miosin melalui fosforilase rantai ringan miosin.1

Asetilkolin yang berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada otot detrusor

merupakan neurotransmiter saraf perifer utama yang bertanggung jawab atas

kontraksi kandung kemih. Diantara kelima subtipe muskarinik yaitu M1 dan M5, pada

manusia secara klinis peranan M3 tampaknya yang paling relevan. Asetikolin

berinteraksi dengan reseptor M3 mengawali suatu kaskade yang menghasilkan

kontraksi otot polos. Data dari hasil penelitian yang dilakukan pada kandung kemih

tikus memperlihatkan bahwa reseptor M2 kemungkinan juga dapat memfasilitasi

kontraksi kandung kemih.1

Serabut saraf sensoris A delta yang bermielin mengakibatkan distensi kandung

kemih secara pasif dan kontraksi kandung kemih secara aktif.. Serabut saraf C

(30)

dikenali pada aferen, termasuk reseptor vanilloid, yang diaktivasi oleh capsaicin dan

mungkin oleh endogenous anandamide; reseptor purinergic (P2X); reseptor

neurokinin, yang beraksi terhadap substansi P dan neurokinin A; dan reseptor –

reseptor growth factor . Substansi lain termasuk nitric oxide, calcitonin gene-related

protein, dan brain-derived neurotropic factor juga mempunyai peran penting dalam

modulasi sensor aferen pada otot detrusor manusia.12 Pemahaman yang lebih baik

terhadap pengaruh atau peranan yang kompleks dari bermacam – macam

neurotransmiter diatas dan substansi lain yang merupakan derivat dari ureopitelium,

sel otot detrusor, serabut saraf aferen sendiri hendaknya memberikan suatu target

terapi yang spesifik dan terbaru sebagai medikamentosa untuk keadaan Overactive

Bladder.1

(31)

Gambar 7. Mekanisme persarafan sensoris pada kandung kemih.1

2.3.2. Gejala Overactive Bladder

Gejala klinis gangguan Overactive Bladder meliputi 1,2,20,21,22,24,25,26,27,28,29

1. Urgensi

Keinginan kuat dan tiba – tiba untuk berkemih sehingga penderita tidak memiliki

cukup waktu untuk pergi ke toilet untuk berkemih

2. Frekuensi

Penderita dapat berkemih lebih dari 8 kali dalam 24 jam

3. Nokturia

Pada malam hari penderita akan lebih sering bangun lebih dari satu kali untuk

(32)

2.3.3. Faktor Resiko Overactive Bladder10,20,22,30

Menurut kepustakaan yang merupakan faktor resiko OAB antara lain adalah

a. Usia

b. Paritas

c. Cara persalinan

d. Indeks Massa Tubuh

e. Menopause

f. Riwayat operasi histerektomi.

Dari hasil penelitian OAB pada wanita di Asia (meliputi 11 negara Asia, yaitu

Thailand, Philipina, Taiwan, India, Pakistan, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia,

Indonesia, Singapura, dan Cina) dilaporkan bahwa usia lanjut, riwayat sering

melahirkan dan riwayat keluarga menderita OAB sering dihubungkan dengan

peningkatan kejadian gangguan OAB.

a. Usia

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia wanita sangat berhubungan erat

dengan inkontinensia urin.Inkontinensia urin merupakan hal yang lazim ditemui

pada wanita usia lanjut, maka sering dianggap normal dan merupakan hal yang

tidak terlepaskan pada wanita tua. Prevalensinya meningkat secara progresif

terhadap umur. Inkontionensia seharusnya dianggap normal dengan

pertambahan usia, dimana terjadi perubahan pada struktur kandung kemih dan

struktur pelvic yang disebabkan oleh pertambahan usia yang kemudian

(33)

b. Paritas

Persalinan dapat merubah elastisitas dasar panggul sebagai konsekuensi dari

melemah dan meregangnya otot-otot serta jaringan ikat selama persalinan

berlangsung. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat laserasi spontan atau

episiotomi. Akibat dari kejadian ini, akan mengakibatkan gangguan kontraksi

pada otot sfingter uretra dan kandung kemih.

c. Indeks Massa Tubuh

Dari penelitian yang dilakukan oleh Parazzini, Chiaffarino, Lavezzari dan

Giambanco (2003) menemukan bahwa resiko inkontinensia urin meningkat

dihubungkan dengan peningkatan massa indeks tubuh. Banyak penelitian

melaporkan adanya hubungan antara peningkatan berat badan atau peningkatan

massa indeks tubuh dengan inkontinensia. Menurut Doran dkk, 2001, setiap

kilogram menambah tekanan terhadap kandung kemih, dimana hal ini menjadi

kontribusi terhadap kejadian inkontinensia urin. Akibat obesitas dapat

menyebabkan peregangan kronik dan melemahkan otot-otot dasar panggul, saraf

serta struktur lainnya di dasar panggul. Hal ini menyebabkan inkontinensia urin.

Obesitas merupakan faktor resiko independen terhadap kejadian inkontinensia

urin. Kehilangan berat badan yang berlebihan secara signifikan menurunkan

kejadian inkontinensia urin pada wanita obese. Namun, obesitas masih menjadi

(34)

d. Cara Persalinan

Menurut Rubin (2003), wanita yang menjalani operasi sesar akan lebih sedikit

menderita inkontinensia urin dibandingkan dengan wanita yang melahirkan

secara normal.

Proses kelahiran dapat mempengaruhi elastisitas pada rongga panggul dimana

terjadi pereganggan otot-otot dan jaringan sewaktu melahirkan. Akibat

peregangan tersebut dapat merusak saraf pudendal , saraf pelvik, otot serta

jaringan pelvik sekitarnya yang dapat mempengaruhi kemampuan meregang dari

sphincter uretra untuk berkontraksi dalam merespon peningkatan tekanan intra

abdominal. (Morkved, Schei dan Asmund 2003; Viktrup & Lose 2001; Rubin,

2003).

e. Histerektomi

Dalam pemantauan secara sistematik terhadap bukti yang ada, penelitian

menunjukkan bahwa histerektomi berhubungan dengan inkontinensia urin (Brown

et al., 2000).Dilaporkan seorang wanita yang mengalami inkontinensia urin

segera setelah histerektomi. Inkontinensia urin pasca histerektomi dapat

disebabkan oleh kerusakan saraf sewaktu menjalani prosedur dan gangguan

muskulofasial pada vesika urinaria di sekeliling dinding pelvik (Hunskaar et al.,

2000)

f. Menopause

Gangguan berkemih sering dijumpai pada wanita menopause. Perubahan atrofi (

(35)

menopause dapat menjadi kontribusi dalam peningkatan kejadian inkontinensia

urin. Dengan menurunnya kadar estrogen, maka otot-otot detrusor kandung

kemih menjadi lebih mudah berkontraksi.

2.3.4. Diagnosis Overactive Bladder

Diagnosis OAB dapat dibuat berdasarkan.8,12,16,20,30,31,32,33

1. Anamnesa, meliputi :

- Mengeksplorasi adanya gejala berupa urgensi, frekuensi & nokturia

- Gejala lain yang menyertai seperti stress inkontinensia dan prolaps organ pelvis.

- Mengetahui adanya riwayat histerektomi (abdominal maupun vaginal). - Mengetahui ada atau tidaknya penggunaan obat – obatan.

- Pola dari intake cairan penderita yang menggunakan catatan harian berkemih selama 3 hingga 7 hari.

- Jumlah pembalut/diapers yang digunakan. - Terapi sebelumnya dan keberhasilannya.

Dimana anamnesa ini terangkum dalam kuesioner standar yang dikeluarkan oleh

ICS (Internatonal Continence Society), yang memiliki sensitifitas 80% dan

spesifitas 75%.

2. Pemeriksaan fisik, meliputi :

(36)

Pemeriksaan dilakukan dengan rectal touche untuk menilai kontraksi sfingter

ani. Bila sfingter ani tidak dapat berkontraksi, kemungkinan terdapat kelainan

neurologi S2, 3, 4.

- Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi adanya massa atau

pengumpulan cairan.

- Pemeriksaan ginekologi. - Tes batuk (tes valsava).

3. Pemeriksaan urin.

Urinalisa dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematuria, glukosuria, piuria,

dan bakteriuria.

4. Daftar harian berkemih

Dibuat untuk mengetahui frekuensi berkemih, volume urin yang dikeluarkan,

adanya nokturia atau tidak, dan adanya keinginan berkemih. Lamanya

pencatatan daftar harian berkemih ini belum ada keseragaman, tetapi Abrams

dkk menganjurkan untuk melakukan pencatatan selama 7 hari.17 Belakangan ini

para ahli menganjurkan pencatatan daftar harian berkemih selama 3 hingga 5

hari saja karena dianggap sudah cukup menggambarkan pola Overactive

(37)

Contoh Daftar Harian Berkemih2,20,34,35

Kartu catatan buang air kecil hari ke- Tanggal :

(38)

5. Pemeriksaan urodinamik

Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan baku emas untuk

mendiagnosis Overactive Bladder. Evaluasi urodinamik terdiri dari cystometri,

urethral pressure profilometry dan video urodynamic. Wanita yang didiagnosa

secara klinis melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan daftar harian berkemih

memiliki nilai akurasi diagnosis 75-80 %. Tes urodinamik akan dilakukan bila

diagnosis masih diragukan, terapi yang diberikan tidak memperlihatkan hasil yang

baik atau bila ada rencana terapi operatif.

Perlu diingat bahwa gejala – gejala yang ditemukan pada OAB dapat juga ditemukan

pada jenis inkontinensia urin terutama pada stres inkontinensia urin (SIU) tipe

campuran sehingga anamnesis yang teliti perlu dilakukan, karena pengobatan antara

OAB dan SIU sangat berbeda. Secara klinis perbedaan gejalanya dapat dilihat pada

tabel 1 di bawah ini.

Perbedaan overactive bladder (OAB) dengan stres inkontinensia urin (SIU). 36

Gejala OAB SIU

1. Urgensi + -

2. Frekuensi berkemih (≥ 8x) + -

3.Keluarnya urin berhubungan dengan

aktifitas (batuk, bersin)

- +

4. Jumlah urin yang keluar > banyak Sedikit

5. Berkemih malam hari (nokturia) ≥ 2 kali Jarang

(39)

2.3.5. Terapi Overactive Bladder

Sekitar 15% saja dari penderita OAB yang datang berobat oleh karena berbagai

alasan. Sebagian besar penderita menganggap bawah keluhan atau gangguan

berkemih tersebut adalah hal yang wajar yang dialami oleh orang usia lanjut. Alasan

lain yang juga membuat mereka enggan datang berobat adalah karena rasa

malu.Penderita OAB biasanya mengatasi masalah tersebut dengan cara sering

berkemih, mencari dan menghafal lokasi – lokasi kamar kecil, membatasi minum,

menggunakan pakaian yang berwarna gelap, serta menggunakan bantalan atau

pembalut.12

Ada 2 macam pilihan terapi diberikan pada penderita OAB yaitu 12

1. Konservatif

2. Operatif

Terapi Konservatif

1. Farmakoterapi.

Beberapa obat – obatan yang dapat digunakan untuk menghambat kontraksi

kandung kemih antara lain dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Belakangan ini obat

yang banyak digunakan adalah tolterodine tartrate (antimuscarinic agent) karena

dianggap lebih baik dibandingkan oxybutynin (nonselective antimuscarinic agent),

khususnya dalam hubungannya dengan frekuensi dan keparahan dari efek samping

(40)

Medikamentosa untuk Overactive Bladder.37,38,39,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49,50,51,52,53,54,55

antikolinergik + antimuskarinik

Tablet (5,10mg), sirup

Oxybutinin patch (Oxytrol)

antikolinergik + antimuskarinik

Transdermal patch

Solifenacin (Vesicare) Tablet (5mg,10mg) 5-10mg per hari

Darifenacin (enablex)

Tablet (1,2mg) , kapsul

(41)

Imipramin (Toframil)

antidepresan trisiklik

Tablet (10,25,50mg) 10-25mg, 3 kali

sehari

Botulinum toxin (BOTOX®, Dysport®) Vial (100 IU, 500 IU) 200-300 IU

transuretral

(disuntikkan pada

10-50 tempat)

2. Terapi perubahan perilaku.

Mencakup pengaturan asupan cairan, pembatasan konsumsi makanan dan

minuman yang mengandung kafein dan bladder training.Bladder drill atau bladder

training merupakan salah satu modifikasi perilaku yang dapat dilakukan dalam

menangani Overactive Bladder, baik dengan atau tanpa kombinasi terapi

farmakologis. Tetapi biasanya pemberian pengobatan dan latihan dilakukan

bersamaan. 3,6,7 Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal

dengan tehnik distraksi atau tehnik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6

hingga 7 kali perhari atau 3 hingga 4 jam sekali dan dilakukan minimal selama 6

minggu.10,56

3. Akupunktur

Dengan menggunakan jarum akupunktur ditempatkan secara bilateral pada kedua

betis bagian dalam, lipatan lutut bagian luar dan punggung belakang serta pada

pertengahan perut bagian bawah. Kemudian jarum tersebut diputar searah jarum

jam, sehingga penderita merasakan sensasi panas dan sensasi meregang,

kemudian jarum dipertahankan selama 20 menit. Hal ini diulangi setiap minggu

(42)

4. Stimulasi elektrik (electrostimulation) 5,10,11

Dengan menggunakan suatu alat yang kecil dimasukkan ke dalam vagina, melalui

gelombang elektrik yang dihantarkan menyebabkan otot-otot pelvik berkontraksi.

5. Mempergunakan inkontinens pads (diaper)

Diharapkan penderita menggunakan pembalut ketika ingin beraktivitas luar.10,58

6. Latihan otot dasar panggul (kegal exercise)10,11,12

Bayangkan bila anda ingin flatus dan bayangkan seolah-olah anda menahan agar

tidak terjadi flatus. Akan terasa otot dasar panggul bergerak sedangkan otot dan

paha tidak bergerak,kulit sekitar anus berkontraksi dan seolah-olah anus masuk

kedalam.

Terapi operatif

Terapi operatif untuk mengatasi keadaan OAB antara lain :8,10,11,12,59,60,61,62

1. Sacral nerve stimulation

Prinsip dari tindakan ini adalah dengan menghantarkan stimulasi elektrik sehingga

dapat menginhibisi refleks pada kandung kemih.Alat ini diimplankan secara

permanen pada serabut saraf S3. Pada awalnya penderita menjalani evaluasi

serabut saraf perkutaneus, dimana jarum dimasukkan melalui foramen sacral

dibawah anastesi lokal. Alat ini kemudian terhubungkan dengan stimulator eksternal.

(43)

2. Diversi urin

Metode ini bertujuan untuk mengalihkan drainase urin dari uretra. Hal ini dilakukan

dengan cara mengalihkan ureter ke segmen ileum yang kemudian dibuat stoma

permanen ke kulit.Urin yang terkumpul dialirkan ke kantong urin yang berada di kulit.

3. Detrusor myectomy

Metode ini bertujuan untuk memperbaiki fungsi kapasitas kandung kemih dengan

cara meng-eksisi otot kandung kemih dari fundus kandung kemih sehingga

meninggalkan divertikel yang lebar secara permanen.Kemudian omentum mayor

(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif untuk menilai penderita

Overactive Bladder secara klinik dengan rancangan potong lintang (cross sectional).

3.2. Tempat dan Waktu

1. Tempat penelitian dilakukan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.

2. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai bulan Desember 2007.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah paramedis perempuan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.

3.3.2 Besar Sampel

Untuk memperkirakan jumlah kasus penderita Overactive Bladder di lingkungan

RSUP H. ADAM MALIK Medan, besarnya sampel didapat dengan rumus :

n = Z 2PQ

d2

Prevalensi = 40% P = 0,40

Q = 1 – P = 1 – 0,40 = 0,60

Penyimpangan = d = 10% = 0,1

(45)

984

untuk memudahkan sampel dibulatkan menjadi 100.

Tehnik pengambilan sampel adalah simple random sampling.

Populasi sampel berdasarkan atas catatan dari bagian kepegawaian RSHAM Medan

lalu dipilih secara komputerisasi

3.3.3 Kriteria Penerimaan

1. Paramedis perempuan di RS. H. ADAM MALIK Medan.

2. Tidak menderita gangguan neurologi maupun diabetes

3. Tidak dalam keadaan hamil

4. Tidak dalam terapi overactive bladder

3.3.4 Kriteria Pengeluaran

1. Terdapat kelainan organ ginekologi.

2. Ada riwayat operasi kandung kemih

3. Tidak bersedia mengikuti penelitian.

(46)

3.4. Kerangka Konsep Penelitian

Overactive Bladder (OAB)

Menopause Cara

Persalinan

BMI Paritas

Riwayat Histerektomi Usia

Kualitas hidup penderita OAB

Penatalaksanaan OAB

Diteliti

(47)

3.5. Variabel Penelitian

3.5.1. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini meliputi:

a. Usia

b. Paritas

c. Cara persalinan

d. Indeks massa tubuh

e. Menopause

f. Riwayat histerektomi

3.5.2. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Overactive bladder (OAB)

3.6. Bahan dan Cara Kerja

1. Paramedis perempuan yang bekerja di RSUP H. ADAM MALIK Medan yang

memenuhi kriteria, yang dipilih secara acak diberikan lembaran kuesioner

yang terdiri dari beberapa pertanyaan dan dilakukan pengukuran tinggi dan

berat badan untuk menentukan besarnya nilai indeks massa tubuh (IMT)

responden tersebut.

2. Bagi responden yang menunjukkan gejala – gejala Overactive Bladder

berdasarkan hasil kuesioner dilakukan pemeriksaan urinalisa untuk

menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih maupun glukosuria.

3. Kemudian diberikan lembaran daftar harian kemih (DHB) selama 7 hari untuk

membuktikan adanya gejala atau pola Overactive Bladder kepada responden

(48)

4. Setelah hari ketujuh, dilakukan pemeriksaan urinalisa ulangan.

5. Responden yang terbukti mengalami gangguan Overactive Bladder

selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan adanya kelainan

organ.

(49)

3.7. KERANGKA PENELITIAN

NORMAL TIDAK NORMAL

DAFTAR HARIAN BERKEMIH

(SELAMA 7 HARI) ISK, GLUKOSURIA

PEMERIKSAAN FISIK

DALAM BATAS

NORMAL TERDAPAT KELAINAN NEUROLOGIS ATAU KELAINAN ANATOMIS YANG LAIN

OVERACTIVE DETRUSOR

IDIOPATIK

(OAB) a.l. : OVERACTIVE DETRUSOR

(50)

3.8. Batasan Operasional

1. OAB adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan adanya gejala berupa

urgensi, frekwensi, nokturia, dengan atau tanpa urge inkontinensia dimana

tidak ditemukan adanya kelainan patologis maupun infeksi saluran kemih.

2. OAB merupakan salah satu bentuk dari overactive detrusor yang

penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).

3. Penegakan diagnosa OAB dilakukan dengan anamnesa yang lengkap,

pemeriksaan fisik yang cermat dan pemeriksaan penunjang seperti urinalisa

serta pengisian lembar daftar harian berkemih (DHB).

4. Daftar harian berkemih (DHB) merupakan alat konfirmasi pola gangguan OAB

yang diisi selama 7 hari oleh seseorang yang mempunyai keluhan gangguan

berkemih.

5. Urgensi adalah dimana penderita mempunyai keinginan yang sangat kuat

untuk berkemih, yang datangnya secara tiba – tiba dan sulit untuk ditahan.

6. Frekuensi berkemih penderita OAB adalah lebih dari 8 kali dalam waktu 24

jam dan pada malam hari (nokturia) sebanyak 2 kali atau lebih.

7. Urge inkontinensia adalah adanya dorongan yang sangat kuat untuk berkemih

dan penderita tidak dapat menahannya sehingga kadang –kadang sebelum

sampai ke toilet urin sudah keluar lebih dulu.

8. Faktor yang berhubungan dengan timbulnya gangguan OAB antara lain

adalah usia, paritas, cara persalinan, menopause, indeks massa tubuh, dan

riwayat operasi histerektomi (total abdominal histerektomi dan subtotal

(51)

9. Nulipara adalah seseorang yang belum pernah melahirkan, primipara adalah

bila pernah melahirkan satu kali, multipara adalah bila riwayat melahirkan

lebih dari satu kali.

10. Menopause adalah berhentinya haid secara menetap setelah satu tahun

11. Indeks massa tubuh (IMT) adalah perbandingan antara berat badan dalam

kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Berat badan normal

adalah bila IMT antara 18,5 – 24,9; berat kurang (kurus) bila IMT < 18,5 ;

berat badan lebih (overweight) bila IMT 25 – 29,9; sedangkan obesitas bila

IMT ≥ 30.

3.9. Pengolahan Data

Seluruh data penelitian ini dicatat pada formulir penelitian yang meliputi data hasil

anamnesis, hasil pemeriksan fisik dan hasil laboratorium. Data yang telah teruji

keabsahannya ini diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai tujuan

penelitian. Uji statistik Chi-square dan regresi logistik dengan menggunakan

perangkat SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 15 dengan tingkat

(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu tiga bulan yaitu berlangsung sejak bulan

Oktober hingga Desember 2007. Didapatkan 100 orang responden atau subyek

penelitian, yang memenuhi kriteria penerimaan, yang terdiri dari paramedis

perempuan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.

4.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan faktor resiko OAB

Karakteristik responden atau subyek penelitian OAB dapat dilihat pada tabel 1 .

Karakteristik subyek tersebut adalah variabel yang merupakan faktor risiko atau

faktor yang berhubungan dengan kejadian OAB yaitu antara lain kelompok usia,

riwayat persalinan, paritas, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan

riwayat operasi histerektomi.

Pada penelitian dengan 100 orang responden ini didapatkan usia terbanyak adalah

pada kelompok usia dibawah 40 tahun yaitu sebanyak 53 orang (53%).

Sebagian besar responden pada penelitian OAB ini mempunyai riwayat persalinan

spontan yaitu sebanyak 73 orang (73%). Yang melahirkan secara seksio sesarea

adalah sebanyak 12 orang (12%).Persalinan dengan ekstraksi vacum sebanyak 5

orang (5%). Hanya 10 orang (10%) responden yang belum pernah melahirkan.

Sebanyak 78 orang (78%) adalah multipara dan responden primipara sebanyak 12

(53)

Dari 100 responden penelitian ini terdapat 93 orang (93%) yang belum menopause.

Hanya 7 orang (7%) yang mengalami menopause.

Dari seluruh responden, didapatkan sebanyak 60 orang (60%) yang mempunyai IMT

18,5 – 24,9 ( normal ), 31 orang (31%) yang mempunyai IMT 25 – 29,9 (overweight ),

dan 9 orang (9%) yang mempunyai IMT ≥ 30 ( obese ) Dari penelitian ini, tidak

didapatkan satu orang pun yang mempunyai IMT < 18,5 ( kurus ). Untuk selanjutnya

pada analisis regresi logistik, IMT ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu,

kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus) dan kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan

obese)

Pada penelitian ini, didapatkan 100 responden (100%) tidak mempunyai riwayat

operasi histerektomi. Dengan demikian hubungan riwayat histerektomi dan

(54)

Tabel 1. Sebaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan faktor resiko

Indeks massa tubuh (IMT)

(55)

4.2. Prevalensi gangguan OAB

Tabel 2. Prevalensi gangguan OAB

OAB n %

Positif

Negatif

18

82

18

82

Sampel penelitian adalah petugas paramedis yang bekerja di lingkungan RSHAM

yang dipilih secara acak dan didapatkan jumlah sampel atau responden sebanyak

100 orang. Penegakan diagnosis OAB dilakukan dengan anamnesa(angket standart

ICS), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan urinalisa serta pengisian daftar harian

berkemih (DHB) selama 7 hari. Didapatkan sebanyak 18 orang yang menderita OAB

(18%).

Angka kejadian secara umum dari overactive bladder ini ditemukan sekitar 20%

hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin. Prevalensi OAB pada wanita di Eropa

(56)

4.3. Sebaran gangguan OAB menurut usia

Tabel 3. Pengaruh usia terhadap OAB

OAB

Pada tabel 3 diatas, kelompok usia 40 – 49 tahun paling banyak mengalami

gangguan OAB, yaitu 9 orang (22,5%). kelompok usia < 40 tahun, lima orang (9,4%)

diantaranya menderita OAB. Sedangkan pada kelompok 50 – 55 tahun yang

menderita OAB sebanyak 4 orang (57,2%). Secara statistik terdapat hubungan yang

bermakna antara pengaruh usia terhadap kejadian OAB (p<0,05). Rasio prevalen

kelompok usia 50 – 55 tahun sebesar 12,8, artinya pada kelompok usia ini resiko

untuk terjadinya OAB sebesar 12,8 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok

usia < 40 tahun.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor usia berhubungan erat dengan

inkontinensia urin. DuBeau dkk (2003) melaporkan bahwa resiko OAB meningkat

dengan bertambahnya usia dengan nilai OR 1,3. Louw (2003) mendapatkan bahwa

usia yang makin lanjut, semakin tinggi resiko terjadinya OAB, dengan OR 1,59 pada

(57)

Pada penelitian ini, kelompok usia 50 – 55 tahun yang mengalami gangguan OAB

lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok usia 40 – 49 tahun. Hal ini disebabkan

karena jumlah responden pada kelompok usia 50 – 55 tahun jauh lebih sedikit.

4.4. Sebaran gangguan OAB menurut riwayat persalinan

Tabel 4. Pengaruh riwayat persalinan terhadap OAB

OAB

Pada tabel 4. diatas didapatkan riwayat persalinan spontan paling banyak menderita

OAB sebanyak 11 orang (16,4%), riwayat ekstraksi vakum yang menderita OAB

sebanyak 4 orang (80%) , riwayat seksio sesarea yang menderita OAB sebanyak 2

orang (11,1%), dan pada kelompok belum pernah melahirkan yang menderita OAB

sebanyak 1 orang (10%). Dengan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna

antara riwayat persalinan dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok riwayat

persalinan ekstrasi vakum didapatkan rasio prevalens sebesar 36. Artinya persalinan

dengan ekstraksi vakum, mempunyai resiko terjadinya OAB sebesar 36 kali lebih

(58)

Millard (2001) menyatakan bahwa wanita yang mempunyai riwayat persalinan

pervaginam mempunyai resiko mengalami gangguan berkemih sebesar 2,5 kali lipat

dibandingkan wanita yang tidak pernah mengalami persalinan.65

Louw (2004) melaporkan bahwa partus pervaginam mempunyai resiko yang lebih

besar (OR=1) untuk terjadinya OAB dibandingkan dengan seksio sesarea

(OR=0,2).64

Pada penelitian ini, resiko untuk terjadinya OAB pada persalinan seksio sesarea (RP

= 1,768) lebih besar dibandingkan dengan persalinan spontan (RP = 1,125), dimana

seharusnya persalinan spontan memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita

OAB dibanding seksio sesarea. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini indikasi

(59)

4.5. Sebaran gangguan OAB menurut paritas

Tabel 5. Pengaruh paritas terhadap OAB

OAB

Pada tabel 5, didapatkan multipara 15 orang (19,2%) yang mengalami

OAB.Primipara 2 orang ( 16,7 % ) yang mengalami OAB dan Nullipara 1 orang ( 10

% ) yang mengalami OAB. Secara uji Chi-square tidak didapatkan hubungan yang

bermakna antara paritas dengan kejadian OAB.

Hording dkk (1986) menyatakan bahwa paritas tidak berhubungan dengan

terjadinya inkontinensia urin pada wanita dengan usia 45 tahun. Burgio dkk (1991)

mendapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara paritas dengan

kejadian OAB.66,67

Namun, Millard (2001) menyebutkan bahwa paritas dapat mempengaruhi terjadinya

gangguan OAB secara signifikan. Goldberg (2003) mendapatkan wanita multipara

mempunyai resiko 1,46 kali untuk terjadi inkontinensia urin dibandingkan dengan

(60)

4.6 Sebaran gangguan OAB menurut indeks massa tubuh

Tabel 6. Pengaruh indeks massa tubuh terhadap OAB

OAB

orang (37,5%) yang menderita OAB, dan pada kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan

kurus) dijumpai 3 orang (5%) yang menderita OAB. Pada uji statistik, didapatkan

hubungan yang bermakna antara indeks masssa tubuh dengan terjadinya OAB

(p<0,05). Pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan rasio

prevalens sebesar 11,4, dimana pada kelompok ini resiko terjadinya OAB 11,4 kali

lebih besar dibandingkan dengan kelompok IMT ≤ 24,9(normal dan kurus).

DuBeau dkk (2003) menyatakan bahwa prevalensi OAB meningkat dengan

meningkatnya indeks massa tubuh, dengan nilai OR 1,5. Salvig dkk (1999)

mendapatkan bahwa IMT > 35 mempunyai resiko OAB dengan nilai OR 2,5. Dywer

dkk (1988) melaporkan bahwa obesitas secara signifikan berhubungan dengan

(61)

4.7 Sebaran gangguan OAB menurut menopause

Tabel 7. Pengaruh menopause terhadap OAB

OAB

Pada tabel 7. diatas, dari 7 orang yang menopause, 4 diantaranya (57,1%)

mengalami gangguan OAB. Dari uji statistik, terdapat hubungan yang bermakna

antara menopause dengan kejadian OAB (p<0,05). Menopause mempunyai resiko

untuk terjadinya gangguan OAB sebesar 7,5 kali lebih besar dibandingkan dengan

yang tidak menopause.

Rekers dkk (1992) melaporkan wanita menopause mengalami OAB lebih banyak

(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Prevalensi penderita OAB pada paramedis perempuan yang bekerja di

lingkungan RSUP H. ADAM MALIK adalah 18% (18 orang).

2. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia,persalinan,IMT,menopause

dengan terjadinya OAB.

3. Semakin tua umur seorang wanita semakin besar resiko terjadinya OAB,

persalinan dengan vakum mempunyai resiko 36 kali lebih besar terjadinya

OAB dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan. IMT ≥ 25

(overweight dan obese) mempunyai resiko 11,4 kali lebih besar untuk

terjadinya OAB dibandingkan IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Wanita

menopause beresiko 7 kali lebih besar terjadinya OAB dibandingkan yang

belum menopause.

4. Tidak terdapat yang bermakna antara paritas dengan terjadinya OAB.

SARAN

1. Sebaiknya disediakan alat untuk pemeriksaan urodinamik di poliklinik

uroginekologi RSHAM.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan OAB yang

efektif serta bagaimana kualitas hidup penderita OAB.

3. Bagi wanita overweight dan obese disarankan untuk mengurangi berat badan

hingga indeks massa tubuh mencapai normoweight untuk mengurangi resiko

(63)

KEPUSTAKAAN

1. Ouslander JG. Management of Overactive Bladder. The New England Journal

of Medicine 350, Massachuchet Medical Society, 2004 : 786-99.

2. Junizaf. Overactive baldder. Dalam makalah yang disampaikan pada

Simposiun “Uroginekologi” acara KOGI XI pada tanggal 3 Juli 2000, di The

Grand Bali Beach Hotel, Denpasar – Bali.

3. Wagg A, Cohen M. Medical therapy for the overactive bladder in the elderly.

Age and Ageing 31, British Geriatrics Society, 2002 : 241-46.

4. Irwin DE, Milsom I, Kopp Z, Abrams P, Cardozo L. Impact of overactive

bladder symptoms on employment, social interactions and emotional well –

being in six European countries. BJU International 97, 2005 : 96 – 100.

5. Van Der Pal F, et al. Implant-Driven Tibial Nerve Stimulation in the Treatment

of Refractory Overactive Bladder Syndrome: 12-Month Follow-up.

Neuromodulation, Vol.9, Number 2. International Neuromodulation Society,

2006 : 163 – 71.

6. Patel AK, Patterson JM, Chapple CR. The emerging role of intravesical

botulinum toxin therapy in idiopathic detrusor overactivity. International Journal

Clin Prac 60, Suppl. 151, Blackwell Publishing Ltd, December 2006 : 27 – 32.

7. Kirby M, et al. Overactive bladder : the importance of new guidance.

International Journal Clin Pract 60, Blackwell Publishing Ltd, October 2006 :

(64)

8. Rackley R, et al. Incontinence, Urinary : Surgical Therapies. Available at :

http://www.emedicine.com/med/topic3084.htm

9. Rackley R, et al. Incontinence, Urinary : Nonsurgical Therapies. Available at :

http://www.emedicine.com/med/topic3085.htm

10. Welsh A. Urinary incontinence, the management of urinary incontinence in

women.RCOG Press, London, 2006 : 46 – 124.

11. Treatments for Urinary Incontinence in Women. Available at :

http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/treatmentsuiwomen/index.htm

12. Newman DK. Program of Excellence in Extended Care, Understanding

Bladder Conditions. Diagnostic Ultrasound Corporation, 2006 : 59 – 81.

13. Maneefee SA et al. Incontinence, Proplapse, and Disorders of the Pelvic

Floor. Novak’s Gynecology, 13th ed, Lippincott William & Wilkins,

Philadelphia-USA 2002 : 645 – 702.

14. Cunningham FG. Williams Obstetrics 21st Edition.

15. Andersson KE. New roles for muscarinic receptors in the pathophysiology of

lower urinary tract symptoms. BJU International 86, Suppl.2, 2000 : 36 – 43.

16. Rackley R, et al. Neurogenic Bladder. Available at :

http://www.emedicine.com/med/topic3176.htm

17. Messelink EJ. The overactive bladder and the role of the pelvic floor muscles.

BJU International 83, Suppl.2, 1999 : 31-35.

18. The Overactive Bladder. OAB Info. Available at :

(65)

19. Gillespie JI. The autonomous bladder : a view of the origin of bladder

overactivity and sensory urge. BJU International 93, 2004 : 478 – 83.

20. University of Texas at Austin, School of Nursing, Family Nurse Practitioner

Program. Recommendations For Management of Stress and Urge Urinary

Incontinence in Women. May, 2002.

21. Drake NL, et al. Nocturnal polyuria in women with overactive bladder

symptoms and nocturia. American Journal of Obstetrics and Gynecology 192,

Elsevier Inc., 2005 : 1682 – 6.

22. Overactive Bladder – Urgency / urge incontinence. The American

Urogynecologic Society. Available at :

http://www.augs.org/i4a/pages/index.cfm?pageid=207

23. Mansfield KJ, et al. Lower Urinary Tract : Molecular characterization of M2 and

M3 muscarinic receptor expression in bladder from women with refractory

idiopathic detrusor overactivity. BJU International 99, 2007 : 1433 – 38.

24. Van Der Pal F, et al. Percutaneous tibial nerve stimulation in the treatment of

refractory overactive bladder syndrome : is maintenance treatment

necessary?. BJU International 97, 2006 : 547 – 50.

25. Kelleher CJ, et al. Improved quality of life in patients with overactive bladder

symptoms treated with solifenacin. BJU International 95, 2005 : 81-5.

26. Fingerman JS, Finkelstein LH. The Overactive Bladder in Multiple Sclerosis.

Gambar

GAMBAR 1. ANATOMI ORGAN PELVIS WANITA
TABEL 7. PENGARUH MENOPAUSE TERHADAP OAB
Gambar 1. Anatomi organ pelvis wanita14
Gambar 2. Anatomi kandung kemih12
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sekretariat : Gedung B Lantai II Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten Jl. Demikian atas perhatiannya diucapkan

Perbaikan saluran irigasi Dukuh Tanjungarum Desa Glagahw angi Kecamat an Polanharjo (Eks.

BIDANG CIPTA KARYA DPU KABUPATEN KLATEN.. JL Sulaw

PEM ERINTAH KABUPATEN KLATEN PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA.. BIDANG CIPTA KARYA DPU

Materi dalam buku ini tersusun secara sistematis dan dilengkapi dengan ilustrasi serta latihan soal sehingga memudahkan para peserta didik untuk memahami materi yang disampaikan

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dengan hormat kami mengundang saudara untuk menghadiri acara pembuktian kualifikasi yang akan dilaksanakan pada :. Diharapkan

Sepanjang tahun 2013, Bank Kalteng telah berupaya menjaga kepatuhan terhadap PBI dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, standar-standar kepatuhan lainnya

KELOMPOK KERJA GURU (KKG) MADRASAH IBTIDAIYAH KECAMATAN GENUK KOTA